Saturday, December 29, 2007

PGN didenda, MEMANG HARUS DEMIKIAN!

Pemerintah kali ini perlu mendapatkan acungan jempol karena melalui BAPEPAM-LK, akhirnya berani menjatuhkan sanksi berupa denda kepad PT.PGN tbk, yang dianggap telah salah menerapkan asas keterbukaan informasi dan diduga adanya "insider trading". PAdahal masalahnya adalah sepele, yaitu tidak berjalannya prose monitoring dan pelaporan pelaksanaan proyek SSWJ dengan baik dan benar. Mudah2-an bisa memberikan efek jera, dan sanksi serupa bukan bersifat pilih tebang.

ES
===============
Jumat, 28 Desember 2007 / http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0712/28/ekonomi/4103991.htm

Karyawan PGN Didenda Mantan Direktur Utama Dikenai Denda Rp 2,3 Miliar

Jakarta, Kompas - Beberapa karyawan dan mantan Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk WMP Simandjuntak dikenai denda oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Mereka didenda sehubungan dengan pemeriksaan terhadap kasus perdagangan saham PT PGN.
"Mereka melanggar Pasal 95 tentang perdagangan oleh orang dalam," kata Ketua Bapepam-LK Fuad Rahmany di Jakarta, (27/12). Pada Pasal 95 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal disebutkan orang dalam dari emiten atau perusahaan publik yang mempunyai informasi orang dalam dilarang melakukan pembelian atau penjualan atas efek emiten atau perusahaan publik.
Pasal 104 mengatur, setiap pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 Ayat (1), dan Pasal 98 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 15 miliar.
Yang terkena denda paling besar adalah mantan Dirut PT PGN WMP Simandjuntak, yakni sebesar Rp 2,3 miliar. Harga saham PGN melemah sebesar 23,36 persen dari Rp 9.650 per saham pada 11 Januari 2006 menjadi Rp 7.400 per saham pada 12 Januari 2007.
"Penurunan harga tersebut sangat erat kaitannya dengan press release yang dikeluarkan PGN sehari sebelumnya pada 11 Januari 2007. Di dalamnya dinyatakan terjadi koreksi atas rencana besarnya volume gas yang akan dialirkan, dari 150 MMSCFD (juta kaki kubik per hari) menjadi 30 MMSCFD," kata Fuad Rahmany.
PGN juga menyatakan ada penundaan gas in dalam rangka komersialisasi yang semula akan dilakukan pada akhir Desember 2006 menjadi Maret 2007.
Bapepam beranggapan, informasi dalam siaran pers tersebut sebenarnya sudah diketahui oleh manajemen PGN sejak 12 September 2006.
Adapun informasi mengenai tertundanya gas in sudah diketahui juga sejak 18 Desember 2006. Dalam periode 12 September 2006 hingga 11 Januari 2007, ada orang dalam yang melakukan transaksi saham PGN.
Mutasi karyawan PGN
Informasi yang diperoleh Kompas menyebutkan, karyawan PGN yang dikenai denda oleh Bapepam akan dimutasi. Namun, Dirut PT PGN Sutikno yang dikonfirmasi membantah bahwa mutasi tersebut terkait dengan kasus tersebut.
Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyelidikan Bapepam-LK Wahyu Hidayat mengatakan, ada sejumlah pertimbangan untuk menentukan besar kecilnya denda.
"Kami mempertimbangkan tanggung jawab, kemudahan akses yang bersangkutan terhadap informasi orang dalam dan pola transaksi," ujar Wahyu. Sesuai kewenangan Bapepam, penyidikan berhenti pada pelanggaran administratif, kasus itu tidak akan dibawa sampai ke tindak pidana.
Sementara itu, Menteri Negara BUMN Sofyan A Djalil menyatakan, sanksi tersebut diperlukan untuk mendisiplinkan para pelaku pasar, tidak hanya bagi PGN tetapi bisa menjadi contoh bagi yang lainnya. (DOT/OIN/joe)
--------------------
SUARA PEMBARUAN DAILY
28 des 2007 / http://www.suarapembaruan.com/News/2007/12/28/Ekonomi/eko06.htm

Karyawan PGN Dikenakan Sanksi

[JAKARTA] Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) menjatuhkan sanksi administratif bagi sembilan orang dalam PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) terkait anjloknya saham perusahaan ini awal tahun ini. Total denda yang dikenakan ke sembilan orang karyawan dan mantan karyawan PGN mencapai Rp 3,178 miliar.
Keputusan itu disampaikan Ketua Bapepam-LK Fuad Rahmany, dalam keterangan tertulis, Kamis (27/12). Pada hari yang sama, usai rapat koordinasi di Departemen Keuangan, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Sofyan Djalil), mendukung sanksi yang diputuskan Bapepam-LK.
"Kita dukung. Itu kan keputusan Bapepam dan juga untuk mendisiplinkan pelaku pasar dan itu hal yang normal saja," kata Sofyan.
Bapepam-LK memutuskan mantan Dirut PGN WMP Simanjutak dikenakan denda sebesar Rp 2,33 miliar, Adil Abas sebesar Rp 30 juta, Nursubagjo Prijono sebesar Rp 53 juta, Widyatmiko Bapang sebesar RP 25 juta, Iwan Heriawan sebesar RP 76 juta, Djoko Saputra sebesar Rp 154 juta, Hari Pratoyo sebesar Rp 9 juta, Rosichin sebesar Rp 184 juta dan Thohir Nur Ilhami dikenakan denda sebesar Rp 317 juta.
Kasus itu berawal dari penurunan harga saham PGN di Bursa Efek Indonesia yang dulunya bernama Bursa Efek Jakarta sebesar 23,36 persen dari Rp 9.650 pada harga penutupan per 11 Januari 2006 menjadi Rp 7.400 per lembar saham pada 12 Januari 2007.
Fuad menjelaskan, penurunan harga saham itu sangat erat kaitannya dengan rilis yang dikeluarkan PGN sehari sebelumnya yakni 11 Januari 2007. Dalam rilis itu disebutkan terjadi koreksi atas rencana besarnya volume gas yang akan dialirkan.
Selain itu, disebutkan juga bahwa tertundanya gas in (dalam rangka komersialisasi) yang semula akan dilakukan pada akhir Desember 2006 tertunda menjadi Maret 2007. Bapepam-LK menilai informasi yang dirilis itu yakni penurunan volume gas sebenarnya sudah diketahui oleh manajemen PGN sejak 12 September 2006 sedangkan informasi tertundanya gas in dinilai sudah diketahui manajemen PGN pada 18 Desember 2006. [L-10]
Last modified: 28/12/07

Tuesday, December 25, 2007

Musik dan Anak Muda kita!

Menarik juga membaca opini Aa Ukon ttg industri musik Indonesia. Saya ingin melihat dari arah positif, bahwa justru saatnya sekarang kita bercermin kepada upaya anak-anak muda kita khususnya yang dengan modal dengkul sendiri (memang masih ada yang nebeng nama ortu) telah berhasil menunjukkan bagaimana harus berkarya, bekerja keras dan kemudian menikmati hasil usaha mereka dikala masih muda. Dari studio demi studio dengan berbagai duka, mereka terus berkarya sehingga akhirnya banyak muncul musisi2 muda meski dengan modal pas-2an termasuk tampang juga. tapi semua itu sungguh perlu justru diteladani banyak pihak termasuk orang dewasa yang masih banyak mengandalkan jurus KKN untuk maju dan mencari posisi, tidak banyak menyerap tenaga kerja dan terlalu sering munafik. Sekali lagi MUSIK SAAT INI TELAH MENJADI ALTERNATIF PALING BANYAK DAN PALING BAIK UNTUK MENGHIDUPI DIRI DAN KELUARGA, TERMASUK KELUARGA ORANG LAIN.

Meski banyak kekurangan, justru kepada anak musik lah (terutama yang muda) kita harus berkaca.

Bagaimana Bp Presiden, Bp Wapres dan seluruh pemimpin INDONesia?

Wassalam,

Eddy
====================
Laporan Akhir Tahun Bidang Musik & Film
Pikiran Rakyat, Bandung, 23/12/07

Selamatkan (Kualitas) Musik Indonesia!

Oleh UKON AHMAD FURKON

SEANDAINYA saat ini Harmoko masih menjadi Menteri Penerangan, boleh jadi dia tengah berpikir untuk kembali mengeluarkan peraturan sebagaimana pernah ia terbitkan pada dekade 1980-an, melarang peredaran lagu pop cengeng. Melalui tulisan ini kita tentu tidak sedang mempertimbangkan opsi larang-melarang yang tak punya tempat dalam peradaban budaya maju. Akan tetapi, bahwa lagu-lagu cengeng kembali meruyak dan semakin menguat dalam satu tahun terakhir, itu adalah fakta yang tak terbantahkan.
Homogenitas pilihan tema serta penggunaan kata dan kalimat yang miskin dan serampangan, begitu mudah kita temukan. Di banyak lagu, terhidang kata-kata tipikal seperti "maaf", "bintang", dll. Demikian pula dengan tema yang melulu cinta, terutama yang berkisah soal pupusnya harapan cinta, patah hati, cinta bertepuk sebelah tangan, ratapan akan datangnya seorang kekasih, atau malah lebih "menye-menye" lagi.
Rasa prihatin layak pula disematkan pada sisi musikalitas. Untuk mencoba eksis, sepertinya ada formula instan, yakni racikan musik melankolis dan mendayu-dayu. Kita tak habis pikir ketika suatu grup band yang telah membawa musik cengeng pada kadar yang semakin parah, dengan kualitas musikal dan vokal yang sangat pas-pasan, justru laku di pasaran.
Kita juga heran mengapa musisi sekaliber Melly Goeslaw dan Anto Hoed yang dulu sempat melahirkan karya-karya provokatif dan cerdas lewat grup Potret, kini terlihat begitu "ngejar setoran" lewat projek "jual tampang" bernama "Bukan Bintang Biasa" (BBB).
Apa yang tengah terjadi pada musik Indonesia? Apakah selera penikmat musik sedang terjerembab pada titik terendah, idealisme para musisi telah semakin terdegradasi, ataukah kuasa para pemilik modal tambah dominan dan semakin berorientasi uang?
Perangkap Siklus
Menyibak kembali lembaran sejarah, sepertinya perjalanan musik Indonesia terperangkap dalam suatu siklus. Di tahun 1970-an, musik kita sempat mencatatkan tinta emas dengan lahirnya karya-karya bermutu seperti "Badai Pasti Berlalu" garapan Eros Djarot dkk, projek Guruh Gipsy, "Ken Arok"-nya Harry Roesli, repertoar Yockie Soeryoparyogo bertitel "Musik Saya adalah Saya", hingga ajang Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) yang melahirkan musisi-musisi andal.
Namun, di era 1980-an musik kita tak kuasa membendung serbuan lagu mendayu-dayu. Dengan bantuan acara-acara musik di TVRI seperti Aneka Ria Safari, Selekta Pop, dan Kamera Ria, lagu-lagu seperti "Hati yang Luka" (Betharia Sonata), "Gelas-gelas Kaca" (Nia Daniaty), "Jangan Sakiti Hatinya" (Iis Sugianto), atau "Antara Benci dan Rindu" (Ratih Purwasih) mampu membius pasar musik. Pencipta lagu seperti Obbie Messakh, Deddy Dores, Rinto Harahap, dan Pance Pondaag pun mengecap popularitasnya.
Sampai akhirnya Harmoko yang menjabat Menteri Penerangan saat itu mengeluarkan kebijakan untuk membredel lagu-lagu cengeng seperti itu. Memasuki era 1990-an musik Indonesia mendapatkan angin segar. Saat itu bermunculan musisi-musisi berpendirian. Ketika ruang berkesenian masih dihantui represi, musisi saat itu justru mampu menempatkan album sebagai sarana berekspresi, berpendapat, dan punya posisi penting dalam kehidupan secara keseluruhan. Totalitas mereka berikan untuk melahirkan karya-karya yang bermutu, dari mulai konsep musik, lirik, artwork sampul album, hingga video klip. Begitu banyak eksplorasi hingga terlahir karya-karya yang bergizi.
Lantas, kita memiliki KLA Project dengan lagu-lagu cinta universalnya yang dalam dan menyentuh. Ebiet G. Ade, Iwan Fals, Swami, Slank, hingga Kantata Takwa dengan kontemplasi dan protes-protes sosialnya, juga sederet nama lain yang layak dibanggakan seperti Dewa 19, Gigi, hingga Padi.
Di Bandung, Pas Band menjadi inspirator lahirnya gerakan bermusik independen di tanah air lewat mini album legendaris bertitel "4 Through The Sap".
Menginjak awal milenium baru, sepertinya serbuan pop cengeng mendayu-dayu kembali mengencang. Begitu banyak pendatang baru yang hadir dengan pola seperti itu sampai akhirnya disempurnakan oleh kehadiran Kangen Band.
Kuatnya desakan untuk menebar ratapan cinta, bahkan menjebak Ahmad Dhani yang konon punya misi mencerdaskan selera musik Indonesia, untuk ikut melahirkan karya yang mulai terlihat picisan seperti yang terlihat pada projek "Munajat Cinta" bersama The Rock. Kencangnya tuntutan produser telah pula memaksa musisi sekaliber Iwan Fals untuk merelakan setengah sisi dari album "50:50" diisi oleh lagu-lagu jualan. Barangkali ini merupakan trik Iwan untuk sedikit berkompromi mengingat iklim musik yang tidak bersahabat. Namun, akan jauh lebih membanggakan jika Iwan mampu "istiqomah" dan kembali ke "khittah"-nya.
Beruntung, sepanjang tahun 2007 masih ada beberapa nama yang menawarkan titik cerah di tengah kesumpekan. Para musisi yang lebih senior boleh tertunduk malu karena titik cerah itu justru dihadirkan oleh penyanyi belia bernama Sherina lewat album "dewasa" pertamanya, "Primadona".
Berbeda dengan sebagian besar penyanyi, Sherina mencipta sendiri sebagian besar musik, lirik, dan aransemennya. Hasilnya, suatu karya out of the box, dengan sajian musik yang elegan dan lirik-lirik yang tidak pasaran.
Selanjutnya ada Padi yang kembali memberi pelajaran bagaimana cara bermain musik yang baik dan benar. Lewat album baru mereka, "Tak Hanya Diam", Padi mengusung sajian musik gemilang dengan lirik-lirik yang semakin menunjukkan kepedulian pada masalah-masalah sosial.
Beberapa album lain yang masih membangkitkan kebanggaan pada musik pop tanah air antara lain album "Hari yang Cerah" (Peterpan), "Peace, Love `n Respect" (Gigi), "Televisi" (Naif), "Free Your Mind" (Maliq & D`essentials), dan "Slow but True" (Slank).
Di jalur indie, dua jempol layak diberikan kepada band bernama Efek Rumah Kaca yang menelurkan album dengan titel yang sama. Lewat album tersebut, Efek Rumah Kaca menawarkan pilihan lirik dan nada yang atmosferik dan dalam. Ada lagu "Cinta Melulu" yang dengan jitu mengkritik kondisi musik Indonesia saat ini. "Di Udara" yang memberikan apresiasi pada perjuangan almarhum Munir, serta sederet lagu-lagu berkelas lainnya.
Peran Media
Terperosoknya kualitas musik Indonesia yang semakin kentara dalam satu tahun terakhir, bukan semata tanggung jawab musisi, penikmat, dan produser musik. Gugatan layak pula dialamatkan kepada media, baik cetak maupun elektronik. Mencerdaskan pasar musik, justru semakin rajin melakukan aksi pembodohan melalui acara-acara hiburan yang melulu mengobral gosip dan kehidupan pribadi artis.
Jika kita amati, dari puluhan acara infotainment yang saat ini eksis di televisi, tercatat hanya acara "Show Biz News" (Metro TV) yang mampu menjalankan perannya dengan baik. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan (kualitas) musik Indonesia, media punya andil besar.
Di tahun 2008, sinergi seperti itu semoga mulai menemukan bentuknya, terlebih infrastruktur musik semakin mendukung. Jaringan internet dan perkembangan teknologi digital menjadi modal penting bagi musisi untuk keluar dari tekanan para pemodal besar. Sementara itu, barcode PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi & Pencipta Lagu Republik Indonesia) yang mulai diberlakukan pada album musik yang mampu mengawasi hasil penjualan secara lebih presisi dan transparan, menempatkan musisi pada posisi yang semakin berdaya dalam tata niaga musik di tanah air. ***

Penulis, pemerhati musik, tinggal di Bandung.Penulis:

Tuesday, December 18, 2007

MUSIBAH STAF DEPLU..

Malang tak bisa ditolak, untung tak biswa diraih. Musibah adalah musibah, namun kita wajib menggali hikmah.
  1. Kalau benar pengendara kijang menyalip dari kiri...apa boleh buat, memang Tuhan sudah menetapkan takdir mereka pergi secara naas begitu. Wallahualam.
  2. Hal lain, sudah menjadi pengetahuan bahwa pelaksanaan SPPD saat ini memasuki masa transisi dari sistem lumpsum ke sistem at cost, dimana PNS pelaksana SPPD tidak bisa bebas menggunakan uang SPPD seperti dulu. sekarang mereka harus berdasarkan pengeluaran sesungguhnya hal mana yang mendorong mereka harus lebih baik pulang cepat dari pada menunggu sampai jadwal yang ada sesuai tiket. Karena mereka harus menanggung sendiri hotel dan ongkos lainnya.

Mungkin bisa menjadi bahan renungan bagi pengambil keputusan di REpublik Ini.

ES


====================================
Lima Anggota Staf Deplu Tewas di Pantura

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0712/18/utama/4088954.htm

Jakarta, Kompas - Lima anggota staf Direktorat Informasi dan Media Departemen Luar Negeri tewas dalam kecelakaan pada hari Senin (17/12) pukul 03.00 di Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Mereka sedang dalam perjalanan dari Nusa Dua, Bali, menuju Jakarta, seusai menghadiri Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim.
Ke-5 korban tewas adalah Darmadja (36), Tatang Santoni (36), Kusyono (43), Suryadi (39), dan Alif Suraji (40). Satu orang, yaitu Rasto, menderita luka berat dan masih dirawat di RS Polri Bhayangkara, Losarang, setelah menjalani operasi kemarin siang.
Menurut Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Indramayu Ajun Komisaris Jaman Asri, mobil Kijang kapsul nomor B 1195 PQ yang ditumpangi anggota staf Departemen Luar Negeri (Deplu) itu meluncur dari arah Cirebon menuju Jakarta. Tiba-tiba mobil menabrak tronton bermuatan pasir yang sedang diparkir di bahu jalan. Tronton dikemudikan oleh Yayat.
Juru Bicara Deplu Kristiarto Legowo menjelaskan, tiga jenazah disemayamkan di Gedung Nusantara, Deplu, sebelum diserahkan kepada keluarga masingmasing. Jenazah Kusyono diminta keluarga untuk dimakamkan di Kuningan, Jawa Barat, dan Darmadja di Depok, Jawa Barat.
"Kami sangat kehilangan dan berduka atas meninggalnya rekan kerja kami," kata Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Andri Hadi.
Pelepasan jenazah di Deplu dipimpin Menteri Negara KLH Rachmat Witoelar karena Menlu Hassan Wirajuda sedang berada di Laos. Hassan Wirajuda yang menerima kabar sempat berlinang air mata dan mengaku sangat kehilangan.
Informasi yang diperoleh menyebutkan, Kusyono yang berada di balik kemudi menyalip dari sebelah kiri dan tidak bisa menghindari truk tronton yang diparkir di bahu jalan. Mobil pun menabrak truk.
Sumber di Deplu mengatakan, keenam anggota staf Direktorat Informasi dan Media itu sebenarnya telah memegang tiket pesawat untuk hari Sabtu pagi lalu. Namun, karena konferensi belum selesai, tiket mereka diundur hingga hari Selasa ini. Karena tidak ingin menunggu terlalu lama, mereka memilih naik mobil dari Nusa Dua menuju Jakarta.
Direktur Informasi dan Media Deplu Suhardjono sebenarnya sudah meminta mereka untuk menunggu sesuai dengan tiket pesawat yang tersedia, tetapi mereka mengatakan tetap ingin melalui jalan darat sekaligus bisa jalan-jalan. Di Surabaya, mereka sempat menelepon dan memberi kabar bahwa mereka selalu istirahat dan mereka baik-baik saja.
Kondisi mobil rusak berat, moncong bagian kiri melesak, kaca-kaca pecah, kursi di depan dan tengah pun berantakan. Kecelakaan terjadi di jalur pantura yang lurus, dan tak ada bekas pengereman ban. (NIT/FRO/RIE)

Buruknya DAya Serap Anggaran Negara...IYA...LAH!!

MEdia Indonesia, sekali lagi memperlihatkan "concern" nya terhadap daya serap APBN yang pada hilirnya berurusan dengan sektor riil dan ekonomi rakyat. Memang APBN sudah dirancang sebaik mungkin dengan segala kekurangannya. Namun praktek implementasinya sungguh memicu PNS dan birokrat untuk tidak produktif, karena sangat ketat dalam proses dan juga terjadinya pemotongan anggaran SPPD sejak Agustus 2007 di tengah jalan. AKibatnya, birokrat terbirit-birit harus menghabiskan anggaran yang tidak didukung dana perjalanan dinas sebagaimana biasanya. DItambah lagi adanya perlakuan baru SPPD "At COst" yang tidak merangasang PNS untuk bekerja sungguh-sungguh atau paling tidak banyak PNS lebih memilih tidak pergi keluar kota melaksanakan tugas karena masih terbiasa dengan pola SPPD yang lama.

Begitulah...kalau segala sesuatu dilakukan tanpa perhitungan dan analisis mendalam akan kelakuan orang Indonesia yang lebih baik mencari aman, dari pada masuk bui.

Salah siapa? HAnya rumput bergoyang yang bisa menjawab. Tapi hal ini sudah pernah saya bahas sebelumnya di:
http://kritiking.blogspot.com/2007/10/ridiculoushanya-40-apbn-terserap.html

Wassalam,

ES

====================================
EDITORIAL MEDIA INDONESIA 18 Des 07
http://www.mediaindonesia.com/editorial.asp?id=2007121722551006

Buruknya DAya Serap Anggaran Negara...


LAGI-LAGI terjadi anggaran negara hangus karena tidak terserap. Untuk tahun ini besarnya sekitar 10% dari pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2007 atau jumlahnya mencapai Rp75,23 triliun.
Sebagian besar anggaran yang hangus itu adalah untuk membiayai belanja modal, dana alokasi khusus, dan sejumlah proyek infrastruktur. Misalnya, anggaran belanja modal sampai akhir November 2007 hangus 40% lebih. Contoh lain berbagai proyek infrastruktur yang didanai bantuan luar negeri pada 2007 dipastikan tidak akan terwujud.
Maka, di satu pihak negara menjerit sulit memacu pendapatan untuk memenuhi belanja negara, namun di lain pihak kementerian, lembaga negara, dan pemerintah daerah sebagai pengguna anggaran ternyata membiarkannya hangus.
Salah satu faktornya ialah menyangkut batas waktu. Negara mestinya bisa melakukan terobosan, memperpanjang masa pembayaran anggaran proyek hingga Maret. Pada faktanya ada tenggang waktu yang vakum sejak batas akhir penerbitan surat perintah pembayaran langsung pada 14 Desember hingga mulai berlakunya tahun anggaran berikutnya.
Faktor lain birokrasi yang menyebabkan dana alokasi khusus (DAK) bagaikan bermain pingpong. Petunjuk teknisnya dikoordinasikan Menteri Dalam negeri. Adapun daerah penerima wajib mencantumkan alokasi dan penggunaannya di dalam APBD. Maka, dana alokasi khusus bisa bolak-balik antara Depdagri dan pemda. Belum lagi ditambah faktor berlarut-larutnya pembahasan APBD di DPRD. Tidak mengherankan jika salah satu penyebab tidak terserapnya anggaran adalah karena dana alokasi khusus,
yang juga menjadi penghambat munculnya perlawanan dari masyarakat. Sangat ironis, proyek infrastruktur ditolak masyarakat. Misalnya, pembangunan jalan tol terhenti lama hanya gara-gara ada pihak tertentu yang menolak jalan tol itu melintasi lahan miliknya.
Masalah pembebasan tanah menjadi penghambat pembangunan infrastruktur yang sangat fenomenal. Sudah pasti tidak ada harga tanah yang seberapa pun tingginya akan menyenangkan semua pemilik tanah. Pembangunan infrastruktur yang sangat penting bagi bergeraknya sektor riil dan pada gilirannya memacu pertumbuhan ekonomi serta menciptakan lapangan kerja dikalahkan bahkan tunduk oleh kepentingan segelintir orang.
Pada titik itu patutlah mempersoalkan efektivitas kekuasaan pemerintah untuk menegakkan kepentingan umum tanpa menginjak-injak kepentingan privat. Sekurang-kurangnya, layak mempertanyakan sikap responsif pemerintah yang sigap dan cepat, misalnya dengan segera membawa persoalan pembebasan tanah ke pengadilan.
Yang sekarang cenderung terjadi membiarkan proyek terkatung-katung, bertahun-tahun. Tidak ada kepastian. Bila jalan perundingan gagal, mengapa menunda membawanya ke muka hukum?
Memang, tak ada lagi jalan pintas yang gampang bagi siapa pun yang memerintah. Tidak ada lagi pilihan main gusur. Bahkan, kepastian harga tanah yang telah disepakati, dan telah pula dibayar pemerintah, sesewaktu dapat dibatalkan secara sepihak dengan alasan yang dibuat-buat.
Buruknya daya serap anggaran negara hanyalah persoalan permukaan. Jauh di bawah kulit, sebagian bersemayam buruknya birokrasi, sebagian lagi bertengger buruknya sikap masyarakat terhadap kepentingan bersama. Itulah sebabnya, bangsa ini seperti jalan di tempat, bahkan untuk sejumlah hal berjalan mundur ke belakang.

Tuesday, December 04, 2007

Rasa Sayange vs Halo-Halo Bandung

Dear all and excuse me for writing in Bahasa Indonesia.

Pengalaman mengesankan saya alami lagi dalam suatu forum internasional baru-baru ini di Bali yang diadakan dari tanggal 28-30 November 2007.

Dalam salah satu dinner, host memberikan kesempatan tampil menyanyi bagi berbagai rombongan dari berbagai negara. Setelah selesai dari Thailand, Indonesia dan The Phillipines, sampailah giliran kawan-kawan dari Malaysia. MC meminta sekitar 5-6 orang peserta dari Malaysia untuk maju ke pangggung dan mendaulat mereka melakukan atraksi; bisa tari atau juga nyanyian. Seperti yang saya khawatirkan, dan juga bbrp teman dari Indonesia, mereka memang tampil dengan lagu favoritnye, yaitu "Rasa Sayang Sayange". Karuan saja saya saling mengedipkan mata dengan rekan lain dari Indonesia. Mereka dengan pintarnya menyuruh seluruh peserta untuk berdiri dan berputar-putar di arena untuk saling berpegangan bahu (maksudnya seperti main kereta api sewaktu kita kecil dulu). Sementara musik berirama "dance" mengalir dengan thema lagu Rasa Sayang Sayange, mereka terus mengajak orang untuk bersama-sama berputar di arena. Tapi...tak ada satu lirikpun tambahan keluar dari mulut mereka, seluruh rekan Malaysia ini, yang keluar selain kata kalimat "Rasa Sayang Sayange"...termasuk pas giliran harus menyanyikan lirik pantun setelah refrain. Alhasil....musik mengalir begitu saja. Melihat situasi demikian, saya putuskan untuk mengambil salah satu mikrofon dan terpaksa melantunkan "Halo-Halo Bandung" dengan lengkap (agak salah-salah sedikit lirik di bagian awal), hingga "sekarang telah menjadi lautan api/mari bung rebut kembali". Untungnya saya bisa menutup lagu halo-halo bandung dengan sebuah lagu jazz agak riang dan tetap berirama dance "Around the World" dan terus diiringi seluruh peserta dengan gerak berputar dan dance dengan riang gembira.

Nah..cerita ini saya maksudkan adalah sekedar mengungkapkan bahwa generasi muda Malaysia (40 th-an) kelihatannya sudah tidak punya rasa hormat yang pantas terhadap bangsa kita. Mereka yang sama sekali tidak bisa menyanyikan atau hafal dengan baik lagu tersebut, dengan begitu saja (seperti robot) mau melaksanakan apa yang menjadi trend di negerinya secara politik ataupun keinginan untuk meninggikan derajat negara mereka thd negara lain, jika perlu diluar nalar mereka.

Mengapa ini bisa terjadi? Mungkin ini memang perlu diteliti oleh rekan2 sosiolog di negeri kita, dan mau kemana sebenarnya hubungan antar dua negara ini mau diarahkan; baik oleh SBY atau Badawi. Hal ini semakin memprihatinkan jika terus dibiarkan. Jelas...secara sistematis Malaysia punya maksud-maksud kurang baik terhadap bangsa kita dalam tataran implementasi. Dalam tataran diplomasi, bisa saja hal itu ditutup-tutupi.

Mungkinkah kita bisa bersatu....Akh..Memang
Malaysia Semakin Angkuh!

Info: dalam acara di Bali tersebut, kejadiannya di pantai Jimbaran, tanggal 29 Nov 2007 malam jam 20.00an; disaksikan bbrp teman dari developing country lain seperti Nepal, Pakistan, India, Afghan, Tibet, Indonesia, dan juga bbrp teman dari BUMN di Indonesia.

Ini sungguh pengalaman pribadi saya kedua dengan "Malezia". Sebagai info, tulisan saya di forum tsb telah dibahas secara cukup serius oleh mereka-mereka orang malaysia di seluruh penjuru. maaf, tidak untuk bermaksud menyombongkan diri, tapi sekedar pengetahuan bisa dilihat di THREAD INI SILAKAN KLIK DISINI.
Wassalam,

Eddy

Thursday, November 22, 2007

THANKS A MILLION, KPPU

Thanks to KPPU for making a tough decision on Indonesian Telecomm Industry. The agency has already made decision on how, Temasek Group, a company from SIngapore has violated anti-monopoly law.
But, ironically, all of this news reveal what's wrong with Indoensia's telecomm industry. Why? CAn you imagine that, long before, the decision has been made to clear up all of cross-ownerships on both Indosat's group and Telkom's group. The govt have made a good decision to let Telkom have Telkomsel, and Indosat to have Satelindo. (Actually, difusion of their share also comprised of other small sister companies). But then, it goes to a worse situation. Clearing up cross-ownership domestically, but then, it went to internationally cross-ownered by Singaporean state-owned company.
What a pity!

Lesson learnt? It's clear that in term of regulation, government has to step up to renew the "already-old fashioned telecomm law no 36/1999", and at the same time has also to set up a new Blue Print of Telecomm Industry. In addition, we are fortunate enough to have broadcasting law, however, the existing laws are not convergence as technology requires. And most improtent one is that how to make BRTI (regulatory body) more independent.


Cheers,

ES

=========

KPPU rules against Temasek

Business and Investment - November 20, 2007
http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071120.@01

Andi Haswidi, The Jakarta Post, Jakarta
Temasek Holdings was found guilty by the KPPU on Monday of cross-ownership in the domestic mobile telecommunications industry, a move that led to an abuse of dominant powers in the marketplace and a monopoly.
The Singapore-owned company would now be forced to either let go of all indirect shares in PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), or in PT Indosat, and to pay a fine of Rp 25 billion for breaching the anti-monopoly law, the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) said.
"We hereby order Temasek and its business group to let go of all shares in either Telkomsel or Indosat, no more than two years (after) this decision takes effect," head of the KPPU's panel of judges Syamsul Maarif said.
The divested shares, Syamsul said, must not exceed five percent for each buyer.
Eight other companies, which include Temasek's subsidiaries and other strategic partners for investment in Indosat and Telkomsel, were also found guilty of violating the law, particularly article 27 on cross-ownership.
The eight companies were fined Rp 25 billion each, including Singapore Technologies Telemedia (STT), STT Communications, Asia Mobile Holding Company, Asia Mobile Holdings, Indonesia Communications Limited, Indonesia Communications Pte. Ltd., Singapore Telecommunications and Singapore Telecom Mobile.
Temasek owns a 54.15 percent stake in SingTel Group, which holds a 35 percent stake in Telkomsel, while Singapore Technologies Telemedia (STT) -- wholly owned by Temasek -- owns a 75 percent of Asia Mobile Holdings, which owns 41.9 percent of Indosat.
Meanwhile, the largest market share holder, Telkomsel, was found guilty of violating article 17 of the law, particularly for abusing its dominant power to determine the interconnection tariffs among operators.
The KPPU also told Telkomsel to stop the practice, lower average tariffs of mobile communication services up to 15 percent, and to pay a fine of Rp 25 billion.
Rp 25 billion is the maximum fine for a violation of the law.
"Telkomsel is found guilty of creating a barrier-to-entry by determining the interconnection among operators and engaging in price leadership, which led to excessive pricing and revenue," Syamsul said.
KPPU said their activity was helped by the indirect influence of Temasek through its subsidiary STT in Indosat, which had forced Indosat to postpone its network development, to make way for Telkomsel.
"Due to the dominant abuse of power that led to excessive prices, the consumers suffered a total loss of between Rp14.7 trillion and Rp 30.8 trillion from 2003 until 2006," Syamsul said.
Despite this, the KPPU did not have the capacity to order the firms to pay losses.
The figures came from a comparison with average prices of telecom services and other countries in Southeast Asia, the KPPU said.
Temasek's lawyer Todung Mulya Lubis told reporters the company would appeal to the district court within two weeks.
"Temasek is very disappointed in this decision," Todung said.
"The decision was forced as the KPPU justified their own ideas and reasoning on this matter."
Among the flaws in the decision, he said, included the KPPU's failure to name Temasek and eight other firms as a single business group.
Todung said the cost of making such failures meant Indonesia was no longer a safe place to do business.
----
Kamis, 22 November 2007


Persaingan Usaha Butuh Aturan Investor yang Siap Bersaing Tak Akan Resah

Jakarta, Kompas - Penegakan aturan persaingan usaha diyakini tidak akan meresahkan investor yang siap bersaing secara sehat. Penanaman modal dalam sistem pasar yang terbuka justru membutuhkan kepastian bahwa kompetisi dapat berjalan. Investasi juga mesti diikuti dengan ketaatan pada hukum yang berlaku.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengharapkan putusan komisi ini terhadap kelompok usaha Temasek dipandang sebagai upaya memperbaiki iklim persaingan usaha di Indonesia. Meski demikian, aturan perundangan memberi ruang bagi pengajuan keberatan atas putusan KPPU melalui pengadilan negeri.
Terkait hal itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, Rabu (21/11), mempersilakan Temasek menempuh jalur hukum atas putusan KPPU. Menurut Wapres, putusan itu diambil untuk mencegah praktik monopoli yang pernah menghancurkan negara di masa lalu terulang kembali.
Wapres Kalla mengingatkan, aturan antimonopoli bukan hanya diterapkan di Indonesia. Indonesia pun menyusun aturan tersebut dengan mengacu pada standar internasional. Oleh karena itu, jika penegakan aturan ini dianggap merugikan suatu pihak, Wapres meminta tak lantas dikatakan aturan Indonesia yang jelek.
"Orang asing atau negara mana pun minta agar kita taat hukum. Begitu kita taat hukum, kenapa marah? Jangan ada standar ganda. Ini penegakan hukum semata. Tidak ada faktor-faktor lain seperti intervensi pemerintah," ujarnya. Ia menambahkan, sebuah perusahaan kelas dunia pernah dihukum denda 600 juta dollar AS oleh pengadilan di luar negeri. Dalam kaitan ini UU Nomor 5 Tahun 1999 memang mempunyai semangat keras antimonopoli.
Anggota KPPU Syamsul Maarif di Jakarta, Rabu, menjelaskan, KPPU menetapkan denda dan mengharuskan Temasek melepaskan saham di Telkomsel atau Indosat karena kepemilikan silang Temasek pada dua operator seluler itu mengakibatkan pasar industri seluler Indonesia tidak kompetitif.
"Meski dari awal divestasi Indosat dilakukan, KPPU tidak pernah setuju, tetapi jika kepemilikan silang itu tidak menimbulkan dampak antipersaingan, KPPU akan memilih untuk mengawasi saja," ujar Syamsul yang menjabat sebagai Ketua Majelis Pemeriksa Perkara Pelanggaran oleh Temasek.
Bukti pelanggaran
Syamsul menyebutkan sejumlah bukti sebagai dampak negatif kepemilikan silang tersebut.
Tampilnya Telkomsel sebagai penentu tingkat harga (price leader) pada bisnis telekomunikasi dipandang sebagai salah satu bukti. Telkomsel menguasai 61,24 persen di pasar seluler sejak tahun 2001. Bersama Indosat, Telkomsel menguasai 89,61 persen pangsa pasar seluler.
"Banyak pemain di pasar, tetapi tarif Telkomsel tidak pernah turun dan terdapat pola yang jelas bagaimana membuat tarif operator lain mengikuti price leader ini," ujar Syamsul.
Tingkat tarif yang diterapkan juga melampaui rata-rata tarif di negara-negara sekitar Indonesia. "Majelis meyakini, jika kompetisi berjalan, penambahan pemain di pasar akan membuat tarif turun. Apalagi kesenjangan dengan biaya produksinya memang amat besar," katanya.
KPPU memandang pencapaian profit yang demikian eksesif sebagai bukti lain. Pada tahun 2006, tingkat imbal hasil (return on equity) Telkomsel mencapai 55 persen. Studi referensi di berbagai negara menunjukkan, imbal hasil wajar yang tergolong tinggi pada bisnis telekomunikasi berkisar 20 persen.
Di sisi lain, kepemilikan silang Temasek di Indosat dinilai difungsikan sebagai pengontrol karena Indosat yang mestinya tumbuh dan bersaing dengan Telkomsel terhambat perkembangannya. "Sejumlah bukti menunjukkan hal itu," ujar Syamsul.
KPPU menetapkan kelompok usaha Temasek melanggar Pasal 27 (a) UU Nomor 5 Tahun 1999 terkait kepemilikan silang, sedangkan Telkomsel ditetapkan melanggar Pasal 17 dan Pasal 25 terkait praktik monopoli dan penyalahgunaan posisi dominan.
Terkait kerugian yang ditanggung konsumen akibat penyalahgunaan posisi dominan itu, KPPU mengharuskan Telkomsel menurunkan tarif 15,54 persen, setara imbal hasil 35 persen.
"Artinya, KPPU menerapkan sanksi sangat moderat. Telkomsel bisa menikmati tingkat profit yang luar biasa dibandingkan rata-rata pebisnis sejenis di negara lain," ujar Syamsul.
Menurut dia, UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyerahkan pengaturan mekanisme persaingan bisnis ini berdasarkan UU Persaingan Usaha.
"Saat ini KPPU bersama BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) sedang menyusun formula penentuan tarif yang didasarkan pada biaya produksi," ujarnya.
Ekonom Faisal Basri mengingatkan, pemerintah juga harus memperbaiki peran kontrolnya melalui regulasi. "Pemerintah memang seharusnya ikut bertanggung jawab karena pelanggaran ini bisa terjadi juga akibat lemahnya regulasi. Tetapi, KPPU hanya bisa memberikan saran kepada pemerintah, bukan menghukum, karena pemerintah bukan pelaku usaha," ujar Faisal.
Advokat Denny Kailimang menyatakan, solusi yang bisa ditempuh ialah pihak yang merasa dirugikan mengajukan keberatan ke pengadilan negeri, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Ayat 2 UU No 5 Tahun 1999. Pasal itu berbunyi, "Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut".
Pakar hukum persaingan usaha Ningrum Natasya Sirait menegaskan, tidak ada jalan lain bagi penyelesaian kasus Temasek kecuali melalui koridor hukum.
Menurut Ningrum, wajar saja jika Temasek memiliki argumentasi lain, misalnya terkait kepemilikan silang yang tidak dipersoalkan sejak awal dilakukan divestasi. Temasek menampik melakukan pengaturan harga sebagai penyalahgunaan posisi dominan.
Amir Syamsuddin, kuasa hukum Asia Mobile Holdings yang termasuk dalam kelompok usaha Temasek, mengatakan, penafsiran KPPU atas Pasal 27 UU No 5/1999 dirasakan meresahkan. Pasal itu melarang pelaku usaha memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis dengan pasar yang sama.
Masalahnya, Temasek tidak merasa memiliki saham mayoritas. Menurut Amir, Temasek tidak sepatutnya dipersalahkan atas penguasaan pangsa pasar yang besar.
"Kan, masih ada peran pemerintah sebagai regulator. Kami pun bukan pemegang saham mayoritas. Pemegang saham lain, kok, tidak diperhitungkan dalam putusan ini," ujar Amir Syamsuddin, Rabu malam. (DAY/OSA/INU/MAS/FAJ/AS)
----

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0711/22/ekonomi/4017702.htm
Kamis, 22 November 2007

KPPU Bertindak Ketika Berdampak Pemerintah Yakin Dapat Kendalikan
Jakarta, Kompas - Isu kepemilikan silang sebenarnya pernah ditanyakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha kepada pemerintah setelah divestasi saham Indosat kepada Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd yang terafiliasi dengan Singapore Telecommunication, pemilik saham Telkomsel.
"Pemerintah meminta reschedule dan baru terlaksana Januari 2003. Ketika itu pemerintah menjelaskan pada KPPU, pemerintah tetap bisa mengendalikan sehingga kepemilikan silang tak akan berdampak negatif," ujar anggota KPPU Syamsul Maarif di Jakarta, Rabu (21/11).
Menurut Syamsul, KPPU memilih menerapkan penafsiran maksimal atas Pasal 27 UU No 5/1999 yang menyangkut kepemilikan silang tersebut. "Artinya, kami berpersepsi positif dulu bahwa dua operator itu tetap akan dapat bersaing dengan sehat, seperti yang diyakinkan pemerintah. KPPU hanya akan mengawasi," ungkapnya.
Meski demikian, KPPU tidak pernah memberikan persetujuan atas divestasi Indosat.
Selama tiga tahun kepemilikan silang berjalan, KPPU menilai pemerintah tak dapat mengendalikan dampak negatif yang muncul akibat kepemilikan silang. Dengan demikian, pemeriksaan dan putusan KPPU mengenai monopoli baru keluar Senin (19/11), lima tahun setelah transaksi divestasi saham Indosat.
KPPU menilai, struktur kepemilikan silang kelompok Temasek menyebabkan priceleadership. Telkomsel sebagai pemimpin pasar menetapkan harga jasa telekomunikasi seluler secara eksesif. Sebenarnya apa yang terjadi sudah dikhawatirkan berbagai kalangan sejak tahun 2002.
Pemerintah Indonesia melakukan privatisasi atas Indosat dua kali pada tahun 2002. Ketika itu, pemerintah ditargetkan mendapatkan dana untuk menambal APBN dari privatisasi sebesar Rp 6,5 triliun.
Pertama, pada Mei 2002 sebanyak 8,1 persen saham Indosat dengan perolehan dana Rp 1,1 triliun. Kedua, Desember 2002 sebesar 41,94 persen dengan hasil Rp 5,62 triliun sehingga pada tahun 2002 pemerintah mendapatkan dana Rp 6,72 triliun dan akhirnya tinggal menguasai 14,96 persen saham Indosat. Dengan demikian, harga 100 persen saham Indosat setara dengan Rp 13 triliun. STT menyingkirkan pesaingnya, Telekom Malaysia.
Harga beli saham Indosat oleh STT sebesar Rp 12.950 per lembar cukup tinggi. Karena, harga itu 50,6 persen di atas (premium) harga penutupan di BEJ pertengahan Desember 2002 yang berada pada posisi Rp 8.600 per lembar. Harga itu juga di atas nilai buku saham Indosat sebesar Rp 10.400. Telekom Malaysia yang disingkirkan STT hanya menawar Rp 12.650 per lembar.
Sementara itu, SingTel, anak perusahaan Temasek Holdings, juga telah menguasai 35 persen saham PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel). STT bersama SingTel adalah anak perusahaan yang bernaung di bawah perusahaan milik Pemerintah Singapura, Temasek Holdings (Pte) Ltd. STT di antaranya memberi layanan broadband, jasa multimedia, dan telepon. Jaringan bisnis STT ada di China, Filipina, Hongkong, Makao, Malaysia, dan Taiwan. Kemenangan tender saham Indosat oleh STT menjadikannya dapat mengontrol Satelindo dan IM3, dua anak perusahaan Indosat di bisnis operator telepon seluler.
Tidak membeli
Kuasa Hukum Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd Ignatius Andy yang dihubungi di Singapura mengatakan, Temasek Holdings tidak pernah membeli saham PT Indosat Tbk. Yang membeli saham Indosat adalah STT, STT Communications Ltd, Asia Mobile Holding Company Pte Ltd, dan Asia Mobile Holdings Pte Ltd. Saham Telkomsel dibeli oleh Singapore Telecomunications (SingTel) Ltd.
"Dari sini kepemilikan silang Temasek yang dituduhkan KPPU tidak terpenuhi. Kami berbeda dengan SingTel," kata Andy.
Menurut Andy, Temasek tidak bisa mengontrol Indosat atau Telkomsel karena Temasek tidak berada dalam satu garis komando. Bagi Temasek, sebagai pemegang saham di STT maupun SingTel, laporan kinerja tahunan STT dan SingTel itulah yang penting. Laporan tahunan itu menyangkut pembagian dividen dan prospek perusahaan.
Soal motif Temasek yang gencar berinvestasi di bidang telekomunikasi, Andy menuturkan, "Temasek sebagai perusahaan investasi bukan hanya menanamkan modal di bidang telekomunikasi. Juga bidang lain, seperti perbankan." (DAY/OSA/JOE)
-----
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0711/22/ekonomi/4017715.htm
Kamis, 22 November 2007
Pertarungan UsahaTemasek Memiliki Motif Kendalikan Kompetitor
Jakarta, Kompas - Temasek diperkirakan memang memiliki motif untuk mengendalikan kompetitornya pada bidang telekomunikasi. Salah satu indikasinya adalah ditunjukkan dengan lambannya perkembangan bisnis Indosat.
Ketua Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang memeriksa dan memutus perkara Temasek Syamsul Maarif menuturkan, motif Temasek untuk mengendalikan kompetitor melalui penguasaan saham Indosat sulit dibantah.
Meskipun memiliki profit, Indosat tidak agresif dalam persaingan, terutama karena pembangunan jaringan (Base Transceiver Station/BTS).
Dalam pemeriksaan terungkap, empat direktur Indosat bahkan telah melobi pemegang saham di Singapura terkait keterlambatan pembangunan jaringan BTS. Akan tetapi, upaya itu tak membawa hasil.
"Tidak jelas mengapa jabatan direktur utama pada perusahaan sebesar itu dibiarkan kosong sekian lama," ujar Syamsul.
Sementara itu kuasa hukum Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT) Ignatius Andy mengatakan, Temasek tidak dapat mengontrol operasional Indosat maupun Telkomsel. Perusahaan investasi pemerintah Singapura ini lebih mementingkan kinerja tahunan anak perusahaannya yaitu STT dan SingTel.
Ketika ditanya mengapa Temasek sangat tertarik untuk berinvestasi pada bidang telekomunikasi di Indonesia Andy mengatakan, Temasek tidak hanya berinvestasi pada bidang telekomunikasi, melainkan juga pada bidang lain seperti perbankan. Di Indonesia, Temasek memiliki saham secara tidak langsung pada Bank Danamon dan Bank Internasional Indonesia.
Di sisi lain, Syamsul Maarif menambahkan, meskipun masih memiliki 14,96 persen saham di Indosat, saham pemerintah Indonsia tergolong saham seri A, sehingga pemerintah tidak bisa terlibat dalam pengambilan keputusan operasional.
Lepas Indosat
Sementara itu, Lembaga pemeringkat Fitch Rating dalam risetnya mengatakan, kecil kemungkinan Temasek akan melepaskan saham Telkomsel. Fitch berpendapat, jika Temasek melepaskan Telkomsel, akan mempengaruhi kinerja SingTel.
Telkomsel merupakan bintang SingTel yang berkinerja sangat baik dan merupakan mesin pertumbuhan aset SingTel di luar negeri. Pendapatan dari Telkomsel menyumbangkan porsi yang cukup besar, yakni sekitar 21 persen pendapatan grup SingTel sebelum pajak dan menyumbangkan 51 persen dividen ke SingTel.
Diperkirakan Temasek lebih rela melepaskan Indosat. Indosat memiliki posisi pasar yang lebih lemah serta valuasi lebih rendah dibandingkan Telkomsel. Indosat juga bukan merupakan faktor pendukung yang signifikan bagi STT maupun Temasek. Per Juni 2007, pangsa pasar selular Indosat hanyalah 26 persen dibandingkan dengan 56 persen pangsa pasar Telkomsel. (day/osa/joe)

Tuesday, November 13, 2007

Our Hipocracy!






In Sentul area, I do find such silly board to prevent people from doing picnic and other activties there. How come? Who own the land? THis is the simple ridicoulus way of thinking of Indonesian businessmen. They got the license to operate the area, they "engineer" the property, they ask people to leave, and they ban them for recreation unless people paid it inside the park for an expensive entry fee. And we are just shut our mouth up!!



In Surabaya Airport, on arrival area, firstly caught my eyes was the board with the words to tell the passenger at what cost we shall be charged when using porter service. The Rp 2,500.0 handling fee per luggage seems OK, but not in practice, though! I used to pay Rp15,000.0 to Rp 20,000.0 even for one piece luggage.




What do you think?

Wednesday, November 07, 2007

Ibu Kota Lumpuh, lalu apa?

Berbagai media mengulas ttg "lumpuhnya" jakarta oleh macet. Tapi berbagai analisis terlihat tidak pernah mengutik-utik akar permasalahan. Yaitu terkonsentrasinya pembangunan di ibukota.

KArena itu berbagai kebijakan yang dibuat tidak bisa bersifat jangka pendek, tapi lebih bersifat jangka menengah dan panjang. Salah satunya menurut saya...ya...pindahkan ibukota.

Eddy

============
Editorial Media Indonesia, 7 nov 07
http://www.mediaindonesia.com/editorial.asp?id=2007110621484605

Jakarta di Ambang Kelumpuhan Total

KEMACETAN di Jakarta akhir-akhir ini memasuki stadium empat. Stagnasi dan kelumpuhan sudah terjadi dan sebentar lagi ibu kota negara ini lumpuh total. Gerak manusia terhenti, roda perekonomian tidak berputar, kriminalitas merajalela, dan pemborosan menjadi-jadi.
Pejabat DKI Jakarta dan pemerintah pusat pasti paham risiko kemacetan yang terus mendera warga Jakarta. Tapi hingga hari ini belum ada solusi komprehensif mengatasinya. Slogan Fauzi Bowo di masa kampanye 'Jakarta di Tangan Ahlinya' ternyata belum memperlihatkan apa-apa.
Kemacetan di Jakarta memang bukan fakta baru. Namun, kemacetan akhir-akhir ini sudah mencapai tahap mengancam. Warga yang sebelumnya sabar dalam antrean kemacetan kini berubah menjadi pemarah. Dan kemarahan potensial menyulut tindakan anarkistis fatal.
Setiap hari jumlah mobil di Jakarta bertambah sekitar 350 unit dan kendaraan roda dua bertambah sekitar 1.250 unit. Total mobil kini mencapai sekitar 4,5 juta unit dengan porsi terbesar mobil pribadi. Sebaliknya, panjang jalan hanya sekitar 5.000 kilometer. Itu sudah termasuk jalan tol, jalan provinsi, jalan kabupaten, dan jalan lokal.
Kemacetan juga menimbulkan kerugian secara ekonomi. Bappenas menghitung, dari dua sektor saja, kesehatan dan energi, kerugian mencapai Rp7 triliun. Menurut perhitungan Yayasan Pelangi, total kerugian akibat kemacetan bisa mencapai Rp43 triliun. Itu termasuk kerugian akibat keterlambatan masuk kerja, pemborosan BBM, dan pencemaran udara.
Data lain menyebutkan jumlah pengguna kendaraan umum menurun dari tahun ke tahun dan sebaliknya pengguna kendaraan pribadi meningkat. Pada 2010 diperkirakan pengguna kendaraan umum hanya sekitar 44,1% dan kendaraan pribadi 55,9%. Padahal, setiap hari mobil pribadi mengangkut 3 juta kursi kosong melewati jalan tol di wilayah DKI Jakarta. Jumlah itu sekitar 33% dari total kursi kosong dari kendaraan pribadi yang melewati jalan-jalan Ibu Kota.
Apa makna angka-angka itu? Angka-angka itu mestinya amat berarti bagi pemerintah Jakarta dalam membuat kebijakan di bidang lalu lintas. Pertama yang paling sederhana adalah mengatur pembagian jam masuk truk dan kontainer ke tengah kota. Misalnya truk dan kontainer hanya boleh melintasi tengah kota pada tengah malam sampai subuh. Atau mengalihkan kendaraan tersebut melewati ruas tol lingkar luar (JORR).
Kedua, membuat kebijakan di bidang kepemilikan kendaraan. Kepemilikan kendaraan setiap keluarga dibatasi dan mereka boleh memiliki kendaraan baru, tapi kendaraan lama harus dienyahkan. Selain itu, kendaraan dalam usia tertentu harus dibesituakan. Dengan demikian, pertumbuhan populasi kendaraan seimbang dengan pertumbuhan infrastruktur.
Ketiga, dalam jangka panjang mengatur kembali tata ruang. Pemerintahan yang berorientasi ekonomi menciptakan penzonaan peruntukan lahan yang homogen. Zona perumahan menjadi satu kelompok yang terpisah dari zona perkantoran dan zona pusat perbelanjaan. Akibatnya, sekitar 16 juta orang harus bergerak setiap hari di jalan-jalan di Jakarta yang kemudian menciptakan kemacetan.
Keempat, memperbaiki sistem transportasi massa. Sistem bus way, water way, monorel, dan nantinya subway harus menjadi satu kesatuan dan memerhatikan kesinambungan dalam mobilitas manusia.
Kemacetan di Jakarta sudah mencapai titik kulminasi. Pemerintah DKI harus segera mengambil solusi jangka pendek. Jangan menambah jumlah warga yang stres atau gila. Jangan pula mendorong warga menjadi beringas karena akibatnya pasti fatal.

Wednesday, October 31, 2007

Reformasi Birokrasi (lagi)!

Birokrasi adalah dunia dan seni tersendiri. Karena itu jika mau memperbaikinya haruslah dari arah yang benar dan cara yang benar. Sangat banyak tulisan atau ulasan ttg reformasi birokrasi ini (kita sebut saja RB). Namun nyaris hampir semua ulasan tersebut tidak mau menyentuh masalah fundamental. Yaitu perbaikan kesejahteraan dan sanksi pada sisi lain.

Hal ini sangat dihindari karena ternyata kemunafikan bangsa dan pemimpin yang berkuasa saat ini masih sangat besar. Kondisi ini diperparah lagi oleh perilaku menjurus diskriminasi atau katakanlah sudah diskriminasi dengan membedakan PNS satu institusi dengan institusi lainnya. Bagaimana bedanya dosen dengan pegawai Depkeu? Kira-kira demikian Mantan Rektor UGM Sofian Effendi memprotes diskriminasi perbaikan tunjangan di depkeu dengan perbaikan kesejahteraan dosen/profesor yang hanya berkisar Rp 3 jutaan sebulan, sementara Depkeu bisa membawa takehome pay sebesar Rp30-50 juta.

KOndisi perbaikan juga diperparah oleh kemunafikan banyak pihak sendiri tentang jabatan di birokrasi. Masih sangat banyak orang partai atau partisan dan para dosen sendiri yang berlomba mengejar jabatan di birokrasi. "Gaji boleh kecil, tapi sabetan...alah mak jang!!!" begitu kira-kira cemeeh masyarakat selama ini ttg PNS. Tapi cemeehan itu tidak mengurungkan niat berbagai pihak. Karena aji mumpung dan sementara, nanti kan mereka bisa balik ke kampus atau ke partai.

Siapa yang tidak silau ketika menjadi komisaris satu atau dua atau bisa tiga BUMN sekaligus di jaman ORBA; hal yang kelihatannya masih berlanjut hingga kini. TO some extent, malah tambah parah dan tambah halus permainannya.

KArena itu kita menunggu apakah para pejabat di Depkeu misalnya, setelah efektif menerima tunjangan jabatan per 1 Oktober 2007 lalu dengan jumlah yang "RUAR BIASA" besar itu, apakah masih dibiarkan menjabat komisasris di sini sana?

Sekali lagi, program RB yang dilaksanakan hari ini hanya akan menjadi kumpulan album kenangan atau nostalgia belakan jika tidak menyentuh dua hal dasar di atas. Gaji, bukan tunjangan yang harus diperbaiki dan pelaksanaan sanksi secara tegas tanpa diskriminasi.

Kasus pembunuhan MUnir menarik jika dilihat dari sisi birokrasi. MAntan Dirut Garuda dipersalahkan karena memberikan semacam SPPD kepada Munir yang dibuat setelah kejadian atau setelah yang bersangkuta melakukan perjalanan. Kasus sejenis sangat sering terjadi di tingkat pejabat birokrasi. Namun karena tidak ada masalah di diamkan saja. Bahkan sering terjadi seorang pejabat tinggi yang pergi berkunjung kesuatu tempat misalnya mendampingi isteri atau suami berdinas dan kebetulan meninggal dunia, maka SPPD bisa dibuat menyusul.

Banyak lagi hal-hal dan kasus RB yang terjadi dan sangat bertentangan dengan semangat peningkatan gaji dan pelaksanaan sanki. Sekali lagi, jika uasaha yang dilkukan untuk RB tidak berlandaskan keadilan thd kedua faktor tersebut, niscaya hanya akan menghabiskan anggaran dan menebalkan sifat kemunafikan.

Masih ingat kasus ROhmin Dahuri? atau pembelian tanah untuk gedung, atau juga pembangunan gedung MK yang sangat mewah di saat rakyat kekrangan subisidi bbm dan lain sebagainya.

Hal-hal itu semua terjadi karena lobbi, partai politik dan keinginan untuk tidak memperbaiki secara hakiki gaji PNS, tetapi senang menyalahkan mereka yang hanya bisa makan gaji untuk satu atau dua minggu. Tetapi, pejabat penuh dengan tunjangan dan fasilitas. LIhatlah berbagai jenis mobil ber CC besar berseliweran di jalan dengan pelat merah, pelat hijau, atau pelat merah yang dihitamkan oleh polisi setelah membayar sejumlah uang.

Ah....capek dech.

ES

====================

Selasa, 30 Oktober 2007
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/30/Politikhukum/3962105.htm

Birokrasi (1)Membentuk Sistem Berbatas Waktu

Sidik Pramono
Orang bisa jadi salah, tetapi bentuklah sistem yang benar untuk meminimalisasi tingkat kerusakan yang ditimbulkannya. Cepat atau lambat, sistem yang benar akan memagari pelaku di dalamnya berbuat menyimpang.
Ungkapan usang itu mungkin menjadi gambaran keinginan pemerintah melaksanakan reformasi birokrasi dengan menyiapkan seperangkat aturan untuk membentuk sistem birokrasi yang "benar", yaitu birokrat yang berfungsi pemberdayaan, fasilitasi, dan pelayanan. Rakyat berhak mendapatkan pelayanan memadai dari negara.
Dalam sejumlah rapat kerja dengan Komisi II DPR, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi menyebut sembilan rancangan undang-undang (RUU) yang akan dijadikan landasan hukum dan fondasi reformasi birokrasi, termasuk RUU Administrasi Pemerintahan yang drafnya digodok sejak sekitar tiga tahun lalu. RUU itu terinspirasi dari UU Prosedur Administrasi Negara Jerman (Verwaltungsverfahrensgesetz) yang dibuat pada 1976. Urgensi RUU ini, antara lain, adalah perlindungan masyarakat dari tindakan birokrat yang sewenang- wenang. RUU Administrasi Pemerintahan menjamin hak dasar warga negara dan terselenggaranya tugas negara sesuai dengan harapan dan kebutuhan rakyat.
RUU Administrasi Pemerintahan memungkinkan hak warga ikut mengawasi penyelenggaraan pemerintahan. Warga bisa mengajukan keberatan ke instansi pemerintah atau melalui Komisi Ombudsman Nasional (KON), atau melalui lembaga lain. Juga dimungkinkan bagi warga menggugat keputusan atau tindakan instansi pemerintahan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hak itu diyakini dapat memagari instansi pemerintah untuk tidak mengambil keputusan sewenang-wenang.
RUU itu jelas mencantumkan hak dengar pendapat pihak yang terlibat serta hak mendapat akses dan kesempatan melihat dokumen yang bisa mendukung kepentingannya dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan. Dengan adanya hak dengar pendapat, aparat administrasi pemerintahan wajib memberikannya sebelum membuat keputusan yang akibatnya memberatkan, membebani, atau mengurangi hak perorangan.
Upaya administratif adalah keberatan perseorangan, kelompok warga, atau organisasi terhadap isi atau pelaksanaan suatu keputusan administrasi pemerintahan. Keberatan ditujukan pada atasan dari pejabat administrasi pemerintahan atau badan yang mengeluarkan putusan administrasi pemerintahan.
Keputusan administrasi meliputi semua keputusan tertulis atau tidak tertulis, yang berisi tindakan hukum atau tindakan material yang bersifat konkret, individual, dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Keputusan elektronis juga dimungkinkan dan berkekuatan hukum yang sama dengan keputusan tertulis. Keputusan tidak tertulis harus diformalisasikan dalam bentuk tertulis atau elektronis, jika di dalamnya terdapat kepentingan pihak yang bersangkutan atau diminta oleh yang bersangkutan.
Upaya administratif ini diajukan selambat-lambatnya 30 hari sejak diumumkannya keputusan oleh pejabat administrasi pemerintahan. Jika keberatan diterima, atasan pejabat yang memutuskan bisa membatalkan dan/ atau memperbaiki. Upaya administratif bisa menunda pelaksanaan pelaksanaan keputusan itu, kecuali menyangkut penerimaan dan/atau pengeluaran keuangan negara, tindakan kepolisian yang tak dapat ditunda, atau menyangkut kepentingan umum yang sangat mendesak.
Salah satu materi penting lain adalah ikatan terhadap pejabat administrasi pemerintahan. Pejabat mesti bertanggung jawab dan terikat atas keputusannya selama dan setelah masa jabatannya. Karena itu, keputusan yang dibuat tidak boleh berlaku surut. Pelanggaran bisa berbuah sanksi, mulai teguran, pemberhentian, dikurangi hak dan/atau dicabut hak jabatan dan pensiun, serta publikasi melalui media massa.
Tantangan
Siapa pun tentu tak akan menolak gagasan besar yang menginisiasi RUU itu. Meski begitu, bukan berarti gagasan itu tanpa tantangan. Rakyat ragu karena gagasan besar pun terkadang lemah dalam implementasi. Kalau menjadi UU, diseminasi informasi masih merupakan problem mendasar di negeri ini. Apalagi jika masih banyak peraturan turunan dari UU itu yang harus disiapkan pemerintah.
Ketentuan dalam RUU pun potensial mengganjal keberatan masyarakat. Misalnya soal upaya administratif yang dibatasi pengajuannya maksimal 30 hari sejak pengumuman keputusan oleh pejabat administrasi pemerintahan. Problemnya, bagaimana jika batas itu terlampaui karena ketidaktahuan pihak yang terlibat? Merujuk pengalaman yang selama ini kerap dikeluhkan, adakah jaminan keputusan akan diumumkan secara luas?
Soal perkecualian dalam hak dengar pendapat serta hak mendapat akses dan kesempatan melihat dokumen pun bisa menjadi masalah tersendiri. Batasan "membahayakan kepentingan negara dan/atau melanggar kerahasiaan pihak ketiga" serta "untuk melindungi kepentingan umum; tidak mengubah beban individu atau anggota masyarakat bersangkutan; serta menyangkut penegakan hukum" bisa menjadi rumusan sumir. Administrasi pemerintahan bisa saja merumuskan secara sepihak.
Ketentuan diskresi pun berisiko menjadi masalah tersendiri. RUU memang menyebutkan, kewenangan pejabat administrasi pemerintahan dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah yang belum diatur dalam UU tidak boleh menjadi diskresi bebas (freies ermessen) dan sewenang-wenang (willkuerliches ermessen). Memang ada ketentuan, keputusan yang bersifat diskresi pun harus diberi alasan faktual dan hukum yang menjadi dasar pembuatan keputusan itu. Pejabat yang menggunakan diskresi juga wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dalam bentuk tertulis dan masyarakat yang dirugikan yang diselesaikan melalui proses peradilan. Ketentuan lebih detail mesti termuat dalam peraturan pemerintah yang diturunkan dari undang- undang ini nanti, seperti kapan diskresi boleh digunakan. Tanpa itu, diskresi akan menjadi kewenangan tanpa batas dan rawan diselewengkan.
Pengaturan soal keberatan masyarakat pun bakal memberikan beban tambahan kepada KON. Ketika masuk laporan keberatan ke KON, mereka harus memberikan rekomendasi kepada instansi yang mengeluarkan keputusan untuk memperbaiki sebagian, keseluruhan, atau bahkan membatalkan atau menyatakannya batal demi hukum. Demikian pula, PTUN bakal menerima limpahan perbuatan melanggar hukum administrasi pemerintahan oleh pejabat administrasi pemerintahan yang sudah didaftar tetapi belum diperiksa di pengadilan di lingkungan peradilan umum. Sudahkah institusi ini mengantisipasi bebannya begitu UU disahkan?
Pemerintah berencana segera menyampaikan draf RUU ke DPR dan ingin segera membahasnya, untuk dapat disahkan sebagai UU. Namun, menurut anggota Badan Legislasi DPR, Saifullah Ma’shum (Fraksi Kebangkitan Bangsa, Jawa Timur V), prosesnya masih lama. Sejauh ini RUU Administrasi Pemerintahan baru dalam tahap diputuskan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2008. Kesepakatan itu dicapai dalam rapat Baleg DPR dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) pada awal Oktober lalu.
Dari sisi proses dan prosedur, RUU Administrasi Pemerintahan tak mungkin diselesaikan cepat karena Menneg PAN masih "berutang" penyelesaian RUU Pelayanan Publik yang masuk Prolegnas 2007. RUU itu pun tak kalah urgensinya ketimbang RUU Administrasi Pemerintahan. "DPR dan pemerintah harus segera menyelesaikan dulu RUU Pelayanan Publik kalau mau RUU Administrasi Pemerintahan segera dibahas,"ujar Saifullah.
Saifullah sepaham, RUU Administrasi Pemerintahan diperlukan oleh Menneg PAN sebagai payung hukum reformasi birokrasi. Namun, keliru jika kemudian dianggap hanya RUU itulah yang menentukan efektivitas jalannya reformasi birokrasi. Apalagi, selama ini ada sejumlah peraturan pemerintah dan peraturan presiden yang bisa dijadikan landasan dan pedoman percepatan reformasi birokrasi.

Rabu, 31 Oktober 2007
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/31/Politikhukum/3963746.htm

Reformasi Birokrasi (2)Menanti Perlawanan Korupsi dari Dalam

Sidik Pramono
Bisa dibayangkan bagaimana jika mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan Andin H Taryoto dan juga Kepala Bagian Umum di Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Didi Sadili berani menolak "perintah" Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri untuk menghimpun dana nonbudgeter?
Kalau saja ada keberanian menolak perintah yang menyimpang, pasti tidak akan terjadi saling lempar tudingan antara mantan Kepala Biro Keuangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hamdani Amin, mantan Sekretaris Jenderal Safder Yusacc, dan mantan Ketua KPU Prof Nazaruddin Sjamsuddin mengenai siapa yang punya ide memerintahkan dan bertanggung jawab mengenai pengumpulan dana taktis dari sejumlah perusahaan rekanan. Kalau saja "perlawanan" dilakukan, bisa jadi para bawahan itu tidak harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Birokrasi negara ini terlihat semakin buruk ketika sistem tak memungkinkan seorang pegawai yang baik untuk melawan perintah atasannya yang menyimpang. Kasus dana nonbudgeter atau dana taktis di instansi pemerintah bukanlah hal baru. Barulah ketika KPK turun tangan, terbeberlah fakta mengenai praktik menyimpang di lembaga negara itu.
Bisa jadi, para pegawai negeri di Indonesia terjangkit gejala "kepatuhan buta" atas perintah atasannya. Perdebatan sulit dilakukan karena yang lebih dominan adalah ketakutan bahwa sanggahan bakal meninggalkan cap buruk yang memengaruhi kelanjutan kariernya.
Apalagi kalau ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian diimplementasikan begitu saja tanpa sikap kritis: "Setiap Pegawai Negeri wajib menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab."
Mentalitas birokrasi
Mengutip Ketua Program Magister Manajemen Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali (Kompas, 7/3/2007), ada dua kemungkinan yang membuat birokrasi kita tampak ragu, lamban. Para pejabat birokrasi selalu menunggu petunjuk karena hal itu merupakan bentuk ekspresi sopan santun kepada atasan agar tidak menonjolkan diri atau terkesan sok tahu. Namun, bisa juga hal itu terjadi karena superioritas atasan. Bawahan "terpaksa" meminta petunjuk karena atasannya menghendaki demikian.
Buruknya, bagaimana jika petunjuk yang diberikan atasan justru menyimpang? Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 mengenai Peraturan Disiplin Pegawai Negeri tercantum ketentuan bahwa pegawai "segera melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara/pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material".
Artinya, butuh kekuatan sangat besar, keberanian luar biasa, untuk melawan sistem yang dikendalikan individu bermental koruptif.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Taufiq Effendi dalam berbagai kesempatan menyatakan, RUU Administrasi Pemerintahan nantinya bakal menjadi instrumen untuk menangkal korupsi di birokrasi. RUU yang naskahnya sudah digodok di Kementerian Negara PAN sejak 3,5 tahun lalu itu diyakini bisa menjadi dasar hukum dan pedoman bagi setiap pejabat administrasi pemerintahan, mencegah penyalahgunaan kewenangan, dan menutup kesempatan untuk melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam draf RUU memang dinyatakan bahwa dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan, pejabat tidak berwenang terlibat dalam penetapannya jika merupakan pihak yang terlibat, kerabat atau keluarga pihak yang terlibat, ataupun wakil pihak yang terlibat.
Juga dilarang terlibat jika merupakan pihak yang bekerja dan mendapatkan gaji dari pihak yang terlibat ataupun menjadi pihak yang memberi rekomendasi terhadap pihak yang terlibat. Larangan itu juga berlaku jika ada hubungan khusus dengan pihak yang terlibat, seperti teman, tunangan, pengampu, dan pemelihara.
Pihak yang terlibat dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan dapat memberikan keterangan mengenai dugaan dan kecurigaan tentang keberpihakan pejabat dalam proses pengambilan keputusan.
Keberpihakan itu diartikan sebagai upaya untuk memengaruhi pembuatan keputusan yang menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya, antara lain dalam kegiatan bisnis maupun kegiatan sosial. Keterangan itu disampaikan kepada atasan pejabat yang bersangkutan. Berikutnya, atasan wajib menyampaikan secara tertulis keterangan itu kepada pimpinan instansi yang bersangkutan.
Namun, bagi Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin, perlu terobosan untuk menembus "kepatuhan buta" kepada atasan, sebagaimana membudaya di Indonesia. Di Jerman, pegawai negerinya bertanggung jawab penuh "secara pribadi" terhadap kesesuaian hukum pelaksanaan tugas kedinasannya.
Undang-Undang Pegawai Negara Bradenburg, misalnya menyebutkan, seorang pegawai berkewajiban melaksanakan perintah kedinasan. Dalam pelaksanaan perintah kedinasan itu, tanggung jawab terletak pada pemberi perintah. Seorang pegawai tidak harus tunduk pada perintah yang dalam pelaksanaannya bertentangan dengan undang-undang hukum pidana.
Kalaupun kemudian sanggahan itu diabaikan para atasan dan perintah dinas mesti dipertahankan, seorang pegawai harus melaksanakan perintah kedinasan itu, sepanjang dengan kesadaran bahwa perintah itu tidak melanggar ketertiban dan kejahatan pidana atau tidak melanggar serta melecehkan hak asasi manusia. Tanggung jawab pribadinya lepas dan atasannya harus memberikan pengesahan perintah itu secara tertulis jika diminta oleh penyanggahnya.
Jika timbul masalah pada kemudian hari, atasan pun tak bisa berkelit lagi. Kewajiban menyanggah bakal menjadi "kontrol internal", bagi pegawai bersangkutan dan sekaligus bagi para atasannya.
Jadi, tampaknya masih akan panjang jalan mewujudkan birokrasi yang bersih dari mentalitas koruptif. Butuh terobosan luar biasa, terutama dari dalam mesin birokrasi sendiri. Saling kontrol, saling mengingatkan, saling mengawasi merupakan budaya bagus yang mesti dikembangkan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan "perlawanan dari dalam". Jika diperintah untuk berbuat salah, kenapa mesti takut menyanggah?

Tuesday, October 30, 2007

Bandung Jawara Korupsi? May be!



Masih ingat citra kota Bandung dan Pemkot nya yang pernah mendapat predikat atau masuk kelompok terkorup di Indonesia beberapa tahun lalu?

Kiranya citra itu memang susah dilepaskan, lihatlah reklame sebuah atm BUMN kita yang mendominasi penunjuk arah dalam kota Bandung.

Kumaha, Eui? Nteu aya kamajuan?

Saturday, October 20, 2007

Terima kasih Ma"lezi"a

Mungkin kita harus mengambil banyak hikmah dari sederetan kasuspelecehan oleh warga atau pemerintah Malaysia kepada Indonesia. Mulai dari peristiwa penganiayaan Nirmala Bonata, Pemulangan TKI, Pemukulan Wasit karate Indonesia hingga "penahanan" anggota keluarga diplomat kita di negeri jiran tersebut.

Adalah suatu fakta bahwa Malaysia jauh lebih maju ekonominya. Begitu juga dalam berbagai sektor kehidupan lain. Namun apakah mereka juga jauh lebih baik? Belum tentu.

YAng pasti, banyak sekali generasi muda mereka tidak mendapat pendidikan atau informasi yang cukup ttg Indonesia, sebagai tetangga mereka. Nah ini tentu membuat gap informasi yang tidak mudah. ALhasil, buat sebagian orang malaysia, bisa saja citra Indonesia memang setara dengan citra TKW dan TKI yang bekerja keras dan digaji murah.

Karena itu tugas pemerintah Indonesia lah menjembatani gap informasi ini dengan berbagai cara. Yang pasti juga, jangankan tkw/i dan wasit..ingatlah ANwar Ibrahim saja juga harus di gips lehernya.

So ..lets work hard and stop just blaming!

Tuesday, October 09, 2007

Sydney bisa, mengapa kita tidak?

Pusing mengatur wilayah di bawah jembatan layang atau tol? Kelihatannya kita perlu belajar dari Sydney. Mereka mampu membuat kawasan dibawah jembatan layak dinikmati, baik sebagai jalur untuk pedestrian atau bahkan untuk stand pameran dan keindahan. Sayangnya Bang Yos..batal melanjutkan kerjasama sister city dengan jakarta.

Mudah2an terkabul, suatu saat.

ES

Diskriminasi dan Ketidakadilan





Semakin hari terlihat pemerintah semakin melupakan faktor keadilan dan diskriminasi. sebagai contoh terbaru.

1. Adanya "pemaksaan" cuti lebaran yang tadinya hanya bbrp hari sebelum dan setelah tanggal lebaran, kemudian diubah mendadak per tanggal 1 Oktober menjadi total kurang lebih 10 hari libur. ALhasil, semua pegawai hanya tinggal memiliki 1 hari cuti yang bisa bebas ia gunakan.

2. Pelaksanaan reformasi yang hanya memilih bbrp instansi seperti Depkeu, MA, Menpan DAN BPK yang akhirnya memberikan tunjangan sangat baik dan bahkan bisa melebihi perusahaan swasta yang bonafid. Sementara PNS lain tetap dengan gaji paling tinggi Rp 2,3 Juta dan tunjangan jabatan paling besar untuk eselon 1 sekitar Rp 5 jutaan. Sementara Depkeu diluar gaji bisa memperoleh tunjangan hingga Rp 40 juta bervariasi sesuai rate jabatan mereka.

PErtanyaannya, itu pemimpin indonesia pada kemana? KOk hal-hal mendasar seperti ini luput dari pembahasan dan pemikiran yang sebenarnya tidak rumit-rumit amat. Dampaknya jelas, pemerintah semakin tidak digubris. Wong mengatur lebaran aja yang enak-enak ndak bisa apalagi mengatur yang susah-susah. atau memang ada skenario yang membuat ini terjadi dan masyarakat semakin kehilangan kepercayaan kepada pemerintah atau dirinya sendiri.

Disamping berbagai contoh di atas, sangat banyak lagi contoh-contoh disekitar kita saat ini di Jakarta seperti pemaksaan pembangunan busway untuk ruas jalan yang sedang macet-macetnya (meski mungkin juga berguna nantinya), atau bisa dilihat banyaknya bongkaran di sekitar jakarta dan ditinggalkan begitu saja karena lebaran, atau juga bisa kita renungkan mengapa pemerintah masih harus membangun gedung kantor baru yang berujung kepada pembelian tanah seperti kasus KY, atau apa perlu sekarang membangun Gedung MK yang mencapai Rp 190an M yang sangat mewah, sementara banyak gedung sekolah roboh.
Dan lain sebagainya. Padahal kalau mau pemerintah bisa saja menggunakan gedung bekas bbrp asset pengemplang BLBI yang masih layak dijadikan kantor pemerintah, seperti DKP yang menggunakan gedung bekas Bank BHS di MErdeka Timur.

Akh.,.hanya keluh kesah bukan mengajak anda pesimis lho., tapi inilah faktanya Indoensia undergroung. JIka di CHina, masih terjadi kepala desa atau Camat yang mengintimidasi warga dan petaninya, maka di Indonesia...justru....rakyatnya berdiam diri dengan diskriminasi dan ketidakadilan. tanda-tanda apakah ini? Karena tidak ada PNS yang berdemo ketika Depkeu memotong SPPD dan menaikkan tunjangan mereka sendiri. APakah ini wujud kemunafikan karena nanti juga akan menikmati (one day) atau ini wujud ketidakberdayaan seperti investor yang dipermainkan aturan?

ANy answer?

Monday, October 08, 2007

UU ITE: JANGAN-JANGAN KITA TIDAK BUTUH!

Jangan-jangan kita memang tidak memerlukan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang sejak tahun 2001 sudah digagas pemerintah, namun sampai sekarang masih harus berjuang agar bisa dibahas dan jadi UU.

Mengapa saya katakan demikian? Karena kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari yang berurusan dengan transaksi elektronik, kita sudah mulai familiar melakukannya tanpa menyadari perlu tidaknya UU untuk transaksi tersebut. Sebagai contoh, untuk transfer dan pembayaran sejumlah uang untuk keperluan tertentu, sudah digunakan jasa perbankan dan ATM, baik via mesin ataupun melalui telepon tetap dan bergerak. Mau membayar tiket pesawat sudah bisa lewat ATM, misalnya untuk Garuda, Lion AIr dan Adam. Lalu tanda terima sudah diakui sebagai dokumen sah yang bisa ditukar dengan tiket di bandara. Hal yang sangat memudahkan dari berbagai keteledoran seperti tiket tertinggal atau hilang. Juga untuk transaksi pembayaran hotel dan booking.

Membeli tiket kereta api di Paris dan negara Eropa lain yang tidak berbahasa Inggris jauh lebih mudah via Internet. Jika anda nekat datang ke statsiun seperti Paris Nord dan lain-lain, maka saya jamin anda justru akan tambah bingung. Karena tidak akan pernah terlayani dengan baik, bukan karena masalah bahasa, juga budaya.

Pengalaman saya yang agak kebingungan mengatur waktu ketika mendarat di Sydney antara mau langsung pulang atau jalan-jalan telah tertolong karena adanya Internet dan Kartu Kredit. Dengan login ke bbrp website seperti wwww.wotif.com maka dengan mudah saya bisa melacak keberadaan hotel dan harga yang ditawarkan. tanpa takut transaksi gagal dan lain sebagainya saya dengan cepat dapat mengambil keputusan untuk tinggal menginap atau pulang langsug dengan pesawat. Pengaturan jadwal penerbangan dan perubahaannya juga bisa dilakukan via Internet. Sekali lagi, mudah, praktis dan tidak takut error dalam transasksi. Apakah karena di negara majua saja? Jelas tidak.

DUlu sewaktu BCA memulai transaksi on-line, saya sudah langsung menggunakannya untuk berbagai keperluan seperti pembayaran telepon, listrik dan kartu kredit. Namun memang karena ada orang iseng yang memplesetkan URL BCA, telah mengakibatkan BCA sendiri menambahkan alat untuk mengacak password yang diikuti bank lain. Celakanya penggunaan alat itu membuat tidak praktis dan saya sejak itu berhenti menggunakan transaksi online, kecuali hanya untuk melihat account masuk atau lain-lain.

Yang menjadi penting disini adalah, dalam kenyataannya...kita belum melihat perlunya UU ITE kalau hingga saat ini kita masih bisa menjalankan aktivitas sehari-hari. Juga dalam berbagai kesempatan di sektor hukum juga telah terjadi kemajuan dengan menganggap bahwa dokumen faks dan transaksi internet sudah bisa dijadikan sebagai alat buki di pengadilan (dalam proses), seperti halnya rekaman data base percakapan via ponsel.

ALhasil, mungkin kita tidak memerlukan UU ITE seperti digemborkan karena berbagai ketakutan yang tidak beralasan. Akh...masa iya.,..fasilitas teknologi harus mempersulit manusia pada ujung akhir pekerjaannya.

Mungkin saya keliru, tapi batin saya....sekarang merasa aman-aman saja tuh membayar kartu kredit via ATM, membayar telepon dan tagihan listrik juga. Membooking hotel dan pesawat serta membayarnya dengan kartu kredit via Internet.

Jadi...mungkin ada baiknya kita lupakan saja keinginan untuk membahas RUU ITE menjadi UU ITE yang pasti membutuhkan biaya banyak, padahal draftnya juga mungkin sudah ketinggalan jaman mengingat kemajuan pesat ICT dalam 4 tahun terakhir yang belum diakomodir oleh RUU tsb.

Any comment?

ES
=========
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/01/tekno/3885388.htm

Senin, 01 Oktober 2007

Transaksi ElektronikDi Luar Jangkauan Hukum?

Pada acara diskusi pencegahan korupsi privatisasi (divestasi) BUMN, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menegaskan kembali pernyataannya di Kompas 8 Juni 2007 bahwa tindak pidana pasar modal sulit ditindak. Konon, hal itu dikarenakan transaksi elektronik tidak diterima sebagai alat bukti di pengadilan.
Lebih dari satu dasawarsa transaksi bursa saham (Bursa Efek Jakarta) berbasis elektronik. Baik dari sisi penempatan dan mempertemukan order beli-jual antarbroker (JATS-BEJ) maupun proses penyelesaiannya (eClears-KPEI), serta penyimpanannya di rekening efek (scriptless: cBest-KSEI) dan dana (perbankan).
Kalau diurut ke penerima manfaat, transaksi broker tersebut berasal dari order nasabah melalui medium sistem elektronik basis data (on-line trading) maupun pita suara (rekaman pembicaraan telepon). Proses penyelesaian ke nasabah pun berbasis elektronik, yaitu rekening bank (kliring perbankan: BI-RTGS) dan sub-account rekening efek di cBest.
Berarti, pernyataan otoritas pasar modal mengonfirmasi bahwa transaksi BEJ berjalan tanpa koridor kepastian hukum. Padahal, saat ini rata-rata nilai transaksi hariannya telah mencapai angka sekitar Rp 4 triliun. Perputaran tersebut haruslah terbebas dari risiko bawaan sistem keuangan, yakni sarana kejahatan luar biasa pencucian uang.
Dari sisi prinsip tata kelola perekonomian, para pemimpin dunia (termasuk Indonesia), melalui konvensi PBB tentang antikorupsi (UNCAC) telah menyepakati pencegahan dan penindakan tindak pidana pencucian uang sebagai bagian tak terpisahkan dari tindak pidana korupsi itu sendiri. Tak usah kaget, di negeri ini penyakit inkonsistensi birokrasi telah menjadi lumrah untuk diterima sebagai kenyataan.
Terobosan hukum
Debat transaksi elektronik sebagai alat bukti hukum bermuara ke kitab undang-undang hukum beracara di pengadilan (KUHAP). Banyak kajian hukum cyber crime mengarah ke Pasal 184 KUHAP, yakni surat elektronik belum memiliki kekuatan hukum tertulis sebagai dokumen asli (fisik).
Alasannya, interpretasi keotentikan dokumen bisa menimbulkan debat kusir di pengadilan, yaitu munculnya argumentasi dokumen dipalsukan melalui fraud di sistem komputer itu sendiri (cyber crime). Itulah sebabnya, upaya terobosan hukum dilakukan untuk menegaskan unsur-unsur pidana cyber crime itu sendiri, melalui Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE).
RUU ITE telah diajukan sejak pemerintahan Megawati (2003) ke DPR. Saat ini statusnya masih dibahas di DPR. Lemahnya komitmen legislasi RUU ITE menjadi undang-undang tidak beralasan mengingat pemanfaatan transaksi elektronik (e-commerce) telah meluas, seiring perkembangan internet itu sendiri.
Dari sisi sistem dan kedudukan hukum, RUU ITE (apabila diundangkan) adalah sejajar dengan Undang-Undang Nomor 8 tentang Pasar Modal (UU PM). Dalam UU PM Angka 28 Pasal 1 telah diatur bahwa transaksi bursa adalah kontrak yang dibuat anggota bursa efek (broker) sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh bursa efek.
Sistem dan kedudukan operasional dan peraturan bursa sesuai perundangan harus mendapat persetujuan otoritas (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan/Bapepam-LK), agar tidak menjadi perbuatan melawan hukum. Berarti, transaksi elektronik di bursa telah memiliki kekuatan hukum perundang-undangan, dengan atau tanpa UU ITE.
Otorisasi keabsahan hukum transaksi elektronik di bursa telah diratifikasi seiring diterimanya sistem order melalui digital signature kode broker di sistem bursa (JATS, eClears, dan cBest) serta nomor rekening di sistem perbankan. Bahkan, kita tidak terbelakang dari sisi yurisprudensi diterimanya alur rekening dana sebagai alat bukti hukum di pengadilan.
Bukankah penetapan hukum oleh hakim di pengadilan menjadi sumber hukum itu sendiri (yurisprudensi), dengan catatan rekening bank (yang juga telah berbasis elektronik) dan pembicaraan (penyadapan) telepon telah menjadi alat bukti di pengadilan. Terlebih, terkait pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi melalui peradilan tindak pidana korupsi kerap melakukan terobosan hukum tersebut.
Di sisi lain, peratifikasian tindak pidana pencucian uang dalam sistem dan kedudukan hukum perundang-undangan Indonesia (UU Nomor 15/2002) menunjukkan verifikasi alat bukti transaksi keuangan antaryurisdiksi lembaga negara, yang semuanya berbasis elektronik, dapat dilakukan melalui kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Masa depan
Kalaupun ada interpretasi kekosongan hukum tentang alat bukti transaksi elektronik, terkait belum disahkannya RUU ITE, hal itu hanya menyangkut transaksi on-line trading di internet. Namun, saat ini hal tersebut belum terimplementasi secara teknis.
Dalam hal ini proses pengalihan sistem JATS dari jaringan tertutup LAN (local area network) di lantai bursa ke jaringan terbuka remote trading WAN (wide area network) masih dalam proses stabilisasi. Berarti, ratifikasi on-line trading masih dalam proses tercapainya implementasi integrasi sistem elektronik transaksi bursa (STP: straight through processing).
Kalaupun on-line trading akan diterapkan, sebagaimana terjadi di banyak negara, pasar modal dapat menetapkannya dengan atau tanpa UU ITE. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, UU PM memberi otoritas kewenangan untuk menetapkan persyaratan transaksi bursa.
Sikap frustrasi Bapepam-LK tentang transaksi elektronik, meski dimilikinya kekuatan sistem dan kedudukan hukum dan yurisprudensi beracara di pengadilan, melahirkan pesimisme "jangan-jangan UU ITE, jika diundangkan, akan mengalami nasib serupa, yakni lemahnya birokrasi menegakkan hukum e-commerce itu sendiri".
Apa masalah kita? Sistem hukum atau komitmen melaksanakan dan menegakkan hukum itu sendiri? Ini karena teknologi dengan standar keamanannya justru membuat transaksi ekonomi menjadi terlacak. Bukan sebaliknya, teknologi jadi sarana "alsani" (alasan sana sini) atas rendahnya komitmen birokrat untuk menciptakan sistem ekonomi negara yang bersih dan berdaya guna. Semoga Indonesia menjadi negeri yang lebih baik.
Yanuar Rizky Analis Independen Aspirasi Indonesia Research Institute (AIR Inti)www.elrizky.net

Ridiculous...Hanya 40% APBN terserap!

SUngguh keterlaluan! Bayangkan hanya 40%. Ini adalah buah ide sesaat yang terkadang sesat yang didapat ketika buang hajat.

KArena, katanya, diperentah oleh JK akhirnya MEnkeu mengeluarkan pemotongan SPPD sebesar 70% dari yang belum terserap. Nah..tentu saja pemotongan yang dilakukan terhitung Agustus lalu akan mengakibatkan seretnya pelaksanaan kegiatan proyek2 APBN, thus, rendahnya pencairan anggaran terutama untuk beberapa lembaga yang memang menggantungkan aktivitasnya dari SPPD.

Jadilah buah simalakama. Tidak dipotong SPPD serasa sirik karena SPPD DIknas besar sekali hingga Rp2.6 T. DIpotong, kkok semua departemen. Benar-benar simalakama.

DIkira gampang!

ES


http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/03/ekonomi/3889310.htm
Rabu, 03 Oktober 2007

Realisasi AnggaranInvestasi Pemerintah Hanya Terealisasi 40 Persen

Jakarta, Kompas - Investasi pemerintah yang ditandai dengan pengalokasian anggaran belanja modal dan barang dalam APBN Perubahan 2007 hingga kini hanya terealisasi kurang dari 40 persen terhadap total dana Rp 129,9 triliun. Hal tersebut disebabkan pelaksanaan proyek di departemen penyerap anggaran terbesar masih tersendat-sendat.
"Melihat sisa waktu yang hanya tinggal 3 bulan lagi, kemudian realisasi proyeknya masih rendah, secara logika saja sudah terlihat tidak mungkin menggunakan seluruh anggaran yang sudah ditetapkan," kata Dirjen Perbendaharaan Negara Herry Purnomo sesudah menghadiri diskusi panel tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan Peningkatan Kinerja Rumah Sakit di Jakarta, Selasa (2/10).
Menurut Herry, Departemen Keuangan (Depkeu) dapat memperkirakan tingkat penyerapan anggaran belanja barang dan modal tahun 2007 dengan memperhitungkan masa lelang setiap proyek. Masa lelang yang diperlukan untuk memulai sebuah proyek mencapai 50 hari. Itu artinya, awal penawaran lelang harus dimulai sejak Juli 2007 agar seluruh proyek terlaksana sebelum akhir tahun.
"Jika di awal Agustus sudah ditentukan pemenangnya, maka masih ada sisa tiga bulan untuk melaksanakan pekerjaan fisik. Kami sudah dapat melihat dari sana realisasi hingga akhir tahun," katanya.
Dalam APBN Perubahan 2007, anggaran belanja modal ditetapkan Rp 68,087 triliun atau meningkatkan dibandingkan dengan realisasi 2006 senilai Rp 54,95 triliun. Sementara anggaran belanja barang ditetapkan Rp 61,82 triliun, atau meningkat dibandingkan realisasi 2006 sebesar Rp 47,18 triliun. Anggaran belanja modal diarahkan untuk membangun infrastruktur penting bagi publik, seperti jembatan atau jalan. Belanja barang dialokasikan untuk keperluan perkantoran pemerintah, misalnya pengadaan peralatan komputer.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, anggaran belanja pemerintah secara keseluruhan baru mencapai 37,5 persen dari total anggaran Rp 752,37 triliun. Rendahnya realisasi belanja itu disebabkan antara lain karena beberapa departemen pengguna anggaran terbesar masih berupaya melaksanakan proyeknya.
Departemen itu adalah Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Perhubungan, dan Departemen Pekerjaan Umum. Mereka masih menghadapi kendala antara lain penunjukan satuan kerja yang lambat.
"Namun, saya perkirakan, seburuk-buruknya pelaksanaan anggaran 2007, minimal akan sama dengan realisasi tahun lalu," katanya.
Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2006, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, disebutkan realisasi anggaran belanja pemerintah pusat mencapai 92,01 persen karena didorong oleh realisasi anggaran belanja pegawai yang rutin dibayarkan setiap bulan. Namun, khusus anggaran belanja modal realisasinya mencapai 82,36 persen dari anggarannya Rp 66,72 triliun. Belanja barang mencapai 85 persen dari Rp 55,51 triliun. (OIN)

======

http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/1id25592.html
Menteri protes perdin dipangkas
Cetak
JAKARTA: Sejumlah menteri mempersoalkan kebijakan Menteri Keuangan yang memangkas belanja perjalanan dinas (Perdin) hingga 70%. Para pejabat itu meminta agar kebijakan tersebut dibahas dalam sidang kabinet.Menteri PU Djoko Kirmanto menegaskan surat Menkeu No. 384/ MK.02/2007-yang memangkas anggaran perjalanan dinas seluruh departemen dan lembaga (k/l) hingga 70% dari sisa anggaran yang tersisa per Jui 2007-sangat mengganggu program kerja departemennya.? "Saya jelas mengajukan protes. Mudah-mudahan akan ada pembicaraan di sidang kabinet. Bisa saja nanti ada petunjuk dari Presiden atau Wapres. Kami sudah menyampaikan kesulitan-kesulitan, karena pemotongan itu melalui Menko Kesra, Menko Perekonomian hingga Menko Polhukkam," tuturnya seusai buka puasa bersama di Istana Negara, kemarin.Djoko menjelaskan Departemen PU memprogramkan banyak perjalanan dinas untuk meningkatkan penyerapan anggaran dan kualitas pekerjaan. "Pokoknya kami minta ditinjau kembali, karena kebijakan itu memberatkan anggaran tahun ini dan tahun depan." Hal senada juga diungkapkan Menakertrans Erman Suparno. "Saya termasuk yang mengajukan protes dan minta dibicarakan di tingkat menteri koordinator."Erman menyatakan Depnakertrans memprogramkan banyak perjalanan dinas untuk mengantar sekaligus membimbing para transmigran di daerah penempatan. Meski demikian, dia mengaku tidak terlalu mempermasalahkan kalau memang kebijakan itu sudah menjadi keputusan. "Menkeu sendiri sudah memberikan respons yang cukup baik terhadap protes kami dan akan memberikan solusi untuk beberapa departemen," ujarnya. Selain Menteri PU dan Menakertrans, beberapa menteri kabarnya juga mengajukan surat keberatan kepada Menkeu Sri Mulyani Indrawari menyangkut pemangkasan belanja perjalanan dinas. Seorang pejabat eselon satu di Depsos menilai hasil pemangkasan biaya perjalanan dinas hingga 70% bukan menciptakan efisiensi, tetapi menghancurkan citra pemerintah karena program pengentasan kemiskinan akhirnya tidak berjalan."Sudah dua bulan ini program kegiatan dan proyek tidak jalan. Tepatnya sejak Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan, Depkeu, diterbitkan," ujar pejabat Departemen Sosial yang enggan dikutip namanya itu kepada Bisnis, kemarin. Dia menjelaskan program pemantauan birokrasi, penyuluhan, dan pendampingan program pemerintah tidak dapat diteruskan karena tidak ada dana.? "Depkeu meminta anggaran belanja perjalanan dinas direvisi, dan kami sudah memasukkan.? Tapi sampai sekarang persetujuan revisi itu belum dikeluarkan Depkeu." Pejabat tadi meminta agar kebijakan itu tidak berlaku umum di semua instansi pemerintah. "Kami setuju efisiensi. Tapi pemangkasan hingga 70% bukan lagi menciptakan efisiensi, melainkan mematikan program. Karena beberapa kegiatan terpaksa ditunda, bahkan dibatalkan."Bisa memahami Namun, Kepala BKPM M. Lutfi mengaku kebijakan Menkeu itu tidak mengganggu aktivitas instansinya. "Kita kan... bagian dari pemerintahan. Kita ikut saja kalau perintahnya begitu. Kita sesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi."Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro menyatakan mendukung kebijakan Menkeu karena efisiensi tersebut diharapkan dapat digunakan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, sehingga bisa memacu kegiatan ekonomi. "Biaya perjalanan dinas di departemen kami tidak terlalu besar kok."Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta juga mendukung kebijakan Depkeu. Namun, kedua menteri itu menolak memberitahukan apakah institusi mereka mengajukan surat protes atau tidak. "Kalau itu, saya tidak mau komentar," ujar Mari singkat.Di tempat terpisah, Mensesneg Hatta Rajasa menjelaskan kebijakan itu untuk menghemat anggaran pemerintah, khususnya biaya-biaya yang tidak produktif. Perjalanan dinas yang produktif, menurut dia, misalnya, yang terkait dengan proyek pembangunan, sedangkan perjalanan dinas yang dinilai tidak produktif adalah seminar dan sejenisnya."Intinya Menkeu ingin ada penghematan anggaran terhadap biaya-biaya yang tidak produktif. Jadi, agar SE itu tidak menghambat kinerja menteri dan pejabat negara, perjalanan dinas harus disusun secara akurat dan disertai target dari perjalanan tersebut," ujarnya di Kantor Presiden, kemarin.Hatta mengharapkan agar menteri dan pejabat negara dapat memastikan target yang akan dicapai sebelum melakukan perjalanan dinas, sehingga SE Menkeu itu tidak menghambat program pemerintah.Mensesneg mengaku selama dua bulan berjalan, beberapa menteri memang mengeluhkan SE tersebut. Namun,? keluhan itu hanya membutuhkan penyesuaian.Mengenai status hukum SE itu, Hatta berpendapat telah sesuai dengan kewenangan Menkeu sebagai bendahara negara. SE itu, katanya, sudah dipaparkan Menkeu dalam? sidang kabinet. "Tidak ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar."Menko Perekonomian Boediono menilai kebijakan itu dimaksudkan untuk menghemat anggaran negara, termasuk pemotongan perjalanan dinas menteri dan pejabat negara dengan syarat dan ketentuan tertentu.Boediono minta keputusan Menkeu itu tidak menghambat kinerjanya di luar kota atau di luar negeri.? "Saya setuju saja. Saya juga kena. Sampai saat ini SE itu tidak mengganggu tugas saya." (Neneng Herbawati)? (gajah.kusumo@bisnis.co.id/ erna.girsang@bisnis.co.id)Oleh Erna S. U. Girsang & Gajah Kusumo Bisnis Indonesia

Thursday, September 27, 2007

Ada apa dengan Bagir Manan?

Judul di atas adalah pertanyaan dari seorang pembaca MEdia Indonesia (27/9/07) yang mengatakan Bagir membuat keputusan sesuai maunya. "Menaikkan pungutan biaya perkara tanpa persetujuan Menteri Keuangan. Memperpanjang sendiri masa jabatan... Membolehkan hakim dan jaksa menerima bingkisan dari manapun. Mangkir dari pengadilan dan juga tidak mau diaudit BPK".

Apa yang terjadi di negeri ini. KOk semua dari semula membiarkan saja?

ES

Suap KY-KPK: Menjebak Terjebak?

Gak usah peduli mana yang benar. Menjebak atau terjebak? Satu yang pasti, KKN termasuk suap masih terus berjuang untuk berkibar di republik ini.

ES

====
Republika/http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=308491&kat_id=3

Kamis, 27 September 2007 7:43:00

KPK Tangkap Anggota KY

JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap anggota Komisi Yudisial (KY), Irawady Joenoes, dan rekanan pengadaan tanah bakal lokasi gedung KY, Rabu (26/9). KPK menemukan uang tunai Rp 600 juta di tas Irawady dan 30 ribu dolar AS di dua saku celananya. ''Sekitar pukul 13.00-13.30 WIB, penyidik KPK telah menangkap dua orang dengan inisial IJ dan FS,'' kata Wakil Ketua KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, kemarin.
Penangkapan itu dilakukan, jelas Tumpak, karena penyidik KPK menemukan bahwa Irawady tertangkap tangan menerima sejumlah uang. ''Uang disimpan di dalam tas, dan sebagian di dalam kantong bersangkutan.''
Irawady ditangkap di sebuah rumah di Jl Panglima Polim, Kebayoran Baru, Jaksel. Menurut Tumpak, Freddy mengaku telah memberi uang ke Irawady. ''Kita masih menyelidiki, belum dapat memberi komentar lebih banyak (mengenai modus dan motif pemberian uang),'' kata Tumpak.
Sesuai KUHAP, Irawady akan diperiksa KPK maksimal selama 24 jam. Selama proses pemeriksaan ini, status mereka sebagai terperiksa. Yang pasti, tegasnya, diduga terjadi perbuatan penyuapan atau penerimaan hadiah.
Menurut Tumpak, penangkapan ini merupakan hasil penyelidikan KPK sejak satu hingga dua bulan lalu. ''KPK melakukan penyelidikan kemungkinan ada suap dalam pengadaan tanah oleh KY.''
Mengomentari penangkapan itu, Ketua KY, Busyro Muqoddas, tak dapat menutupi keterkejutannya. ''Buat kami mengagetkan, mengejutkan, sekaligus musibah,'' kata Busyro.
Namun demikian, KY tetap mendukung dan menghormati proses hukum yang dijalankan KPK sesuai tugas dan kewenangan. Proses pembelian tanah yang akan dijadikan lokasi pembangunan gedung KY di Jl Kramat Raya 57 Jakpus itu, menurut Busyro, dilakukan sesuai peraturan perundangan.
Lahan seluas 5.720 meter persegi itu semula dimiliki Freddy Santoso dari PT Persada Sembada. ''Total harga pembeliannya Rp 46,991 miliar,'' ungkapnya.
Anggota KY, tegas dia, tidak diperkenankan terlibat dalam penentuan lokasi bakal gedung KY. Busyro juga mengatakan bahwa KY tak mengetahui hubungan Irawady dan Freddy.
Mengenai nasib Irawady di KY, jelas Busyro, masih menunggu hasil pemeriksaan KPK. Setelah itu, KY melakukan rapat pleno sesuai peraturan perundangan. Irawady saat ini menjabat sebagai Koordinator Bidang Pengawasan, Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim KY.
'Mau Menjebak, Tapi Dijebak'
''Saya mau menjebak, tapi dijebak. Uang itu tadinya akan saya bawa ke Kantor Komisi Yudisial untuk ditujukan kepada Ketua KY. Namun, ternyata kejadiannya seperti ini,'' kata anggota Komisi Yudisial (KY), Irawady Joenoes, saat dihubungi Republika melalui telepon selulernya di sela-sela pemeriksaan oleh KPK, Rabu (26/9) malam.
Irawady tak mau menjelaskan lebih lanjut soal kronologis penangkapannya. Menurutnya, hal ini menyangkut penugasan khusus kepadanya dalam rangka pengawasan internal yang harus dilakukan secara tertutup dan rahasia. Dia mengaku ditangkap di rumah kakaknya di Jl Panglima Polim, Jakpus. ''Yang mengajak pertemuan adalah Freddy,'' paparnya. one