Friday, October 31, 2008

detik Finance: Barometer Bisnis Anda | PGN Raih Laba Rp 2 Triliun

Mungkin saatnya PGN membuat anak perusahaan yang bertugas untuk melayani masyarakat miskin atau tidak mampu untuk memenuhi pasokan gasnys. Bisa saja mekanisme PSO atau CSR.

Edd

detik Finance: Barometer Bisnis Anda | PGN Raih Laba Rp 2 Triliun

Monday, October 27, 2008

Dinilai Progresif, Menpan Dianugerahi Doktor HC Undip Semarang

Terlepas dari setuju atau tidak, pro atau kontra, bagi saya pemberian gelar Doktor atau Profesor kepada para pejabat, terutama menteri yang sedang menjabat, rasanya seperti menonton ludruk yang tidak lucu. Mengingatkan saya akan beberapa institusi di zaman orba yang mempunyai kekuatan politik maupun birokrasi, dengan tenangnya bisa menjelma menjadi institusi pendidikan yang mungkin paling canggih di dunia. Betapa tidak, saking kuatnya pengaruh institusi ini, maka seorang pejabat yang masuk hanya bergelar S-1, maka seketika setelah selesai menjabat di sana bisa melenggang kangkung menyandang S-3, bahkan juga tidak kurang diberikan gelar Guru Besar.

Tidak mengerti saya, institusinya yang memang sebenarnya hebat atau perguruan tingginya yang bermental suap dan tolol. Kalau untuk pak Taufik, saya lebih baik no comment!

Bacaan terkait: Reformasi (Birokrasi) itu Mudah

********* 

detikNews : situs warta era digital | Dinilai Progresif, Menpan Dianugerahi Doktor HC Undip Semarang

Dinilai Progresif, Menpan Dianugerahi Doktor HC Undip Semarang

Triono Wahyu Sudibyo - detikNews




Courtesy Detik.com (foto: Dikhy Sasra/detikcom)

Semarang - Menpan Taufiq Effendi dinilai sebagai menteri yang progresif, inovatif, dan kreatif. Univeristas Diponegoro (Undip) pun menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa.

Penganugerahan digelar di Gedung Prof Sudharto Undip Tembalang, Senin (27/10/2008). Selain civitas akademika, sejumlah pejabat setingkat dirjen dan pejabat Jawa Tengah hadir dalam acara tersebut.

Guru Besar Undip, Satjipto Rahardjo yang didaulat membacakan sambutan tim promotor mengatakan, penganugerahan itu tidak dilakukan hanya karena Taufiq seorang menteri, tapi karena gagasan dan kapasitasnya.

"Kalau toh itu dikaitkan, berarti jabatan menteri telah tuan (Taufiq Effendi) gunakan secara sungguh-sungguh dalam mengimplementasikan gagasannya," katanya.

Sebelum memberi gelar, tim promotor telah menggelar diskusi dan seminar sebagai sarana bagi Taufiq menyampaikan gagasannya. Tim menilai Taufiq lolos dengan cukup memuaskan karena mempunyai gagasan yang progresif, inovatif, dan kreatif mengenai birokrasi.

Sementara Taufiq Effendi mengatakan, saat ini, yang dibutuhkan birokrasi bukan persoalan wewenang, tapi peranan. "Bukan apa wewenang saya, tapi apa peranan saya," katanya.

Birokrasi juga tidak boleh berpikir output, tapi outcome. Mindset seperti itu yang harus dilakukan agar birokrasi lebih efektif dan efisien dalam melayani masyarakat.

Taufiq merupakan orang keenam yang mendapat gelar doktor HC dari Undip. Sebelumnya, Undip memberi gelar HC kepada Ali Alatas (28 Nopember 1996), Alm Yang Dipertuan Agung X Malaysia (11 Oktober 1997), Menteri PU Djoko Kirmanto (15 Oktober 2005), Burhanudin Abdulan (3 Juni 2006), dan Sutiyoso (4 Agustus 2007).(try/djo)

Aha.... | PLN Ingin Tarif Listrik Naik 30%

Betapapun benar alasannya (jika itu memang benar), membicarakan rencana keinginan untuk menaikan tarif hingga 30 % ketika semua lapisan sedang lintang pungkan merapihkan diri akibat krisis finansial, mencerminkan dangkalnya sensitivitas pejabat di Kantor Pusat PLN. Jangan lupa pemerintah dan rakyat (melalui DPR) telah bermurah hati menyediakan subsidi BBM dan listrik sekitar (Rp 180 T) untuk TA 2009. Artinya PLN telah mendapat subsidi berlipat-lipat: (a) dari harga BBM; (b) subsidi listrik sendiri: dan (c)...PLN juga telah menaikkan TDL sepihak sejak bulan sekitar Juni 2008 (bisa dibandingkan bill listrik anda dengan sebelumnya, telah mengalami kenaikan cukup berarti).

Sekali lagi, meski kita pahami banyak institusi pemerintah yang menunggak, atau masyarakat yang me maling listrik denganberbagai cara, sudah selayaknya PT. PLN juga memperbaiki management internal mereka guna penyehatan BUMN itu secara khusus, juga sebagai bagian penting dalam memperbaiki kehidupan ekonomi masyarakat, khususnya memperbaiki sektor riil dari keterpurukan.

Semoga berhasil, tapi jangan mengutamakan dari kenaikan tarif yang semakin menumpulkan daya beli masyarakat yang sekaligus memperberat peluang orang berusaha.

detik Finance: Barometer Bisnis Anda | PLN Ingin Tarif Listrik Naik 30%
(courtesy: detik.com)

PLN Ingin Tarif Listrik Naik 30%
Alih Istik Wahyuni - detikFinance



Foto: Indro-detikFinance

Jakarta - PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) PLN menargetkan bisa menghapus subsidi listrik pada 2010. Tapi untuk mencapainya, Tarif Dasar Listrik (TDL) disarankan naik sebesar 30% pada 2010.

Demikian disampaikan Dirut PT PLN (persero) Fahmi Mochtar disela Hari Listrik Nasional di Gedung PLN Pusat, Jalan Trunojoyo, Jakarta, Senin (27/10/2008).

"Kita ingin PLN memiliki kemandirian pada 2012. Termasuk agar masalah keuangan bisa berasal dari internal. Karena saya kira kenaikan 30% di 2010 masih wajar," katanya.

Menurut Fahmi, tarif listrik di Indonesia merupakan yang termurah se-ASEAN. Jika dibandingkan, tarif listrik di Indonesia hanya sekitar US$ 7 sen/kWh. Sementara di Malaysia sekitar US$ 10 sen/kWh, bahkan Singapura lebih dari US$ 20 sen/kWh. "Jadi ada distorsi dari sisi kompetitif," katanya.

Ia mengakui, tarif listrik yang ditetapkan pemerintah juga mempertimbangkan daya beli masyarakatnya. Namun baginya, harus ditentukan dengan jelas, masyarakat seperti apa yang benar-benar berhak menerima subsidi.

Penghapusan subsidi listrik di 2010 memungkinkan karena dengan adanya program 10.000 MW maka PLN bisa menurunkan biaya pokok penyediannya (BPP). Dengan begitu, BPP yang merupakan harga keekonomian listrik bisa makin mendekati tarif dasar listrik yang ada.(lih/ddn)

Thursday, October 23, 2008

What a Pity: Efforts seen to unseat Sri Mulyani

Sungguh menyedihkan apa yang diperlihatkan segelintir elit bangsa kita. Jika apa yang disinyalir The Jakarta Post (JP) di bawah ini benar, maka sulitlah dibantah bahwa memang ada segelintir umat manusia di bumi Indonesia ini yang tidak menginginkan negerinya aman, damai, dan mampu melewati krisis finansial yang berpotensi menjadi krisis ekonomi ini.

Sungguh sulit diterima akal sehat, jika hanya untuk untung sesaat banyak orang yang ingin menangguh di air keruh. Apakah itu di lantai bursa atau juga di money changer dan di belakang dealing room. Jelas arah yang dituju adalah menciptakan kekalutan dan kepanikan, sehingga masyarakat terpancing panik baik di sisi keuangan seperti menjual saham mereka, menukarkan dollar atau rupiah, atau juga bisa dengan melakukan rush di bank nasional yang tentu saja berdampak buruk bagi bangsa dan negara.

Sudah saatnya kita bersatu dan mendorong kepentingan masyarakat diletakkan di atas kepentingan golongan dan partai. Kita tentu merasakan suatu keberpihakan dari seorang Sri Mulyani kepada kelompok terbesar masysarakat kita ketika menolak membantu para pelaku usaha yang memang semestinya dan sewajarnya mengalami untung dan rugi.

Bisakah kita bersatu tanpa harus mengorbankan pribadi seorang Menteri yang sudah meninggalkan pekerjaannya dan lingkungan yang relatif lebih enak dari pekerjaannya sekarang? Ah..mari dengarkan nurani anda dan doakan Indonesia bisa melewati krisis demi krisis untuk menjadi suatu bangsa yang besar. Jalan sudah terbuka, jangan mundur lagi bung!

Wassalam,

Edd

Efforts seen to unseat Sri Mulyani: Sources | The Jakarta Post

Efforts seen to unseat Sri Mulyani: Sources

Rendi A. Witular and Aditya Suharmoko , The Jakarta Post , Jakarta | Wed, 10/22/2008 10:53 AM | Headlines

Vested interests are launching a covert attempt to replace Finance Minister Sri Mulyani Indrawati following her stern moves to guard the state budget from abuse and clamp down on violators, sources say.

Efforts to topple the "iron lady" intensified after she turned down requests from a major conglomerate for government assistance in saving its business empire in the wake of the global financial meltdown, sources said.

"Speculation has been rife for the past two or three weeks. I think the political motive is bigger than those of the economy, with the market showing confidence in the minister," said Andi Rahmat, a member of the House of Representatives' Commission XI, which oversees financial affairs, on Tuesday.

Andi said a possible replacement for Mulyani, proposed by the vested interest, was Darmin Nasution, the Finance Ministry's director general of taxation.

"It's going to be a very risky move by President Susilo Bambang Yudhoyono to replace Mulyani at a time when a figure like her is badly needed to shield Indonesia from the impact of the global downturn," he said.

Finance Ministry sources and some businessmen said one of the moves being made to discredit Mulyani was to promote an image of her as lacking nationalism, a sentiment widely touted since her appointment as minister back in 2004.

Mulyani's previous post as an executive at the International Monetary Fund (IMF) has been used by her opponents to question her nationalism following criticism over the agency's poor performance in helping the country survive the late-1997 Asian financial crisis.

Economist Faisal Basri, Mulyani's close friend and former colleague at the University of Indonesia, blamed certain parties, inconvenienced by Mulyani's moves to deal with the financial meltdown, as the main sponsors of the efforts.

"There are some politicians who suffered losses from the havoc in the stock market. Besides, knowing Mulyani well, it is not her 'style' to take a policy of suddenly closing down the stock market," he said.

Faisal added it was unlikely Mulyani would be replaced by Darmin -- a close confidant of hers and a mentor during her time at the University of Indonesia.

Ministry sources say businessmen involved in violations in the mining sector, the customs and excise business, and the tax sector were among those teaming up with businessmen who recently got burned in the stock market and could not recover their losses.

Mulyani has been praised for her efforts in reforming the once corruption-infested customs and tax offices, including refusing to allow 10 helicopters belonging to a firm linked to Vice President Jusuf Kalla to pass through customs before paying duties.

Her courage was on show again when she ordered state-run Bank Mandiri to transfer disputed funds worth Rp 1.23 trillion (US$ 126 million) from Hutomo "Tommy" Mandala Putra, son of the late former president Soeharto, to the state account for development use.

However, her latest move in refusing to help a politically wired business group has ignited a backlash of rage which may cost her her job unless Yudhoyono ensures Mulyani remains in her post until his administration ends.

Finance Ministry spokesman Samsuar Said said the "cost will be too expensive for the Cabinet" if Mulyani leaves before the current administration ends its term next year.

"Use common sense. What is the motive in this kind of situation for unseating her?" he said.

Economist Pande Raja Silalahi said some businessmen were likely offended by Mulyani's statement during a recent speech at the office of the powerful lobby group the Indonesian Chamber of Commerce and Industry (Kadin).

"I am the Finance Minister, my job is to protect the state fund. Companies have a job to protect their own financial affairs. If they fail, it is their fault and they deserve to go bust," said Pande, quoting Mulyani.

Saturday, October 11, 2008

Otokritik: Tentang Panik itu.

(Hanya untuk edisi online, tidak dipublish dimedia cetak.)

Birokrasi diciptakan bertujuan antara lain untuk mengatur dan memberikan pelayanan publik oleh negara kepada penduduknya. Untuk itu ia diberi upah sepadan agar pelayanan bisa sampai dan diberikan sesuai standar dan aturan yang telah ditentukan. Singkat kata, dalam menjalankan tugasnya, birokrasi biasanya tidak sebebas kelompok swasta atau berbagai entitas bisnis lainnya. Karena itu dari dulu dikenal rigiditas birokrasi.

Namun dalam perkembangannya, seiring dengan berjalannya reformasi, terjadi juga berbagai perubahan. Dari dulu birokrasi sering dikambinghitamkan dalam munculnya berbagai persoalan ditengah-tengah bangsa dan rakyatnya. Birokrasi dan aparatnya sering dipersalahkan. Karena itu, untuk memperbaiki pelayanan birokrasi, sering pula ditempuh berbagai jalan pintas yang dianggap "boleh-boleh saja" mengingat tujuannya mulia. Namun kebiasaan memilih dan menggunakan jalan pintas ini tidak diiringi denganperbaikan dan perubahan sistem pelayanan secara sistematis dan berdasarkan aturan yang ada.

Salah satu yang paling sering dilanggar atau dilakukan adalah melaksanakan pekerjaan diluar jam kerja. Beberapa kantor pemerintah sangat sering melakukan ini, termasuk Kantor Kepresidenan, Wapres, Sekneg hingga berbagai kantor Kementerian/Lembaga (KL). Semua nya dilakukan dengan berbagai alasan. Celakanya lembur atau kerja diluar hari kerja dan jam kantor sering sekali kebablasan. Dulu ketika pekerjaan harus dilakukan diluar kota, tidak ada masalah karena Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) masih memberikan biaya yang diperlukan dalam bentuk lumpsum yang bisa cukup flexible digunakan. Namun sejalan dengan perbaikan kondisi PNS dan perbaikan sistem penganggaran, sekarang SPPD beralih ke sistem "at cost", yang belum sepenuhnya "at cost". Seperti biasa, kondisi transisi memang akan selalu membawa korban.

Al hasil, kondisi birokrasi yang terjadi saat ini sangat tergantung kepada "penafsiran" pemimpinnya dilapangan. Meeting bisa dengan seenaknya dilaksanakan jam 7 malam, atau 5 sore ketika pegawai dan sistem birokrasinya sudah mau pulang ke rumah masing-masing. Ah..dianggap biasa. Atau bisa diadakan di hotel di tengah kota dan berlangsung 1 hari penuh atau 2 hari penuh. Ada yang disediakan penginapan, terkadang, seperti yang saya alami minggu lalu, meeting yang menyita waktu dan tenaga di adakan di sebuah hotel di daerah kota, tapi tidak disediakan penginapan. Honor yang diberikan juga hanya cukup untuk biaya transportasi atau membeli bensin dan membayar parkir yang mencapai Rp 20.000 satu haru. Sungguh suatu siksaan bagi yang rumahnya jauh dari kota. Dan berbagai variasi lainnya yang sangat sering tidak sejalan dengan aturan maupun tata cara pembiayaan kegiatan pemerintah.

Kebiasaan-kebiasaan ini sering diperburuk oleh kondisi pimpinan yang kebetulan juga ketua suatu partai atau organisasi sosial dan kemasyarakatan, dimana sempitnya waktu membuat tugas utamanya di pemerintahan sering dinomorduakan. Tidak jarang justru "prime time" ketika semua staf sedang fresh dilewatkan begitu saja karena pimpinan asyik masyuk rapat dengan partai atau organisasi yang dipimpinnya. Baru setelah pimpinan loyo di sore hari, buru-buru rapat dengan stafnya yang juga sudah loyo menunggu di kantor seharian dan sibuk memikirkan cara menghindari kemacetan.

Suatu yang sangat memprihatinkan juga terjadi di era kabinet sekarang, setelah pemerintah melegalkan staf khusus di berbagai tingkatan pemerintahan. Staf khusus ini bisa disetarakan dengan pejabat struktural hingga ketingkat eselon 1, meski umur, pengalaman, dan kepangkatan jauh dari cukup. Namun "power" yang dimiliki dan kedekatan dengan pimpinan, menteri misalnya, telah membuat pejabat karir atau struktural menjadi pasif dan lebih memilih "cari aman" dengan tetap tampil manis tapi sebetulnya tidak melakukan porsi kerja birokrasi yang menjadi tugasnya. Jelas ini suatu langkah yang "smart di tengah kebodohan" karena pejabat tersebut akan tetap terpakai, dimana jabatannya tidak hilang karena tidak terjadi gesekan dengan staf khusus. Namun jelas jika dilihat dari sisi mikro-birokrasi pejabat bersangkutan memilih jalur "produce zero". Kan lebih baik karena dengan tidak memproduksi apa-apa, tidak terjadi kerugian, tapi jabatan tetap di tangan. Bandingkan jika pejabat bersangkutan memilih lebih kreatif dari staf khusus tadi, bisa tergusur dia dari jabatan dan pulang tinggal membawa gaji yang hanya cukup untuk membayar tagihan telepon, listrik, Internet, dan bensin.


Dari uraian dan kondisi di atas, maka ketika pemerintah justru mengadakan rapat dihari libur panjang (Minggu 5 Oktober, diluar hari kerja dan diluar jam kerja) dalam rangka antisipasi krisis jelas ini memberikan sinyal yang salah kepada investor dan spekulan. Apalagi esok Seninnya (6 Okt) nyaris seluruh media cetak dan elektronik seolah sepakat memampangkan headlines "bla..bla...tidak perlu panik...bla..bla". Jelas kondisi ini tidak logic. Rapat dadakan diadakan di hari libur, kok beritanya menyatakan tidak perlu panik dan pemerintah disiratkan tidak panik? Jelas sekali lagi sinyal yang salah, apalagi dilihat dari aturan birokrasi yang berlaku. Tapi sayang memang semua sudah terlanjur terjadi. Maka bagaikan air bah...goyangan dan sentimen negatif dan positif bergantian menerpa bursa dan mempuruk kesan akan kemampuan pemerintah mengendalikan krisis yang semestinya bisa dilakukan dengan lebih "cool".

Perlu kiranya juga untuk tetap diingat bahwa perjanjian jual beli divestasi saham Indosat dulu dengan Temasek (SPV nya ICL) juga dilaksanakan di luar hari kerja dan jam kerja, persisnya di Minggu malam di penghujung tahun itu. Namun perjanjian yang ditandatangani tidak dalam "office hour", bisa diakui seseatu yang "official". Poin saya adalah, praktek-praktek di zaman lalu juga belum terlalu berubah banyak dilantai bursa dan sektor finansial kita hingga saat ini.

Makanya janganlah heran bursa yang belum tahu persis kondisinya ditutup, dibuka, batal dibuka, dan masih tertutup hingga minggu depan. Begitu pula kondisi yang masih sangat belum mature sudah disebutkan sebagai sesuatu yang sudah sangat predictable dengan pernyataan di headline seperti hari ini "Tidak akan Menjelma Menjadi Krisis"(Kompas, 11/10/08). Mengapa kita harus langsung demikian yakin. Tidak adakah ruangan untuk merendah diri dan tidak berlaku arogan ditengah ketidakpastian dunia yang sangat "unpredictable" ini.

Beginilah nasib bangsa jika birokrasi yang memang di seluruh dunia diperlukan untuk mengatur kehidupan kenegaraan, justru diperlakukan dengan sikap munafik. Di pandang sebelah mata. Apakah mungkin berbagai data akurat akan bisa didapat ketika para pejabatnya sendiri sedang libur panjang? Dan justru hasil sesaat ini sekarang menjadi trend untuk digunakan dalam proses pengambilan berbagai keputusan penting. Al hasil, seperti kata salah seorang teman saya di facebook nya, "pemerintah panik karena keseringan menyatakan jangan panik dan tidak perlu panik." Sementara PR tidak pernah dikerjakan secara profesional dan satu kesatuan atau tim.

Panik? Ah mudah-mudahan teman saya itu keliru.

E. Satriya
Pemerhati Reformasi Birokrasi

_______

Friday, October 10, 2008

Pool Taksi dan ulah pengemudi yang merugikan pengguna jalan.





























Keamanan berkendara biasanya bisa muncul dari tenggang rasa. Jika itu juga sudah langka, maka ia harus diciptakan atau ditegakkan dengan aturan. Namun sayangnya kenyamanan itu sering lebur dan tidak bisa dirasakan karena, bukan ketololan, tetapi lebih karena ketidakmampuan masyarakat jujur terhadap hatinya. Alhasil, asal saya enak, kamu susah gak perlua saya pikirkan.

Kondisi di atas terjadi dalam keseharian dan kita saksikan di banyak tempat. Salah satunya adalah sebuah pool taksi terkenal di daerah Pondok Cabe, persisnya di jalan raya Parung-Ciputat, sudah dekat perempatan Pondok Cabe-Pamulang-Ciputat-Parung.

Taksi yang punya halaman parkir cukup luas, selalu memanfaatkan bahu dan sebagian badan jalan untuk parkir, terutama di pagi hari. Entah mengapa, atau memang tidak pada lagi tenggang rasa itu, para supir yang sudah dapat "batangannya" justru parkir berjejer di pinggir jalan dan mengundan bahaya. Mestinya jika administrasi sudah selesai sang supir dan mobilnya harusnya sudah bisa mencari muatan di jalan. Ini sebaliknya, setelah dapat mobil, mereka parkir atau ada juga yang ngopi lagi...baru setelah itu jalan. Hanya kemalasan mengatur urutan pekerjaan akhirnya membahayakan pengendara jalan lain. Dan tidak jarang terjadi kecelakaan di sekitar lokasi karena lalu lintas yang padat, ditambah banyaknya taksi yang keluar masuk pool serta angkot yang berhenti menurun dan menaikkan penumpang.

Beberapa gambar di atas memberikan cerita yang lebih jelas.

Wassalam,

SPBU di tikungan dan tanjakan Cirendeu

 
Sekitar 5 bulan terakhir ini di tanjakan jalan Cirendeu setelah Jembatan di depan komplek Depdiknas, persisnya di pojok tikungan, sedang dibangun SPBU yang cukup besar. Kondisi yang sangat strategis untuk SPBU, tetapi juga sangat berpotensi menambah kemacetan pengguna jalan. Meski gambar di atas agak gelap, satu yang pasti, kemacetan diperkirakan akan bertambah parah. Lokasi yang sebelumnya berupa rumah kecil dengan tanah luas telah disulap menjadi SPBU. Parahnya lagi, dengan maksud baik memperlebar selokan, para tukang dan pekerja secara sembrono telah menggali fondasi tiang listrik yang cukup besar dengan tegangan menengah tanpa memperhitungkan kekuatan struktur. Hasilnya? seperti terlihat di gambar, tiang itu kini MIRING dan tinggal menunggu putusnya kabel ke seberang jalan yang sekaligus "difungsikan" sebagai penyangga.

Pertanyaannya, sama dengan keberadaan Plasa Semanggi yang mematikan fungsi jembatan semanggi, KOK DI BERI IZIN YA? Money talk!

Tuesday, October 07, 2008

KOMPAS Cetak : Presiden: Pertumbuhan Jangan Sampai Turun

Sekali lagi prihatin. Ini pers yang salah kutip atau presiden yang salah ngomong. Atau presiden juga digiring agar kelepasan. Gimana nih pak Jubir presiden dan PR istana lainnya.

KOMPAS Cetak : Presiden: Pertumbuhan Jangan Sampai Turun

for my eyes only!