Monday, December 31, 2012

Kasus Dugaan Penyalahgunaan Frekuensi IM2 Mengancam 280 ISP | SWA.co.id

Kasus Dugaan Penyalahgunaan Frekuensi IM2 Mengancam 280 ISP | SWA.co.id


Kejaksaan Agung diminta segera menghentikan penyelidikan terhadap kasus PT Indosat Mega Media (IM2) yang dituduh merugikan negara, karena banyaknya kesalahan penafsirah hukum yang dipakai kejaksaan. Selain itu, Kejaksaan Agung juga diminta berkoordinasi dengan Menkominfo, yang secara tegas mengatakan tidak ada yang salah dengan kerja sama antara Indosat dengan anak perusahaannya tersebut. Demikian kesimpulan diskusi “Bedah Kasus IM2 dari Sisi Kelangsungan Industri Telekomunikasi” yang digelar Telkomedia Forum – Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
Diskusi tersebut menampilkan pembicara Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Setyanto P. Santosa, mantan Menteri BUMN Sofyan Djalil, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Telecommunication Law (ICTL) Sulaiman N. Sembiring, anggota BRTI, Nonot P. Harsono dan Dekan Fakultas Hukum Usahid Jakarta, Laksanto Utomo.
Menurut Sofyan Djalil, mantan Menteri BUMN yang saat ini berprofesi sebagai konsultan hukum, banyak sekali kesalahan penafsiran yang dilakukan Kejaksaan dalam kasus ini, yang berbeda sama sekali dengan penafsiran dari MenKominfo. Kesalahan penafsiran itu, menurut Sofyan, karena Kejaksaan tidak bisa membedakan antara jaringan dan frekuensi. “Kejaksaan menilai ada tindak pidana, karena dianggap IM2 menggunakan frekuensi Indosat tanpa izin pemerintah. Mereka tidak bisa membedakan, mana jaringan dan mana frekuensi. Padahal logikanya bukan begitu. Ini perlu diluruskan biar tidak terjadi salah tafsir terus-menerus,” tukas Sofyan.
Secara logika, menurut Sofyan, IM2 tidak mungkin menggunakan frekuensi bersama karena tidak mungkin ada dua pengguna menggunakan satu frekuensi. IM2 juga bukan penyelenggara jaringan, karena mereka tidak memiliki infrastruktur seperti BTS, dan lain-lain. IM2 hanya menyediakan layanan, seperti dongle internet, yang jaringannya milik Indosat.
Nonot P. Harsono beropini senada. Menurut dia, sejak awal, kasus IM2 penuh kejanggalan. Logika bisnisnya, perusahaan yang membangun jaringan menginginkan jaringannya dipakai banyak pelanggan. Oleh karena itu, bila ada perusahaan yang membuat strategi dengan menyerahkan layanannya kepada pihak lain, apalagi anak perusahaan, itu merupakan bisnis yang lumrah. Dalam kaitan ini, katanya, IM2 sama sekali tidak menggunakan frekuensi, karena yang menggunakan frekuensi itu pemancarnya.
Nonot menambahkan, bila pola pikir menggunakan frekuensi sama dengan menggunakan jaringan, nanti TV digital protes juga. Karena tv digital, satu pemacar dipakai 6 stasiun. BHP (biaya hak penyiaran) frekuensinya yang bayar adalah yang punya fekuensi, bukan 6 stasiun itu.
Sementara itu, Setyanto P. Santosa menjelaskan, tuduhan yang dialamatkan ke IM2 ini bisa berdampak luas kepada industri. Karena saat ini, ada sekitar 280 ISP (Internet Service Provider) yang pola kerja samanya sama dengan yang dilakukan IM2 dengan Indosat. Akibat kasus ini, bisa jadi nantinya 280 ISP ini bisa dituduh hal yang sama, bila kasus IM2 tersebut mulus sampai ke pengadilan dan diputuskan bersalah, maka akan mematikan 280 penyelenggara jasa internet dan terhentinya seluruh usaha pelayanan yang terkait internet di Indonesia. (EVA)

Sunday, December 23, 2012

Logika Galau Kejaksaan Agung di Kasus IM2

Sungguh sangatlah terlalu jika kasus yang diawali pemerasan dan ketika pemeras telah masuk penjara, lalu aparat justru melanjutkannya ketika Indonesia sangat perlu menaikkan daya saing ketika kita justru sedang gencar menuju negara maju melalui berbagai program pemerintah.

===============selamat membaca=====================

Jakarta - Bayangkan jika Anda adalah pemilik sebuah restoran di Grand Indonesia. Restoran tersebut sudah beroperasi sejak tahun 2006, melayani pelanggan dan memberi pekerjaan kepada pegawai. 

Selama beroperasi, Anda memiliki semua izin yang diperlukan untuk membuka usaha restoran. Anda tidak pernah lalai membayar pajak restoran dan berbagai kewajiban lain kepada negara, termasuk pajak. 

Tiba-tiba pada tahun 2012, datang aparat penegak hukum yang mengatakan bahwa Anda adalah koruptor. Penyebabnya adalah karena Anda telah secara 'ilegal' menjalankan usaha restoran di Grand Indonesia sehingga menyebabkan kerugian negara. Mengapa? Karena Anda tidak memiliki IMB dan tidak pernah membayar PBB!

Logika seperti itulah yang digunakan oleh Kejaksaan Agung dalam menangani kasus 'korupsi' akibat kerjasama IM2 dan Indosat.

Komunitas TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) terkejut dan beramai-ramai menyatakan keprihatinan. Tak kurang dari Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, berkali-kali mengatakan bahwa tidak ada yang salah dalam kerjasama tersebut. 

Tidak ada kerugian negara terkait dengan penggunaan frekuensi karena Indosat sudah melaksanakan seluruh kewajibannya. Dalam ilustrasi di atas, pengelola Grand Indonesia sudah memiliki IMB dan membayar seluruh kewajiban PBB sehingga Anda sebagai pemilik restoran tidak lagi dikenakan kewajiban itu. 

Menteri Kominfo bisa dikatakan sudah pasang badan. Tapi Kejaksaan Agung tetap pada pendirian. Mereka berdalih bahwa bukti mengatakan telah ada perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara. Bahkan 'audit' BPKP juga mendukung dugaan tersebut.

Awal Kasus

Dari berbagai pemberitaan di media massa, kasus ini berawal dari laporan Ketua LSM KTI (Konsumen Telekomunikasi Indonesia) ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Singkat cerita Kejaksaan Tinggi Jawa Barat melakukan proses penyelidikan dengan memanggil pihak-pihak terkait. 

Belakangan Kejaksaan Agung mengambil alih kasus ini dan tanpa membuang waktu, meningkatkan status dari penyelidikan menjadi penyidikan dan menetapkan tersangka, yaitu IA, mantan Dirut IM2. 

Dalam perjalanan, ketika kasus ini masih dalam proses penyidikan, Ketua LSM KTI (pelapor) telah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena berusaha melakukan pemerasan kepada Indosat.

Kejaksaan Agung mengatakan bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi yang diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 3,8 triliun. Nilai kerugian negara tersebut barangkali merupakan rekor korupsi tertinggi dalam sejarah Republik ini. Jika benar telah terjadi korupsi, maka kasus ini bukan hanya korupsi biasa, tapi super mega korupsi.

Kejaksaan Agung menilai bahwa dengan memberikan layanan internet broadband wireless melalui jaringan Indosat kepada masyarakat, IM2 telah 'berubah' menjadi operator seluler. 

Kerjasama IM2 dan Indosat telah memungkinkan IM2 menggunakan frekuensi yang seharusnya bersifat eksklusif dan hanya digunakan oleh Indosat. 

Berbasis logika tersebut, BPKP melakukan perhitungan dan menganggap bahwa IM2 juga harus membayar seluruh kewajiban kepada negara terkait penggunaan frekuensi dan manyatakan adanya kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun (berubah dari hitungan awal Kejaksaan Agung sebesar Rp 3,8 triliun).

Penggunaan Frekuensi

Di industri telekomunikasi, dikenal adanya penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa telekomunikasi. Masyarakat lebih mengenal penyelengara jaringan sebagai operator telekomunikasi, misalnya Telkom, Indosat, Telkomsel, XL, Axis, dll. 

Operator memiliki hak untuk membangun jaringan dan sekaligus menjual jasa dengan menggunakan jaringan yang dimilikinya. Sedangkan penyelenggara jasa menggunakan jaringan milik operator untuk menyelenggarakan layanannya. Misalnya CBN atau ISP yang lain, menjual layanan koneksi internet dengan menggunakan jaringan milik Telkom.

Kerjasama IM2 dan Indosat adalah kerjasama antara penyelenggara jasa (IM2 sebagai ISP) dengan penyelenggara jaringan (Indosat sebagai operator seluler). Karena Indosat adalah operator seluler, maka jaringan Indosat yang digunakan oleh IM2 menggunakan frekuensi. 

Menurut Kejaksaan Agung, karena IM2 tidak memiliki izin seluler, maka IM2 telah menjadi pengguna frekuensi ilegal. Dan karena IM2 tidak pernah menunaikan kewajiban kepada negara sebagai pengguna frekuensi, maka telah terjadi kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun.

Logika berpikir bahwa karena IM2 bekerjasama dengan Indosat dan Indosat menggunakan frekuensi dalam jaringannya, maka IM2 harus dikenakan kewajiban sebagaimana Indosat, bukan saja kurang tepat, tapi berbahaya.

Kerancuan Logika

Kembali pada ilustrasi di awal tulisan ini, jika seluruh tenant di Grand Indonesia harus mengurus IMB dan membayar PBB, maka akan terjadi keributan karena banyak pihak yang harus mengurus IMB dan membayar PBB untuk gedung dan tanah yang sama. 

Jika semua pihak yang bekerjasama dengan operator seluler untuk menggunakan jaringan seluler harus memiliki izin sebagai operator seluler dan membayar BHP Frekuensi, maka Kementerian Kominfo harus memberikan ratusan atau bahkan ribuan izin seluler. Tatanan industri akan kacau balau.

Sebagai contoh, layanan mobile banking yang disediakan beberapa bank besar di Indonesia melalui hampir semua operator seluler. 

Ketika mengakses layanan mobile banking, pengguna seluler bertindak sebagai pelanggan bank yang sedang mengakses rekeningnya. Dengan kata lain bank tersebut menyelenggarakan layanan perbankan melalui jaringan seluler. 

Tentu saja bank tidak memiliki izin seluler, tapi layanan mereka bisa dinikmati melalui operator seluler. Sama halnya dengan IM2 yang tidak memiliki izin seluler, tapi layanan akses internet yang disediakan oleh IM2 dapat dinikmati melalui Indosat. 

Jika IM2 dikenakan kewajiban membayar BHP Frekuensi karena menyediakan akses internet melalui Indosat, apakah BCA juga harus membayar BHP Frekuensi karena menyediakan layanan perbankan melalui Telkomsel?

Dengan kerancuan logika yang sama, maka setiap penyelenggara jasa yang menggunakan jaringan milik operator dan didalamnya melibatkan penggunaan frekuensi juga harus membayar BHP Frekuensi. 

Padahal bisa dikatakan bahwa hampir semua penyelenggaraan jaringan telekomunikasi melibatkan penggunaan frekuensi di dalamnya, baik untuk backbone maupun jaringan akses.

Tidak mengherankan jika komunitas TIK tersentak dan serempak menyuarakan keprihatinan. Jika IM2 dikenakan tuduhan korupsi karena menggunakan jaringan Indosat untuk layanan akses internetnya, maka ISP-ISP yang lain tinggal menunggu giliran saja. 

Masyarakat dan komunitas TIK tahu persis bahwa model kerjasama Indosat-IM2 tidak hanya dilakukan oleh kedua perusahaan tersebut, tapi oleh hampir semua penyelenggara telekomunikasi. 

Dan jika logika yang sama diterapkan untuk industri, maka Kejaksaan Agung akan semakin sibuk karena akan banyak tersangka korupsi baru.

*) Penulis, Fajar Aji Suryawan merupakan pengamat dan praktisi telekomunikasi. Yang bersangkutan bisa dihubungi di fajaraji@gmail.com.


SUmber: Dari detikinet Pls click Detikcom disini

Tuesday, December 18, 2012

Cukai Pulsa

Sungguh keterlaluan kalau pemerintah kesampaian memberlakukan cukai atas penjualan pulsa telepon. Betapa tidak, ditengah upaya berbagai kalangan untuk memajukan pemanfaatan ICT dalam perekonomian nasional jelas ini salah langkah.