Saturday, September 18, 2010

Pelajaran Berharga untuk Telkom Group.

 (dari comment saya di FB.


Iya.. neh..sy juga sepet liat marah2 gak jelas. apa emang telkom group yang lalai..? itu kan pelaksananya Polisi namun menggunakan jasa telekomunikasi provider, bisa siapa saja. Mestinya executing agency dulu yang disemprot. jangan2 pelaksananya juga belum bayar jasa (spt biasa)? Pelajaran berharga buat teman2 telkom group...business is business, meski pelat merah..harus lebih profesional dalam melayani. jangan hanya karena merasa ingin membantu, melupakan kontrak tertulis. dan kalau tidak bersalah seyogyanya juga berani "menginfokan" kondisi pekerjaan. kalau perlu buat press conference. Tidak usah takut kehilangan jabatan, bos RF. malu lebih berharga untuk diberesin dari sekedar jabatan. Buktikan kita sekarang jadi pimpinan bisa tampil beda degnan jaman "jahiliyah" di era orde baru (yang tidak sema nya jelek).

==============
Jumat, 17/09/2010 23:04 WIB
Teleconference SBY Pakai Jaringan Internal Polri
Aprizal Rahmatullah - detikNews
http://www.detiknews.com/read/2010/09/17/230440/1442773/10/mabes-polri:-teleconference-sby-pakai-jaringan-internal


Jakarta - Teleconference Presiden SBY saat memantau arus balik di Cikopo terganggu infrastruktur yang mati. Mabes Polri mengatakan teleconference yang biasa dilakukan polisi menggunakan jaringan sendiri. Hanya saja untuk jaringan CCTV bisa dilakukan pihak luar.

"Kalau teleconference itu kita punya jaringan sendiri namanya intranet. Itu dipakai antar sesama polisi saja," kata Kepala Pusat Info Pengolah Data Divisi Telematika Mabes Polri Brigjen Robert Kodong saat dikonfirmasi detikcom, Jumat (17/9/2010) malam.

Robert mengatakan, intranet digunakan untuk semua jaringan teleconference polisi di seluruh Polda di Indonesia. Sementara untuk jaringan CCTV diserahkan kepada Dirlantas masing-masing Polda.

"Kalau jaringan CCTV saya nggak tahu, Mas. Mungkin bisa tanya Dirlantas atau Dephub," kata Robert.

Robert mengaku tidak mengetahui adanya gangguan jaringan saat SBY melakukan teleconference di Pospol Cikopo. "Saya belum tahu soal itu," jelasnya.

Sebelumnya, pihak Telkomsel menegaskan jaringan CCTV arus mudik lebaran yang dipantau Presiden SBY saat teleconference di Cikopo tak menggunakan jaringannya. Namun pihaknya tak mau menjelaskan jaringan apa yang digunakan saat teleconference itu dilakukan.

Hal ini disampaikan oleh GM Corporate Communication Telkomsel Ricardo Indra kepada detikcom, Jumat (17/9/2010).

"Ini bukan Telkomsel. Jadi kami klarifikasi itu bukan dari kami. Kami selalu siap sejak sebulan sebelum Lebaran untuk melakukan pengecekan terhadap jaringan kami," jelasnya.

Seperti diketahui, rencana Presiden SBY memantau arus balik Lebaran 2010, terganggu dengan matinya koneksi CCTV dari Telkom dan Telkomsel di Pospol AJU Cikopo. SBY pun kesal dan meminta para petinggi perusahaan itu turun tangan.

Ketika SBY datang ke Pospol AJU Cikopo, Cikampek, Jumat (17/9/2010) pukul 09.30 WIB, TV flat screen yang semestinya menampilkan gambar CCTV sudah dalam kondisi mati. SBY pun langsung menegur Dirut Telkom dan Telkomsel.

Namun, Ricardo mengatakan, teguran yang disampaikan Presiden ini membuat perseroan terus berintrospeksi atas kejadian tersebut.

Menurut kabar yang beredar, teleconference yang dilakukan oleh Presiden SBY menggunakan jaringan kepolisian yang bernama ComMob. Jaringan ini merupakan jaringan komunikasi khusus via satelit.

Jadi sebenarnya teleconference tersebut tidak menggunakan jaringan Telkomsel melainkan jaringan kepolisian yang mengalami kerusakan.

(ape/nrl)

==============
Diomeli SBY, Dirut Telkom dan Telkomsel Menghadap Menteri BUMN
Whery Enggo Prayogi - detikFinance


Jakarta - Direktur Utama PT Telkom Tbk Rinaldi Firmansyah dan Direktur Utama PT Telkomsel Sarwoto Atmosutarno akhirnya datang menghadap Menteri BUMN Mustafa Abubakar untuk mengklarifikasi masalah matinya CCTV pemantau arus balik Presiden SBY.

Mereka berdua datang pukul 17.05 WIB ke kantor Menteri BUMN, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Jumat (17/9/2010).

Keduanya terlihat tersenyum kepada wartawan yang menyapanya.

Seperti diketahui, rencana Presiden SBY memantau arus balik Lebaran 2010, terganggu dengan matinya koneksi CCTV dari Telkom dan Telkomsel di Pospol AJU Cikopo. SBY pun kesal dan meminta para petinggi perusahaan itu turun tangan.

Hal ini turut membuat Menteri BUMN Mustafa Abubakar geram. Mustafa mengatakan, dirinya sudah meminta laporan langsung kepada Direktur Utama Telkom Rinaldi Firmansyah soal kejadian tersebut.

"Yang jelas saya concern tentang hal itu dan siap menindaklanjuti perintah Presiden. Supaya Telkom dan Telkomsel menemukan di mana letak gangguannya," katanya. (dnl/dro)

GRATIS! puluhan voucher pulsa! ikuti terus berita dari DetikFinance di Hape-mu.
Ketik REG FIN kirim ke 3845 (khusus pelanggan Indosat Rp.1300/hari)

========== 

Menteri BUMN: Harusnya Telkom dan Telkomsel Back Up Jaringan Polisi
Whery Enggo Prayogi - detikFinance
http://www.detikfinance.com/read/2010/09/17/195859/1442729/6/menteri-bumn-harusnya-telkom-dan-telkomsel-back-up-jaringan-polisi


Jakarta - Menteri BUMN Mustafa Abubakar menegur keras Direksi Telkom dan Telkomsel. Seharusnya jaringan Telkomsel bisa melapisi (back up) jaringan polisi jika ada gangguan seperti yang terjadi saat CCTV pemantau arus balik yang dipantau Presiden SBY.

"Saya kembali mewanti-wanti kesiapan dan harus lebih hati-hati dan save sampai arus libur lebaran. Mereka (Telkom dan Telkomsel) juga harusnya bisa back up polisi supaya jangan ada kesulitan di polisi. Karena pemantauan juga dari jaringan mereka," tegas Mustafa ketika ditemui di kantornya, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Jumat (17/9/2010).

Mustafa mengatakan dirinya sudah melakukan teguran keras kepada Dirut Telkom dan Telkomsel karena kejadian tersebut. Surat teguran sudah ditandatangani Mustafa hari ini.

Saat ini Mustafa menunggu laporan dari Telkom dan Telkomsel terhadap kejadian tersebut.

"Kita akan lapor ke Presiden paling lambat Senin depan. Kalau kejadian ini dianggap sebuah ketidakberesan, inikan acara kenegaraan jadi ini penting. Karena ada kepala negara jadi harus ekstra hati-hati. Seyogyanya pimpinan Direktur atau Dirut melakukan pendampingan langsung atau tidak langsung. Ke depan kalau ada event-event penting harus diperhatikan," tutur Mustafa.

Menurut kabar yang beredar, teleconference yang dilakukan oleh Presiden SBY di Pospol AJU Cikopo, Cikampek, Jumat (17/9/2010) menggunakan jaringan kepolisian yang bernama ComMob. Jaringan ini merupakan jaringan komunikasi khusus via satelit.

Jadi sebenarnya teleconference tersebut tidak menggunakan jaringan Telkomsel melainkan jaringan kepolisian yang mengalami kerusakan.

(dnl/dnl)

Wednesday, September 08, 2010

Lanjutkan Korupsi!


Sudah menyerahkan anda, saya dan kita?


**************************
Lanjutkan Korupsi!
Kompas/ Selasa, 7 September 2010 | 03:30 WIB
Febri Diansyah
Jika Anda koruptor sejati, datanglah ke Indonesia. Anda pasti untung. Masih banyak sumber daya alam, dana bantuan sosial, pembangunan infrastruktur sekolah dan rumah sakit, alat kesehatan, atau bahkan pengadaan sapi yang bisa Anda korupsi.
Tak perlu gentar dengan pidato dan klaim pemberantasan korupsi pemerintah. Buktinya, pada hari kemerdekaan Indonesia, ratusan koruptor mendapat kado keringanan hukuman.
Seperti diketahui, 341 narapidana kasus korupsi mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman, 11 orang di antaranya langsung menghirup udara bebas. Aulia Pohan adalah salah satu nama yang mendapat berkah kemerdekaan ini. Sederet nama koruptor yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun masuk dalam urutan penerima remisi.
Sejauh ini, pemerintah menggunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 jo PP No 28/2006, dan Keputusan Presiden No 174/1999 sebagai dasar legitimasi hukum. Semua regulasi itu bisa jadi memberikan pembenaran tekstual. Namun, deretan aturan dan teks yang mati di atas ternyata sama sekali tidak mampu memastikan adanya mekanisme yang ketat untuk meminimalisasi praktik ”jual-beli” hak narapidana. Sejumlah riset ICW, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, dan testimoni mantan narapidana secara jelas menyebutkan eksistensi praktik mafia lapas dan jual beli remisi, kunjungan, dan sejenisnya.
Argumentasi pemerintah tersebut haruslah dibaca secara kritis. Selain soal masalah mendasar di pengelolaan lembaga permasyarakatan yang tercoreng dengan skandal penjara mewah sejumlah narapidana, penyesatan informasi publik pun patut diawasi. Sering kali masyarakat dihadapkan pada penjelasan, pemberian remisi dan grasi dilakukan dengan alasan pemerintah menjalankan perintah undang-undang. Seolah-olah jika koruptor tidak dimaafkan, maka pemerintah melanggar hukum.
Wacana ini jelas menyesatkan karena baik UU Permasyarakatan ataupun Peraturan Pemerintah tentang Remisi pada prinsipnya mengatur, pemerintah punya hak menilai dan memutuskan bisa atau tidaknya remisi diberikan. Benar, remisi adalah hak narapidana secara umum. Akan tetapi, penerapannya tidak bisa dilakukan dengan mudah.
Sikap negara
Soal bentuk dan lama penghukuman sesungguhnya merupakan kewenangan hakim di pengadilan. Kekuasaan yudisial menjatuhkan hukuman mewakili negara untuk merampas kemerdekaan warganya. Di titik inilah, diskusi soal penghukuman dan segala yang terkait dengan pengurangan hukuman mau tidak mau harus dibaca dalam kerangka teori pemidanaan.
Logika antitesis yang disampaikan Georg WF Hegel soal teori penghukuman ini amatlah sederhana, bahwa seseorang yang melakukan kejahatan sesungguhnya telah mengingkari hukum. Dengan demikian, sintesanya, negara punya hak menjatuhkan pidana tersebut. Hal ini sesungguhnya dimaknai oleh konsepsi hukum pidana dalam arti subyektif, yakni sebuah teori yang menjelaskan hak negara menjatuhkan pidana. Poin yang perlu ditegaskan adalah pemberian remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, atau apa pun yang mengurangi bobot putusan hakim haruslah tetap diletakkan dalam koridor teori pemidanaan tersebut. Lantas bagaimana?
Titik krusialnya terletak pada sikap negara dalam menghukum atau mengurangi hukuman. Jika kita bicara soal pemberantasan korupsi, tentu kita akan menyampaikan sebuah pertanyaan fundamental. Bagaimana sikap dan posisi negara soal penghukuman terhadap koruptor? Atau, bagaimana negara melihat koruptor dalam iklim berbangsa yang lebih luas? Pertanyaan ini penting dijawab agar pemberian remisi, grasi, atau keringanan terhadap narapidana koruptor tidak hanya dijawab dengan argumentasi tekstual yang sempit dan penyesatan makna hak asasi manusia.
Sikap negara tersebut tentu bisa dibaca dari dua hal. Pertama, dari apa yang dilakukan dan diucapkan Kepala Negara. Kita tahu, Presiden sebagai kepala negara bahkan memberikan pengampunan atau grasi selama 3 tahun terhadap seorang koruptor kakap yang sebelumnya diproses KPK. Presiden pun juga nyaris tidak serius mengawal evaluasi dugaan praktik kotor jual beli ”hak narapidana”. Presiden yang sama juga diragukan komitmennya melakukan pemberantasan korupsi di tubuh partainya sendiri dan di institusi penegak hukum.
Dengan demikian, agaknya kita menemukan cermin pemberian grasi dan remisi dengan teori pemidanaan. Bahwa, salah satu personifikasi negara memang terkesan kompromi dengan kosmos korupsi. Pembacaan kedua dapat dilakukan melalui ukuran yang lebih kuantitatif, seperti bagaimana unsur-unsur lembaga negara menyikapi korupsi. Bagaimana Kepolisian dan Kejaksaan memerangi korupsi. Dan, potret resistensi para politisi dengan lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK. Bahkan, sejumlah regulasi yang seharusnya bisa disusun untuk memperkuat pemberantasan korupsi justru dijegal dan dilemahkan.
Dari dua sudut pandang dan pembacaan di atas, kita bisa melihat praktik pemberian remisi, grasi, dan pengurangan hukuman dalam bentuk lain sebagai hubungan negara dengan masyarakatnya. Tidak berlebihan kiranya jika ada yang mengatakan, negara yang diselenggarakan oleh unit-unit pemerintahan sedang melakukan rentetan anomali pemberantasan korupsi.
Segudang persoalan
ICW bisa saja menyampaikan sejumlah data tentang segudang persoalan pemberantasan korupsi di era kepemimpinan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Presiden Yudhoyono. Termasuk peta pidato Presiden yang akhir-akhir ini justru menunjukkan wajah anomali tersebut. Pada 100 hari pemerintahan Yudhoyono jilid II misalnya. ICW mengamati 15 potongan pidato yang signifikan dan terkait dengan pemberantasan korupsi. Ternyata 10 dari 15 (66,67 persen) masuk kualifikasi pernyataan yang mengkhawatirkan untuk pemberantasan korupsi.
Selain itu, karakter parsial, disorientasi strategi dan kosmetifikasi menjadi catatan yang mencolok dalam pemberantasan korupsi akhir-akhir ini. Dihubungkan dengan konsep pemidanaan dan pengurangan hukuman oleh kekuasaan negara terhadap koruptor, agaknya kita menemukan benang merah yang tegas. Bahwa, komitmen pemberantasan beberapa simbol kenegaraan kita sungguh mencemaskan.
Dalam nada satir, saya teringat slogan Kepala Negara saat menjadi calon presiden. Lanjutkan! Memangnya Lanjutkan Pemberantasan Korupsi atau Lanjutkan Korupsinya?
Febri Diansyah Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch

Tuesday, September 07, 2010

Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan

BOLJUG.
 
Kompas/Senin, 6 September 2010 | 03:10 WIB


Adjie Suradji
Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan.
Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain.
Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.
Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soe- harto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan.
Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional.
Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa (Ferdinand I, 1503- 1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.
Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?
Keberanian
Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan.
Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.
Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya.
Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi?
Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?
Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).
Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.
Adjie Suradji Anggota TNI AU