Tuesday, July 15, 2008

RPJM vs "RPJK" : Menjinakkan Krisis Listrik

Ini mah namanya sudah pas, sayang Bang Faisal ini masih malu-malu, baru menyebut RPJM, belum berani bilang RPJK he he. Tapi selamat atas artikel yang bagus sekali uraiannya.

KOMPAS Cetak : Menjinakkan Krisis Listrik

===========
Menjinakkan Krisis Listrik

Kompas /Senin, 14 Juli 2008 | 03:00 WIB
Oleh FAISAL BASRI
Pemadaman listrik akut di kebanyakan daerah di luar Jawa sudah berlangsung bertahun-tahun. Keluhan, protes, tuntutan, dan unjuk rasa berulang kali dilayangkan kepada PT PLN dan pemerintah. Namun, hingga kini, tak terjadi perbaikan berarti. Bahkan, di beberapa daerah, kondisi kelistrikan kian buruk.
Sungguh sangat ironis bahwa banyak daerah yang menderita kelangkaan pasokan listrik adalah penghasil sumber-sumber energi untuk menghasilkan listrik. Warga daerah-daerah kaya energi tersebut hanya bisa menahan amarah menyaksikan kekayaan alam mereka terus dikeruk dan dikuras, lalu dialirkan ke Jawa, untuk menjaga stabilitas nasional.
Ternyata, akhirnya, daya tahan kelistrikan di Jawa pun bobol. Kini, Jawa harus menghadapi ancaman krisis listrik yang sangat serius dan boleh jadi yang terburuk sepanjang sejarah kelistrikan nasional.
Sebetulnya, pemadaman di Jakarta sekalipun sudah kerap terjadi. Yang berulang kali menjadi alasan klise adalah jadwal perawatan rutin atas fasilitas pembangkit listrik. Sesekali yang dijadikan kambing hitam adalah hambatan pasokan sumber energi. Pernah pula dikemukakan alasan pasokan gas dan bahan bakar minyak terhenti, dengan beragam penjelasan.
Lalu, sekarang, pemerintah masih saja sesumbar dengan dalih baru. Wakil Presiden dengan entengnya mengatakan bahwa kelangkaan listrik lebih disebabkan oleh kegiatan ekonomi terus tumbuh dan makin cepat. Jelas ini alasan mengada-ada. Bukankah di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang dikeluarkan pada awal pemerintahan SBY-JK—yang notabene merupakan penjabaran dari janji-janji kampanye mereka berdua—tercantum target laju pertumbuhan ekonomi yang relatif jauh lebih tinggi dari realisasi. Kalau mereka konsekuen dengan janji sendiri, tentu sejak awal mereka sudah sigap membangun pembangkit baru dengan kapasitas yang memadai.
Diantisipasi jauh-jauh hari
Sebetulnya, krisis listrik sudah bisa diantisipasi jauh-jauh hari, apalagi mengingat Presiden SBY pernah menjadi menteri pertambangan. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga bukan wajah baru di pemerintahan. Purnomo Yusgiantoro sudah lebih dari sewindu menjabat Menteri ESDM. Sebelumnya, ia terlibat dalam penyusunan kebijakan dan bahkan dalam penyiapan proyek pembangkit listrik. Yang pasti, dalam proyek Pembangkit Listrik Geotermal Karaha Bodas.
Mereka tentu tahu persis bahwa kondisi kelistrikan Indonesia sangat buruk: berada pada urutan ke-11 dari 12 negara sekawasan dan persentase rumah tangga yang memperoleh akses listrik baru sekitar 55 persen.
Alih-alih melakukan pembenahan mendasar, segelintir penentu kebijakan kelistrikan justru makin terseret di dalam pusaran masalah dan telah menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Paling tidak, Wakil Presiden dan Menteri ESDM sangat kental berkubang dengan masalah benturan kepentingan (conflict of interest) mengingat sanak keluarga dan kroni-kroni dekatnya merupakan pelaku langsung maupun tak langsung dalam usaha kelistrikan dan usaha-usaha lain yang terkait.
Sepatutnya, Presiden mengambil alih tanggung jawab dan tidak membiarkan Wakil Presiden terlibat dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan penyelesaian kemelut kelistrikan nasional, semata-mata karena alasan benturan kepentingan.
Sudah sepantasnya pula Presiden mengganti Menteri ESDM sesegera mungkin karena hampir semua bidang yang menjadi tanggung jawabnya tak pernah sepi dari masalah dan telah menimbulkan kerugian nasional yang tak terbilang, termasuk krisis listrik yang makin buruk.
Bagaimana mungkin PT PLN mampu bekerja dengan baik kalau kerap ”direcoki” oleh para elite penguasa. Cara-cara yang ditempuh oleh penguasa sudah sedemikian sangat vulgar, baik dalam mendudukkan orang-orangnya di jajaran direksi dan komisaris maupun ”intervensi” dalam proses tender proyek pembangkitan ataupun pengadaan.
Dewan direksi tak bisa bekerja optimal. Satu sama lain saling menggergaji demi memuluskan kepentingan kelompok yang mendukungnya.
Penghematan
Bagaimanapun, dalam jangka pendek, krisis listrik akan memperparah persoalan dunia usaha. Persoalannya sekarang adalah bagaimana meredam semaksimal mungkin dampak negatif bagi perekonomian.
Rencana pengalihan hari libur bagi industri sepatutnya dipertimbangkan dengan matang mengingat setiap industri atau usaha memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Sedemikian beragam perbedaan dari satu ke lain industri sehingga pengaturan atau regulasi yang cenderung menyamaratakan bisa berakibat sangat kontraproduktif. Sebaliknya, jika pengaturan sangat rinci sehingga mengakomodasikan ciri-ciri khas setiap industri, niscaya efektivitas pengaturan akan sangat rendah.
Cara yang lebih baik ialah dengan menerapkan mekanisme insentif harga. Selanjutnya PLN berdialog dengan kalangan dunia usaha untuk mengetahui pola reaksi atas struktur insentif yang ditawarkan. Jika hasil dari mekanisme ini kurang memadai, baru diajukan instrumen yang lebih keras berupa penalti atau disinsentif.
Seandainya masih perlu langkah tambahan, barulah dilakukan seleksi industri yang akan didorong untuk melakukan perubahan waktu operasi. Kriteria yang digunakan harus jelas. Prioritas pertama yang harus diatur adalah usaha yang memicu konsumerisme. Misalnya, pusat-pusat perbelanjaan besar dan hiburan tutup selama dua hari secara bergantian. Sebagai kompensasi, pada hari Sabtu dan Minggu mereka boleh beroperasi hingga larut malam.
Komitmen pemerintah
Untuk mengawali kampanye hemat listrik, pemerintah harus menunjukkan terlebih dahulu komitmennya. Dimulai dari pengurangan penggunaan listrik di istana dan kantor-kantor pemerintah. Perlu pula dipikirkan untuk memajukan jam kerja pegawai negeri satu jam dan memastikan pada awal beban puncak penggunaan listrik di kantor-kantor pemerintah berkurang drastis.
Kampanye dan penerapan mekanisme insentif dapat pula diterapkan untuk kantor-kantor swasta. Manfaat tambahan dari cara ini ialah mengurangi kemacetan lalu lintas sehingga menghemat penggunaan BBM.
Masih teramat banyak pilihan kreatif yang bisa dikembangkan. Jangan mudah kehilangan akal dan cepat ambil jalan pintas.

Monday, July 14, 2008

Media Indonesia - Kalau ini Listrik Konyol

Apa mau dikata. Memang ini salah satu konsekuensi logis kita kembali ke UU listrik tahun 1985, setelah MK membatalkan UU listrik tahun 2002. Tangan mencincang, bahu memikul.

KIta sekarang punya regulasi sbb:
  • §Electricity Law Number 15/1985
  • §Energy Law Number 30/2007
  • §Government Regulation Number 26/2006 second amended PP 10/1989
  • §Presidential Regulation Number 5/2006
  • §Ministerial Decree (EMR) : No. 1122 K/30/MEM/2002 §Ministerial Decree (EMR) : No. 002/2006

Jelaslah bahwa kita telah membiarkan PLN dan ESDM tidak mempercepat penyelesaian UU listrik yang baru. dan BYAR PET telah menjadi bukti.

Sadarkah kita selama ini membiarkannya terjadi? Wallahualam bissawab!

ES

==========
Jumat, 11 Juli 2008 00:01 WIB

Babak Krusial Krisis Listrik

PERUSAHAAN Listrik Negara lagi-lagi memberlakukan pemadaman bergilir untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya mulai hari ini. Pemadaman serupa bahkan telah terjadi di banyak daerah sejak beberapa waktu lalu.

Berulangnya pemadaman bergilir itu mencerminkan krisis listrik telah memasuki babak krusial. Sebab, menjelang usia Republik yang mencapai 63 tahun, negara ini tidak juga mampu menyediakan salah satu infrastruktur mendasar itu.

Listrik jelas merupakan kebutuhan vital sebuah negara. Ia menjadi penggerak berbagai aktivitas roda perekonomian dan pemerintahan. Ia juga merupakan magnet masuknya investasi.

Maka, berbagai teriakan lantang untuk menarik investasi asing terasa hambar dan tidak bergigi. Bagaimana investor mau masuk ke Indonesia kalau pasokan listrik saja tidak terjamin?

Yang terjadi justru sebaliknya. Akibat pemadaman itu, sejumlah perusahaan asing, terutama Jepang, berancang-ancang angkat kaki dari Indonesia dan memindahkan pabrik mereka ke negara lain. Industri di bidang petrokimia bahkan menunda investasi senilai Rp14 triliun tahun ini sampai ada jaminan pasokan listrik.

Padahal, semua tahu listrik, jalan, air, transportasi, dan telekomunikasi menjadi bagian pokok infrastruktur sebagai prasyarat utama bagi kegiatan investasi. Jika prasyarat utama itu tidak bisa dipenuhi, lambat atau cepat Indonesia akan dicoret dari daftar negara tujuan investasi asing.
Memang, untuk mengatasi persoalan itu, pemerintah telah menawarkan solusi. Kegiatan jam kerja industri sebagian akan dialihkan ke Sabtu dan Minggu. Itu dilakukan lantaran selalu muncul defisit pasokan listrik pada hari kerja Senin-Jumat.

Apa yang digagas pemerintah itu jelas bukan solusi cerdas. Perusahaan yang sudah merugi akibat pemadaman bergilir bakal kian terpukul. Ongkos produksi semakin bertambah karena mempekerjakan karyawan pada hari libur.

Yang lebih tidak cerdas, proses produksi di dunia industri tidaklah bisa berdiri sendiri. Ia perlu ditopang proses birokrasi, distribusi, dan transaksi. Adakah kantor pemerintahan dan bank yang buka pada Sabtu atau Minggu? Bagaimana pula dengan mitra mereka yang berada di luar negeri?

Karena itu, bila peraturan itu benar-benar diterapkan, inilah bentuk kebijakan paling konyol yang pernah ada. Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang memberlakukan jam kerja pada hari libur.

Defisit pasokan listrik hingga Februari lalu sudah 1.044 Mw, hampir mencapai 1.500 Mw, angka defisit yang telah memasuki kategori darurat. Tetapi cara pemerintah mengatasi seakan-akan krisis listrik adalah hal yang biasa saja.

Itu sebabnya, defisit listrik yang kian membesar dan berdampak pada pemadaman bergilir mencerminkan betapa pemerintah gagal membangun sistem ketenagalistrikan yang tangguh, andal, dan berkelanjutan.

Dalam lingkup yang lebih luas, bisa dikatakan pemerintah tidak memiliki politik energi yang berpihak pada kepentingan dalam negeri. Batu bara dan gas adalah contoh betapa kita gagal membela kepentingan dalam negeri karena sebagian besar diekspor. Lokasi pembangkit yang berjauhan dengan batu bara dan gas juga contoh kebijakan energi yang tidak cerdas.

Sungguh ironis. Negara yang memiliki begitu banyak sumber energi alternatif seperti angin, air, matahari, dan panas bumi ini mengalami krisis listrik amat buruk sekarang ini. Ironi yang mempertegas bahwa kita memang tidak cerdas mengelola sumber daya.
===========

§


Media Indonesia - News & Views -

Editorial Media Indonesia - SKB KOnyol

Ini mungkin merupakan salah satu editorial media yang paling pas menggambarkan betapa pemerintah panik. JAdinya adalah "keputusan yang bisa sesat, karena dibahas sesaat, seperti ide yang didapat ketika buang haja" (maaf). Tapi itulah faktanya yang ada saat ini.

Tidakkah mereka mengerti dan paham bahwa ada kalanya investasi yang sudah international branded harus mengacu kepada aturan-aturan perburuhan internasional yang binding. Misalnya tidak boleh memperkerjakan buruhnya diluar jam kerja normal atau di hari libur. Ini fakta yang tidak diperhatikan alias dinafikan begitu saja oleh petinggi yang ingin menjadi pahlawan akan buruknya kinerja PLN.

SIngkat kata, masalah utamanya tidak dibereskan. Justru nambah masalah baru.

CApek dech.

Media Indonesia - News & Views -

Senin, 14 Juli 2008 00:01 WIB

SKB Konyol Menggeser Jam Kerja

ADA logika terbalik dalam cara berpikir pemerintah mengenai kerja. Sekarang hari libur disuruh bekerja, sebelumnya hari kerja dibikin libur.

Itulah yang terjadi ketika pemerintah menciptakan cuti bersama dengan cara mengulur hari libur nasional beberapa hari. Hal itu dilakukan bila tanggal merah jatuh pada hari yang terjepit menjelang akhir pekan. Pemerintah lantas mengambil keputusan hari libur itu dibablaskan sekalian.

Akibatnya, jumlah libur sangat fantastis, yakni 124 hari sepanjang 2007 lalu. Fantastis bagi sebuah negara yang produktivitasnya sangat rendah, tetapi liburnya sangat panjang lebih empat bulan dalam setahun. Setelah kritik pedas datang bertubi-tubi, pemerintah kemudian menghapus ketentuan cuti bersama itu.

Kini, kerangka berpikir jungkir balik itu dipraktikkan lagi ketika pemerintah bermaksud menghemat pemakaian listrik oleh industri. Caranya dengan memaksa kalangan industri menggeser sebagian hari kerja dari hari kerja Senin hingga Jumat ke hari libur akhir pekan Sabtu dan Minggu.

Bahkan, untuk keperluan itu pemerintah mengaturnya melalui surat keputusan bersama (SKB) lima menteri. Industri yang membandel akan dikenai sanksi pemutusan listrik oleh Perusahaan Listrik Negara. Aturan itu diberlakukan mulai Agustus.

Basis argumentasi SKB itu, selama ini industri menyedot setrum sangat besar di hari kerja sehingga listrik pun defisit hingga 600 megawatt. Sebaliknya pada Sabtu, cadangan listrik justru berlebih 1.000 megawatt dan pada Minggu kelebihan cadangan mencapai 2.000 megawatt.

Tampak jelas, logika yang dijadikan acuan SKB jam kerja industri itu sangat linier dan semata dari sudut pandang pemerintah. Solusi yang diambil dengan cara gampang. Sebelumnya pemerintah gampang saja meliburkan hari kerja dengan nama cuti bersama, sekarang gampang saja pemerintah memaksa bekerja di hari libur.

Pemerintah tidak mau dipusingkan dengan pertanyaan apakah jalan keluar itu berisiko buruk bagi industri atau tidak. Yang penting, beban negara sudah beralih ke beban masyarakat, habis perkara.
SKB itu, jika jadi diterapkan, jelas akan berimplikasi pada semakin membengkaknya biaya produksi akibat bertambahnya jam lembur karyawan karena bekerja pada hari libur akhir pekan.

Padahal sebelumnya biaya produksi telah bertambah dengan penaikan harga BBM. SKB itu sama saja dengan membunuh industri secara perlahan-lahan. Pembunuhan industri itu akan semakin cepat terjadi bila pemerintah sok gagah menerapkan sanksi mencabut listrik industri yang dinilai membandel karena tidak menerapkan SKB itu.

Padahal, industri tetap memilih libur pada Sabtu dan Minggu justru karena pertimbangan yang rasional menyangkut biaya produksi. Nah, apa kata dunia bila industri di Indonesia dicabut listriknya karena tidak mau bekerja pada Sabtu dan Minggu yang memang merupakan hari libur akhir pekan di banyak belahan dunia?

SKB itu jelas menjadi kampanye buruk bagi masuknya investasi. Gelagat itu, sebagaimana disebutkan Kadin, mulai terlihat dengan terjadinya penundaan investasi lebih dari US$1,5 miliar atau setara dengan Rp13,5 triliun. Realisasi sejumlah komitmen investasi baru akan dilakukan lagi pada 2009-2010, ketika suplai listrik bisa terjamin melalui proyek 10.000 megawatt. Tidak ada pilihan lain, pemerintah harus membatalkan SKB yang konyol itu. Akan lebih cerdas jika pemerintah mulai bersungguh-sungguh mempercepat pengadaan pembangkit listrik baru berkekuatan 10 ribu megawatt itu, sambil mempraktikkan secara nyata langkah penghematan energi.

Friday, July 04, 2008

Menteri Sontoloyo

KAn semuanya juga sudah sontoloyo, termasuk seringnya kita dengar dan saksikan orang atau petugas dengan identitas yang harus dirahasiakan malah pamer di depan umum. DAn above all, mari kita akui saja, semua banyak yang sudah dan masih sontoloyo. APalagi jika gajinya sontoloyo...pastilah mereka akan loyo, tidak perlu di "sonto-sonto" juga, akan loyo dengan sendirinya.

Bagaimana boss? KApan gaji dan upah semua orang di Indonesia meningkat sesuai porsi dan levelnya, sehingga tidak ada menteri yang sontoloyo seperti di tuding Syamsir Siregar.

Wassalam,

ES
=======

Senin, 30 Juni 2008 00:01 WIB

Menteri Sontoloyo

BANGUNAN Kabinet Indonesia Bersatu mestinya kukuh. Sebab hampir separuh personelnya berasal dari delapan kendaraan politik berbeda. Jabatan kepartaian mereka pun rupa-rupa. Mulai ketua umum, ketua majelis pertimbangan, ketua pemenangan pemilu, ketua dewan pakar, wakil bendahara, penasihat, mantan sekjen, hingga sekadar kader parpol.
Mestinya, bangunan kabinet itu tidak goyah dihantam badai angket seandainya delapan partai sebagai tiang penyangga koalisi dibangun di atas fondasi kepentingan rakyat. Sayangnya, koalisi pemerintahan saat ini justru dibangun di atas pasir kepentingan yang setiap saat bisa roboh ditiup angin kepentingan parlemen. Tragisnya lagi, kepentingan parlemen dikendalikan dari dalam tubuh kabinet sendiri.
Tiupan angin kepentingan itu semakin kencang di tahun politik ini. Sebentar lagi memasuki tahun pemilu. Dalam menghadapi tahun pemilu itu, para menteri asal partai mulai bermain politik dua kaki. Kaki yang satu kukuh mempertahankan jabatan menteri, sedangkan kaki satu lagi ikut menggoyang kabinet. Tujuan berpolitik dua kaki itu tentu saja merongrong wibawa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar popularitasnya merosot.
Penggunaan hak angket atas kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan
bakar minyak adalah contoh paling nyata politik dua kaki yang disutradarai para pembantu Presiden. Mereka menyetujui penaikan harga minyak di depan Presiden. Di belakang Presiden mereka justru menyuruh, atau setidaknya membiarkan, fraksi mereka di DPR menggebuk kebijakan pemerintah. Bahkan, hak angket itu sendiri justru dipelopori partai yang menjadi penyangga kabinet.
Hak angket dibahas dalam Rapat Paripurna DPR, pekan lalu. Semula, lima fraksi mendukung kebijakan pemerintah dengan menolak angket. Lima fraksi itu adalah Partai Demokrat, Golkar, PPP, Partai Damai Sejahtera, dan PKS. Hanya kader Partai Damai Sejahtera yang tidak berada dalam kabinet. Pada saat voting, PPP, PKS, dan PDS tiba-tiba merapatkan diri ke dalam barisan pendukung angket. Hanya Demokrat dan Golkar yang tetap 'pasang badan' membela kebijakan pemerintah.
Pasang badan membela kebijakan pemerintah adalah konsekuensi logis sebagai partai penyangga koalisi. Memang demikian fatsun politiknya. Jika tidak mau menjadi penyangga, ya tarik kader partai dari koalisi. Menggebuk kebijakan pemerintah dengan tetap mempertahankan kader partai menikmati kursi kabinet beserta seluruh kekuasaannya, itu namanya pengkhianat. Mau enaknya saja.
Jadi, sangatlah jelas, para menteri asal partai mulai meninggalkan etika politik hanya untuk kepentingan pragmatis memenangi pemilu. Mereka mempraktikkan jurus politik cuci tangan. Setelah menyetujui penaikan harga BBM, mereka mencuci tangan seolah-olah mereka tidak terlibat dalam kebijakan itu. Untuk itulah mereka menyuruh atau membiarkan fraksi mereka di DPR menentang kebijakan pemerintah dengan menyetujui penggunaan hak angket.
Mereka itulah yang masuk kategori menteri sontoloyo. Menteri yang sesungguhnya menjadi musuh dalam selimut Presiden. Mereka menikam Presiden dari belakang dengan membiarkan fraksi di DPR menyetujui penggunaan hak angket. Mereka lihai bersilat lidah dengan menyebutnya sebagai dinamika lapangan atau improvisasi fraksi.
Tidak ada gunanya Presiden memelihara pembantu yang plintat-plintut. Kabinet harus dibersihkan dari musuh dalam selimut dan menteri sontoloyo layak dibuang. Memelihara menteri sontoloyo sama saja menggorok leher sendiri. Tinggal menunggu waktunya menteri sontoloyo itu berulah lagi.


Media Indonesia - News & Views -

Thursday, July 03, 2008

KOMPAS Cetak : Kata-kata Jimly Dinilai Tidak Patut

Ya beginilah baru kualitas negarawan kita. Karena mereka sebenarnya lebih baik di kampus dan mengajar mahasiswa daripada menjadi birokrat tanggung. Mereka tidak bisa membedakan mana yang "contempt of court", mana yang "content of parliament" . What a pity for the country that have paid them a lot of money.

Wassalamm

ES
==============
Kata-kata Jimly Dinilai Tidak Patut
DPD Pahami Keputusan Mahkamah Konstitusi
Kamis 3 Juli 2008 |

Jakarta, Kompas - Ancaman Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie untuk mengusir Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Laode Ida dari ruang sidang disayangkan banyak pihak. Kata-kata tersebut dinilai tidak patut diucapkan seorang pejabat yang berkualifikasi sebagai negarawan.

Hal itu dikemukakan pengamat hukum tata negara Irman Putra Sidin dan anggota Komisi Yudisial Soekotjo Soeparto secara terpisah, Rabu (2/7).

Dalam sidang Selasa lalu, Jimly mempersoalkan pernyataan Laode Ida yang mengancam akan membubarkan Mahkamah Konstitusi (MK) jika permohonan uji materi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak dikabulkan. Jimly menganggap hal itu tidak pantas dan menyatakan akan mengusir La Ode dari ruang sidang jika hadir (Kompas, 2/7).

Menurut Irman, kata pengusiran tidak pantas diucapkan oleh Jimly. ”Laode memang tidak pantas mengeluarkan ancaman, tetapi Jimly lebih tidak pantas melakukan pengusiran di ruang sidang. Dia itu negarawan. Sesakit apa pun harus arif,” kata Irman.

Hal senada diungkapkan Soekotjo. Seharusnya, Jimly tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak perlu. ”Namanya negarawan, wawasan harus luas dan bijaksana,” katanya.

Menurut Irman, seharusnya Jimly cukup mengingatkan Laode. Kata-kata Jimly tersebut dapat digolongkan sebagai unproper conduct dan telah merusak kehormatan hakim konstitusi. Apalagi jika pernyataan itu merupakan hasil rapat. ”Kalau hasil rapat hakim, berarti sembilan-sembilannya tidak negarawan. Tapi saya ragu, hasil rapat mungkin hanya meminta untuk mengingatkan,” kata Irman.

Pahami

DPD dapat memahami keputusan MK atas permohonan uji materi Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008. DPD berharap Komisi Pemilihan Umum segera melaksanakan putusan itu dengan cermat dan segera menjadikan syarat domisili dalam UU Pemilu sebelumnya Nomor 12 Tahun 2003 sebagai norma dasar. Namun, DPD sangat menyesalkan pernyataan Ketua MK dalam sidang yang mengatakan akan mengusir Laode apabila hadir dalam sidang.

Pernyataan resmi itu disampaikan pimpinan DPD, Rabu.

”Kami menilai Ketua MK overreactive. Padahal, kami sudah minta maaf sebelumnya, tapi masih mengusir,” kata Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita.

Menurut Ginandjar, DPD tentu tidak akan memperpanjang persoalan ini, tetapi hanya ingin mendudukkan persoalan. ”Menghormati lembaga negara itu harus saling menghormati, tidak sepihak,” ucapnya. (ANA/SUT)



KOMPAS Cetak : Kata-kata Jimly Dinilai Tidak Patut