Saturday, May 31, 2008

USO Telekomunikasi: Good Move by DG Postel

Suatu PR's action yang cukup bagus dari Postel dengan menekankan ketertundaan pembangunan USO. Namun masalah hukum di Indonesia terkadang sulit untuk dimengerti dan dipahami. Judge it by yourself. But I do hope there is a solution for accelerating the development of the USO on Telecomm.


ES


Bisnis Indonesia Harian - Detail

Thursday, May 29, 2008

Menghitung hari kah?

BLT, BKM dan apapun namanya yang disebutkan Fadjrul sebagai kesalahan regim berkuasa saat ini perlu dicermati dengan bijak bestari. Apalagi ketika mahasiswa "dilecehkan" seperti ini. Sungguh suatu tantangan yang besar untuk kelanjutan kehidupan politik di Indonesia pada umumnya, serta kelangsungan proses pendidikan nasional, terutama pendidikan tinggi.

KOk semakin parah ya? Mari kita carikan jalan keluarnya. Semoga bersama kita bisa!


=======

KOMPAS Cetak : "Suap" untuk Mahasiswa?
"Suap" untuk Mahasiswa?
Kamis, 29 Mei 2008 | 00:41 WIB

M Fadjroel Rachman

Sungguh tak bermoral bila mahasiswa Indonesia menerima uang dari program Bantuan Khusus Mahasiswa yang diambil dari dana pengalihan subsidi BBM. Dapatkah uang tersebut ditafsirkan sebagai ”uang suap” karena dapat diduga diniatkan untuk meredam gerakan mahasiswa?

Bila pemerintah di bawah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), program Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) tidak pernah ada. Artinya, beban berat kenaikan harga BBM beserta totalitas dampak sosial, ekonomi, dan psikologis yang dipikul masyarakat dikompensasi dengan keuntungan mahasiswa melalui BKM.

Dapat dipertanyakan pula, bermoralkah sebuah rezim pemerintah yang tak becus mengelola kekayaan sumber daya minyak dan mineralnya, lalu membujuk kelompok penentangnya, khususnya mahasiswa, dengan program BKM?

Meredam gerakan mahasiswa

Tak pernah ada rencana pemerintah sebelumnya untuk mengalihkan subsidi BBM kepada mahasiswa Indonesia. Bahkan, debat di ”Kupas Tuntas” Trans7 (27/5) antara penulis dan Andi Mallarangeng (Juru Bicara Kepresidenan) hanya mengungkapkan bahwa subsidi BBM dialihkan kepada rakyat miskin melalui bantuan langsung tunai (BLT) senilai Rp 14,17 triliun, yang akan dibagikan pemerintah kepada 19,12 juta rumah tangga. Entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba saja muncul keputusan pemerintah membagi dana pengalihan subsidi BBM dalam program BKM. Sebanyak 400.000 mahasiswa dari 83 perguruan tinggi negeri dan 2.700 perguruan tinggi swasta akan menerima Rp 500.000 per semester mulai Juli 2008 (Kompas, 28/5).

Ada apa? Program ini adalah sikap reaktif dan panik pemerintah setelah mahasiswa di seluruh Indonesia menolak kenaikan harga BBM bersama beragam sektor masyarakat (buruh, tani, kaum miskin kota, perempuan, pemuda, dan lainnya) serta kelompok menengah dan oposisi. Konfrontasi tak terhindarkan lagi, terutama di Makassar, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, dan terakhir penyerbuan dan perusakan Kampus Universitas Nasional (Unas), Jakarta, dengan kekerasan brutal aparat yang mengakibatkan sekitar 140 mahasiswa ditahan serta terluka ringan dan berat. Sudah 200-an mahasiswa yang ditangkap aparat di seluruh Indonesia dan puluhan lainnya menjadi tersangka. Tersangka dari Unas saja 31 orang, ditahan sejak 24 Mei 2008.

Titik konfrontasi pemerintahan SBY-JK versus gerakan mahasiswa 2008 semakin tajam dan dipenuhi kekerasan serta rumah tahanan. Tentu penajaman konflik dan perluasan elemen masyarakat semakin mengkhawatirkan pemerintah. Ketika titik konfrontasi gerakan mahasiswa mengerucut, sebuah rezim tinggal menghitung hari kejatuhannya. Apakah berpola Jakarta, Mei 1998, untuk kemenangan status quo Orbais ataukah Filipina, 1986, untuk kemenangan para demokrat-progresif?

Dinamika politik penentunya dan gerakan mahasiswa 2008 jantung perubahannya. Program BLT, kekerasan, dan penjara, serta kini BKM dipadukan untuk meredamnya. Bisakah uang rakyat dipakai untuk mencari popularitas politik dan mempertahankan kekuasaan yang tak berpihak kepada rakyat. Becermin pada sejarah, tak ada cara untuk membalikkan arus sejarah gerakan mahasiswa ini.

BLT versus BKM

Mengapa BLT harus diterima rakyat, tetapi kenaikan harga BBM harus dibatalkan? Karena BLT tanpa kenaikan harga BBM pun adalah hak rakyat miskin seperti yang diamanatkan Konstitusi 1945, ”fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara”, jadi sebuah kewajiban konstitusional. Negara kapitalis seperti Amerika Serikat saja mengenal santunan untuk orang miskin lewat program social security-nya. Di negara-negara kesejahteraan (welfare state), seperti di Eropa Barat dan di Skandinavia seperti Swedia, Denmark, Norwegia, dan Finlandia, semua barang publik menjadi hak semua warga negara tanpa kecuali, apa pun tingkat sosialnya.

Di Swedia, misalnya, total jaminan kesejahteraan sosial dari produk domestik bruto (PDB) 24,1 persen (1980), 24,9 persen (1985), 27,3 persen (1990), dan 29,3 persen (1995). Lalu, kesehatan publik terhadap persentase total pengeluaran kesehatan 84,0 persen (1980), 83,6 persen (1985), 82,6 persen (1990), dan 80,8 persen (1990). Bandingkan, pendapatan per kapita Indonesia (metode Purchasing Power Parity) sebesar 3.210 dollar AS, sedangkan Swedia 26.600 dollar AS (Bank Dunia). Di Swedia, kemiskinan dan pengangguran diperangi sekaligus ketimpangan sosial diatasi dengan pajak progresif hingga 50-55 persen. Adakah pajak progresif untuk 200-an konglomerat Indonesia, salah satunya adalah seorang menteri yang kini terkaya di Indonesia dan Asia Tenggara (asetnya 9,2 miliar dollar AS atau Rp 84,6 triliun)?

Bila BLT mesti diterima rakyat, BKM haruslah ditolak, pertama, merupakan ”uang suap” untuk meredam gerakan mahasiswa 2008; kedua, merupakan ”uang haram” karena bukan hak mahasiswa Indonesia, tetapi hak rakyat dari pengalihan subsidi BBM; ketiga, merusak karakter gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik nilai dan bukan gerakan politik kekuasaan; keempat, menghancurkan integritas moral dan integritas intelektual mahasiswa Indonesia.

Nah, di titik inilah kita bertemu dengan sikap tegas yang menjadi cermin integritas moral dan intelektual mahasiswa Indonesia—karena mereka berjuang untuk rakyat, bukan untuk BKM—melalui Soe Hok Gie (Catatan Harian Seorang Demonstran), kata Gie, ”Lebih baik diasingkan daripada hidup dalam kemunafikan.”

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)

Minyak: Kutukan atau Berkah?

Tepat sekali apa yang disampaikan oleh guru besar yang sudah malang melintang di dunia pendidikan dan birokrasi Indonesia. Jelas ada suatu yang salah dalam management energi nasional. Tidak perlu penjelasan lebih detail lagi. Migas kita memang parah dan tak akan bangkit jika tidak ada perubahan paradigma sebenarnya.

ES

====
KOMPAS Cetak : Untuk Apa Punya Minyak?

Untuk Apa Punya Minyak?
Kamis, 29 Mei 2008 | 00:44 WIB

MT Zen

Dahulu, di zaman Orde Baru, saya masih ingat sekali bahwa setiap kali ada berita tentang turunnya harga minyak di pasaran dunia, Pemerintah Indonesia sudah berkeluh kesah. Pada waktu itu cadangan terbukti Indonesia tercatat 12 miliar barrel.

Kini, pada masa Reformasi ini, lebih khusus lagi selama kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, pemerintah juga berteriak, berkeluh kesah, dan panik apabila harga minyak meningkat di pasaran dunia.

Harga minyak turun berteriak, harga minyak naik lebih berteriak lagi dan panik. Jadi, apa gunanya kita punya minyak, sedangkan Indonesia sejak awal sudah menjadi anggota OPEC? Alangkah tidak masuk akalnya keadaan ini? Sangat kontroversial. Minyak itu tak lain adalah kutukan.

Cadangan tak tersentuh

Hingga kini Indonesia secara resmi disebut masih mempunyai cadangan minyak sebesar 9 miliar barrel. Memang betul, jika dibandingkan dengan cadangan minyak negara-negara Timur Tengah, 9 miliar barrel itu tidak ada artinya. Namun, jelas-jelas Indonesia masih punya minyak. Selain cadangan lama, cadangan blok Cepu belum juga dapat dimanfaatkan. Belum lagi cadangan minyak yang luar biasa besar di lepas pantai barat Aceh.

Perlu diketahui bahwa pada pertengahan tahun 1970-an Indonesia memproduksi 1,5 juta barrel per hari. Yang sangat mencolok dalam industri minyak Indonesia adalah tik ada kemajuan dalam pengembangan teknologi perminyakan Indonesia sama sekali.

Norwegia pada awal-awal tahun 1980-an mempunyai cadangan minyak yang hampir sama dengan Indonesia. Perbedaannya adalah mereka tidak punya sejarah pengembangan industri minyak seperti Indonesia yang sudah mengembangkan industri perminyakan sejak zaman Hindia Belanda, jadi jauh sebelum Perang Dunia ke-2. Lagi pula semua ladang minyak Norwegia terdapat di lepas pantai di Laut Atlantik Utara. Lingkungannya sangat ganas; angin kencang, arus sangat deras, dan suhu sangat rendah; ombak selalu tinggi.

Teknologi lepas pantai, khusus mengenai perminyakan, mereka ambil alih dari Amerika Serikat hanya dalam waktu 10 tahun. Sesudah 10 tahun tidak ada lagi ahli-ahli Amerika yang bekerja di Norwegia.

Saya berkesempatan bekerja di anjungan lepas pantai Norwegia dan mengunjungi semua anjungan lepas pantai Norwegia itu. Tak seorang ahli Amerika pun yang saya jumpai di sana sekalipun modalnya adalah modal Amerika, terkecuali satu; seorang Indonesia keturunan Tionghoa dari Semarang yang merupakan orang pertama yang menyambut saya begitu terjun dari helikopter dan berpegang pada jala pengaman di landasan. Dia berkata sambil tiarap berpegangan tali jala, ”Saya dari Semarang, Pak.” Dia seorang insinyur di Mobil yang sengaja diterbangkan dari kantor besarnya di daratan Amerika untuk menyambut saya di dek anjungan lepas pantai bernama Stadfyord A di Atlantik Utara.

Di sanalah, dan di anjungan- anjungan lain, saya diceritakan bahwa mereka tidak membutuhkan teknologi dari Amerika lagi. Mereka sudah dapat mandiri dan dalam beberapa hal sudah dapat mengembangkan teknologi baru, terutama dalam pemasangan pipa-pipa gas dan pipa-pipa minyak di dasar lautan. Teknologi kelautan dan teknologi bawah air mereka kuasai betul dan sejak dulu orang-orang Norwegia terkenal sebagai bangsa yang sangat ulet dan pemberani. Mereka keturunan orang Viking.

Ada satu hal yang sangat menarik. Menteri perminyakan Norwegia secara pribadi pernah mengatakan kepada saya bahwa Norwegia dengan menerapkan teknologi enhanced recovery dari Amerika berhasil memperbesar cadangan minyak Norwegia dengan tiga kali lipat tanpa menyentuh kawasan-kawasan baru. Ini sesuatu yang sangat menakjubkan.

Norwegia pernah menawarkan teknologi tersebut kepada Indonesia, tetapi mereka minta konsesi minyak tersendiri dengan persyaratan umum yang sama dengan perusahaan lain. Ini terjadi pada akhir tahun 1980-an. Namun, kita masih terlalu terlena dengan ”kemudahan-kemudahan” yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan Amerika. Pejabat Pertamina tidak mau mendengarkannya. Gro Halem Brundtland, mantan perdana menteri, menceritakan hal yang sama kepada saya.

Contoh lain, lihat Petronas. Lomba Formula 1 di Sirkuit Sepang disponsori oleh Petronas. Petronas itu belajar perminyakan dari Pertamina, tetapi kini jauh lebih kaya dibanding Pertamina. Gedung kembarnya menjulang di Kuala Lumpur. Ironisnya, banyak sekali pemuda/insinyur Indonesia yang bekerja di Petronas.

Kenapa banyak sekali warga Indonesia dapat bekerja dengan baik dan berprestasi di luar negeri, tetapi begitu masuk kembali ke sistem Indonesia tidak dapat berbuat banyak?

Jika kita boleh ”mengutip” Hamlet, dia bekata, ”There is something rotten, not in the Kingdom of Denmark, but here, in the Republic of Indonesia.”

Lengah-terlena

Salah satu kelemahan Indonesia dan kesalahan bangsa kita adalah mempunyai sifat complacency (perkataan ini tidak ada dalam Bahasa Indonesia, cari saja di kamus Indonesia mana pun), sikap semacam lengah-terlena, lupa meningkatkan terus kewaspadaan dan pencapaian sehingga mudah disusul dan dilampaui orang lain.

Lihat perbulutangkisan (contoh Taufik Hidayat). Lihat persepakbolaan Indonesia dan PSSI sekarang. Ketuanya saja meringkuk di bui tetap ngotot tak mau diganti sekalipun sudah ditegur oleh FIFA.

Apa artinya itu semua? Kita, orang Indonesia tidak lagi tahu etika, tidak lagi punya harga diri, dan tidak lagi tahu malu. Titik.

Ketidakmampuan Pertamina mengembangkan teknologi perminyakan merupakan salah satu contoh yang sangat baik tentang bagaimana salah urus suatu industri. Minyak dan gas di Blok Cepu dan Natuna disedot perusahaan-perusahaan asing, sementara negara nyaris tak memperoleh apa pun. Dalam hal ini, Pertamina bukan satu-satunya. Perhatikan benar-benar semua perusahaan BUMN Indonesia yang lain. Komentar lain tidak ada.

MT Zen Guru Besar Emeritus ITB

Wednesday, May 28, 2008

Masih Perlukan Menko Perekonomian?

Sebuah editorial lawas dari Media Indonesia yang mungkin dapat memberikan gambaran yang cukup tepat tentang status Kantor Menko Perekonomian menjelang berakhirnya masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu. Ada benarnya untuk tidak mengisi jabatan Menko dengan pejabat lama dari kabinet eksisting yang belum berhasil teruji kinerjanya selama menjabat.

Sayang sekali memang kekosongan Menko harus terjadi justru di saat kinerja Pak Budiono justru sedang menunjukan hasil yang cukup baik dalam mengkoordinasikan departemen terkait dan lembaga kementerian lainnya. Sulit dibayangkan jika ada beberapa isu lintas sektor atau wilayah yang harus dikoordinasikan oleh salah seorang menteri yang memang harus mencarikan jalan keluar atau solusi yang tiidak mudah. Beberapa kasus memang menunjukkan gejala demikian.

Namun tidak ada salahnya semua usaha dicoba dan kita doakan saja semua bisa berjalan baik dibawah komando SBY-JK yang tinggal dalam hitungan bulan saja.

Semoga.

===
Jumat, 16 Mei 2008 00:05 WIB

Masih Perlukah Menko Perekonomian?

SETELAH Boediono resmi menjabat Gubernur Bank Indonesia, mulai besok, ada kekosongan jabatan di kursi Menko Perekonomian yang ditinggalkan Boediono.
Kekosongan itu telah memunculkan spekulasi bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera akan mengangkat pejabat pengganti Boediono dan melakukan perombakan kabinet secara terbatas.
Bila benar itu yang terjadi, sesungguhnya tidak kondusif. Karena menentang arus pemikiran yang telah berkembang dalam masyarakat. Bahwa mengisi jabatan Menko Perekonomian saat usia Kabinet Indonesia Bersatu tinggal satu tahun adalah sebuah langkah yang tidak perlu, tidak urgen, dan pemborosan.
Adalah sepenuhnya hak prerogatif presiden untuk memilih, menentukan, atau mengganti para menteri di kabinet. Namun, pemenuhan hak prerogatif tersebut sejatinya tidak pernah terlepas dari asas kepatutan dan kepantasan.
Menunjuk Menko Perekonomian baru yang hanya akan menjabat satu tahun akan mengundang jauh lebih banyak pertanyaan daripada dukungan. Apalagi sudah diketahui masyarakat luas melalui pemberitaan di media massa bahwa Boediono telah menyelesaikan seluruh tugas dan target yang dibebankan kepadanya sebagai Menko Perekonomian hingga 2009.
Artinya, tidak ada lagi pekerjaan tersisa bagi Menko Perekonomian yang baru. Ini kata lain dari tidak perlu ada pengganti Boediono di kursi Menko Perekonomian. Tinggal memfungsikan dengan benar menteri-menteri terkait.
Selain itu, sudah banyak pula argumen dikemukakan, betapa fungsi koordinator tidaklah teramat penting selama menteri-menteri di lingkungan ekuin berfungsi baik. Mengosongkan kursi Menko Perekonomian akan membawa jauh lebih banyak manfaat daripada mudarat.
Ia akan menghemat biaya cukup besar dan mengurangi hiruk pikuk politik yang tidak perlu menjelang Pemilu 2009. Bila koordinasi diperlukan, bukankah presiden dan wakil presiden secara berkala dan terjadwal melakukan koordinasi langsung dengan para menteri? Bukankah fungsi koordinasi itu melekat dalam diri presiden dan wakil presiden?
Dengan demikian, sungguh tidak beralasan kuat bila Presiden Yudhoyono bersikeras mengisi jabatan Menko Perekonomian yang ditinggalkan Boediono dengan pejabat baru.
Yang jauh lebih terlihat bila keputusan itu diambil adalah kehendak untuk melampiaskan libido kekuasaan, nafsu menjabat, dan hasrat memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, tanpa menghiraukan krisis, keprihatinan, dan penderitaan yang tengah dihadapi sebagian besar warga masyarakat. Yang lebih tidak terpuji lagi adalah bila ada orang yang mau menerima jabatan itu.
Presiden Yudhoyono sekali lagi ditantang untuk menunjukkan level sensitivitasnya terhadap krisis. Ia tidak perlu mengisi jabatan Menko Perekonomian yang ditinggalkan Boediono. Apalagi, seperti yang santer disebut, ia akan menempatkan Purnomo Yusgiantoro dalam jabatan yang tidak ada urgensinya itu. Bila itu terjadi, SBY melakukan kekeliruan ganda. Mengisi jabatan menko yang sudah tidak mendesak dan menempatkan pejabat yang gagal. Mengurus satu departemen saja tidak becus, apalagi banyak departemen.


Monday, May 26, 2008

Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari. Kalau Terus Begini, Murid Nanti Kencingi Guru Sendiri



Courtesy of KOmpas.tv

Tidak pelak lagi, beberapa harian pagi hari ini menampilkan iring-iringan mobil pejabat tinggi yang melanggar peraturan daerah tentang CAR FREE DAY....!

Jelas sudah ini memperlihatkan kepada kita betapa sulitnya menegakkan disiplin, bukan terhadap orang lain tetapi terhadap diri sendiri. Kalau sudah begini, mungkinkah kita masih bisa bangkit? Jadi ingat, ketika saya harus buru-buru pulang membawa anak yang sedang sakit, terpaksa harus menunggu s/d jam 14.00 di perempatan Kebun Sirih-Thamrin.

Memang, godaan paling besar bagi pejabat

Wallahualam bissaawab!

==========

Friday, May 23, 2008

HENTIKAN ASAL TUDUH PNS

Semua mengalami perubahan. Mungkin itulah salah satu kenyataan yang harus diarifi oleh setiap makhluk hidup, termasuk yang ada di Indonesia tanpa kecuali. Karena itu, asal tuduh dan salah pandang terhadap kelompok tertentu dengan "prejudice" merupakan pengingkaran akan niat baik dan merupakan cermin kepicikan berpikir yang harus dihentikan.

Menarik memang mencermati permasalahan seputar PNS, apalagi memperhatikan setiap orang yang baru saja dapat amanat untuk suatu penugasan dimanapun ia berada. Tidak jarang orang menjadi sok tahu dan didorong hasrat ingin berbuat baik sering kali terpeleset kedalam pemikiran sempit tersebut.

Pemberitaan di Kompas hari ini adalah salah satunya. Tanpa berkaca akan diri sendiri dan lingkungan, semakin banyak pejabat baru dari berbagai kalangan terus tanpa henti menyombongkan diri dan menghujat profesi orang lain. Inilah salah satu alasan mengapa kita jalan di tempat. Lihat saja Kantor Menpan lebih banyak mengurusi dan ditugasi untuk hal-hal diluar bidang tugasnya. Banyak rekan saya pejabat baru di berbagai komisi menganggap diri mereka lebih bersih dan lebih baik. Padahal kita semua tahu bagaimana kualitas masing-masing ketika masih jadi PNS. Tanpa berbuat banyak ketika jadi PNS, dengan mudahnya pula membelokan pengalaman yang didapat untuk menyerang balik institusi tempat ia pernah bernaung.

Apalagi sebagai perangkat hukum di masa lalu, sisi dan cerita gelapnya sudah menjadi bacaan terang sehari-hari kita. SUngguh disayangkan, mengapa orang dengan mudah mengeneralisir profesi dan menutup mata terhadap kebaikan. Masih ingat kasus auditor BPK Khairiansyah Salman yang membuka kotak pandora korupsi di KPU tempo hari? Apakah kita layak terus menerus menghujat bahwa semua auditor di BPK atau BKPK adalah koruptor dan pemeras? Rasanya tidak pantas bukan? meski kita tahu perbaikan tidak berjalan cepat. Begitu pula dengan profesi PNS? PNS sangat luas cakupannya, termasuk juga aparat militer dan kepolisian. PNS adalah tulang punggung birokrasi pemerintahan yang bekerja untuk mengurus bangsanya. Ingat bangsa dan negara lah yang membutuhkan PNS untuk menggerakkan roda birokrasi. Lalu mengapa mereka hanya di gaji cukup untuk satu atau dua minggu saja. Inilah awalnya. Jangan dibalik-balik. Kemudian dengan gaji serba terbatas, dengan sadar atau memang kita dalam kegelapan dan lorong kegoblokan, mereka diserahi tanggung jawab besar dan mengelola kewenangan besar, termasuk masalah keuangan negara.

Jika hari ini Depkeu dan beberapa departemen dan lembaga lain seperti MA dan KPK kemudian digaji cukup untuk 4 bulan (ingat TUNJANGAN DI DEPKEU bisa mencapai Rp 40 juta sendiri...) diluar gaji resmi yang maksimal Rp 3 juta, pantaskah dan masih pantaskah anda menghujat seluruh PNS sedemikian rupa? Bukankah mereka kaum berpendidikan juga? Banyak diantara PNS sekarang yang telah menghabiskan uang rakyat (ingat uang rakyat yang masih di bayar utangnya) melalui APBN (rupiah murni+loan) untuk melanjutkan sekolah dan pendidikan hingga S2 dan S-3, tetapi kemudian mereka malah dicampakkan. Sekarang orang bisa menyalahkan sistem, tetapi semua itu semestinya tidak melegalisir "penghujatan PNS" seperti akan terus kita dengarkan. Disisi lain mereka dihujat, nanti dalam waktu tertentu mereka dipuja ketika mau bekerja sama atau berduet untuk menghabiskan uang rakyat dengan anda.

Sungguh...ada baiknya sekarang mulai menghentikan hujatan terhadap PNS, dan lebih baik semua mensinergikan ketangguhan masing-masing menjadi kekuatan bangsa. Tidak usahlah munafik, semua PNS atau anda yang pernah terlibat bekerja sama dulu dengan aparat, adalah bagian tidak terpisahkan dari mundurnya sejarah bangsa kita. Semua tahu semua dulu kebagian, hanya berbeda kadar dan jumlahnya. Tergantung nurani masing-masing dan kadar keimanan yang di anut. Untuk anda yang menjadi ahli hukum, anda tahu persis yang saya maksud, sehingga akan lebih mudah kita perbaiki bersama.

Sekali lagi, hentikan hujatan dan pelecehan terhadap PNS atau komponen bangsa lainnya, karena ia adalah bagian dari kita semua, termasuk anda di dalamnya. Dulu dan kini, karena selagi gaji mereka lebih kecil dari subsidi sapi di Eropa dan di Jepang...apalah yang bisa diperbaiki.

Semoga kita menapak hari depan yang lebih baik.

Wassalam

Bacaan terkait:
  1. PNS juga manusia biasa
  2. You pay peanut, you'll get monkey

KOMPAS Cetak : PNS Harus Ubah Kultur

Wednesday, May 21, 2008

Mulai main kayu nih....!

Menko Polhukam mulai main jurus harus ini harus itu...semoga tidak memperparah kondisi yang sudah agak parah.

Bupati dan Walikota Harus Dukung Program BLT.

Tuesday, May 20, 2008

Korsel Bantu Bangun TIK di UIN Jakarta

Sebuah berita di Media Indonesia dengan judul seperti diatas pada tanggal 18/5/08 halaman 9 cukup mengganggu pikiran saya. Betapa tidak? Korsel memberikan pinjaman lagi sebesar US$ 21 juta untuk pembangunan gedung pusat pelatihan tenaga ahli di bidang TIK, termasuk infrastruktur dan biaya training (sudah standar biasa dalam loan bilateral). Menjadi pertanyaan saya, apakah ini sudah di approve berdasarkan proses yang benar? Apakah sudah lewat Bappenas dan Depkeu yang menjaring loan. Kalau belum saya sangat sayangkan ini terjadi, karena saya amati UIN saat ini sedang membangun gedung besar-besaran dari berbagai sumber dana (utamanya pinjaman dari negara-negara Arab). Saya khawatir kalau pembangunan gedung-gedung tersebut tidak diimbangi dengan manusianya dan sistem pengajaran yang efektif. Alhasil gedung jadi, biaya pemeliharaan tidak ada, seperti banyak gedung pemerintah dan sekolah negeri lainnya yang akhirnya menggerogoti biaya operasional sehari-hari.

Just a though for a peace morning time.

ES

Monday, May 19, 2008

Sektor energi direformasi

Boleh-boleh saja mereformasi sektor energi, dan memang harus segera dilakukan. Tapi pengumuman ini janganlah dijadikan alasan pendukung untuk menaikkan harga BBM. Seperti biasa, jika ada permasalahan yang mendesak Dep ESDM selalu pintar berkelit, kemudian rencana mereka disetujui dan reformasinya atau syaratnya tadi tidaklah harus dikerjakan.

Masih ingat waktu ribut-ribut mau membangun pipa gas Kalimantan-Jawa yang sekarang akhirnya juga gak jelas. DUlu katanya akan menunggu hasil perhitungan neraca gas terbaru, persis seperti sekarang.

Deja Vu kata orang sono.

Sekali lagi, saya gak yakin dan memang sudah menjadi kebiasaan mereka untuk berkelit.

Semoga saya keliru.

ES


Bisnis.Com - Bisnis Indonesia Online: Referensi Bisnis Terpercaya » Edisi Cetak » Edisi Harian » Sektor energi direformasi

Bisnis 19 Mei 2008

Sektor energi direformasi

JAKARTA: Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyiapkan sedikitnya enam blue print (cetak biru) di bidang energi dan kelistrikan, selain sejumlah revisi peraturan menteri di bidang migas dan hulu migas.

Draf paket kebijakan ekonomi lanjutan yang segera diterbitkan pemerintah mengungkapkan cetak biru dan revisi kebijakan itu selesai pada akhir Desember 2008. Laporan itu menyebutkan reformasi kebijakan produksi sektor migas dan pertambangan menjadi prioritas fokus program pemerintah 2008-2009.

Kebijakan itu mulai dari penyederhanaan prosedur iklim usaha di sektor kelistrikan, diversifikasi, dan konversi energi hingga perbaikan tata kelola di sektor migas dan pertambangan (lihat tabel).

Sumber Bisnis mengungkapkan kebijakan di bidang infrastruktur kelistrikan dan energi merupakan program prioritas yang ditargetkan selesai sesuai jadwal.

"Pemerintah tidak akan memundurkan jadwal realisasi program di bidang infrastruktur kelistrikan dan energi. Itu akan dilakukan, kendati ada efisiensi dalam APBN-P 2008," ujarnya.

Menurut sumber tadi, seluruh fokus program pemerintah 2008-2009 dalam draf paket ekonomi lanjutan itu sudah disepakati oleh semua menteri dan pejabat terkait dalam rapat terakhir yang dipimpin Menko Perekonomian Boediono. Draf paket ekonomi lanjutan itu sudah diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Saat dikonfirmasi, Deputi Kemeneg PPN/Bappenas Bidang Sarana dan Prasarana Dedy S. Priatna menjelaskan fokus kebijakan ekonomi 2008-2009 itu akan dikukuhkan melalui instruksi presiden (Inpres).

Fokus kebijakan itu, lanjutnya, juga meliputi investasi untuk bidang pertambangan dan energi. "Kini [draf Inpres] sudah berada di Sekretariat Kabinet untuk disahkan."

Dedy menjelaskan fokus investasi di bidang pertambangan dan energi juga terkait dengan bidang lain. Dia memberi contoh kebijakan revisi Perpres No. 67/2005 tentang Kemitraan antara Pemerintah dan Swasta (Public Private Partnership/PPP) dalam membangun infrastruktur.

Sejak Perpres itu ditebitkan, belum ada investasi dengan skema PPP baru di Indonesia, meskipun dari sisi persaingan usaha Perpres No. 67/2005 sangat ideal. "Revisi Perpres [No. 67 /2005] ditargetkan selesai Desember 2008."

Dedy menerangkan fokus ekonomi 2008-2009 juga menyinggung persoalan harga jual listrik. Saat ini, lanjutnya,� margin perusahaan listrik hilir, seperti PT PLN dengan produsen bahan baku energi, sangat kecil. Itu terjadi karena adanya batasan harga pada produk akhir.�

Dirjen Migas Departemen ESDM Luluk Sumiarso menolak berkomentar karena mengaku belum mengetahui isi paket reformasi tersebut.

"Kebijakan itu dikoordinasikan oleh Menko Perekonomian. Saya tidak tahu isinya apa saja, sehingga saya tidak bisa mengomentari sesuatu yang belum saya ketahui."

Pembangkit listrik

Dirjen Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi, Departemen ESDM, Simon Felix Sembiring, menyatakan rumusan cetak biru penyediaan batu bara untuk program percepatan pembangkit 10.000 MW sudah disusun. Rumusan itu dibuat oleh Tim Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW yang diketuai Yogo Pratomo. "Cetak biru tersebut berisi jaminan pasokan batu bara."

Soal penetapan harga, Simon menilai hal itu bergantung pada kebijakan Menteri Keuangan. "Tetapi kalau harganya membubung tinggi,� pemerintah terpaksa harus ikut campur tangan."

Namun, peneliti dari Institut Teknologi Bandung Widjajono Partowidagdo menilai pemerintah harus tegas menetapkan harga bahan baku energi alternatif, setidaknya untuk mencapai target penyediaan listrik di perdesaan.

Dia memberi contoh sampai saat ini tidak ada petani yang bersedia membudidayakan tanaman jarak, padahal pemerintah sudah meluncurkan pengembangan bahan bakar nabati. Keengganan itu karena tidak ada kepastian harga jual produksi petani.

Situasi serupa juga terjadi pada pengembangan teknologi panas bumi, sehingga tidak ada investor yang tertarik mengembangkan pembangkit listrik bertenaga panas bumi di Indonesia. (rudi.ariffianto@bisnis.co.id/erna.girsang@bisnis.co.id/neneng.herbawati@bisnis.co.id)

Oleh Rudi Ariffianto, Erna S.U. Girsang & Neneng Herbawati
Bisnis Indonesia

Motor Gede, Kebangkitan Nasional, dan Wong Cilik


Sumber: Foto Kompas (18/5)




Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Dengan segala hormat kepada almarhum Sophan Sophiaan

Sungguh berat rasanya membayangkan orang seidealis Mas Sophan yang harus menjadi ketua rombongan acara Tour Moge Merah-Putih di tengah suasana prihatin akan kenaikan harga dan kelangkaan BBM, serta kesulitan wong cilik saat seperti ini. Di jalan penuh lobang dan jepitan panjang kerusakan, moge itu akhirnya melintas dan meminta korban jiwa Bung Sophan yang di hari-hari akhirnya justru sedang bergelut dengan pemikiran-pemikiran bernas bagaimana menyelematkan bangsa ini dari berbagai keterpurukan. Mungkinkah pikiran-pikiran bernas dan renungan itu melintas ketika beliau tour dan membungkam konsentrasinya di atas jalan beraspal? Saya hanya berandai, dan semoga Allah menerima almarhum di sisiNya.
AMin ya rabbal alamin.

Dari tayangan di bbrpTV diperlihatkan rombongan juga menyanyikan lagu Indonesia Raya, namun tayangan itu membuat saya semakin sedih, karena ketahuan bahwa bangsa kita memang masih terbelakang, meski sudah kaya sekalipun. DImana-mana juga orang menyanyikan lagu kebangasaan dengan melepas topi, tetapi dari tayangan terlihat peserta moge banyak yang masih sedang pakai helm.

Salam prihatin

ES
=========

Monday, May 19, 2008

Abdul Khalik , The Jakarta Post , Jakarta

The family of actor and politician Sophan Sophiaan is being advised to sue the government over road damage that may have contributed to the accident that claimed his life Saturday.

Legal experts, lawmakers and non-governmental organizations said Sunday that Sophan's family could take the government to court for negligence and failure to protect its citizens, resulting in death.

"There is jurisprudence in citizens successfully suing the government because of negligence that resulted in an accident," prominent legal expert Frans H. Winarta said.

He said a civil lawsuit against the government could be based on Article 1367 and Article 1365 of the civil law on official malfeasance leading to an incident that claims a life.

Sophan, an award-winning actor, died Saturday in a motorcycle accident near the border between Ngawi in East Java and Sragen in Central Java. He was taking part in a motorcade across Java in celebration of National Awakening Day.

Police said Sophan fell from his Harley-Davidson motorcycle when trying to avoid a large pothole. The motorcycle fell on top of him, breaking his ribs, crushing his lungs and causing internal bleeding.

Several members of the House of Representatives also suggested the family of the victim pursue a lawsuit.

"Enough is enough. The government must be held responsible for the accident so that it fixes the roads, and we don't have to see more fatal accidents," said Ganjar Pranowo of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P).

Lawmaker Mutammimul Ula of the Prosperous Justice Party (PKS) said legal action was necessary because many people had died in similar traffic accidents.

"The family can sue the government on behalf of Pak Sophan, or people along the border of Ngawi and Sragen can file a class action against the government if they think the damaged roads have endangered them," he said.

Potholes and damaged roads across the country have contributed to traffic accidents that kill thousands of people every year. In Jakarta, potholes created during the rainy season caused numerous accidents in February and March, in which dozens of motorists were killed, sparking public anger over poor road maintenance.

Aside from causing accidents, the potholes also hamper traffic flow and increase transportation costs for cargo vehicles.

Sophan, a former chairman of the PDI-P faction in the House, was buried Sunday at Tanah Kusir cemetery in South Jakarta. Thousands of people, including several ministers and lawmakers, attended the funeral.

Constitutional Court chief Jimly Asshiddiqqie led a prayer for Sophan before his burial, while President Susilo Bambang Yudhoyono and First Lady Ani Yudhoyono visited the family's home in Bintaro Jaya, South Jakarta, on Saturday to pay their last respects.

"We have lost a great man, who was working to improve the country's sense of nationalism. I hope his spirit will be carried on," Yuhoyono said.

---

Wednesday, May 14, 2008

The Jakarta Post - PLN to use fuels to light up Kalimantan.

What? Are you crazy?
You want to fire all that fuels in Kalimantan?
What? You out, You mind?

So where have all the coal gone?
and where have all the gas gone?
and where have all the logics gone?
and where have all the gas pipeline project gone?

They are going somewhere else over the border.

and where the money come from?
From subsidy? from people's money?

so when will we ever learn?

Oh G

====

The Jakarta Post - PLN to use fuels to light up Kalimantan 14 May 2008

PLN to use fuels to light up Kalimantan

The Jakarta Post, Jakarta
State power firm PLN will procure diesel-fuel electricity generators worth US$75 million this year to expedite power procurement for Kalimantan, an executive says.
PLN President Director Fahmi Mochtar said Monday the region suffered from a combined 250 megawatts (MW) power deficit.
He said the upcoming diesel-fired power generators had total a 150 MW capacity, and that he hoped they would put an end to the frequent blackouts plaguing the region.
"Using fuel-based oils is the faster solution for the deficit compared to building (coal-fired) power plants, which take longer to build," he said, adding that the procurement only comprised a short-term plan.
For the mid and long-term, PLN's director general of electricity and energy utilization, J.Purwono, said the firm would procure coal-fired power plants with a total capacity of 1,200 MW estimated to be worth a total of $1.2 billion.
"The power plants will be built by PLN and also other companies under the Independent Power Purchasing scheme," he said, adding that the government had received some commitments from a number of companies interested in the projects.
"But we are still evaluating their proposals so the opportunity is still open for other companies to join in the project."
The government targets the new power plants to begin operations by 2011.
Indonesia's current 56 percent electrification rate means almost half of the country's 220 millions people live in the dark.
The government embarked last year on a 10,000 MW project, under which PLN would build 25 coal-fired power plants with a total capacity of 6,900 MW in Java and 10 other units with a capacity of 3,100 MW outside Java by 2010.

Court ruling on Temasek reveals govt mismanagement: How come?

I dont think so...dont think so. Think about this:
  1. Before the ruling, all of the operator overcharged the customer.
  2. After the ruling, all of sudden the tariffs have been lowered, crazily lower to some extend.
  3. Therefore, no thing wrong with KPPU's decision to charge companies with anti competition policy. The fact, I my self, you and others pay much less after the ruling for a relatively steady usage of telephone, especially for GSM and CDMA services.
  4. Come on man....give people a break.
Best,

Eddy

===

Court ruling on Temasek reveals govt mismanagement

http://old.thejakartapost.com/detailheadlines.asp?fileid=20080513.A04&irec=3

Vincent Lingga, The Jakarta Post, Jakarta 13 MAy 2008

Legal matters, however complex and technical, should also follow commonsense logic.

To the laymen, the Central Jakarta District Court's ruling Friday that the Singapore government-owned Temasek holdings and its subsidiaries breached anti-competition laws through minority cross-ownerships in PT Indosat and PT Telkomsel is both a worrisome and confusing logic.

Consider the following facts:

Fact I: The Indonesian government-controlled PT Telkom owns 65 percent of Telkomsel and holds almost 15 percent of Indosat and a golden share that gives it special veto rights over corporate action, while Temasek indirectly holds only 35 percent of Telkomsel and almost 31 percent of Indosat.

Yet the court upheld the ruling by the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) last November declaring Temasek guilty of violating article 27 of the anti-trust law which prohibits a business group from owning majority stakes in companies operating in the same business activities which result in the control of more than 50 percent of the market.

Temasek therefore was ordered to sell all its stake in either Indosat or Telkomsel or halve its holdings in both cellular companies within 12 months.

Fact II: The boards of Indosat and Telkomsel include representatives of the Indonesian government and many prominent Indonesian businessmen who would have been aware of the operational and business issues at the respective cellular phone operators. The majority of Indosat's directors, including the chief executive officer, and the majority of Telkomsel's directors and commissioners, are nominated by the Indonesian government.

Yet the court decided that Temasek, through its cross-ownerships at both Indosat and Telkomsel, had controlled business decisions and corporate actions at both cellular operators.

Fact III: Both Telkomsel and Indosat are regulated businesses, operating within the guidelines of the Telecommunications Regulatory Authority.

Yet the court also upheld the KPPU ruling that Temasek and subsidiaries were guilty of monopolistic price fixing (article 17 of the anti-trust law).

The mind-boggling question then is this: Have the government, the regulatory body and Minister of State Enterprises Sofyan Djalil been so ignorant or pathetic as to have allowed Temasek to commit all the anti-monopoly practices cited by the KPPU and the district court despite its minority shareholdings at both Indosat and Telkomsel?

If Temasek, despite its minority shareholdings, was able to commit all the business sins as concluded by the court and the KPPU, that should raise big questions over the management of dozens of other state companies which have foreign or domestic investors as minority shareholders.

Further down the line, if the poor management and inadequate oversight of Indosat and Telkomsel, as revealed by the KPPU and the court rulings, is typical of the way the government treats state companies, then the Parliament should oppose the planned strategic sale of state-owned PT Krakatau Steel to either one of the four global steel giants -- ArcelorMittal, Tata Steel and Essar, all from India, and Australia's BlueScope Steel, which have been eying a stake of up to 40 percent in the country's largest steel company.

Temasek will certainly appeal against the decisions at the Supreme Court. Since the court also ordered divestment, the government should brace for a long legal battle as Temasek may bring up the case with the World Bank's arbitration body, the International Center for the Settlement of Investment Dispute, in Washington.

Simply throwing in the towel out of frustration with the court system here could be interpreted by the market as Temasek's admission of business sins at the expense of its reputation all over the world.

A ruined reputation would adversely affect Temasek investment operations overseas, investments on which this government's investment holdings have relied increasingly for income growth.

Hence, there is no other alternative for Temasek but to fight it out up to the Supreme Court even in spite of all the risks and uncertainty about the legal proceedings and final results.

Until a credible appeal verdict -- favoring either side -- is issued, the case will continue to cast a long shadow over Indonesia's legal system and the KPPU as an independent body responsible for enforcing the 1999 competition law, which serves as the constitution of the market mechanism.

---------

Tuesday, May 13, 2008

Editorial Media ttg Kisruh Minyak Indonesia

Dari dulu juga sudah dikatakan bahwa yang paling penting itu adalah bagaimana memanfaatkan kenaikan harga minyak yang (sebenarnya) sangat kita harapkan sebagai produsen minyak. Tapi jangan kan gaji PNS atau kesejahteraan karyawan meningkat dan daya beli berlipat, eh..kita malah semakin terpuruk karena produksi tidak mampu mengoffset besaran subsidi yang akan semakin membengkak.

Alhasil, bukannya tambah sejahtera...bangsa ini semakin menderita.

Belum lagi kalau di telaah lebih lanjut kebijakan energi kita yang memang semakin sembrawut. Cobalah renungkan, berpuluh-puluh tahun Pertamina "gagal" perform, tetapi ketika dibentuk lembaga atau komisi baru BP MIgas dan BPH Migas, malah jadi tempat penampungan orang2 PErtamina. Kedua, kebijakan energi berantakan dimana gas dalam bentuk LNG terus menerus diekspor. PAdahal SBY dalam kongres GMNI pada Maret 2006 lalu TEGAS-TEGAS telah menyatakan bahwa seluruh kontrak ekspor LNG yang habis masa lakunya pada 2009/2010 tidak diperpanjang. Tapi ternyata kasak-kusuk berbagai pihak jadilah JK dan SBY melawat ke Jepang dan Korea, sehingga semua lupa dan perpanjangan kontrak juga berlanjut untuk puluhan tahun ke depan. Sebelumnya agar tidak terus menerus di ekspor...pernah di ajukan proyek Pipanisasi gas Kalimantan-Jawa dalam acara Infrastructure SUmmit, yang dimaksudkan membantah argumentasi selama ini mengapa gas terus di ekspor karena tidak ada infrastruktur untuk menyalurkannya ke daerah lain. Tetapi setelah proses tender dibuka dan dimenangkan oleh kontraktor lokal, berbagai pihak secara apik "koor" bahwa reservenya tidak mencukupi. Dan proyek pipanisasi tersebut tidak lagi terdengar kabar beritanya.

Berbagai perjuangan lain untuk mengangkat partisipasi masyarakat juga gagal total, terutama untuk mencari energi alternatif. Bayangkan saja, hanya ada di Indonesia dimana masyarakat yang kreatif membangkitkan listrik dari sumber alternatif seperti air dan sekam padi, justru "dihukum" bukannya diberi insentif. Tatkala mereka ingin menjual ekses supply kepada PLN, "boro-boro" listrik mereka dihargai lebih, tetapi oleh peraturan menteri listrik mereka baru akan dibeli dengan harga o,7 HPP tegangan rendah dan 0,8 HPP tegangan menengah. Apak kata dunia? Diluar negeri harganya justru dibeli lebih mahal dari harga pokok penjualan PLN. Jadi bukannya 0.7 atau 0.8 tetapi adalah 1,x; dimana x adalah insentif dari pemerintah atau operator.

Singkat kata...minyak liftingnya gagal, gas dijual habis-habisan, diikuti batu bara yang telah menyulap ratusan orang kaya baru dari Kalimantan dan Jakarta (gak percaya cek properti di Pondok Indah dan Menteng..sudah banyak dibeli mereka), sementara rakyat semakin terteror BBM. Ditambah lagi dengan tidak jelasnya program konversi mulai dari minyak tanah ke briket batu bara; baru mulai dipindah ke gas LPG yang 3 kg (hanya bertahan untuk 2 kali memasak rendang padang); lalu loncat lagi ke bio fuel dan minta petani di daerah kritis menanam jarak dan setelah panen tidak ada yang beli; lalu loncat lagi ke berbagai energi alternatif lain yang tidak terprogram.

Capek deh....dan kalau banyak yang menuntut menteri esdm serta jajaran bertanggungjawab, rasa-rasanya sah sah saja, atau malah terlambat sudah?


Berita terkait: "Open Sourcing" Oil and Gas Sector, Jakarta Post
======
Editorial - Penanggung Jawab Minyak Indonesia 12 Mei 08

Penanggung Jawab Minyak Indonesia

DALAM 10 tahun terakhir, dunia perminyakan Indonesia tidak terlepas dari sosok Purnomo Yusgiantoro. Dialah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Dia menduduki jabatan ini sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri sampai dengan masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini.

Krisis yang sedang melanda negara ini sekarang berkaitan erat dengan pergerakan harga minyak di pasar dunia yang sama sekali berada di luar kemampuan kita untuk mengendalikannya. Namun, menurut kalkulasi pemerintah, krisis minyak yang memaksa kenaikan harga BBM tidak terelakkan disebabkan ketidakmampuan Indonesia meningkatkan produksi minyak mentah.

Di sinilah sesungguhnya malapetaka itu. Realisasi produksi minyak mentah atau lifting Indonesia selama ini tidak pernah melampaui angka 1 juta barel per hari. Tetapi, anehnya, dalam proyeksi penerimaan APBN, minyak mentah Indonesia selalu diasumsikan berada pada tingkat di atas 1 juta barel per hari.

Produksi minyak yang terus merosot, sekarang sekitar 900 ribu barel per hari, terjadi bersamaan dengan optimisme pemerintah yang tinggi bahwa di dalam perut bumi negeri ini tersimpan minyak mentah berlimpah. Lelang blok-blok eksplorasi terus diobral, tetapi hasilnya tidak memuaskan kalau tidak mau dikatakan nihil.

Antara keyakinan pemerintah dan realisasi produksi tidak sejalan. Kita tidak saja dirundung malapetaka harga minyak yang tidak terkontrol, tetapi juga dihajar bencana pembayaran cost recovery yang amat mahal.

Jadi, dalam dunia perminyakan, Indonesia menderita tiga kali. Menderita karena produksi yang terus merosot. Menderita karena harga yang tidak terkontrol. Dan dihajar lagi penderitaan oleh cost recovery yang mencekik. Para analis berpendapat, Indonesia akan menghadapi bencana sosial hebat bila harga minyak menyentuh US$150 per barel.

Bila tren sekarang tidak terbendung, harga US$150 per barel akan terjadi tahun ini juga. Harga minyak sekarang bertengger pada kisaran US$120 per barel.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil tanggung jawab luar biasa berani ketika memutuskan untuk menaikkan harga BBM dalam waktu dekat. Luar biasa berani karena keputusan menaikkan harga BBM mengingkari janji Presiden sebelumnya.

Pada titik ini, sudah sepatutnya kita bertanya, siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab dalam kegagalan produksi minyak Indonesia?

Ketika asumsi APBN dikoreksi berulang kali, seakan-akan kegagalan itu adalah tanggung jawab Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian. Belum pernah kita mendengar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengatakan bertanggung jawab atas kegagalan lifting minyak Indonesia. Kegagalan yang menjerumuskan bangsa dan negara ke bencana yang mengerikan.

Kita tidak tahu apakah Presiden pernah meminta pertanggungjawaban dari menteri yang satu ini atas kegagalan produksi minyak nasional.



for my eyes only!

Saturday, May 10, 2008

The Jakarta Post - Court lessens punishment for Temasek

It's clear now that KPPU is on the right track to punish Temasek groups. Eventhough, Temasek's lawyer is going to appeal Supreme Court very soon, the prove is everywhere. Nowadays, using our cellphone costs less before the KPPU's decision a couple months ago. Using text or SMS just costs one fourth before the case raised. Lets people judge by themselves, whether or not KPPU is right.

Again, once should keep the questions in his or her mind. "How much money has been gone from people pockets just for the sake of over pricing and over profiting by the operators in the last five years? So..where have all the moneys gone?"

The Jakarta Post - Court lessens punishment for Temasek

Monday, May 05, 2008

Edamame From Lembang



Kacang kedelai rebus adalah salah satu makanan kesukaan saya. Sejak kecil, ketika itu saya ingat sekali di atas ngarai Bukittinggi, Sumatera Barat, tatkala nenek saya Mardiana membelikannya. Beberapa ikat kacang kedelai rebus segera saya lahap. Sambil mengikuti Sang nenek yang masih terus berbelanja di pasar, persis di pertigaan jalan atas ngarai ke jalan kecil yang menurun tajam menuju lembah ngarai Sianok yang terkenal itu. Kenangan makan kacang kedelai ketika saya masih belum masuk sekolah, TK sekalipun, terus membayangi dan menambah kelezatan butir demi butir kedelai yang langsung saya hisap dari kulitnya.

Asinnya air kacang yang sangat khas telah membuat saya ketagihan. Tanpa malu, sering saya membeli kedelai rebus itu. Sewaktu "sakola" di Bandung pun tidak ketinggalan. Rebusan berbagai macam kacang-kacangan selalu tersedia dengan harga murah di berbagai pelosok Kebun Bibit, Ganesha, atau Kebun Binatang, Plesiran, dan Balubur....daerah yang sering saya lewati menuju kampus. Sewaktu di Asrama F ITB pun saya tinggal melangkahkan kaki ke depan rumah dan membeli beberapa ikat untuk dinikmati.

Tidak lupa pula ketika sudah mulai kerja dan berpenghasilan di tahun 1980-an, termasuk ketika sering menghadiri jamuan makan malam atau makan siang di beberapa rumah makan Jepang. Kedelai rebus atau dikenal juga dengan Edamame dalam "nihongo" ini terus saya nikmati. Saking sukanya saya, terkadang sering saya keasikan makan edamame ini sampai menu utama nya saya tunda.

Ketika sering bolak balik ke Bandung (ketika itu masih lewat Puncak-Cianjur), beberapa kali kami sekeluarga sempat berhenti dan membeli kedelai langsug dari petani yang tengah mencabuti panen mereka. Meski buahnya kecil-kecil kelezatannya tidak ada tara. Sampai di Bandung biasanya kami langsung merebus kedelai untuk dimakan begitu saja sebagai cemilan.

Rasa lezatnya kedelai memaksa saya secara berkala memcarinya di berbagai toko khusus asia ketika dulu menetap selama 2 tahun di US. Berbagai toko dan groceries yang dimiliki oleh etnis keturunan Cina, Kamboja, Thailand dan Vietnam biasanya menjual kedelai ini dengan harga yang cukup mahal, namun memiliki buah besar-besar. Singkat kata, hingga ke ujung New England di US sanapun saya masih menikmati kedelai rebus ini.

Nah..persis kemaren Sabtu 4 Mei 2008, saya pun "terpincut" ketika di sebuah factory outlet juga dijual kedelai rebus ini dalam kemasan kecil dengan harga Rp 5000,0 . Saya pun membeli beberapa bungkus, karena dapat menjadi obat kantuk ketika saya berada di belakang kemudi. Namun kedelai yang menurut penjualnya ditanam di Lembang ini di bungkus dalam kemasan dengan istilah Edamame tadi. "Brand" yang dengan rendah dirinya telah dipakai si pengusaha dan menambahkan bahwa kedelai adalah cemilan no "Iji" di Jepun sana. Alhasil, jadilah "Edamame" from Lembang. Buahnya tidak kalah besar dengan "Edamame" yang sering saya cicipi di berbagai restoran Jepang atau yang pernah saya beli di US dulu.

Tidak ada masalah sebenarnya, kecuali sebaris pertanyaan dalam benak saya yang kembali mengusik rasa nasionalisme. Mengapa untuk menjual atau memasarkan produknya, maka bangsa ini harus rendah diri, tidak ada kebanggaan, merasa minder, dan malu untuk mencari "brand" sendiri dan memuat logo atau slogan yang cukup mentereng dan meningkatkan rasa memiliki sebagai bangsa Indonesia. Jelaslah, ditengah berbagai penyakit sosial dan keterpurukan ekonomi, kita juga memiliki penyakit bermental rendah diri (bukan rendah hati) yang sudah tergolong sangat parah. Semoga Edamame atau kedelai bisa di carikan istilah yang pantas untuk dikemas, apalagi kalau itu harus dari Bandung yang menjadi salah satu kota paling kreatif di Asia Timur.

Semoga, jauhlah rasa minder, rendah diri, tidak berbudaya dari bangsaku Indonesia. AMin.

ES

Kemasan Edamame yang cukup kuat.


Stand Penjualan Edamame di Jl Dago, Bandung