Thursday, May 29, 2008

Menghitung hari kah?

BLT, BKM dan apapun namanya yang disebutkan Fadjrul sebagai kesalahan regim berkuasa saat ini perlu dicermati dengan bijak bestari. Apalagi ketika mahasiswa "dilecehkan" seperti ini. Sungguh suatu tantangan yang besar untuk kelanjutan kehidupan politik di Indonesia pada umumnya, serta kelangsungan proses pendidikan nasional, terutama pendidikan tinggi.

KOk semakin parah ya? Mari kita carikan jalan keluarnya. Semoga bersama kita bisa!


=======

KOMPAS Cetak : "Suap" untuk Mahasiswa?
"Suap" untuk Mahasiswa?
Kamis, 29 Mei 2008 | 00:41 WIB

M Fadjroel Rachman

Sungguh tak bermoral bila mahasiswa Indonesia menerima uang dari program Bantuan Khusus Mahasiswa yang diambil dari dana pengalihan subsidi BBM. Dapatkah uang tersebut ditafsirkan sebagai ”uang suap” karena dapat diduga diniatkan untuk meredam gerakan mahasiswa?

Bila pemerintah di bawah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), program Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) tidak pernah ada. Artinya, beban berat kenaikan harga BBM beserta totalitas dampak sosial, ekonomi, dan psikologis yang dipikul masyarakat dikompensasi dengan keuntungan mahasiswa melalui BKM.

Dapat dipertanyakan pula, bermoralkah sebuah rezim pemerintah yang tak becus mengelola kekayaan sumber daya minyak dan mineralnya, lalu membujuk kelompok penentangnya, khususnya mahasiswa, dengan program BKM?

Meredam gerakan mahasiswa

Tak pernah ada rencana pemerintah sebelumnya untuk mengalihkan subsidi BBM kepada mahasiswa Indonesia. Bahkan, debat di ”Kupas Tuntas” Trans7 (27/5) antara penulis dan Andi Mallarangeng (Juru Bicara Kepresidenan) hanya mengungkapkan bahwa subsidi BBM dialihkan kepada rakyat miskin melalui bantuan langsung tunai (BLT) senilai Rp 14,17 triliun, yang akan dibagikan pemerintah kepada 19,12 juta rumah tangga. Entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba saja muncul keputusan pemerintah membagi dana pengalihan subsidi BBM dalam program BKM. Sebanyak 400.000 mahasiswa dari 83 perguruan tinggi negeri dan 2.700 perguruan tinggi swasta akan menerima Rp 500.000 per semester mulai Juli 2008 (Kompas, 28/5).

Ada apa? Program ini adalah sikap reaktif dan panik pemerintah setelah mahasiswa di seluruh Indonesia menolak kenaikan harga BBM bersama beragam sektor masyarakat (buruh, tani, kaum miskin kota, perempuan, pemuda, dan lainnya) serta kelompok menengah dan oposisi. Konfrontasi tak terhindarkan lagi, terutama di Makassar, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, dan terakhir penyerbuan dan perusakan Kampus Universitas Nasional (Unas), Jakarta, dengan kekerasan brutal aparat yang mengakibatkan sekitar 140 mahasiswa ditahan serta terluka ringan dan berat. Sudah 200-an mahasiswa yang ditangkap aparat di seluruh Indonesia dan puluhan lainnya menjadi tersangka. Tersangka dari Unas saja 31 orang, ditahan sejak 24 Mei 2008.

Titik konfrontasi pemerintahan SBY-JK versus gerakan mahasiswa 2008 semakin tajam dan dipenuhi kekerasan serta rumah tahanan. Tentu penajaman konflik dan perluasan elemen masyarakat semakin mengkhawatirkan pemerintah. Ketika titik konfrontasi gerakan mahasiswa mengerucut, sebuah rezim tinggal menghitung hari kejatuhannya. Apakah berpola Jakarta, Mei 1998, untuk kemenangan status quo Orbais ataukah Filipina, 1986, untuk kemenangan para demokrat-progresif?

Dinamika politik penentunya dan gerakan mahasiswa 2008 jantung perubahannya. Program BLT, kekerasan, dan penjara, serta kini BKM dipadukan untuk meredamnya. Bisakah uang rakyat dipakai untuk mencari popularitas politik dan mempertahankan kekuasaan yang tak berpihak kepada rakyat. Becermin pada sejarah, tak ada cara untuk membalikkan arus sejarah gerakan mahasiswa ini.

BLT versus BKM

Mengapa BLT harus diterima rakyat, tetapi kenaikan harga BBM harus dibatalkan? Karena BLT tanpa kenaikan harga BBM pun adalah hak rakyat miskin seperti yang diamanatkan Konstitusi 1945, ”fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara”, jadi sebuah kewajiban konstitusional. Negara kapitalis seperti Amerika Serikat saja mengenal santunan untuk orang miskin lewat program social security-nya. Di negara-negara kesejahteraan (welfare state), seperti di Eropa Barat dan di Skandinavia seperti Swedia, Denmark, Norwegia, dan Finlandia, semua barang publik menjadi hak semua warga negara tanpa kecuali, apa pun tingkat sosialnya.

Di Swedia, misalnya, total jaminan kesejahteraan sosial dari produk domestik bruto (PDB) 24,1 persen (1980), 24,9 persen (1985), 27,3 persen (1990), dan 29,3 persen (1995). Lalu, kesehatan publik terhadap persentase total pengeluaran kesehatan 84,0 persen (1980), 83,6 persen (1985), 82,6 persen (1990), dan 80,8 persen (1990). Bandingkan, pendapatan per kapita Indonesia (metode Purchasing Power Parity) sebesar 3.210 dollar AS, sedangkan Swedia 26.600 dollar AS (Bank Dunia). Di Swedia, kemiskinan dan pengangguran diperangi sekaligus ketimpangan sosial diatasi dengan pajak progresif hingga 50-55 persen. Adakah pajak progresif untuk 200-an konglomerat Indonesia, salah satunya adalah seorang menteri yang kini terkaya di Indonesia dan Asia Tenggara (asetnya 9,2 miliar dollar AS atau Rp 84,6 triliun)?

Bila BLT mesti diterima rakyat, BKM haruslah ditolak, pertama, merupakan ”uang suap” untuk meredam gerakan mahasiswa 2008; kedua, merupakan ”uang haram” karena bukan hak mahasiswa Indonesia, tetapi hak rakyat dari pengalihan subsidi BBM; ketiga, merusak karakter gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik nilai dan bukan gerakan politik kekuasaan; keempat, menghancurkan integritas moral dan integritas intelektual mahasiswa Indonesia.

Nah, di titik inilah kita bertemu dengan sikap tegas yang menjadi cermin integritas moral dan intelektual mahasiswa Indonesia—karena mereka berjuang untuk rakyat, bukan untuk BKM—melalui Soe Hok Gie (Catatan Harian Seorang Demonstran), kata Gie, ”Lebih baik diasingkan daripada hidup dalam kemunafikan.”

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)

No comments: