Thursday, December 30, 2010

Surat Untuk Firman - by ES Ito (bukan Eddy Satriya - lho)



Surat untuk Firman

Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?

Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.

Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.

Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.

Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan! 



+++

Disadur dari email seorang teman. semoga sesuai aslinya.

Sunday, October 03, 2010

Taxi bandara masih saja brengsek!

Jangan kan untuk subsektor perhubungan yang masih ketinggalan zaman spt KA, untuk jenis moda yg sudah pasti untung dan menjadi "facebook" bangsa kita saja, AP tidak bisa mengatur. saya untuk kesekian kalinya kecewa, karena mmg gak bawa mobil..akhirnya pilih damri. minta dijemput? kan tambah macet boo..apa gak bisa yah dijewer atau tutup saja armada yang cacat ini? tiga taksi pertama dari kanan saya coba..gak mau bawa ke pondok cabe meski argo cukup besar...gak habis pikir saya. atau memang tampang saya tampang bokek gak punya uang kale yah? haha
Taxi bandara brengsek ini msh pilih2 penumpang. Cacat deh. 3 okt 10. Argo 150 rb pun ditolak. MasyaAllah?

Apa yang ada di otak kawan saya birokrat yang mengimpor dulu ya?

Saya tidak habis pikir, bagaimana orang asing melihat kita ketika ia naik bus bekas yang justru kita pakai untuk mengantar mereka datang ke Indonesia.

Jgn lupa. Ada bus bekas impor pula di bandara kita.

Saturday, September 18, 2010

Pelajaran Berharga untuk Telkom Group.

 (dari comment saya di FB.


Iya.. neh..sy juga sepet liat marah2 gak jelas. apa emang telkom group yang lalai..? itu kan pelaksananya Polisi namun menggunakan jasa telekomunikasi provider, bisa siapa saja. Mestinya executing agency dulu yang disemprot. jangan2 pelaksananya juga belum bayar jasa (spt biasa)? Pelajaran berharga buat teman2 telkom group...business is business, meski pelat merah..harus lebih profesional dalam melayani. jangan hanya karena merasa ingin membantu, melupakan kontrak tertulis. dan kalau tidak bersalah seyogyanya juga berani "menginfokan" kondisi pekerjaan. kalau perlu buat press conference. Tidak usah takut kehilangan jabatan, bos RF. malu lebih berharga untuk diberesin dari sekedar jabatan. Buktikan kita sekarang jadi pimpinan bisa tampil beda degnan jaman "jahiliyah" di era orde baru (yang tidak sema nya jelek).

==============
Jumat, 17/09/2010 23:04 WIB
Teleconference SBY Pakai Jaringan Internal Polri
Aprizal Rahmatullah - detikNews
http://www.detiknews.com/read/2010/09/17/230440/1442773/10/mabes-polri:-teleconference-sby-pakai-jaringan-internal


Jakarta - Teleconference Presiden SBY saat memantau arus balik di Cikopo terganggu infrastruktur yang mati. Mabes Polri mengatakan teleconference yang biasa dilakukan polisi menggunakan jaringan sendiri. Hanya saja untuk jaringan CCTV bisa dilakukan pihak luar.

"Kalau teleconference itu kita punya jaringan sendiri namanya intranet. Itu dipakai antar sesama polisi saja," kata Kepala Pusat Info Pengolah Data Divisi Telematika Mabes Polri Brigjen Robert Kodong saat dikonfirmasi detikcom, Jumat (17/9/2010) malam.

Robert mengatakan, intranet digunakan untuk semua jaringan teleconference polisi di seluruh Polda di Indonesia. Sementara untuk jaringan CCTV diserahkan kepada Dirlantas masing-masing Polda.

"Kalau jaringan CCTV saya nggak tahu, Mas. Mungkin bisa tanya Dirlantas atau Dephub," kata Robert.

Robert mengaku tidak mengetahui adanya gangguan jaringan saat SBY melakukan teleconference di Pospol Cikopo. "Saya belum tahu soal itu," jelasnya.

Sebelumnya, pihak Telkomsel menegaskan jaringan CCTV arus mudik lebaran yang dipantau Presiden SBY saat teleconference di Cikopo tak menggunakan jaringannya. Namun pihaknya tak mau menjelaskan jaringan apa yang digunakan saat teleconference itu dilakukan.

Hal ini disampaikan oleh GM Corporate Communication Telkomsel Ricardo Indra kepada detikcom, Jumat (17/9/2010).

"Ini bukan Telkomsel. Jadi kami klarifikasi itu bukan dari kami. Kami selalu siap sejak sebulan sebelum Lebaran untuk melakukan pengecekan terhadap jaringan kami," jelasnya.

Seperti diketahui, rencana Presiden SBY memantau arus balik Lebaran 2010, terganggu dengan matinya koneksi CCTV dari Telkom dan Telkomsel di Pospol AJU Cikopo. SBY pun kesal dan meminta para petinggi perusahaan itu turun tangan.

Ketika SBY datang ke Pospol AJU Cikopo, Cikampek, Jumat (17/9/2010) pukul 09.30 WIB, TV flat screen yang semestinya menampilkan gambar CCTV sudah dalam kondisi mati. SBY pun langsung menegur Dirut Telkom dan Telkomsel.

Namun, Ricardo mengatakan, teguran yang disampaikan Presiden ini membuat perseroan terus berintrospeksi atas kejadian tersebut.

Menurut kabar yang beredar, teleconference yang dilakukan oleh Presiden SBY menggunakan jaringan kepolisian yang bernama ComMob. Jaringan ini merupakan jaringan komunikasi khusus via satelit.

Jadi sebenarnya teleconference tersebut tidak menggunakan jaringan Telkomsel melainkan jaringan kepolisian yang mengalami kerusakan.

(ape/nrl)

==============
Diomeli SBY, Dirut Telkom dan Telkomsel Menghadap Menteri BUMN
Whery Enggo Prayogi - detikFinance


Jakarta - Direktur Utama PT Telkom Tbk Rinaldi Firmansyah dan Direktur Utama PT Telkomsel Sarwoto Atmosutarno akhirnya datang menghadap Menteri BUMN Mustafa Abubakar untuk mengklarifikasi masalah matinya CCTV pemantau arus balik Presiden SBY.

Mereka berdua datang pukul 17.05 WIB ke kantor Menteri BUMN, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Jumat (17/9/2010).

Keduanya terlihat tersenyum kepada wartawan yang menyapanya.

Seperti diketahui, rencana Presiden SBY memantau arus balik Lebaran 2010, terganggu dengan matinya koneksi CCTV dari Telkom dan Telkomsel di Pospol AJU Cikopo. SBY pun kesal dan meminta para petinggi perusahaan itu turun tangan.

Hal ini turut membuat Menteri BUMN Mustafa Abubakar geram. Mustafa mengatakan, dirinya sudah meminta laporan langsung kepada Direktur Utama Telkom Rinaldi Firmansyah soal kejadian tersebut.

"Yang jelas saya concern tentang hal itu dan siap menindaklanjuti perintah Presiden. Supaya Telkom dan Telkomsel menemukan di mana letak gangguannya," katanya. (dnl/dro)

GRATIS! puluhan voucher pulsa! ikuti terus berita dari DetikFinance di Hape-mu.
Ketik REG FIN kirim ke 3845 (khusus pelanggan Indosat Rp.1300/hari)

========== 

Menteri BUMN: Harusnya Telkom dan Telkomsel Back Up Jaringan Polisi
Whery Enggo Prayogi - detikFinance
http://www.detikfinance.com/read/2010/09/17/195859/1442729/6/menteri-bumn-harusnya-telkom-dan-telkomsel-back-up-jaringan-polisi


Jakarta - Menteri BUMN Mustafa Abubakar menegur keras Direksi Telkom dan Telkomsel. Seharusnya jaringan Telkomsel bisa melapisi (back up) jaringan polisi jika ada gangguan seperti yang terjadi saat CCTV pemantau arus balik yang dipantau Presiden SBY.

"Saya kembali mewanti-wanti kesiapan dan harus lebih hati-hati dan save sampai arus libur lebaran. Mereka (Telkom dan Telkomsel) juga harusnya bisa back up polisi supaya jangan ada kesulitan di polisi. Karena pemantauan juga dari jaringan mereka," tegas Mustafa ketika ditemui di kantornya, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Jumat (17/9/2010).

Mustafa mengatakan dirinya sudah melakukan teguran keras kepada Dirut Telkom dan Telkomsel karena kejadian tersebut. Surat teguran sudah ditandatangani Mustafa hari ini.

Saat ini Mustafa menunggu laporan dari Telkom dan Telkomsel terhadap kejadian tersebut.

"Kita akan lapor ke Presiden paling lambat Senin depan. Kalau kejadian ini dianggap sebuah ketidakberesan, inikan acara kenegaraan jadi ini penting. Karena ada kepala negara jadi harus ekstra hati-hati. Seyogyanya pimpinan Direktur atau Dirut melakukan pendampingan langsung atau tidak langsung. Ke depan kalau ada event-event penting harus diperhatikan," tutur Mustafa.

Menurut kabar yang beredar, teleconference yang dilakukan oleh Presiden SBY di Pospol AJU Cikopo, Cikampek, Jumat (17/9/2010) menggunakan jaringan kepolisian yang bernama ComMob. Jaringan ini merupakan jaringan komunikasi khusus via satelit.

Jadi sebenarnya teleconference tersebut tidak menggunakan jaringan Telkomsel melainkan jaringan kepolisian yang mengalami kerusakan.

(dnl/dnl)

Wednesday, September 08, 2010

Lanjutkan Korupsi!


Sudah menyerahkan anda, saya dan kita?


**************************
Lanjutkan Korupsi!
Kompas/ Selasa, 7 September 2010 | 03:30 WIB
Febri Diansyah
Jika Anda koruptor sejati, datanglah ke Indonesia. Anda pasti untung. Masih banyak sumber daya alam, dana bantuan sosial, pembangunan infrastruktur sekolah dan rumah sakit, alat kesehatan, atau bahkan pengadaan sapi yang bisa Anda korupsi.
Tak perlu gentar dengan pidato dan klaim pemberantasan korupsi pemerintah. Buktinya, pada hari kemerdekaan Indonesia, ratusan koruptor mendapat kado keringanan hukuman.
Seperti diketahui, 341 narapidana kasus korupsi mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman, 11 orang di antaranya langsung menghirup udara bebas. Aulia Pohan adalah salah satu nama yang mendapat berkah kemerdekaan ini. Sederet nama koruptor yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun masuk dalam urutan penerima remisi.
Sejauh ini, pemerintah menggunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 jo PP No 28/2006, dan Keputusan Presiden No 174/1999 sebagai dasar legitimasi hukum. Semua regulasi itu bisa jadi memberikan pembenaran tekstual. Namun, deretan aturan dan teks yang mati di atas ternyata sama sekali tidak mampu memastikan adanya mekanisme yang ketat untuk meminimalisasi praktik ”jual-beli” hak narapidana. Sejumlah riset ICW, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, dan testimoni mantan narapidana secara jelas menyebutkan eksistensi praktik mafia lapas dan jual beli remisi, kunjungan, dan sejenisnya.
Argumentasi pemerintah tersebut haruslah dibaca secara kritis. Selain soal masalah mendasar di pengelolaan lembaga permasyarakatan yang tercoreng dengan skandal penjara mewah sejumlah narapidana, penyesatan informasi publik pun patut diawasi. Sering kali masyarakat dihadapkan pada penjelasan, pemberian remisi dan grasi dilakukan dengan alasan pemerintah menjalankan perintah undang-undang. Seolah-olah jika koruptor tidak dimaafkan, maka pemerintah melanggar hukum.
Wacana ini jelas menyesatkan karena baik UU Permasyarakatan ataupun Peraturan Pemerintah tentang Remisi pada prinsipnya mengatur, pemerintah punya hak menilai dan memutuskan bisa atau tidaknya remisi diberikan. Benar, remisi adalah hak narapidana secara umum. Akan tetapi, penerapannya tidak bisa dilakukan dengan mudah.
Sikap negara
Soal bentuk dan lama penghukuman sesungguhnya merupakan kewenangan hakim di pengadilan. Kekuasaan yudisial menjatuhkan hukuman mewakili negara untuk merampas kemerdekaan warganya. Di titik inilah, diskusi soal penghukuman dan segala yang terkait dengan pengurangan hukuman mau tidak mau harus dibaca dalam kerangka teori pemidanaan.
Logika antitesis yang disampaikan Georg WF Hegel soal teori penghukuman ini amatlah sederhana, bahwa seseorang yang melakukan kejahatan sesungguhnya telah mengingkari hukum. Dengan demikian, sintesanya, negara punya hak menjatuhkan pidana tersebut. Hal ini sesungguhnya dimaknai oleh konsepsi hukum pidana dalam arti subyektif, yakni sebuah teori yang menjelaskan hak negara menjatuhkan pidana. Poin yang perlu ditegaskan adalah pemberian remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, atau apa pun yang mengurangi bobot putusan hakim haruslah tetap diletakkan dalam koridor teori pemidanaan tersebut. Lantas bagaimana?
Titik krusialnya terletak pada sikap negara dalam menghukum atau mengurangi hukuman. Jika kita bicara soal pemberantasan korupsi, tentu kita akan menyampaikan sebuah pertanyaan fundamental. Bagaimana sikap dan posisi negara soal penghukuman terhadap koruptor? Atau, bagaimana negara melihat koruptor dalam iklim berbangsa yang lebih luas? Pertanyaan ini penting dijawab agar pemberian remisi, grasi, atau keringanan terhadap narapidana koruptor tidak hanya dijawab dengan argumentasi tekstual yang sempit dan penyesatan makna hak asasi manusia.
Sikap negara tersebut tentu bisa dibaca dari dua hal. Pertama, dari apa yang dilakukan dan diucapkan Kepala Negara. Kita tahu, Presiden sebagai kepala negara bahkan memberikan pengampunan atau grasi selama 3 tahun terhadap seorang koruptor kakap yang sebelumnya diproses KPK. Presiden pun juga nyaris tidak serius mengawal evaluasi dugaan praktik kotor jual beli ”hak narapidana”. Presiden yang sama juga diragukan komitmennya melakukan pemberantasan korupsi di tubuh partainya sendiri dan di institusi penegak hukum.
Dengan demikian, agaknya kita menemukan cermin pemberian grasi dan remisi dengan teori pemidanaan. Bahwa, salah satu personifikasi negara memang terkesan kompromi dengan kosmos korupsi. Pembacaan kedua dapat dilakukan melalui ukuran yang lebih kuantitatif, seperti bagaimana unsur-unsur lembaga negara menyikapi korupsi. Bagaimana Kepolisian dan Kejaksaan memerangi korupsi. Dan, potret resistensi para politisi dengan lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK. Bahkan, sejumlah regulasi yang seharusnya bisa disusun untuk memperkuat pemberantasan korupsi justru dijegal dan dilemahkan.
Dari dua sudut pandang dan pembacaan di atas, kita bisa melihat praktik pemberian remisi, grasi, dan pengurangan hukuman dalam bentuk lain sebagai hubungan negara dengan masyarakatnya. Tidak berlebihan kiranya jika ada yang mengatakan, negara yang diselenggarakan oleh unit-unit pemerintahan sedang melakukan rentetan anomali pemberantasan korupsi.
Segudang persoalan
ICW bisa saja menyampaikan sejumlah data tentang segudang persoalan pemberantasan korupsi di era kepemimpinan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Presiden Yudhoyono. Termasuk peta pidato Presiden yang akhir-akhir ini justru menunjukkan wajah anomali tersebut. Pada 100 hari pemerintahan Yudhoyono jilid II misalnya. ICW mengamati 15 potongan pidato yang signifikan dan terkait dengan pemberantasan korupsi. Ternyata 10 dari 15 (66,67 persen) masuk kualifikasi pernyataan yang mengkhawatirkan untuk pemberantasan korupsi.
Selain itu, karakter parsial, disorientasi strategi dan kosmetifikasi menjadi catatan yang mencolok dalam pemberantasan korupsi akhir-akhir ini. Dihubungkan dengan konsep pemidanaan dan pengurangan hukuman oleh kekuasaan negara terhadap koruptor, agaknya kita menemukan benang merah yang tegas. Bahwa, komitmen pemberantasan beberapa simbol kenegaraan kita sungguh mencemaskan.
Dalam nada satir, saya teringat slogan Kepala Negara saat menjadi calon presiden. Lanjutkan! Memangnya Lanjutkan Pemberantasan Korupsi atau Lanjutkan Korupsinya?
Febri Diansyah Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch

Tuesday, September 07, 2010

Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan

BOLJUG.
 
Kompas/Senin, 6 September 2010 | 03:10 WIB


Adjie Suradji
Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan.
Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain.
Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.
Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soe- harto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan.
Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional.
Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa (Ferdinand I, 1503- 1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.
Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?
Keberanian
Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan.
Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.
Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya.
Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi?
Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?
Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).
Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.
Adjie Suradji Anggota TNI AU

Friday, August 13, 2010

Biarkanlah Rakyat Beribadah dng Tenang di bulan Ramadhan.



"Wahai politikus, tahan lah nafsu dan syahwat kekuasaanmu, apalagidibulan ramadhan. Teganya kau menyebar selebaran berkedok Doa Kamilin(doa tarawih) disatu halaman, dan dibaliknya gambar engkau penguasa kotakami dgn embel2 Calon Wako dan Cawako Depok 2011-2016. TERLALUH..,untung aku tahu setelah selesai shalat tarwih! Biarlah rakyatmu tenangberibadah, dan pengurus mesjid, jauhkanlah Rumah Allah itu dari sampahspt itu."

Sungguh keterlaluan. Tadi ketika shalat tarwih saya lihat ada di sajadah atau tikar shalat Tulisan Arab dengan judul Doa Kamilin. Untung saya tidak terlalu memperhatikan sehingga tidak terlalu terpengaruh dan bisa menjalankan ibadah shalat Isya dan Tarwih tanpa begitu terganggu dengan selebaran bertuliskan doa tersebut.

Namun iseng setelah shalat tarwih selesai saya pinjam ke jamaah sebelah untuk membacanya. Kebetulan dia dapat 2 selebaran dan diberikan satu kesaya. Astagafirullah, ternyata di balik halaman itu terpampang dengan gagahnya foto dua orang penguasa kota Depok lengkap dengan gelar yang berjibun dengan embel-embel "Calon Walikota dan Wakil Walikota Depok Periode 2011-2016" berikut ucapan selamat menunaikan Ibada Puasa Ramadhan 1431 H.

Sepintas tidak ada yang salah, tapi nenek2 juga tahu selebaran itu bukan hanya mengajak rakyat berdoa dan beribadah, tapi jelas2 dengan arogannya melakukan kampanye. Bagi saya tidak ada masalah dengan kampanye yang masih lama itu, tapi sungguh jadi masalah ketika selebaran berwarna hijau kekuningan itu masuk ke saf-saf  "menterror" masyarakat yang khusyu dan berjuang untuk khusyu dalam beribadah puasa dan ibadah lainnya yang terkait di bulan puasa.

Sungguh TERLALU, gempita PILKADA pun akhirnya memasuki ranah rumah Ibadah di awal puasa yang penuh ma'firah. Sadarlah engkau yang membuatnya dan engkau yang mengizinkan selebaran itu masuk ke dalam mesjid. Seyogyanya cukup disimpan diluar mesjid saja. Mhn maaf kepada pengurus mesjid AL-Ikhlas di komplek Bappenas, saya mengkritik anda dengan niat baik. diterima syukur tidak anda terima juga tidak mengapa.

Eddy Satriya

Tuesday, July 13, 2010

Kalau mau Nobar, mestinya Senin itu libur saja!

Parade kemunafikan kembali ditayangkan oleh para pembesar. Jika memang mau "NOBAR" mungkin diumumkan saja agar hari senin kemaren itu diliburkan seharian, atau bisa juga libur setengah hari. Dan gak usah sok mengadakan rapat besar..akhirnya.....CAPEDECH!!

Sunday, July 11, 2010

SAMPUL KORAN TEMPO DAPAT PENGHARGAAN?

Koran Tempo 11 Juli 2010.

Kita hargai anugerah emas itu. Tetapi ada secuil penasaran saya. Jika kita memang bangsa dan masyarakat yang sangat menjunjung tinggi karya dan ide orang lain, rasanya sampul Antasari ini tidaklah terlalu layak memenangkan anugerah emas itu. Mungkin para dewan juri atau panitia yg memberikan ini perlu mempertanyakan originalitas ide sampul itu. Betapa tidak? nyaris semua orang dewasa tahu bahwa sampul koran itu sangat MIRIP dengan poster film atau karya lainya terkait dengan "GODFATHER", cerita ttg mafioso Italia terkenal itu.

Atau memang sedemikian saja kemampuan bangsa ini untuk berkreasi.

Wassalam,

Eddy

Monday, June 28, 2010

Penghuni Baru Lapangan Banteng



CITA-cita Presiden Susilo Bambang Yudhoyono punya lembaga mirip-mirip Council of Economic Advisors di Amerika Serikat akhirnya kesampaian juga. Disahkan di Istana Negara, Selasa dua pekan lalu, lembaga yang pembentukannya sudah direncanakan sejak Januari lalu itu dinamai Komite Ekonomi Nasional. Chairul Tanjung, bos Para Group, diangkat sebagai ketua. Wakilnya ekonom Chatib Basri. Pengamat ekonomi Aviliani menjadi sekretarisnya.
Anggotanya gado-gado: gabungan ekonom dan pengusaha. Dari kalangan ekonom ada H.S. Dillon, Djisman Simandjuntak, Faisal Basri, Umar Juoro, Irsan Tandjung, Ninasapti Triaswati, dan Purbaya Yudhi Sadewa. Sedangkan Theodore Permadi Rachmat, Siti Hartati Murdaya, Sharif Cicip Sutardjo, James T. Riady, Erwin Aksa, dan Sandiaga S. Uno mewakili kalangan pengusaha. Presiden Yudhoyono bilang dia dan Wakil Presiden Boediono yang memilih nama-nama itu.
"Komite ini diharapkan bisa memberikan rekomendasi terkait setumpuk persoalan ekonomi yang luput dari perhatian pemerintah," kata Presiden saat memberikan wejangan.
Pengangkatan ketua dan anggota Komite Ekonomi ini bersamaan dengan dipilihnya pengurus Komite Inovasi Nasional. Seusai pidato, Presiden sempat membawa masuk Almira Tunggadewi Yudhoyono, cucu pertamanya, buah pernikahan Agus Harimurti-Annisa Pohan, ke dalam ruang pertemuan. Siang itu, sambil menikmati jajanan pasar, para anggota Komite Ekonomi dan Komite Inovasi guyub bercengkerama dengan Presiden.
Bagi H.S. Dillon dan T.P. Rachmat, masuknya mereka ke dalam lembaga ini seperti mengetuk memori masa lalu. Sebelas tahun lalu, keduanya pernah menjadi anggota Dewan Ekonomi Nasional, lembaga serupa di era pemerintahan Abdurrahman Wahid. Bedanya, kali ini, jumlah anggota dari kalangan pengusaha jauh lebih banyak.
Presiden berharap, dalam enam bulan, Komite sudah menyiapkan rekomendasi yang berkaitan dengan delapan pokok persoalan, yang sebelumnya dibahas dalam pertemuan di Tampak Siring, Bali, April lalu (lihat "Delapan Tugas Komite"). Demi mengejar target, pada Senin pekan lalu, Komite menggeber rapat perdana di Menara Bank Mega.
Hasilnya, 24 orang yang tergabung dalam Komite dibagi ke dalam delapan kelompok kerja. "Saya masuk kelompok kerja yang mengkaji soal sumber pembiayaan," kata Aviliani. H.S. Dillon masuk kelompok kerja soal kemiskinan. Mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Sandiaga Uno mengurusi pengangguran dan penciptaan lapangan kerja. Sedangkan Chris Kanter, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Bidang Investasi dan Perhubungan, kebagian mengurus konektivitas ekonomi antarprovinsi.
Rekomendasi yang disampaikan tiap kelompok kerja, kata Aviliani, bisa terkait dengan isu-isu yang tengah mengemuka di publik sehingga butuh respons cepat. Untuk sementara, tiap kelompok kerja diberi waktu untuk menyusun kerangka kerja. Hasilnya akan dipresentasikan pada pertemuan 19 Juli nanti.
Aviliani menjelaskan, rekomendasi yang diberikan Komite kepada Presiden bersifat tidak mengikat. Meski begitu, Komite punya target: memberikan rekomendasi yang langsung bisa diaplikasikan, sehingga Presiden punya pegangan saat mengambil kebijakan.
Bukankah Komite akan tumpang-tindih dengan kementerian atau lembaga yang sudah ada? "Yang disampaikan Dewan Pertimbangan Presiden bersifat nasihat pribadi tanpa diketahui publik, dan bukan kajian tim," kata Aviliani. Sedangkan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan yang diketuai Kuntoro Mangkusubroto, kata ekonom ini, bertugas memonitor dan menilai rapor tiap kementerian.
Di Amerika, Council of Economic Advisors dibentuk oleh Presiden Harry S. Truman pada 1946. Lembaga yang berisi kumpulan ekonom ini menjadi pemain di balik layar dalam menilai dan merumuskan kebijakan ekonomi buat orang nomor satu di Negeri Abang Sam itu. Institusi ini terdiri atas staf nonpartisan dengan reputasi kemampuan analisis yang andal.
Poin terakhir itu bisa jadi kontras dengan yang terjadi di Komite Ekonomi Nasional. Beberapa orang yang duduk di komite ini dulunya ikut berkeringat membantu Presiden Yudhoyono saat pemilihan presiden. "Banyak orang yang memberikan sumbangan kepada SBY-Boediono yang belum terakomodasi," kata sumber Tempo di lingkaran Istana. Nah, komite ini, kata dia, sekaligus sebagai wadah untuk menampung mereka.
Salah satunya Hartati Murdaya. Bos Berca Group dan Central Cipta Murdaya ini bahkan pernah mengusung pencalonan Yudhoyono sebagai wakil presiden saat kursi RI-2 lowong setelah Megawati Soekarnoputri diangkat menggantikan Abdurrahman Wahid, sembilan tahun lalu. Istri Murdaya Widyawimarta Poo ini banyak membantu Tim Sekoci, tim sukses bayangan untuk pemenangan Yudhoyono pada 2004. Ia memobilisasi dukungan di kalangan umat Buddha dan pengusaha pada waktu itu. Tahun lalu, ia nempel terus saat Yudhoyono mencalonkan diri menjadi presiden untuk kedua kalinya.
Ada pula Irsan Tandjung dan Hermanto Siregar. Irsan adalah salah satu pendiri Partai Demokrat. Dia ikut membidani platform dan kebijakan partai di bidang ekonomi. Ia juga tergabung dalam tim sukses SBY yang mengurusi substansi kampanye bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat pada 2004. Adapun Hermanto peneliti Brighton Institute, dapur penggodok kebijakan ekonomi saat pasangan SBY-Kalla berkampanye enam tahun lalu.
Sedangkan Raden Pardede dan Chatib Basri dulunya aktif di Jalan Jambu 51, Menteng, Jakarta Pusat. Tim bentukan Boediono ini menggodok program prioritas kabinet baru: seratus hari, setahun, dua tahun, dan lima tahun. Keduanya sempat dijagokan Tim Jambu sebagai wakil menteri di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Tapi kandas.
Ada pula Sharif Cicip Sutardjo. Saat penyusunan kabinet beberapa waktu lalu, pengusaha yang menjadi kepala tim sukses Aburizal Bakrie dalam pemilihan Ketua Umum Golkar ini dicalonkan partai beringin itu sebagai wakil menteri di sebuah departemen.
Menanggapi hal itu, Chairul Tanjung memastikan tidak ada konflik kepentingan dalam Komite. "Harus dipisahkan bisnis pribadi dengan kepentingan bernegara," kata Chairul di Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, Selasa pekan lalu. Cicip, yang ketika dihubungi tengah berada di Australia, memastikan keanggotaan Komite ini bukan jabatan politik. "Saya mewakili pengusaha, tidak ada representasi partai," ujarnya.
Yang pasti, Gedung A.A. Maramis di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, akan kedatangan penghuni baru. Menurut Chairul, Komite Ekonomi dibolehkan berkantor di lantai tiga, satu lantai di bawah ruangan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Anggaran operasionalnya menggunakan pagu anggaran Kementerian Koordinator Perekonomian.
Yandhrie Arvian
DELAPAN TUGAS KOMITE
  1. Kajian kebijakan APBN, termasuk desentralisasi fiskal
  2. Merancang konektivitas ekonomi antarprovinsi
  3. Strategi mencapai pertumbuhan 7 persen
  4. Pengurangan kemiskinan
  5. Pengurangan pengangguran dan penciptaan lapangan kerja
  6. Ketahanan pangan dan air
  7. Kebijakan bidang ketahanan energi
  8. Kebijakan berkesinambungan sumber pembiayaan

Monday, May 24, 2010

[Copas] Pidato Sri Mulyani Indrawati di Ritz Carlton PP, Selasa malam, 18 Mei 2010 - Nasional - Politikana

[Copas] Pidato Sri Mulyani Indrawati di Ritz Carlton PP, Selasa malam, 18 Mei 2010 - Nasional - Politikana

Bahan tulisan bagus untuk dikritisi. jangan lewatkan begitu saja.

Sumber: http://ilalangbiru.blogspot.com/2010/05/sri-mulyani-si-pembantu-laki-laki-itu.html

=================================

Pidato Sri Mulyani Indrawati di Ritz Carlton PP, Selasa malam, 18 Mei 2010.
Dikutip dari notes facebook Aditya Suharmoko (jurnalis The Jakarta Post), pidato ditranskrip oleh Ririn Radiawati Kusuma (jurnalis Media Indonesia).

----
;;
Saya rasanya lebih berat berdiri disini daripada waktu dipanggil pansus Century. Dan saya bisa merasakan itu karena sometimes dari moral dan etikanya jelas berbeda. Dan itu yang membuat saya jarang sekali merasa grogi sekarang menjadi grogi. Saya diajari pak Marsilam untuk memanggil orang tanpa mas atau bapak, karena diangap itu adalah ekspresi egalitarian. Saya susah manggil 'Marsilam', selalu pakai 'pak', dan dia marah. Tapi untuk Rocky saya malam ini saya panggil Rocky (Rocky Gerung dari P2D) yang baik. Terimakasih atas...... (tepuk tangan)
;;

Tapi saya jelas nggak berani manggil Rahmat Toleng dengan Rahmat Tolengtor, kasus. Terimakasih atas introduksi yang sangat generous. Saya sebetulnya agak keberatan diundang malam hari ini untuk dua hal. Pertama karena judulnya adalah memberi kuliah. Dan biasanya kalau memberi kuliah saya harus, paling tidak membaca textbook yang harus saya baca dulu dan kemudian berpikir keras bagaimana menjelaskan.

Dan malam ini tidak ada kuliah di gedung atau di hotel yang begitu bagus tu biasanya kuliah kelas internasional atau spesial biasanya. Hanya untuk eksekutif yang bayar SPP nya mahal. Dan pasti neolib itu (disambut tertawa). Oleh karena itu saya revisi mungkin namanya lebih adalah ekspresi saya untuk berbicara tentang kebijakan publik dan etika publik.

Yang kedua, meskipun tadi mas Rocky menyampaikan, eh salah lagi. Kalau tadi disebutkan mengenai ada dua laki-laki, hati kecil saya tetap saya akan mengatakan sampai hari ini saya adalah pembantu laki-laki itu (tepuk tangan). Dan malam ini saya akan sekaligus menceritakan tentang konsep etika yang saya pahami pada saat saya masih pembantu, secara etika saya tidak boleh untuk mengatakan hal yang buruk kepada siapapun yang saya bantu. Jadi saya mohon maaf kalau agak berbeda dan aspirasinya tidak sesuai dengan amanat pada hari ini.

Tapi saya diminta untuk bicara tentang kebijakan publik dan etika publik. Dan itu adalah suatu topik yang barangkali merupakan suatu pergulatan harian saya, semenjak hari pertama saya bersedia untuk menerima jabatan sebagai menteri di kabinet di Republik Indonesia itu.

Suatu penerimaan jabatan yang saya lakukan dengan penuh kesadaran, dengan segala upaya saya untuk memahami apa itu konsep jabatan publik. Pejabat negara yang pada dalam dirinya, setiap hari adalah melakukan tindakan, membuat pernyataan, membuat keputusan, yang semuanya adalah dimensinya untuk kepentingan publik.

Disitu letak pertama dan sangat sulit bagi orang seperti saya karena saya tidak belajar, seperti anda semua, termasuk siapa tadi yang menjadi MC, tentang filosofi. Namun saya dididik oleh keluarga untuk memahami etika di dalam pemahaman seperti yang saya ketahui. Bahwa sebagai pejabat publik, hari pertama saya harus mampu untuk membuat garis antara apa yang disebut sebagai kepentingan publik dengan kepentingan pribadi saya dan keluarga, atau kelompok.

Dan sebetulnya tidak harus menjadi muridnya Rocky Gerung di filsafat UI untuk pintar mengenai itu. Karena kita belajar selama 30 tahun dibawah rezim presiden Soeharto. Dimana begitu acak hubungan, dan acak-acakan hubungan antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dan itu merupakan modal awal saya untuk memahami konsekuensi menjadi pejabat publik yang setiap hari harus membuat kebijakan publik dengan domain saya sebagai makhluk, yang juga punya privacy atau kepentingan pribadi.

Di dalam ranah itulah kemudian dari hari pertama dan sampai lebih dari 5 tahun saya bekerja untuk pemerintahan ini. Topik mengenai apa itu kebijakan publik dan bagaimana kita harus, dari mulai berpikir, merasakan, bersikap, dan membuat keputusan menjadi sangat penting. Tentu saya tidak perlu harus mengulangi, karena itu menyangkut, yang disebut, tujuan konstitusi, yaitu kepentingan masyarakat banyak. Yaitu mencapai kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur.

Jadi kebijakan pubik dibuat tujuannya adalah untuk melayani masyarakat, Kebijakan publik dibuat melalui dan oleh kekuasaan. Karena dia dibuat oleh institusi publik yang eksis karena dia merupakan produk dari suatu proses politik dan dia memiliki kekuasaan untuk mengeluarkannya. Disitulah letak bersinggungan, apa yang disebut sebagai ingridient utama dari kebijakan publik, yaitu unsur kekuasaan. Dan kekuasaan itu sangat mudah menggelincirkan kita.

Kekuasaan selalu cenderung untuk corrupt. Tanpa adanya pengendalian dan sistim pengawasan, saya yakin kekuasaan itu pasti corrupt. Itu sudah dikenal oleh kita semua. Namun pada saat anda berdiri sebagai pejabat publik, memiliki kekuasan dan kekuasan itu sudah dipastikan akan membuat kita corrupt, maka pertanyaan 'kalau saya mau menjadi pejabat publik dan tidak ingin corrupt, apa yang harus saya lakukan?'

Oleh karena itu, di dalam proses-proses yang dilalui atau saya lalui, jadi ini lebih saya cerita daripada kuliah. Dari hari pertama, karena begitu khawatirnya, tapi juga pada saat yang sama punya perasaan anxiety untuk menjalankan kekuasaan, namun saya tidak ingin tergelincir kepada korupsi, maka pada hari pertama anda masuk kantor, anda bertanya dulu kepada sistem pengawas internal anda dan staff anda. Apalagi waktu itu jabatan dari Bappenas menjadi Menteri Keuangan. Dan saya sadar sesadar sadarnya bahwa kewenangan dan kekuasaan Kementrian Keuangan atau Menteri Keuangan sungguh sangat besar. Bahkan pada saat saya tidak berpikir corrupt pun orang sudah berpikir ngeres mengenai hal itu.

Bayangkan, seseorang harus mengelola suatu resources yang omsetnya tiap tahun sekitar, mulai dari saya mulai dari 400 triliun sampai sekarang diatas 1000 triliun, itu omset. Total asetnya mendekati 3000 triliun lebih.(batuk2) Saya lihat (ehem!) banyak sekali (ehem lagi) kalau bicara uang terus langsung....(ada air putih langsung datang diiringi ketawa hadirin).

Saya sudah melihat banyak sekali apa yang disebut tata kelola atau governance. pada saat seseorang memegang suatu kewenangan dimana melibatkan uang yang begitu banyak. Tidak mudah mencari orang yang tidak tergiur, apalagi terpeleset, sehingga tergoda bahwa apa yang dia kelola menjadi seoalh-olah menjadi barang atau aset miliknya sendiri.

Dan disitulah hal-hal yang sangat nyata mengenai bagaimana kita harus membuat garis pembatas yang sangat disiplin. Disiplin pada diri kita sendiri dan dalam, bahkan, pikiran kita dan perasaan kita untuk menjalankan tugas itu secara dingin, rasional, dengan penuh perhitungan dan tidak membolehkan perasaan ataupun godaan apapun untuk, bahkan berpikir untuk meng-abusenya.

Barangkali itu istilah yang disebut teknokratis. Tapi saya sih menganggap bahwa juga orang yang katanya berasal dari akademik dan disebut tekhnokrat tapi ternyata 'bau'nya tidak seperti itu. Tingkahnya apalagi lebih-lebih. Jadi saya biasanya tidak mengklasifikasikan berdasarkan label. Tapi berdasarkan genuine product nya dia hasilnya apa, tingkah laku yang esensial.

Nah, di dalam hari-hari dimana kita harus membicarakan kebijakan publik, dan tadi disebutkan bahwa kewenangan begitu besar, menyangkut sebuah atau nilai resources yang begitu besar. Kita mencoba untuk menegakkan rambu-rambu, internal maupun eksternal.

Mungkin contoh untuk internal hari pertama saya bertanya kepada Inspektorat Jenderal saya. "Tolong beri saya list apa yang boleh dan tidak boleh dari seorang menteri." Biasanya mereka bingung, tidak perndah ada menteri yang tanya begitu ke saya bu. Saya menetri boleh semuanya termasuk mecat saya.

Kalau seorang menteri kemudian menanyakan apa yang boleh dan nggak boleh, buat mereka menjadi suatu pertanyaan yang sangat janggal. Untuk kultur birokrat, itu sangat sulit dipahami. Di dalam konteks yang lebih besar dan alasan yang lebih besar adalah dengan rambu-rambu. Kita membuat standart operating procedure, tata cara, tata kelola untuk membuat bagaimana kebijakan dibuat. Bahkan menciptakan sistem check and balance.

Karena kebijakan publik dengan menggunakan elemen kekuasaan, dia sangat mudah untuk memunculkan konflik kepentingan. Saya bisa cerita berhari-hari kepada anda. Banyak contoh dimana produk-produk kebijakan sangat memungkinkan seorang, pada jabatan Menteri Keuangan, mudah tergoda. Dari korupsi kecil hingga korupsi yang besar. Dari korupsi yang sifatnya hilir dan ritel sampai korupsi yang sifatnya upstream dan hulu.

Dan bahkan dengan kewenangan dan kemampuannya dia pun bisa menyembunyikan itu. Karena dengan kewenangan yang besar, dia juga sebetulnya bisa membeli sistem. Dia bisa menciptakan network. Dia bisa menciptakan pengaruh. Dan pengaruh itu bisa menguntungkan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya. Godaan itulah yang sebetulnya kita selalu ingin bendung. Karena begitu anda tergelincir pada satu hal, maka tidak akan pernah berhenti.

Namun, meskipun kita mencoba untuk menegakkan aturan, membuat rambu-rambu, dengan menegakkan pengawasan internal dan eksternal, sering bahwa pengawasan itu pun masih bisa dilewati. Disinilah kemudian muncul, apa yang disebut unsur etika. Karena etika menempel dalam diri kita sendiri. Di dalam cara kita melihat apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, apakah sesuatu itu menghianati atau tidak menghianati kepentingan publik yang harus kita layani. Apakah kita punya keyakinan bahwa kita tidak sedang menghianati kebenaran. Etika itu ada di dalam diri kita.

Dan kemudian kalau kita bicara tentang total, atau di dalam bahasa ekonomi yang keren namanya agregat, setiap kepala kita dijumlahkan menjadi etika yang jumlahnya agregat atau publik, pertanyaannya adalah apakah di dalam domain publik ini setiap etika pribadi kita bisa dijumlahkan dan menghasilkan barang publik yang kita inginkan, yaitu suatu rambu-rambu norma yang mengatur dan memberikan guidance kepada kita.

Saya termasuk yang sungguh sangat merasakan penderitaan selama menjadi menteri. Karena itu tidak terjadi. Waktu saya menjadi menteri, sering saya harus berdiri atau duduk berjam-jam di DPR. Disitu anggota DPR bertanya banyak hal. Kadang-kadang bernada pura-pura sungguh-sungguh. Merek emngkritik begitu keras. Tapi kemudian mereka dengan tenangnya mengatakan 'Ini adalah panggung politik bu.'

Waktu saya dulu masuk menteri keuangan pertama saya masih punya dua Dirjen yang sangat terkenal, Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai saya. Mereka sangat powerfull. Karena pengaruhnya, dan respectability karena saya tidak tahu karena kepada angota dewan sangat luar biasa. Dan waktu saya ditanya, mulainya dari...? Segala macem. Setiap keputusan, statemen saya dan yang lain-lain selalu ditanya dengan sangat keras. Saya tadinya cukup naif mengatakan, "Oh ini ongkos demokrasi yang harus dibayar." Dan saya legowo saja dengan tenang menulis pertanyaan-pertanyaan mereka.

Waktu sudah ditulis mereka keluar ruangan, nggak pernah peduli mau dijawab atau tidak. Kemudian saya dinasehati oleh Dirjen saya itu, "Ibu tidak usah dimasukkan ke hati bu. Hal seperti itu hanya satu episod drama saja. " Tapi kemudian itu menimbulkan satu pergolakan batin orang seperti saya. Karena saya kemudian bertanya. Tadi dikaitkan dengan etika publik, kalau orang bisa secara terus menerus berpura-pura, dan media memuat, dan tidak ada satu kelompokpun mengatakan bahwa itu kepura-puraan maka kita bertanya, apalagi? siapa lagi yang akan menjadi guidance? yang mengingatkan kita dengan, apa yang disebut, norma kepantasan. Dan itu sungguh berat. Karena saya terus mengatakan kalau saya menjadi pejabat publik, ongkos untuk menjadi pejabat publik, pertama, kalau saya tidak corrupt, jelas saya legowo nggak ada masalah. Tapi yang kedua saya menjadi khawatir saya akan split personality.

Waktu di dewan saya menjadi personality yang lain, nanti di kantor saya akan menjadi lain lagi, waktu di rumah saya lain lagi. Untung suami dan anak-anak saya tidak pernah bingung yang mana saya waktu itu. Dan itu sesuatu yang sangat sulit untuk seorang seperti saya untuk harus berubah-ubah. Kalau pagi lain nilainya dengan sore, dan sore lain dengan malam. Malam lain lagi dengan tengah malam. Kan itu sesuatu yang sangat sulit untuk diterima. Itu ongkos yang paling mahal bagi seorang pejabat publik yang harus menjalankan dan ingin menjalankan secara konsisten.

Nah, oleh karena itu, didalam konteks inilah kita kan bicara mengenai kebijakan publik, etika publik yang seharusnya menjadi landasan, arahan bagi bagaimana kita memproduksi suatu tindakan, keputusan, yang itu adalah untuk urusan rakyat. Yaitu kesejahteraan rakyat, mengurangi penderitaan mereka, menaikkan suasana atau situasi yang baik di masyarakat, namun di sisi lain kita harus berhadapan dengan konteks kekuasaan dan struktur politik. Dimana buat mereka norma dan etika itu nampaknya bisa tidak hanya double standrart, triple standart.
Dan bahkan kalau kita bicara tentang istilah dan konsep mengenai konflik kepentingan, saya betul-betul terpana. Waktu saya menjadi executive director di IMF, pertama kali saya mengenal apa yang disebut birokrat dari negara maju. HAri pertama saya diminta untuk melihat dan tandatangan mengenai etika sebagai seorang executive director, do dan don'ts. Disitu juga disebutkan mengenai konsep konflik kepentingan. Bagaimana suatu institusi yang memprodusir suatu policy publik, untuk level internasional, mengharuskan setiap elemen, orang yang terlibat di dalam proses politik atau proses kebijakan itu harus menanggalkan konflik kepentingannya. Dan kalau kita ragu kita boleh tanya, apakah kalau saya melakukan ini atau menjabat yang ini apakah masuk dalam domain konflik kepentingan. Dan mereka memberikan counsel untuk kita untuk bisa membuat keputusan yang baik.

Sehingga bekerja di institusi seperti itu menurut saya mudah. Dan kalau sampai anda tergelincir ya kebangetan aja anda. Namun waktu kembali ke Indonesia dan saya dengan pemahaman pengenai konsep konflik kepentingan, saya sering menghadiri suatu rapat membuat suatu kebijakan, dimana kebijakan itu akan berimplikasi kepada anggaran, entah belanja, entah insentif, dan pihak yang ikut duduk dalam proses kebijakan itu adalah pihak yang akan mendapatkan keuntungan itu. Dan tidak ada rasa risih. Hanya untuk menunjukkan yang penting pemerintahan efektif, jalan. Kuenya dibagi ke siapa itu adalah urusan sekunder.

Anda bisa melihat bahwa kalau pejabat itu adalah background nya pengusaha, meskipun yang bersangkutan mengatakan telah meninggalkan seluruh bisnisnya, tapi semua orang tahu bahwa adiknya, kakaknya, anaknya, dan teteh, mamah, aa' semuanya masih run. Dan dengan tenangnya, berbagai kebijakan, bahkan yang membuat saya terpana, kalau dalam hal ini apa disebutnya? kalau dalam bahasa inggris apa disebutnya?i drop my job atau apa..bengong itu.

Kita bingung bahwa ada suatu keputusan dibuat, dan saya banyak catatan pribadi saya di buku saya. Ada keputusan ini, tiba-tiba besok lagi keputusan itu ternyata yang menimport adalah perusahaannya dia.

Nah ini merupakan sesuatu hal yang barangkali tanpa harus mendramatisir yang dikatakan oleh Rocky tadi seolah-olah menjadi the most reason phenomena. Kita semua tahu, itulah penyakit yang terjadi di jaman orde baru. Hanya dulu dibuatnya secara tertutup, tapi sekarang dengan kecanggihan, karena kemampuan dari kekuasaan, dia mengkooptasi decision making process juga. Kelihatannya demokrasi, kelihatannya melalui proses check and balance, tapi di dalam dirinya, unsur mengenai konflik kepentingan dan tanpa etika begitu kental. Etika itu barang yang jarang disebut pak.

Ada suatu saat saya membuat rapat dan rapat ini jelas berhubungan dengan beberapa perusahaan. Kebetulan ada beberapa dari yang kita undang, dia adalah komisaris dari beberapa perusahaan itu. Kami biasa, dan saya mengatakan dengan tenang, bagi yang punya aviliasi dengan apa yang kita diskusikan silahkan keluar dari ruangan. Memang itu adalah tradisi yang coba kita lakukan di kementrian keuangan. Kebetulan mereka adlaah teman-teman saya. Jadi teman-teman saya itu dengan bitter mengatakan, "Mba ani jangan sadis-sadis amat lah kayak gitu. Kalaupun kita disuruh keluar juga diem-diem aja. Nggak usah caranya kayak gitu."
Saya ingin menceritakan cerita seperti ini kepada anda bagaimana ternyata konsep mengenai etika dan konflik kepentingan itu, bisa dikatakan sangat langka di republik ini. Dan kalau kita berusaha untuk menjalankan dan menegakkan, kita dianggap menjadi barang yang aneh. Jadi tadi kalau MC nya menjelaskan bahwa saya ingin menjelaskan bahwa di luar gua itu ada sinar dan dunia yang begitu bagus, di dalam saya dianggap seperti orang yang cerita yang nggak nggak aja. Belum kalau di dalam konteks politik besar, kemudian, wah ini konsep barat pasti 'Lihat saja Sri Mulyani, neolib.'

Jadi saya mungkin akan mengatakan bagaimana ke depan di dalam proses politik. Tentu adalah suatu keresahan buat kita. Karena episod yang terjadi beberapa kali adalah bahwa di dalam ruangan publik, rakyat atau masyarakat yang harusnya menjadi the ultimate shareholder dari kekuasaan. Dia memilih, kepada siapapun CEO di republik ini dan dia juga memilih dari orang-orang yang diminta untuk menjadi pengawas atau check terhadap CEO nya.

Dan proses ini ternyata juga tidak murah dan mudah. Sudah banyak orang yang mengatakan untuk menjadi seorang jabatan eksekutif dari level kabupaten, kota, propinsi, membutuhkan biaya yang luar biasa, apalagi presiden pastinya. Dan biayanya sungguh sangat tidak bisa dibayangkan untuk suatu beban seseorang. Saya menteri keuangan saya biasa mengurusi ratusan triliun bahkan ribuan, tapi saya tidak kaget dengan angka. Tapi saya akan kaget kalau itu menjadi beban personal.

Seseorang akan menjadi kandidat mengeluarkan biaya sebesar itu. Kalkulasi mengenai return of investment saja tidak masuk. Bagaimana anda mengatakan dan waktu saya mengatakan sya lihat struktur gaji pejabat negara sungguh sangat tidak rasional. Dan kita pura-pura tidak boleh menaikkan karena kalau menaikkan kita dianggap mau mensejahterakan diri sebelum mensejahterakan rakyat. Sehingga muncullah anomali yang sangat tidak bisa dijelaskan oleh logika akal sehat, bahkan Rocky bilangnya ada akal miring. Saya mencoba sebagai pejabat negara untuk mengembalikan akal sehat dengan mengatakan strukturnya harus dibenahi lagi. Namun toh tetap tidak bisa menjelaskan suatu proses politik yang begitu sangat mahalnya.

Sehingga memunculkan suatu kebutuhan untuk berkolaborasi dengan sumber finansialnya. Dan disitulah kontrak terjadi. Di tingkat daerah, tidak mungkin itu dilakukan dengan membayar melalui gajinya. Bahkan melalui APBD nya pun tidak mungkin karena size dari APBN nya kadang-kadang tidak sebesar atau mungkin juga lebih sulit. Sehingga yang bisa adalah melalui policy. Policy yang bisa dijual belikan. Dan itu adalah adalah bentuk hasil dari suatu kolaborasi.
pertanyaan untuk kita semua, bagaimana kita menyikapi hal ini didalam konteks bahwa produk dari kebijakan publik, melalui sebuah proses politik yang begitu mahal sudah pasti akan distated dengan struktur yang membentuk awalnya. KArena kebijakan publik adalah hilirnya, hasil akhir. Hulunya yang memegang kekuasaan, lebih hulu lagi adalah prosesnya untuk mendapatkan kekuasaan itu demikian mahal.

Dan itu akan menjadi pertanyaan yang concern untuk sebuah sistem demokrasi. Maka pada saat kita dipilih atau diminta untuk menjadi pembantu atau menjadibagian dari pemerintah, Tentu kita tidak punya ilusi bahwa ruangan politik itu vakum atau hampa dari kepentingan. politik dimana saja pasti tentang kepentingan. Dan kepentingan itu kawin diantara beberapa kelompok untuk mendapatkan kekuasaan itu. Pasti itu perkawinannya adalah pada siapa saja yang menjadi pemenang.

Kalau pada hari ini tadi disebutkan ada yang menanyakan atau menyesalkan atau ada yang menangisi ada yang gelo (jawa:menyesal.red), kenapa kok Sri Mulyani memutuskan untuk mundur dari Menteri Keuangan. Tentu ini adalah suatu kalkulasi dimana saya menganggap bahwa sumbangan saya, atau apapun yang saya putuskan sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki di dalam sistem politik. Dimana perkawinan kepentingan itu begitu sangat dominan dan nyata. Banyak yang mengatakan itu adalah kartel, saya lebih suka pakai kata kawin, walaupun jenis kelaminnya sama. (ketawa dan tepuktangan)

Karena politik itu lebih banyak lakinya daripada perempuan makanya saya katakan tadi. Hampir semua ketua partai politik laki kecuali satu. Dan di dalam bahwa dimana sistem politik tidak menghendaki lagi atau dalam hal ini tidak memungkinkan etika publik itu bisa dimnculkan, maka untuk orang seperti saya akan menjadi sangat tidak mungkin untuk eksis. Karena pada saat saya menerima tangungjawab untuk menjadi pejabat publik, saya sudah berjanji kepada diri saya sendiri, saya tidak ingin menjadi orang yang akan menghianati dengan berbuat corrupt. Saya tidak mengatakan itu gampang. Sangat painful. Sungguh painful sekali. Dan saya tidak mengatakan bahwa saya tidak pernah mengucurkan atau meneteskan airmata untuk menegakkan prinsip itu. Karena ironinya begitu besar. Sangat besar. Anda memegang kekuasaan begitu besar. Anda bisa, anda mampu, anda bahkan boleh, bahkan diharapkan untuk meng abuse nya oleh sekelompok yang sebetulnya menginginkan itu terjadi agar nyaman dan anda tidak mau. (tepuk tangan) Pada saat yang sama anda tidak selalu di apresiasi. P2D kan baru muncul sesudah saya mundur (ketawa, disini dia terlihat mengusapkan saputangan ke matanya).
Jadi ya terlambat tidak apa-apa, terbiasa. Saya masih bisa menyelamatkan republik ini lah.

Jadi saya tidak tahu tadi, Rocky tidak ngasih tahu saya berapa menit atau berapa jam. Soalnya diatas jam 9 argonya lain lagi nanti. Jadi saya gimana harus menutupnya. Nanti kayaknya nyanyi aja balik terus nanti.

Mungkin saya akan mengatakan bahwa pada bagian akhir kuliah saya ini atau cerita saya ini saya ingin menyampaikan kepada semua kawan-kawan disini. Saya bukan dari partai politik, saya bukan politisi, tapi tidak berarti saya tidak tahu politik. Selama lebih dari 5 tahun saya tahu persis bagaimana proses politik terjadi. Kita punya perasaan yang bergumul atau bergelora atau resah. Keresahan itu memuncak pada saat kita menghadapi realita jangan-jangan banyak orang yang ingin berbuat baik merasa frustasi. Atau mungkin saya akan less dramatic. Banyak orang-orang yang harus dipaksa untuk berkompromi dan sering kita menghibur diri dengan mengatakan kompromi ini perlu untuk kepentingan yang lebih besar.

Sebetulnya cerita itu bukan cerita baru, karena saya tahu betul pergumulan para teknokrat jaman Pak Harto, untuk memutuskan stay atau out adalah pada dilema, apakah dengan stay saya bisa membuat kebijakan publik yang lebih baik sehingga menyelamatkan suatu kerusakan yang lebih besar. Atau anda out dan anda disitu akan punya kans untuk berbuat atau tidak, paling tidak resiko getting associated with menjadi less. Personal gain, public loss. If you are stay, dan itu yang saya rasakan 5 tahun, you suddenly feel that everybody is your enemy.

KArena no one yang sangat simpati dan tahu kita pun akan tidak terlalu happy karena kita tetap berada di dalam sistem. Yang tidak sejalan dengan ktia juga jengkel karena kita tidak bisa masuk kelompok yang bisa diajak enak-enakan. Sehingga anda di dalam di sandwich di dua hal itu. Dan itu bukan suatu pengalaman yang mudah. Sehingga kita harus berkolaborasi untuk membuat space yang lebih enak, lebih banyak sehingga kita bisa menemukan kesamaan.

Nah kalau kita ingin kembali kepada topiknya untuk menutup juga, saya rasa forum-forum semacam ini atau saya mengatakan kelompok seperti anda yang duduk pada malam hari ini adalah kelompok kelas menengah. YAng sangat sadar membayar pajak. Membayarnya tentu tidak sukarela, tidak seorang yang patriotik yang mengatakan dia membayar pajak sukarela. Tapi meskipun tidak sukarela, anda sadar bahwa itu adalah suatu kewajiban untuk menjaga republik ini tetap berdaulat. Dan orang seperti anda yang tau membayar pajak adalah kewajiban dan sekaligus hak untuk menagih kepada negara, mengembalikan dalam bentuk sistim politik yang kita inginkan. Maka sebetulnya di tangan orang-orang seperti anda lah republik ini harus dijaga. Sungguh berat, dan saya ditanya atau berkali-kali di banyak forum untuk ditanya, kenapa ibu pergi? Bagaimana reformasi, kan yang dikerjakan semua penting. Apakah ibu tidak melihat Indonesia sebagai tempat untuk pengabdian yang lebih penting dibandingkan bank dunia.

Seolah-olah sepertinya negara ini menjadi tanggungjawab Sri Mulyani. Dan saya keberatan. Dan saya ingin sampaikan di forum ini karena anda juga bertanggungjawab kalau bertama hal yang sama ke saya. Anda semua bertanggungjawab sama seperti saya. Mencintai republik ini dengan banyak sekali pengorbanan sampai saya harus menyampaikan kepada jajaran pajak, jajaran bea cukai, jajaran perbendaharaan, "Jangan pernah putus asa mencintai republik." Saya tahu, sungguh sulit mengurusnya pada masa-masa transisi yang sangat pelik.
Kecintaan itu paling tidak akan terus memelihara suara hati kita. Dan bahkan menjaga etika kita di dalam betindak dan berbuat serta membuat keputusan. Dan saya ingin membagi kepada teman-teman disini, karena terlalu banyak di media seolah-olah ditunjukkan yang terjadi dari aparat di kementrian keuangan yang sudah direformasi masih terjadi kasus seperti Gayus.

Saya ingin memberikan testimoni bahwa banyak sekali aparat yang betul-betul genuinly adalah orang-orang yang dedicated. Mereka yang cinta republik sama seperti anda. Mereka juga kritis, mereka punya nurani, mereka punya harga diri. Dia bekerja pada masing-masing unit, mungkin mereka tidak bersuara karena mereka adalah bagian dari birokrat yang tidak boleh bersuara banyak tapi harus bekerja.
Sebagian kecil adalah kelompok rakus, dan dengan kekuasaan sangat senang untuk meng abuse. Tapi saya katakan sebagian besar adalah orang-orang baik dan terhormat. Saya ingin tolong dibantu, berilah ruang untuk orang-orang ini untuk dikenali oleh anda juga dan oleh masyarakat. Sehingga landscape negara ini tidak hanya didominasi oleh cerita, oleh tokoh, apalagi dipublikasi dengan seolah-oalh menggambarkan bahwa seluruh sistem ini adalah buruk dan runtuh. Selama seminggu ini saya terus melakukan pertemuan dan sekaligus perpisahan dengan jajaran di kementrian keuangan dan saya bisa memberikan, sekali lagi, testimoni bahwa perasaan mereka untuk membuktikan bahwa reform bisa jalan ada disana. Bantu mereka untuk tetap menjaga api itu. Dan jangan kemudian anda disini bicara dengan saya, ya bisa diselamatkan kalau sri mulyani tetap menjadi Menteri keuangan. Saya rasa tidak juga.

Suasana yang kita rasakan pada minggu-minggu yang lalu, bulan-bulan yang lalu, seolah-olah persoalan negara ini disandera oleh satu orang, sri mulyani. Sedemikian pandainya proses politik itu diramu sedemikian sehingga seolah-olah persoalannya menjadi persoalan satu orang. Seseorang yang pada sautu ketika dia harus membuat keputusan yang sungguh tidak mudah, dengan berbagai pergumulan, kejengkelan, kemarahan, kecapekan, kelelahan, namun dia harus tetap membuat kebijakan publik. Dia berusaha, berusaha di setiap pertemuan, mencoba untuk meneliti dirinya sendiri apakah dia punya kepentingan pribadi atau kelompok, dan apakah dia diintervensi atau tidak, apakah dia membuat keputusan karena ada tujuan yang lain. Berhari-hari, berjam-jam dia bertanya, dia minta, dia mengundang orang dan orang-orang ini yang tidak akan segan mengingatkan kepada saya. Meskipun mereka tahu saya menteri, mereka lebih tua dari saya. Orang seperti pak Darmin, siapa yang bisa bilang atau marahin pak marsilam?Wong semua orang dimarahin duluan sama dia.

Mereka ada disana hanya untuk mengingatkan saya berbagai rambu-rambu, berbagai pilihan dan pilihan sudah dibuat. Dan itu dilaporkan, dan itu diaudit dan itu kemudian dirapatkan secara terbuka. Dan itu kemudian dirapatkerjakan di DPR. Bagaimana mungkin itu kemudia 18 bulan kemudian dia seolah-olah menjadi keputusan individu seorang Sri Mulyani. Proses itu berjalan dan etika sunyi. Akal sehat tidak ada. Dan itu memunculkan suatu perasaan apakah pejabat publik yang tugasnya membuat kebijakan publik pada saat dia sudah mengikuti rambu-rambu, dia masih bisa divictimize oleh sebuah proses politik. SAya hanya mengatakan, kalau dulu pergantian rezim orde lama ke orde baru, semua orang di stigma komunis, kalau ini khusus didisain pada era reformasi seorang distigma dengan sri mulyani identik dengan century. Mungkin kejadiannya di satu orang saja, tapi sebetulnya analogi dan kesamaan mengenai suatu penghakiman telah terjadi.
Sebetulnya disitulah letak kita untuk mulai bertanya, apakah proses politik yang didorong, yang dimotivate, yang ditunggangi oleh suatu kepentingan membolehkan seseorang untuk dihakimi, bahkan tanpa pengadilan. Divonis tanpa pengadilan. Itu barangkali adalah suatu episod yang sebetulnya sudah berturut-turut kita memahami konsekuensi sebagai pejabat publik yang tujuannya membuat kebijakan publik, dan berpura-pura seolah-olah ada etika dan norma yang menjadi guidance kita dibenturkan dengan realita-realita politik.

Dan untuk itu, saya hanya ingin mengatakan sebagai penutup, sebagian dari anda mengatakan apakah Sri mulyani kalah, apakah sri mulyani lari? Dan saya yakin banyak yang menyesalkan keputusan saya. Banyak yang menganggap itu adalah suatu loss atau kehilangan. Diantara anda semua yang ada disini, saya ingin mengatakan bahwa saya menang. Saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan saya definisikan menurut saya karena tidak didikte oleh siapapun termasuk mereka yang menginginkan saya tidak disini. (applause)

Saya merasa berhasil dan saya merasa menang karena definisi saya adalah tiga. Selama saya tidak menghianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka disitu saya menang. Terimakasih
(standing applause)
(Rrn)

Sunday, May 23, 2010

Rekor-rekoran dan kerja keras. Perlu pemikiran ulang.

Kayaknya perlu dipikirkan ulang deh. Apakah memang sebagai negara berkembang yang harus mengejar banyak ketertinggalannya, kita perlu melakukan kerjaan yang ada unsur mubazirnya hanya untuk memperoleh sebuah sertifikat. Kalau yang melibatkan "skill" luar biasa sih boleh2 saja. Sering saya prihatin melihat banyak makana...n misalnya dulu ikan dibakar disalah satu kabupaten di Kalteng lalu dijadikan rekor MURx, tak berapa lama ikan2 itu terbuang begitu saja karena saking banyaknya dan membakarnya banyak yang gosong dan asal2an dan akhirnya mubazir. Mungkin kita perlu kerja keras dan menghamburkan uang untuk hal2 yang lebih produktif. Just a thought, you may or may not agree..that's fine. CMIIW

====

22-05-2010 17:03:20 WIB
VideoBandung

 
Colenak Terpanjang dapat MURI Durasi: 0.85 menit.

 
Reporter: Ema Nur Arifah
Kameramen: Ema Nur Arifah

Colenak, makanan khas sunda sepanjang 212 meter yang dibuat oleh pedagang colenak asal Tasikmalaya tercatat dalam rekor MURI sebagai colenak terpanjang. Colenak terpanjang ini dipamerkan di Kampus Unpad Jalan Dipatiukur, Bandung.

 http://tv.detik.com/index.php?fa=content.main&id=TVRBd05USXlPVGszSXpJd01UQXZNRFV2 


Kambing itu itu sesungguhnya hanya rekaan semata!

Ya..kesian juga sih Mas Ito ini. Udah mundur dari komisaris telkom gak jadi lagi diangkat jadi Wamen. Tapi sudah dapat banyak hal selama di Depkeu toh Mas. Ada pahit ada manis. Itu kan sudah resiko masuk birokrasi. WIll you come back @2014. Oh ye.....SMI-AA for 2014 kah?

====

Sabtu, 22/05/2010 10:20 WIB
Anggito Jadi Korban Kartel Politik SBY
Anwar Khumaini - detikNews


Jakarta - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Anggito Abimanyu mundur. Pengunduran tersebut lantaran dia merasa harga dirinya diabaikan lantaran tidak terpilih sebagai Wakil Menteri Keuangan. Padahal, sebelumnya jabatan tersebut telah diberikan oleh Presiden SBY kepadanya.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia Rocky Gerung menilai, Anggoto menjadi korban dari kartel politik yang saat ini dimainkan oleh SBY dan Aburizal Bakrie.

"Jelas Anggito jadi korban," kata Rocky Gerung kepada detikcom, Sabtu (22/5/2010).

Anggito, menurut Rocky, berada dalam posisi tarik ulur antara kepentingan Golkar untuk memasukkan namanya, dengan kepentingan SBY yang ingin agar posisinya aman.

"Nama Pak Anggito adalah nama yang 'berbunyi' di Golkar. Ada kartel, kesepakatan antara Presiden dan Ical, dua-duanya ingin memanfaatkan," imbuhnya.

Rocky mengatakan, kultur Presiden SBY dalam merekrut para pejabat memang suka memberi janji, memberi harapan, tapi ternyata kadang tidak ditepati. Hal ini juga terjadi saat Calon Menkes di Kabinet Indonesia Bersatu II, Nila Juwita Afansa Moeloek. Meski sudah menjalani serangkaian tes, Nila toh akhirnya tak diangkat sebagai menteri.

"Kultur politik Presiden memang seperti itu. Pola dia merekrut pejabat, semua orang pernah dipanggil, pernah dijanjikan. Tapi tidak ditepati," imbuhnya.

Dia menilai positif langkah Anggito yang kembali ke kampus UGM untuk mengajar. "Itu langkah yang tepat supaya kembali ke kampus dan merefleksi ulang ilmu yang dimiliki," ujarnya. (anw/gah)

Wednesday, May 19, 2010

Habis manis sepah dibuang kah?

Sebagai mantan pengamat, SMI seyogyanya sudah tahu berbagai konsekuensi ketika masuk kedunia politik Indonesia. Menang atau kalah bukan persoalan utama, yang pasti kepergian SMI - meski masih misteri penyebabnya bagi saya - adalah kerugian bagi Indonesia. Sebuah bank bukanlah tempat yang baik untuk orang yang punya ide...alisme. Dan yang parah lagi, birokrasi semakin berantakan, ketinggalan dan menjauh dari reformasi karena ada diskriminasi remunerasi!!!! Saran saya, untuk sementara "silent is golden!" dari pada ngedumel dan ngomong ngelantur!
===================
KEBIJAKAN PUBLIK
Sri Mulyani Mengaku Menang
Rabu, 19 Mei 2010 | 05:17 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/19/05174819/sri.mulyani..mengaku.menang

Jakarta, Kompas - Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kemunduran dirinya dari posisi menteri keuangan dan memilih pergi ke Washington DC untuk menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia adalah bukan suatu kekalahan. Kepergiannya justru merupakan kemenangan karena dirinya tidak ingin didikte oleh kekuatan politik yang tidak menghendaki keberadaannya lagi dalam jajaran pejabat publik.
”Saya berhasil dan menang karena tidak didikte oleh siapa pun, termasuk oleh orang yang tidak menghendaki saya. Saya merasa berhasil karena saya tidak mengingkari nurani saya serta masih menjaga martabat dan menjaga harga diri saya. Maka, saat ini saya menang,” kata Sri Mulyani saat menutup kuliah umum tentang kebijakan publik dan etika publik di Jakarta, Selasa (18/5).
Kuliah umum ini menjadi testimoni Sri Mulyani untuk pertama kalinya di depan umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya di balik kemundurannya dari posisi menteri keuangan. Sri Mulyani menegaskan bahwa kepergiannya ke Washington dan mundur dari posisi menteri keuangan adalah karena sumbangannya sebagai pejabat publik sudah tidak dikehendaki di tengah situasi politik yang sudah kurang beretika.
”Kalau hari ini ada yang menyesalkan atau menangisi kenapa Sri Mulyani memutuskan mundur dari menkeu. Ini suatu kalkulasi bahwa sumbangan saya atau apa pun yang saya putuskan sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki di dalam sistem politik, di mana perkawaninan kepentingan itu sangat dominan. Banyak yang mengatakan ini adalah kartel, saya lebih suka mengatakannya kawin walau jenis kelaminnya sama,” ujarnya.
Menurut dia, konsep etika dan pandangan tentang perlunya mencegah konflik kepentingan bagi pejabat publik di Indonesia menjadi barang sangat langka. Orang yang menegakkan etika itu malah dianggap orang aneh.
”Saat saya di IMF (Dana Moneter Internasional), kalau kita ragu soal norma konflik kepentingan, bisa bertanya. Hasilnya adalah keputusan yang baik sehingga bekerja di lembaga seperti itu sangat mudah,” ujarnya.
Perbedaan terjadi saat kembali ke Indonesia. Pengambilan kebijakan publik sangat kental konflik kepentingan. (OIN)

Wednesday, May 12, 2010

Remunerasi, Jam kerja dan diskriminasi

Reformasi Birokrasi bagi sebagian pimpinan (yang gak tahu diri dan tidak menenggang orang lain atau anak buah) diclaim sudah berhasil. Memang berhasil, berhasil merusak moral pegawai dengan diskriminasi dan tambahan waktu kerja yang lebih dari kewajaran alias tidak manusiawi. Mestinya kalau gajinya mau disesuaikan,jam ...kerja juga...! Ini uangnya belum diterima, jam kerja malah harus dipertahankan masuk dari 7.30 - 17.00 (9,5 jam). belum lagi kalau ada tambahan, belum lagi bagi yang bekerja di perencanaan atau sekitar menterinya jam kerjanya bisa lebih dari 12 jam sehari. Ini FAKTA, ....lalu pertanyaannya...APA SIH YANG DIREFORMASI? Koreksilah diri dan berkacalah wahai para pemimpin Indo...! dan bagi pegawai...utamakan kesehatan dan keluarga juga! Sekedar mengingatkan, di belahan dunia lain jam kerja adalah 9 to 5, NAINTUFAIVE!!! Tiada yang indah selain keadilan dan kepatutan dalam nalar yang manusiawi!

==========================
http://us.health.detik.com/read/2010/05/12/100552/1355732/763/kerja-10-11-jam-sehari-picu-penyakit-jantung?993306755 
Rabu, 12/05/2010 10:05 WIB

Kerja 10-11 Jam Sehari Picu Penyakit Jantung

Vera Farah Bararah - detikHealth

img
(Foto: telegraph)
London, Orang yang gila kerja bisa menghabiskan waktu lebih dari 10 jam di kantor. Namun sebuah studi menuturkan bahwa orang yang bekerja 10-11 jam sehari memiliki risiko bermasalah dengan jantung.

Peneliti di Inggris mengatakan orang yang bekerja lebih dari 10 jam setiap hari lebih mungkin terkena masalah jantung termasuk serangan jantung dibandingkan dengan orang yang bekerja secara normal selama 7-8 jam.

Hasil temuan ini berdasarkan studi selama 11 tahun dengan melibatkan 6.000 pegawai negeri di Inggris. Tambahan jam kerja selama 1 jam sehari di luar jam kerja normal memang tidak berhubungan dengan peningkatan risiko, tapi jika lembur selama 3-4 jam akan meningkatkan risiko sebesar 60 persen. Hingga kini para ahli memperkirakan hal tersebut kemungkinan akibat stres.

Secara keseluruhan dari penelitian ini terdapat 369 kasus kematian akibat penyakit jantung, serangan jantung non-fatal dan angina (nyeri dada).

"Kejadian akan lebih tinggi jika seseorang bekerja lembur dan ditambah dengan faktor risiko lainnya termasuk merokok, kelebihan berat badan dan mengonsumsi makanan berkolesterol tinggi," ujar Dr Marianna Virtanen dari Finnish Institute of Occupational Health and University College London, seperti dikutip dari Reuters, Rabu (12/5/2010).

Dr Virtanen menambahkan bekerja hingga 10-11 jam sehari akan menaikkan tingkat stres seseorang yang berhubngan dengan pekerjaan. Hal ini tentu saja akan mengganggu proses metabolisme tubuh serta 'sickness presenteeism' yaitu karyawan tetap bekerja ketika sedang sakit.

Selain itu, gaya hidup orang yang terlalu sering lembur atau bekerja hingga melebihi waktunya biasanya akan memburuk dari waktu ke waktu, misalnya pola makan yang menjadi tidak teratur, merokok dan minum alkohol berlebih serta pola tidur yang terganggu. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap kesehatan orang tersebut secara menyeluruh, terutama jika berlangsung terus menerus.

"Jika efek ini bersifat kausal (sebab akibat), maka penting untuk disadari bahwa stres akibat kerja yang terus menerus bisa berkontribusi pada sebagian besar kasus penyakit jantung," ujar Gordon McInnes, profesor farmakologi klinis dari University of Glasgow Western Infirmary.

Hasil penelitian Dr Virtanen dan rekannya ini telah diterbitkan dalam European Heart Journal.

Saturday, April 17, 2010

Gayus dan Patologi Birokrasi - Lupa atau melupakan?

Ini contoh profesor atau akademisi yang melihat satu arah, ia lupa sudah belasan profesor dan doktor dari kalangan akademisi yang juga turut serta memperburuk birokrasi dan tidak jarang mereka juga mendekam dalam penjara, kok gak disentuh dalam tulisannya prof? atau pura-pura tidak tahu? Anyway..silakan nilai sendiri.

Wassalam,
Eddy
================
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/15/0451160/gayus.dan.patologi.birokrasi
Kompas/ Kamis, 15 April 2010 | 04:51 WIB


Gayus dan Patologi Birokrasi

Eko Prasojo
Vices, maladies, and sickness of bureaucracy constitute bureaupathologies. They are not individual failings of individuals who compose organizations but the systematic shortcomings of organizations that cause individuals within them to be quilty of malpractices. (Gerald E Caiden, 1991).

Gayus Tambunan mendadak saja menjadi orang yang terkenal saat ini di Indonesia. Bukan karena prestasinya di birokrasi meningkatkan penerimaan pajak, melainkan justru karena perbuatannya telah memperkokoh keyakinan tentang buruknya birokrasi Indonesia.

Tidak semua birokrat seperti Gayus, tetapi kelemahan sistem organisasi seperti dituliskan oleh Caiden—seorang pakar ternama reformasi administrasi—telah membentuk citra menyeluruh mengenai buruknya birokrasi Indonesia.

Apa yang terjadi dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh Gayus sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam birokrasi di Indonesia. Selain itu, jumlahnya pun tidak begitu besar dibandingkan dengan kasus- kasus serupa yang belum atau tidak terungkap. Akan tetapi, tetap harus disyukuri bahwa akhirnya kesadaran tentang korupsi dalam birokrasi semakin terbuka lebar dengan terkuaknya kasus Gayus.

Maladministrasi yang saat ini mungkin dapat disebut dengan Gayusisme atau Bahasyimisme atau nama lain yang barangkali akan segera muncul sebenarnya bukanlah kesalahan yang bersifat individual, tetapi timbul karena kelemahan sistematik dari organisasi birokrasi. Rumah tahanan, penjara, dan lembaga pemasyarakatan mungkin akan penuh dengan birokrat-birokrat yang merupakan golongan Gayusisme. Namun, apakah kita akan memenjarakan semua birokrat-birokrat dengan predikat Gayusisme tersebut dan mengatakan bahwa hal tersebut sebagai penyimpangan dan kesalahan yang bersifat individual.

Caiden mendefinisikan maladministrasi sebagai ”administrative action (or inaction) based on or influenced by improper consideration or condut”. Pakar administrasi negara yang lain, seperti Kenneth Wheare, menyebutkan berbagai bentuk maladministrasi, seperti ilegalitas, korupsi, neglect (kelalaian), perversity (ketidakwajaran), turpitude (kejahatan/kekejian), discourtesy (ketidaksopanan), dan misconduct (kelakuan menyimpang). Bahkan, Caiden menyebutkan ada 175 penyakit birokrasi yang sering kali terjadi dan dilakukan birokrat (common bureaupathologies).

Di dorong rasa ingin tahu, penulis mencermati dan menganalisis bahwa semua penyakit yang disebutkan oleh Caiden terjadi di dalam konteks birokrasi di Indonesia pada saat ini. Coba kita bayangkan, menderita satu macam penyakit saja sering kali sudah sangat menyusahkan, apalagi menderita 175 jenis penyakit dalam waktu yang bersamaan. Jumlah patologi birokrasi ini sebenarnya bisa lebih banyak di Indonesia mengingat penyakit birokrasi daerah tropis akan berbeda dengan birokrasi daerah subtropis seperti menjadi konteks dalam tulisan Caiden.

Maladministrasi sebagai bentuk patologi birokrasi terjadi secara sistematik, bukan individual. Kelemahan dan kegagalan organisasi untuk membentuk sistem yang mencegah terjadinya penyakit-penyakit birokrasi akan menyebabkan perilaku menyimpang yang diterima secara kolektif. Bahkan, individu yang memiliki karakter unggul dan idealisme yang tinggi tidak akan bisa bertahan lama ketika masuk dalam birokrasi karena serangan penyakit yang demikian kompleks. Birokrat yang semacam ini memiliki tiga pilihan, yaitu menjadi bagian dari sistem yang sakit, dianggap sebagai pesakitan karena tidak menjadi bagian dari sistem, atau keluar dari sistem birokrasi.

Fenomena Gayus, Bahasyim, dan nama-nama birokrat lain yang akan muncul serta menjadi bagian dari sindrom gayusisme atau bahasyimisme adalah patologi birokrasi yang sudah menahun dan sistemis. Patologi ini seperti gurita, merusak sel-sel produktif dalam birokrasi dan melibatkan hampir semua pejabat dalam semua strata. Bisa jadi, patologi birokrasi tersebut terjadi dari level menteri atau kepala lembaga pemerintahan, para direktur jenderal, direktur, kepala subdirektorat, kepala seksi, sampai dengan birokrat tanpa jabatan.

Hal yang sama terjadi dalam birokrasi pemerintahan daerah. Apalagi setelah pilkada langsung, penyakit birokrasi daerah semakin parah dan sulit disembuhkan. Para birokrat, di samping sebagai pelaku, sebenarnya juga korban dari kejahatan yang ditimbulkan oleh buruknya sistem birokrasi Indonesia. Sebagai individu yang memiliki self-interest, dalam sistem yang korup, para birokrat akan memilih menjadi bagian dari sistem tersebut, daripada harus menjadi pesakitan yang dianggap memiliki perilaku menyimpang.
Itu sebabnya, mayoritas birokrat sebenarnya sangat berpotensi mengidap penyakit sindrom Gayusisme yang bersifat menular dan menahun. Sekarang bisa dibayangkan bahwa secara genetis mayoritas birokrat di Indonesia (meskipun tidak semua) adalah monster yang setiap saat berperilaku menyimpang dan berpotensi melakukan korupsi.

Terapi radikal
Diagnosis terhadap patologi birokrasi di Indonesia sebenarnya sudah lama dilakukan. Bahkan, setiap masyarakat selalu merasakan dampak dari penyakit birokrasi dalam pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan. Akan tetapi, tampaknya seperti orang yang sudah mengalami keter- gantungan pada obat, tidak mudah mengatasi penyakit-penyakit birokrasi tersebut. Problem dasar yang kita hadapi adalah komitmen politik untuk melakukan terapi terhadap penyakit tersebut. Karena jenis penyakit yang diderita sangat kompleks dan melibatkan lebih dari 175 penyakit sehingga dibutuhkan tidak saja komitmen politik yang tidak terbatas, tetapi juga terapi yang tepat.

Munculnya korupsi ala Gayus yang telah menjadi isu nasional harus bisa dijadikan sebagai momentum pengobatan penyakit birokrasi secara menyeluruh. Perintah Presiden untuk mengungkap tuntas kasus mafia pajak dan mafia kasus tidak boleh hanya berhenti sekadar sebagai sindrom paruh waktu, tetapi harus terus bergulir menjadi semangat dan gerakan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Karena pada dasarnya korupsi yang terjadi dalam birokrasi tidaklah berdiri sendiri, melainkan juga melibatkan penegak hukum dan juga politisi, maka terapi reformasi birokrasi harus dilakukan secara radikal.
Namun, ini dilakukan antara lain dengan memutus media pertukaran kewenangan (authority exchange) yang melibatkan pejabat birokrasi, pejabat penegak hukum, dan politisi. Reformasi birokrasi juga harus meliputi pengawasan yang ketat dan konsisten terhadap para pejabat birokrasi dan penegak hukum dengan metode pembuktian terbalik atas kekayaan yang dimilikinya. Pejabat yang memiliki kekayaan tidak wajar dibandingkan penghasilannya sebagai pegawai negeri, harus dapat membuktikan asal-usul kekayaannya tersebut. Pada sisi yang lain, promosi jabatan dalam birokrasi harus dilakukan secara terbuka dan berdasarkan catatan kompetensi dan kinerja yang dimiliki oleh seorang birokrat. Berbagai perbaikan sistem yang radikal ini diharapkan dapat menjadi obat pamungkas untuk mengurangi patologi dalam birokrasi.


Semoga.

Eko Prasojo Guru Besar dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI

Wednesday, April 14, 2010

Ledakan Korupsi?

Perlu dicermati dengan baik dan rasa prihatin, meski nyaris juga semua praktisi hukum tidak ada yang bersih...!

=================================

Selasa, 13 April 2010 | 04:40 WIB

Hendardi

Apakah kita sedang dihadapkan pada sebuah ledakan korupsi?

Setelah seorang pegawai pajak divonis bebas Pengadilan Tangerang dan terkuak memiliki rekening Rp 24,6 miliar—dalam kasus ini diduga terlibat sejumlah pejabat Polri— 30 Maret lalu juga tertangkap tangan mereka yang bertransaksi antara seorang hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan pengacara.

Istilah ledakan memang tak hanya digunakan untuk ledakan bom atau kompor, tetapi juga bersifat sosial, seperti ledakan penduduk dan maraknya korupsi, pemerasan, dan suap dalam tubuh negara. Keadaan ini ibarat ledakan korupsi.

Tahun 2005, dugaan suap atau pemerasan lebih dari Rp 10 miliar atas terdakwa Probosutedjo, melibatkan sejumlah hakim termasuk hakim agung. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan menggeledah ruang kerja mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, tetapi tak menyeret mereka ke muka pengadilan.

Kasus terkait pejabat Polri juga mencuat 2005. Pembobolan dana BNI senilai Rp 1,2 triliun, menguak dugaan suap melibatkan Rudi Sutopo, Komisaris Besar Irman Santosa, Jenderal Da’i Bachtiar, Komjen (Purn) Erwin Mappaseng, Brigjen Samuel Ismoko, dan Adrian Waworuntu.

Januari 2006, hakim Pengadilan Jakarta Selatan, Herman Alossitandi, tertangkap tangan memeras terkait penanganan perkara korupsi di PT Jamsostek senilai Rp 300 miliar. Ahmad Djunaidi sebagai terdakwa juga sempat melempar sepatu ke jaksa karena terdakwa mengklaim telah membayar Rp 550 juta.

Tahun 2007, semakin marak. Pada 26 September petugas KPK mengepung sebuah rumah dan membekuk pemilik PT Persada Sembada Freddy Santoso dan anggota Komisi Yudisial (KY) Irawady Joenoes terkait pembelian tanah Rp 46,990 miliar.

Kemudian, korupsi dana PT Asabri. Henry Leo mengaku memberikan rumah kepada Paul Banuara Silalahi—putra TB Silalahi—dan Jenderal (Purn) R Hartono. Selain menyelamatkan uang senilai Rp 210 miliar, Kejaksaan Agung juga menyita gedung senilai Rp 110 miliar.

Kasus Sjamsul Nursalim terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp 47,5 triliun yang ditangani jaksa Urip Tri Gunawan justru menciptakan tersangka baru melalui penggerebekan KPK sehingga jaksa ini disebut ”jaksa Rp 6 miliar”.

Dugaan suap kolektif melibatkan 39 anggota DPR periode 1999-2004 dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom, dengan imbalan Rp 300 juta- Rp 500 juta per anggota. Kasus ini terkuak setelah Agus Condro ”bernyanyi”. Diketahui, 41 anggota DPR mencairkan cek, total 480 lembar.

Politik dan hukum

Tentu masih banyak lagi, termasuk skandal Bank Century Rp 6,7 triliun yang telah naik meja operasi angket DPR, kasus PT Semen Baturaja yang diduga melibatkan Marzuki Alie, serta korupsi yang tersebar di kementerian dan berbagai daerah.

Publik sudah geram dan

kecewa, beberapa frustrasi karena korupsi terus marak, dan bertanya-tanya: apakah bangsa kita bangsa korup? Rasanya tak perlu menggeneralisasi praktik korupsi orang-orang dalam negara dan bisnis sebagai ”bangsa” karena mereka sebagian kecil saja. Akan tetapi, karena mereka dominan, korupsi jadi sistemik.

Pertama, relasi politik dan bisnis yang terbentuk melalui pola patronase bisnis adalah sumber pokok korupsi. Negara (politik) terutama sejak Orde Baru—dengan segala sumber daya—telah memodali bisnis swasta lewat kebijakan, suntikan dana, pinjaman, kontrak, proyek, hingga monopoli pasar dan fasilitas lain.

Para pebisnis di negeri ini lebih tergerak menguras sumber daya dan fasilitas negara ketimbang menggarap sektor-sektor produktif dan memajukan daya kompetitifnya. Situasi ini menjadi sangat terbuka bagi orang-orang dalam tubuh negara untuk korupsi, dari pejabat tinggi hingga pegawai rendahan.

Tak perlu heran jika terjadi skandal BLBI Rp 144,5 triliun. Begitu pula skandal Century. Kasus-kasus lain: suap dan korupsi dalam pengalihan fungsi lahan, praktik pembabatan hutan dan eksploitasi laut secara ilegal, serta berbagai kerusakan lingkungan sebagai dampak dari operasi perusahaan tambang.

Kedua, dampak dari politik-ekonomi itu menjalar pada kerangka hukum dan penegakan hukum. Hingga kini, UU Antikorupsi tak mengandung prinsip pembuktian terbalik di mana tersangka yang harus membuktikan asal-usul kekayaannya.

Kekayaan pejabat memang dilaporkan, tetapi tak perlu membuktikan asalnya. Kerangka ini juga mendorong penegak hukum dan hakim ikut membentuk mafia peradilan sebagaimana mafia lain dalam tubuh negara. Dengan begitu, pemberantasan korupsi bukan saja membutuhkan hukum yang memudahkan dan penegak hukum yang profesional, namun juga politik yang teguh tanpa pandang bulu.

Hendardi Ketua Badan Pengurus SETARA Institut