Wednesday, August 26, 2009

Baru 37 KPPN Bebas Suap

No comment is better!

================

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/22/03135333/baru.37.kppn.bebas.suap
Baru 37 KPPN Bebas Suap
Ketidaksiapan Proyek Perlambat Realisasi Stimulus Proyek

Sabtu, 22 Agustus 2009 | 03:13 WIB

Jakarta, Kompas - Departemen Keuangan mengakui, saat ini baru 37 kantor atau 20,7 persen dari 178 Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara atau KPPN yang diyakini bebas dari suap-menyuap. Ke-37 KPPN itu adalah kantor percontohan yang semua pegawainya hasil perekrutan baru.

”Saat membentuk KPPN Percontohan, kami melakukan seleksi. Pegawai yang sejak awal ada di kantor itu sebagian besar gagal lolos seleksi sehingga hampir semua pegawai di kantor percontohan adalah baru. Dari rata-rata 150 pegawai di satu KPPN, tinggal 50 pegawai di KPPN Percontohan,” ungkap Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan Herry Purnomo di Jakarta, Jumat (21/8).

Penegasan ini berkenaan dugaan rendahnya realisasi anggaran stimulus proyek infrastruktur karena para pemimpin proyek menunda pencairan anggaran dan mengumpulkannya pada akhir tahun demi menghindari ”ongkos ekstra” di KPPN. Dengan hanya 20,7 persen KPPN yang bersih suap, berarti peluang terjadi ”ongkos ekstra” tetap ada.

Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati meminta mereka yang mendapat pengalaman ”ongkos ekstra” ini agar melaporkan nama pejabat yang bersangkutan.

Herry menjelaskan, 37 KPPN itu bebas suap karena pegawainya adalah rekrutan baru yang telah teruji tidak berani menerima suap dari satuan-satuan kerja kementerian atau lembaga nondepartemen.

Menurut dia, masih ada 141 KPPN konvensional yang saat ini diwajibkan mengikuti pola KPPN Percontohan. KPPN lama itu masih dengan pegawai lama, tetapi dipaksa mengubah pola pikir dan tata letak ruangan yang meminimalkan adanya suap.

Di KPPN Percontohan, setiap satuan kerja (dulu pemimpin proyek) dari departemen teknis yang meminta pencairan dana hanya diperbolehkan menyampaikan berkas dan dokumen hingga di meja layanan depan.

Sementara di KPPN konvensional, beberapa satuan kerja dilayani seorang pejabat, dan terus berulang setiap tahun, sehingga setiap satuan kerja memiliki ”langganan” pejabat sendiri. Itu mengundang suap-menyuap.

Herry mengakui, perubahan KPPN konvensional ke KPPN Percontohan menimbulkan ekses pada lonjakan jumlah pegawai yang kehilangan fungsi karena terjadi pemangkasan sekitar 60 persen. Perubahan dari tahap I hingga IV saja sudah mengurangi jumlah pegawai KPPN dari 2.877 orang menjadi 1.251 orang atau turun 56,51 persen.

”Tak mudah memberhentikan seorang PNS (pegawai negeri sipil). Ketika kami tawarkan program pensiun dini dengan golden handshake, tidak satu orang pun mengambilnya. Akhirnya, kami putuskan, pegawai yang tidak lulus seleksi ke KPPN Percontohan akan menjadi guru bantu untuk menolong satuan kerja yang tidak bisa menyusun laporan keuangan dengan baik,” ujarnya.

Pengamat ekonomi Ihsan Modjo mengatakan, permasalahan di KPPN tidak bisa dijadikan alasan oleh pengguna anggaran di departemen teknis untuk memperlambat pencairan anggaran. Realisasi anggaran bisa saja terjadi akibat lemahnya perencanaan di departemen teknis.

Baru dikucurkan

Sejumlah departemen teknis penerima stimulus fiskal proyek infrastruktur yakin realisasi anggaran akan terealisasi. Tidak diungkapkan adanya ”biaya ekstra” yang membuat realisasi lambat. Kucuran dana yang baru dilakukan pertengahan tahun membuat realisasi terkesan lambat.

Dirjen Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum (PU) Hermanto Dardak mengatakan, penyerapan dana stimulus Ditjen Bina Marga mencapai 20 persen. ”Saya pikir (penyerapan anggaran) itu sudah relatif cepat sebab dana baru dikucurkan pertengahan tahun. Maka, akhir tahun nanti dana pasti terserap 100 persen,” kata Hermanto.

Tahun ini dana stimulus yang diterima Bina Marga secara langsung Rp 1,7 triliun. Diperkirakan dana itu dapat menyerap 54.000 tenaga kerja, baik yang langsung terkait dengan proyek maupun tenaga kerja tidak langsung.

Secara total, dana stimulus yang diterima Departemen PU sebesar Rp 6,6 triliun. Namun, tak semua dikelola oleh PU, tetapi disalurkan langsung kepada pemerintah daerah untuk membangun sarana infrastruktur.

Juli 2009, dalam rapat terbatas Departemen PU, Menteri PU telah meminta semua gubernur, bupati, dan wali kota untuk segera membentuk satuan kerja perangkat daerah pelaksana dana stimulus fiskal 2009 di daerah. Tujuannya untuk percepatan penyerapan dana stimulus.

Deputi Perumahan Formal Kementerian Negara Perumahan Rakyat Zulfi Syarif Koto, Jumat, mengemukakan, pencairan dana stimulus fiskal Kementerian Negara Perumahan Rakyat hingga Juli 2009 mencapai 17 persen dari total Rp 40 miliar.

Stimulus fiskal Kementerian Negara Perumahan Rakyat ditujukan bagi pembangunan 40 menara kembar rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Sejumlah 11 menara di antaranya ditujukan bagi TNI/Polri, serta 29 menara untuk pekerja dan mahasiswa.

”Pencairan dana stimulus fiskal disesuaikan dengan teknis proyek. Kami yakin proyek rusunawa bisa selesai dan dana stimulus terserap seluruhnya pada akhir tahun ini,” ujarnya.

Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun kemarin mengatakan, stimulus fiskal ditujukan bagi pembangunan rumah nelayan ramah bencana yang tersebar di 50 kabupaten/kota di 21 provinsi yang dikelola kabupaten/kota.

Saat ini 48 kabupaten/kota dalam proses lelang dan kontrak. ”Dari laporan yang saya terima, tidak ada kendala dalam pencairan dana,” ujarnya.

Stimulus fiskal berupa revitalisasi pasar tradisional yang ditangani Kementerian Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) mencapai Rp 100 miliar. Dari seluruh anggaran ini, realisasi per 24 Juli baru mencapai Rp 187,46 juta. Namun, dari 91 lokasi yang direncanakan, 82 titik lokasi sudah ditenderkan.

Deputi Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM Ichwan Asrin mengatakan, ”Sekarang ini 62 proyek sudah kontrak kerja. Pencairan uang muka masing-masing 30 persen. Diperkirakan Oktober-November akan selesai.” (osa/oin/lkt/ryo)

Wednesday, August 19, 2009

Lupa-Lupa, lupa Indonesia Raya....!

Benar-benar kacau. Ketidakjelasan peran "director" atau sutradara atau PR dalam suatu acara benar-benar tersaji dengan nyata kepada seluruh lapisan masyarakat. Karena itu pembangunan bukan hanya membangun ekonomi, tetapi juga berbagai sektor lain termasuk semangat membangun budaya. Baik budaya bangsa ataupun budaya keseharian dalam melakukan upacara. Memang di era reformasi, kita terlalu sering membuang sesuatu yang baik karena hanya berasal dari masa lalu. Sebaliknya kita malas mencari sesuatu yang baru untuk diteruskan ke masa datang.

=========

Video terkait.

Mentalitas Menteri

Yah beginilah kondisi para elit kita, mau omong apa lagi? Kemunafikan dan ketidakdisiplinan yang diiringi rasa tak tahu diri dan tak tahu berterima kasih menjadi contoh jelek untuk pemimpin dan calon pemimpin masa depan.

Tapi tayangan di video terkait editorial ini juga tidak akurat. Disebutkan Menteri hanya mengirim pejabat eselon 2, padahal sekilas saya lihat ada pak Poerwono yang saat ini masih menjabat sebagai Dirjen Listrik dan Pemanfaatan ENergi (LPE) yang mendampingi kunjungan Pak JK ke salah satu lokasi proyek listrik.

Jadi elite rada kacau, media juga tidak akurat dan terkadang kebablasan.

Ya Allah lindungilah bangsa kami. AMin!


============

Selasa, 18 Agustus 2009 00:00 WIB
Editorial Media Indonesia



APAKAH yang tidak berubah setelah kita merdeka 64 tahun? Salah satu jawabannya adalah mentalitas elite bangsa. Tidak berubah, bahkan bertambah parah.
Bukti paling mutakhir bagaimana perangai menteri terhadap Wakil Presiden Jusuf Kalla. Setelah dinyatakan kalah dalam pemilu presiden, Jusuf Kalla dijauhi para menteri. Satu per satu para menteri menghindar, bagaikan menghindari penderita kusta.
Padahal, Jusuf Kalla masih menjadi wakil presiden sampai 20 Oktober nanti. Akan tetapi, dalam berbagai tugas pemerintahan ke daerah, menteri enggan mendampinginya. Sangat 'kurang ajar', mereka bahkan tidak menugasi pejabat eselon satu, tetapi mengirim eselon dua.
Bayangkanlah apakah yang akan terjadi bila presiden yang sedang menjabat alias incumbent yang kalah dalam pemilu presiden. Perkara yang serupa jualah yang akan terjadi. Sang menteri satu demi satu menjauh, sekalipun masih tiga bulan lagi sang presiden resmi memimpin kabinet.
Dengan fakta yang dihadapi Wakil Presiden Jusuf Kalla itu ada baiknya diteruskan gambaran, apakah pula yang akan terjadi setelah Pemilu Presiden 2014? Pada saat itu, SBY telah menjadi presiden untuk dua kali masa jabatan sehingga ia pun harus lengser dari kekuasaan.
Akan tetapi, sekalipun masa jabatannya belum berakhir, sekalipun 20 Oktober 2014 belum tiba, kiranya banyak menteri pun mulai menjauhinya. Mereka lebih tertarik mendekati presiden yang baru...
Proyeksi itu sangat sahih dilakukan karena tidak akan ada revolusi mental elite bangsa dalam lima tahun ke depan. Buktinya, 64 tahun merdeka, 10 tahun reformasi, tidak mengubah mentalitas elite bangsa.
Kebanyakan menteri bukanlah manusia yang merdeka. Sesungguhnya, para menteri masih budaknya feodalisme. Mereka masih orang jajahan.
Ciri-ciri mentalitas itu adalah berorientasi ke atas, menghamba kepada kekuasaan. Jusuf Kalla tidak layak lagi didekati, apalagi diikuti, sebab ia praktis telah lengser dari kekuasaan. Maka, habis manis sepah pun dibuang.
Para menteri umumnya memang hidup dengan reserve. Umumnya takut kehilangan jabatan. Yang masih ingin menjadi menterinya SBY lantas mengambil sikap menjauh dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Bukankah yang akan menjadi wapres adalah Boediono?
Menjadi menteri jelaslah orang pilihan. Inilah elite bangsa yang jumlahnya sangat sedikit. Tetapi, betapa celaka bangsa dan negara ini karena umumnya mereka tidak memiliki kedirian yang kuat.
Menjadi menteri menjadi pembantu presiden. Dan itulah pembantu yang superbody karena berwenang dan berkuasa mengambil kebijakan publik.
Karena memiliki wewenang dan kekuasaan untuk mengambil kebijakan publik, inilah pembantu yang menyandang etika dan tanggung jawab publik. Di sinilah ia berbeda dengan pembantu rumah tangga.
Namun, semua perihal kepublikan itu tenggelam mentalitas feodal, yang berorientasi ke atas, cantol kepada kekuasaan. Buat apa mendampingi wakil presiden yang bakal lengser?
Sebaik-baiknya perkara janganlah angkat menteri yang bermental terjajah seperti itu. Carilah menteri yang cakap secara konseptual dan fungsional, tetapi juga sosok yang telah menemukan dan memiliki dirinya sendiri untuk mengabdi kepada kepentingan publik.
Kiranya sosok seperti itu bukanlah sosok yang besar karena dikarbit, yaitu digendong partai yang berkoalisi. Menteri seperti itu akan berorientasi ke atas. Besar, tapi keropos.

Menara Telekomunikasi, Sampai Kapan tak Berkesudahan?

Sungguh menyedihkan jika rencana baik untuk "memproteksi" sebagian kecil porsi investasi di sektor telekomunikasi bagi industri dalam negeri justru menjadi bencana bagi operator dan ekonomi nasional.

Sampai kapan ego dan keengganan berkoordinasi bisa diakhiri?


===============

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A16&cdate=19-AUG-2009&inw_id=690878


Bisnis Indonesia, 19 Agustus 09


Operator tersandung monopoli menara
Retribusi telekomunikasi bakal bebani biaya operasional


“Biarkan saja blackout agar pemda juga tahu akibat tidak ada sinyal seluler, sebab itu akan merugikan ekonomi wilayah dan juga konsumen,” ujar Heru Sutadi.

Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) itu menumpahkan kekesalannya atas pembongkaran 16 menara dan 88 unit BTS (base transceiver station) yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung, Bali, 11 Agustus lalu.

Dari 16 menara telekomunikasi yang dibongkar, 13 unit dimiliki oleh PT Solusindo Kreasi Pratama, 1 unit dimiliki United Tower, dan 2 unit dimiliki PT Excelcomindo Pratama Tbk.

Adapun 88 BTS yang sudah tidak berfungsi meliputi Telkomsel (22 unit), Indosat (6 unit), XL (6 unit), Mobile-8 (33), Bakrie Telecom (6 unit), Hutchison CP (6 unit), dan Telkom (9 unit).

Ini adalah aksi pembongkaran yang kedua kalinya. Pemkab Badung pernah melakukan pembongkaran tiga menara telekomunikasi pada akhir tahun lalu. Pembongkaran itu berhasil dihentikan melalui pendekatan yang dilakukan Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) yang diiringi dengan keluarnya surat keputusan bersama (SKB) Empat Menteri.

Pertimbangan lain yang mendasari penundaan pembongkaran itu adalah dalam rangka kegiatan pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Heru merasa heran dengan sikap Pemkab Badung tersebut. “Di banyak daerah, justru pemda yang meminta operator masuk ke daerah. Ini kasus aneh karena justru dibongkar.”

Jumlah BTS sejumlah operator telekomunikasi

Operator/penyedia menara

Jumlah BTS (unit)

Telkomsel

29.000

Indosat

14.758*)

XL

18.200**)

Bakrie Telecom

3.036

Mobile-8 Telecom

1.700

Telkom

4.500

Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Ket.: *) Kuartal I/2009
**) Semester I/2009

Anggota BRTI itu menegaskan karena menyangkut pendapatan asli daerah (PAD), sebaiknya Departemen Keuangan juga turun tangan menjelaskan ke pemda-pemda kontribusi telekomunikasi untuk APBN dan berapa yang mengalir ke daerah.

Selaku regulator, Heru mengingatkan dari sisi regulasi sudah ada peraturan bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Pihak Pemkab Badung mempunyai alasan tersendiri dalam proses pembongkaran menara seluler tersebut, karena jaringan menara itu tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB).

Kabag Humas Pemkab Badung Gede Wijaya, mengatakan penertiban terhadap bangunan yang tidak memiliki IMB bukan hanya terhadap menara telekomunikasi, melainkan juga bangunan lainnya. Hal ini memiliki dasar hukum, yakni Perda Provinsi Bali No 4/1974 tentang Bangun Bangunan.

“Bupati Badung sebagai pejabat negara menjalankan fungsi untuk menjalankan peraturan tersebut dan menindak kepada yang melanggar,” katanya.

Pihak Pemkab Badung, lanjut Gede, sebenarnya telah melakukan sosialisasi kepada para pihak pengelola BTS (base transceiver station) yang tidak mengantongi IMB untuk membongkar menara mereka.

Untuk menggantikan menara yang sudah terbongkar tersebut, Pemkab Badung-melalui ikatan kontrak dengan PT Bali Towerindo-akan membangun 49 titik menara telekomunikasi. Kebijakan tersebut bahkan dilegitimasi dalam Peraturan Daerah No. 6/2008. Hal inilah sebenarnya yang menyulut perseteruan antara operator dengan Pemkab Badung-dan juga pemda di wilayah lain.

Ketua ATSI Merza Fachys menilai pembangunan menara itu berbau monopolistik. “Pemkab Badung sudah terikat kontrak dengan PT Bali Towerindo bahwa tidak boleh ada menara lain selain menara telekomunikasi terpadu yang dibangun selain oleh penyedia menara lokal.”

Hal yang sama juga akan segera diberlakukan di DKI Jakarta dan sejumlah kabupaten di Sumatra Utara. Di Jakarta, sudah ditetapkan 800 titik pembangunan menara yang akan dibangun PT Jakarta Telekomunikasi.

Retribusi telekomunikasi

Merza mengingatkan telekomunikasi tidak berdiri sendiri, tidak hanya satu area, karena ada kepentingan nasional yang lebih besar. Telekomunikasi, tambahnya, telah memberikan sumbangan 4% bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Dia menilai telekomunikasi merupakan infrastruktur yang strategis, karena jika layanan turun, ekonomi akan terpengaruh, termasuk keamanan dan ketertiban.

“Bahkan kami khawatir sejumlah negara akan mengeluarkan travel warning ke Indonesia, khususnya Bali, karena tidak adanya sinyal telekomunikasi,” katanya.

Dalam skala kecil, ATSI mensinyalir pembongkaran menara tersebut menghilangkan 40% coverage di Badung. Itu belum dihitung orang dari luar Badung yang tidak bisa menelepon ke kabupaten tersebut, baik dari dalam negeri maupun internasional.

Terkait dengan perizinan soal menara, wewenang pemda sebenarnya hanyalah menyangkut izin mendirikan bangunan (IMB), sesuai dengan SKB mengenai Menara Bersama.

Belum selesai soal pembatasan jumlah menara dan kasus monopoli yang menyertainya, operator harus bersiap-siap untuk berhadapan lagi dengan pemda, tapi untuk soal yang lain: retribusi telekomunikasi.

Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) akan segera disahkan. Dalam satu pasalnya, RUU PDRD menegaskan bahwa operator dan pemilik menara telekomunikasi akan dikenai retribusi pengendalian menara telekomunikasi. Pemkab/ kota yang memungut retribusi ini berkewajiban atas tata ruang dan keamanan menara telekomunikasi.

Hal tersebut tentu saja menambah beban operator, terutama operator baru yang akan makin kesulitan mengembangkan jaringannya karena beban pengeluaran yang bertambah. Presdir XL Hasnul Suhaimi mengungkapkan pihaknya masih mempelajari RUU tersebut. Adapun Ketua Umum ATSI Sarwoto Atmosutarno tidak menjawab pertanyaan Bisnis.

Ketua ATSi Merza Fachys mengaku heran dengan aturan dalam RUU tersebut.

“Yah ini susahnya, di dalam SKB Menara Bersama empat pejabat setingkat menteri, pemda tidak memiliki wewenang menarik retribusi menara, dan hanya IMB. Sekarang UU mau membolehkannya. I love government!” (K2) (fita.indah@bisnis.co.id/arif.pitoyo@bisnis.co.id)

Oleh Fita Indah Maulani & Arif Pitoyo
Wartawan Bisnis Indonesia