Saturday, April 11, 2015

Kok Iso...?

Tidak usahlah terlalu di dramatisir. Jika memang ada dana dan memang pantas berikan saja, jika tidak ada dan memang tidak pantas dinaikkan ya sudah..gitu aja kok repot sih.

Yang harus dikejar dan kalau perlu diberi sanksi keras adalah kelompok pengusul di seputar istana atau dimana saja yang menyebarkan ide gila ditengah sedang susahnya masyarakat tatkala kenaikan harga2 berlomba mencekik mereka.

Sekali lagi, yang harus dibereskan adalah kelompok pengusul bahkan bisa memuluskan hingga ditandatangani oleh presiden... terlalu!


Uang Muka Mobil dan Politisi Kita... |8 April 201

Pada pertengahan 1960-an, Bung Karno, pemimpin bangsa ini, pernah menjual sebuah mobil pribadinya demi pemasangan Patung Dirgantara di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta. Langkah ini diambil karena dana pembangunan patung tersebut sangat terbatas, sementara Bung Karno menginginkan patung itu segera dipasang untuk mengenang keberanian bangsa Indonesia dalam menjelajah langit.

Puluhan mobil diparkir di area parkir khusus anggota DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/4). Kesederhanaan menjadi barang langka dalam hidup keseharian anggota DPR kini.
KOMPAS/WISNU WIDIANTOROPuluhan mobil diparkir di area parkir khusus anggota DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/4). Kesederhanaan menjadi barang langka dalam hidup keseharian anggota DPR kini.
Sebagai salah seorang pendiri negara ini dan sebagai presiden, seharusnya Bung Karno bisa meminta mobil jenis apa pun untuk dimiliki. Akan tetapi, Bung Karno justru menjual mobil pribadi miliknya demi sebuah patung yang diyakininya dapat membangkitkan semangat dari bangsanya.
Para pendahulu kita memang memegang teguh nilai-nilai luhur. Siapa pun yang dipilih menjadi pejabat negara menjalankan betul prinsipnya sebagai "pelayan" masyarakat. Menjadi pemimpin itu, sebagaimana diperlihatkan oleh perilaku mereka dalam keseharian, jelas untuk melayani.
Pemisahan penggunaan dan pemanfaatan barang milik negara dan milik pribadi ketika itu juga sangat jelas. Jarang terjadi penyelewengan fasilitas milik negara oleh para pejabat negara.
Dalam biografi pengusaha Hasjim Ning bisa dibaca relasi Bung Hatta dengan mobil dinas yang digunakannya. Suatu hari, pada awal 1950-an, Bung Hatta meminta keponakannya, Hasjim Ning, untuk menjemput ibundanya, Ibu Saleha.
Bung Hatta bahkan meminta supaya mobil Hasjim dipakai untuk menjemput ibundanya. Mengapa tidak dijemput dengan mobil Bung Hatta? "Mobil itu bukan kepunyaanku. Mobil itu milik negara," jawab Bung Hatta.
Negeri ini juga pernah memiliki politisi yang sederhana dan amat menyadari bahwa berpolitik merupakan sebuah pengorbanan.
Ketika Partai Katolik menggelar rapat kongres pada Desember 1972, misalnya, Sekretaris Jenderal Partai Katolik Harry Tjan Silalahi menghadiri rapat kongres dengan naik becak. Harry Tjan tidak merasa harus naik mobil dari rumah ayahnya di Kampung Terban menuju tempat rapat kongres di Bintaran, Yogyakarta.
Ketika menjadi anggota DPR (1967-1971), pendapatan Harry Tjan juga terbilang kecil. "Kadang (untuk hidup) saya dibantu (salah seorang pendiri Partai Katolik) Pak Kasimo," ujarnya. Padahal, Harry Tjan bukan anggota DPR biasa karena dia adalah sekretaris jenderal sebuah partai politik.
Mobil mewah
Kisah tentang kesederhanaan serta komitmen para politisi dan pemimpin negeri ini seperti di atas kini terasa menjadi cerita yang jauh dari keseharian praktik politik Indonesia.
Hal itu terasa, antara lain, saat melihat pertemuan elite partai. Hampir pasti acara itu diiringi dengan hadirnya sejumlah mobil mewah untuk membawa para elite partai tersebut.
Hari ini, apabila kita melongok tempat parkir para wakil rakyat di Kompleks Parlemen di Senayan saat berlangsungnya rapat paripurna, niscaya akan terkagum-kagum. Ratusan mobil mewah diparkir di sana. Bahkan, ada yang menganggap tempat parkir itu sebagai ruang pamer mobil terbesar di Indonesia.
Tentu saja, tidak semua wakil rakyat membekali diri dan naik mobil mewah. Beberapa kali, Kompas, misalnya, melihat ada anggota DPR yang tetap naik angkutan umum.
Namun, secara umum, parkiran di DPR memang mirip ruang pamer mobil. Jadi, sulit dipercaya jika mayoritas wakil rakyat masih membutuhkan fasilitas uang muka pembelian mobil Rp 210,89 juta seperti diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2015 tentang perubahan atas Perpres Nomor 68 Tahun 2010 terkait fasilitas uang muka untuk pembelian kendaraan perorangan. Terlebih jika melihat deretan mobil para wakil rakyat yang bernilai lebih dari Rp 400 juta.
Setelah melihat ada perdebatan di masyarakat dan berbicara dengan pimpinan DPR serta Kementerian Keuangan, Presiden Joko Widodo memutuskan mencabut Perpres No 39/2015. Ketentuan tentang masalah uang muka pembelian mobil ini dikembalikan lagi ke ketentuan dalam Perpres No 68/2010 yang besarnya Rp 116,65 juta.
Jika tak ada perdebatan di masyarakat, mungkin cerita tentang nasib Perpres No 39/2015 menjadi berbeda. Namun, munculnya perpres yang diawali oleh adanya usulan kenaikan nilai fasilitas uang muka pembelian mobil dari Ketua DPR ini mungkin telah menjadi salah satu tanda perilaku politik dan kekuasaan yang umumnya kini terjadi di Indonesia, yaitu yang makin jauh dari nilai-nilai kesederhanaan dan prinsip sebagai pelayan masyarakat. Semoga dugaan ini tak benar.
(HARYO DAMARDONO)