Thursday, November 22, 2007

THANKS A MILLION, KPPU

Thanks to KPPU for making a tough decision on Indonesian Telecomm Industry. The agency has already made decision on how, Temasek Group, a company from SIngapore has violated anti-monopoly law.
But, ironically, all of this news reveal what's wrong with Indoensia's telecomm industry. Why? CAn you imagine that, long before, the decision has been made to clear up all of cross-ownerships on both Indosat's group and Telkom's group. The govt have made a good decision to let Telkom have Telkomsel, and Indosat to have Satelindo. (Actually, difusion of their share also comprised of other small sister companies). But then, it goes to a worse situation. Clearing up cross-ownership domestically, but then, it went to internationally cross-ownered by Singaporean state-owned company.
What a pity!

Lesson learnt? It's clear that in term of regulation, government has to step up to renew the "already-old fashioned telecomm law no 36/1999", and at the same time has also to set up a new Blue Print of Telecomm Industry. In addition, we are fortunate enough to have broadcasting law, however, the existing laws are not convergence as technology requires. And most improtent one is that how to make BRTI (regulatory body) more independent.


Cheers,

ES

=========

KPPU rules against Temasek

Business and Investment - November 20, 2007
http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071120.@01

Andi Haswidi, The Jakarta Post, Jakarta
Temasek Holdings was found guilty by the KPPU on Monday of cross-ownership in the domestic mobile telecommunications industry, a move that led to an abuse of dominant powers in the marketplace and a monopoly.
The Singapore-owned company would now be forced to either let go of all indirect shares in PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), or in PT Indosat, and to pay a fine of Rp 25 billion for breaching the anti-monopoly law, the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) said.
"We hereby order Temasek and its business group to let go of all shares in either Telkomsel or Indosat, no more than two years (after) this decision takes effect," head of the KPPU's panel of judges Syamsul Maarif said.
The divested shares, Syamsul said, must not exceed five percent for each buyer.
Eight other companies, which include Temasek's subsidiaries and other strategic partners for investment in Indosat and Telkomsel, were also found guilty of violating the law, particularly article 27 on cross-ownership.
The eight companies were fined Rp 25 billion each, including Singapore Technologies Telemedia (STT), STT Communications, Asia Mobile Holding Company, Asia Mobile Holdings, Indonesia Communications Limited, Indonesia Communications Pte. Ltd., Singapore Telecommunications and Singapore Telecom Mobile.
Temasek owns a 54.15 percent stake in SingTel Group, which holds a 35 percent stake in Telkomsel, while Singapore Technologies Telemedia (STT) -- wholly owned by Temasek -- owns a 75 percent of Asia Mobile Holdings, which owns 41.9 percent of Indosat.
Meanwhile, the largest market share holder, Telkomsel, was found guilty of violating article 17 of the law, particularly for abusing its dominant power to determine the interconnection tariffs among operators.
The KPPU also told Telkomsel to stop the practice, lower average tariffs of mobile communication services up to 15 percent, and to pay a fine of Rp 25 billion.
Rp 25 billion is the maximum fine for a violation of the law.
"Telkomsel is found guilty of creating a barrier-to-entry by determining the interconnection among operators and engaging in price leadership, which led to excessive pricing and revenue," Syamsul said.
KPPU said their activity was helped by the indirect influence of Temasek through its subsidiary STT in Indosat, which had forced Indosat to postpone its network development, to make way for Telkomsel.
"Due to the dominant abuse of power that led to excessive prices, the consumers suffered a total loss of between Rp14.7 trillion and Rp 30.8 trillion from 2003 until 2006," Syamsul said.
Despite this, the KPPU did not have the capacity to order the firms to pay losses.
The figures came from a comparison with average prices of telecom services and other countries in Southeast Asia, the KPPU said.
Temasek's lawyer Todung Mulya Lubis told reporters the company would appeal to the district court within two weeks.
"Temasek is very disappointed in this decision," Todung said.
"The decision was forced as the KPPU justified their own ideas and reasoning on this matter."
Among the flaws in the decision, he said, included the KPPU's failure to name Temasek and eight other firms as a single business group.
Todung said the cost of making such failures meant Indonesia was no longer a safe place to do business.
----
Kamis, 22 November 2007


Persaingan Usaha Butuh Aturan Investor yang Siap Bersaing Tak Akan Resah

Jakarta, Kompas - Penegakan aturan persaingan usaha diyakini tidak akan meresahkan investor yang siap bersaing secara sehat. Penanaman modal dalam sistem pasar yang terbuka justru membutuhkan kepastian bahwa kompetisi dapat berjalan. Investasi juga mesti diikuti dengan ketaatan pada hukum yang berlaku.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengharapkan putusan komisi ini terhadap kelompok usaha Temasek dipandang sebagai upaya memperbaiki iklim persaingan usaha di Indonesia. Meski demikian, aturan perundangan memberi ruang bagi pengajuan keberatan atas putusan KPPU melalui pengadilan negeri.
Terkait hal itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, Rabu (21/11), mempersilakan Temasek menempuh jalur hukum atas putusan KPPU. Menurut Wapres, putusan itu diambil untuk mencegah praktik monopoli yang pernah menghancurkan negara di masa lalu terulang kembali.
Wapres Kalla mengingatkan, aturan antimonopoli bukan hanya diterapkan di Indonesia. Indonesia pun menyusun aturan tersebut dengan mengacu pada standar internasional. Oleh karena itu, jika penegakan aturan ini dianggap merugikan suatu pihak, Wapres meminta tak lantas dikatakan aturan Indonesia yang jelek.
"Orang asing atau negara mana pun minta agar kita taat hukum. Begitu kita taat hukum, kenapa marah? Jangan ada standar ganda. Ini penegakan hukum semata. Tidak ada faktor-faktor lain seperti intervensi pemerintah," ujarnya. Ia menambahkan, sebuah perusahaan kelas dunia pernah dihukum denda 600 juta dollar AS oleh pengadilan di luar negeri. Dalam kaitan ini UU Nomor 5 Tahun 1999 memang mempunyai semangat keras antimonopoli.
Anggota KPPU Syamsul Maarif di Jakarta, Rabu, menjelaskan, KPPU menetapkan denda dan mengharuskan Temasek melepaskan saham di Telkomsel atau Indosat karena kepemilikan silang Temasek pada dua operator seluler itu mengakibatkan pasar industri seluler Indonesia tidak kompetitif.
"Meski dari awal divestasi Indosat dilakukan, KPPU tidak pernah setuju, tetapi jika kepemilikan silang itu tidak menimbulkan dampak antipersaingan, KPPU akan memilih untuk mengawasi saja," ujar Syamsul yang menjabat sebagai Ketua Majelis Pemeriksa Perkara Pelanggaran oleh Temasek.
Bukti pelanggaran
Syamsul menyebutkan sejumlah bukti sebagai dampak negatif kepemilikan silang tersebut.
Tampilnya Telkomsel sebagai penentu tingkat harga (price leader) pada bisnis telekomunikasi dipandang sebagai salah satu bukti. Telkomsel menguasai 61,24 persen di pasar seluler sejak tahun 2001. Bersama Indosat, Telkomsel menguasai 89,61 persen pangsa pasar seluler.
"Banyak pemain di pasar, tetapi tarif Telkomsel tidak pernah turun dan terdapat pola yang jelas bagaimana membuat tarif operator lain mengikuti price leader ini," ujar Syamsul.
Tingkat tarif yang diterapkan juga melampaui rata-rata tarif di negara-negara sekitar Indonesia. "Majelis meyakini, jika kompetisi berjalan, penambahan pemain di pasar akan membuat tarif turun. Apalagi kesenjangan dengan biaya produksinya memang amat besar," katanya.
KPPU memandang pencapaian profit yang demikian eksesif sebagai bukti lain. Pada tahun 2006, tingkat imbal hasil (return on equity) Telkomsel mencapai 55 persen. Studi referensi di berbagai negara menunjukkan, imbal hasil wajar yang tergolong tinggi pada bisnis telekomunikasi berkisar 20 persen.
Di sisi lain, kepemilikan silang Temasek di Indosat dinilai difungsikan sebagai pengontrol karena Indosat yang mestinya tumbuh dan bersaing dengan Telkomsel terhambat perkembangannya. "Sejumlah bukti menunjukkan hal itu," ujar Syamsul.
KPPU menetapkan kelompok usaha Temasek melanggar Pasal 27 (a) UU Nomor 5 Tahun 1999 terkait kepemilikan silang, sedangkan Telkomsel ditetapkan melanggar Pasal 17 dan Pasal 25 terkait praktik monopoli dan penyalahgunaan posisi dominan.
Terkait kerugian yang ditanggung konsumen akibat penyalahgunaan posisi dominan itu, KPPU mengharuskan Telkomsel menurunkan tarif 15,54 persen, setara imbal hasil 35 persen.
"Artinya, KPPU menerapkan sanksi sangat moderat. Telkomsel bisa menikmati tingkat profit yang luar biasa dibandingkan rata-rata pebisnis sejenis di negara lain," ujar Syamsul.
Menurut dia, UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyerahkan pengaturan mekanisme persaingan bisnis ini berdasarkan UU Persaingan Usaha.
"Saat ini KPPU bersama BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) sedang menyusun formula penentuan tarif yang didasarkan pada biaya produksi," ujarnya.
Ekonom Faisal Basri mengingatkan, pemerintah juga harus memperbaiki peran kontrolnya melalui regulasi. "Pemerintah memang seharusnya ikut bertanggung jawab karena pelanggaran ini bisa terjadi juga akibat lemahnya regulasi. Tetapi, KPPU hanya bisa memberikan saran kepada pemerintah, bukan menghukum, karena pemerintah bukan pelaku usaha," ujar Faisal.
Advokat Denny Kailimang menyatakan, solusi yang bisa ditempuh ialah pihak yang merasa dirugikan mengajukan keberatan ke pengadilan negeri, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Ayat 2 UU No 5 Tahun 1999. Pasal itu berbunyi, "Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut".
Pakar hukum persaingan usaha Ningrum Natasya Sirait menegaskan, tidak ada jalan lain bagi penyelesaian kasus Temasek kecuali melalui koridor hukum.
Menurut Ningrum, wajar saja jika Temasek memiliki argumentasi lain, misalnya terkait kepemilikan silang yang tidak dipersoalkan sejak awal dilakukan divestasi. Temasek menampik melakukan pengaturan harga sebagai penyalahgunaan posisi dominan.
Amir Syamsuddin, kuasa hukum Asia Mobile Holdings yang termasuk dalam kelompok usaha Temasek, mengatakan, penafsiran KPPU atas Pasal 27 UU No 5/1999 dirasakan meresahkan. Pasal itu melarang pelaku usaha memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis dengan pasar yang sama.
Masalahnya, Temasek tidak merasa memiliki saham mayoritas. Menurut Amir, Temasek tidak sepatutnya dipersalahkan atas penguasaan pangsa pasar yang besar.
"Kan, masih ada peran pemerintah sebagai regulator. Kami pun bukan pemegang saham mayoritas. Pemegang saham lain, kok, tidak diperhitungkan dalam putusan ini," ujar Amir Syamsuddin, Rabu malam. (DAY/OSA/INU/MAS/FAJ/AS)
----

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0711/22/ekonomi/4017702.htm
Kamis, 22 November 2007

KPPU Bertindak Ketika Berdampak Pemerintah Yakin Dapat Kendalikan
Jakarta, Kompas - Isu kepemilikan silang sebenarnya pernah ditanyakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha kepada pemerintah setelah divestasi saham Indosat kepada Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd yang terafiliasi dengan Singapore Telecommunication, pemilik saham Telkomsel.
"Pemerintah meminta reschedule dan baru terlaksana Januari 2003. Ketika itu pemerintah menjelaskan pada KPPU, pemerintah tetap bisa mengendalikan sehingga kepemilikan silang tak akan berdampak negatif," ujar anggota KPPU Syamsul Maarif di Jakarta, Rabu (21/11).
Menurut Syamsul, KPPU memilih menerapkan penafsiran maksimal atas Pasal 27 UU No 5/1999 yang menyangkut kepemilikan silang tersebut. "Artinya, kami berpersepsi positif dulu bahwa dua operator itu tetap akan dapat bersaing dengan sehat, seperti yang diyakinkan pemerintah. KPPU hanya akan mengawasi," ungkapnya.
Meski demikian, KPPU tidak pernah memberikan persetujuan atas divestasi Indosat.
Selama tiga tahun kepemilikan silang berjalan, KPPU menilai pemerintah tak dapat mengendalikan dampak negatif yang muncul akibat kepemilikan silang. Dengan demikian, pemeriksaan dan putusan KPPU mengenai monopoli baru keluar Senin (19/11), lima tahun setelah transaksi divestasi saham Indosat.
KPPU menilai, struktur kepemilikan silang kelompok Temasek menyebabkan priceleadership. Telkomsel sebagai pemimpin pasar menetapkan harga jasa telekomunikasi seluler secara eksesif. Sebenarnya apa yang terjadi sudah dikhawatirkan berbagai kalangan sejak tahun 2002.
Pemerintah Indonesia melakukan privatisasi atas Indosat dua kali pada tahun 2002. Ketika itu, pemerintah ditargetkan mendapatkan dana untuk menambal APBN dari privatisasi sebesar Rp 6,5 triliun.
Pertama, pada Mei 2002 sebanyak 8,1 persen saham Indosat dengan perolehan dana Rp 1,1 triliun. Kedua, Desember 2002 sebesar 41,94 persen dengan hasil Rp 5,62 triliun sehingga pada tahun 2002 pemerintah mendapatkan dana Rp 6,72 triliun dan akhirnya tinggal menguasai 14,96 persen saham Indosat. Dengan demikian, harga 100 persen saham Indosat setara dengan Rp 13 triliun. STT menyingkirkan pesaingnya, Telekom Malaysia.
Harga beli saham Indosat oleh STT sebesar Rp 12.950 per lembar cukup tinggi. Karena, harga itu 50,6 persen di atas (premium) harga penutupan di BEJ pertengahan Desember 2002 yang berada pada posisi Rp 8.600 per lembar. Harga itu juga di atas nilai buku saham Indosat sebesar Rp 10.400. Telekom Malaysia yang disingkirkan STT hanya menawar Rp 12.650 per lembar.
Sementara itu, SingTel, anak perusahaan Temasek Holdings, juga telah menguasai 35 persen saham PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel). STT bersama SingTel adalah anak perusahaan yang bernaung di bawah perusahaan milik Pemerintah Singapura, Temasek Holdings (Pte) Ltd. STT di antaranya memberi layanan broadband, jasa multimedia, dan telepon. Jaringan bisnis STT ada di China, Filipina, Hongkong, Makao, Malaysia, dan Taiwan. Kemenangan tender saham Indosat oleh STT menjadikannya dapat mengontrol Satelindo dan IM3, dua anak perusahaan Indosat di bisnis operator telepon seluler.
Tidak membeli
Kuasa Hukum Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd Ignatius Andy yang dihubungi di Singapura mengatakan, Temasek Holdings tidak pernah membeli saham PT Indosat Tbk. Yang membeli saham Indosat adalah STT, STT Communications Ltd, Asia Mobile Holding Company Pte Ltd, dan Asia Mobile Holdings Pte Ltd. Saham Telkomsel dibeli oleh Singapore Telecomunications (SingTel) Ltd.
"Dari sini kepemilikan silang Temasek yang dituduhkan KPPU tidak terpenuhi. Kami berbeda dengan SingTel," kata Andy.
Menurut Andy, Temasek tidak bisa mengontrol Indosat atau Telkomsel karena Temasek tidak berada dalam satu garis komando. Bagi Temasek, sebagai pemegang saham di STT maupun SingTel, laporan kinerja tahunan STT dan SingTel itulah yang penting. Laporan tahunan itu menyangkut pembagian dividen dan prospek perusahaan.
Soal motif Temasek yang gencar berinvestasi di bidang telekomunikasi, Andy menuturkan, "Temasek sebagai perusahaan investasi bukan hanya menanamkan modal di bidang telekomunikasi. Juga bidang lain, seperti perbankan." (DAY/OSA/JOE)
-----
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0711/22/ekonomi/4017715.htm
Kamis, 22 November 2007
Pertarungan UsahaTemasek Memiliki Motif Kendalikan Kompetitor
Jakarta, Kompas - Temasek diperkirakan memang memiliki motif untuk mengendalikan kompetitornya pada bidang telekomunikasi. Salah satu indikasinya adalah ditunjukkan dengan lambannya perkembangan bisnis Indosat.
Ketua Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang memeriksa dan memutus perkara Temasek Syamsul Maarif menuturkan, motif Temasek untuk mengendalikan kompetitor melalui penguasaan saham Indosat sulit dibantah.
Meskipun memiliki profit, Indosat tidak agresif dalam persaingan, terutama karena pembangunan jaringan (Base Transceiver Station/BTS).
Dalam pemeriksaan terungkap, empat direktur Indosat bahkan telah melobi pemegang saham di Singapura terkait keterlambatan pembangunan jaringan BTS. Akan tetapi, upaya itu tak membawa hasil.
"Tidak jelas mengapa jabatan direktur utama pada perusahaan sebesar itu dibiarkan kosong sekian lama," ujar Syamsul.
Sementara itu kuasa hukum Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT) Ignatius Andy mengatakan, Temasek tidak dapat mengontrol operasional Indosat maupun Telkomsel. Perusahaan investasi pemerintah Singapura ini lebih mementingkan kinerja tahunan anak perusahaannya yaitu STT dan SingTel.
Ketika ditanya mengapa Temasek sangat tertarik untuk berinvestasi pada bidang telekomunikasi di Indonesia Andy mengatakan, Temasek tidak hanya berinvestasi pada bidang telekomunikasi, melainkan juga pada bidang lain seperti perbankan. Di Indonesia, Temasek memiliki saham secara tidak langsung pada Bank Danamon dan Bank Internasional Indonesia.
Di sisi lain, Syamsul Maarif menambahkan, meskipun masih memiliki 14,96 persen saham di Indosat, saham pemerintah Indonsia tergolong saham seri A, sehingga pemerintah tidak bisa terlibat dalam pengambilan keputusan operasional.
Lepas Indosat
Sementara itu, Lembaga pemeringkat Fitch Rating dalam risetnya mengatakan, kecil kemungkinan Temasek akan melepaskan saham Telkomsel. Fitch berpendapat, jika Temasek melepaskan Telkomsel, akan mempengaruhi kinerja SingTel.
Telkomsel merupakan bintang SingTel yang berkinerja sangat baik dan merupakan mesin pertumbuhan aset SingTel di luar negeri. Pendapatan dari Telkomsel menyumbangkan porsi yang cukup besar, yakni sekitar 21 persen pendapatan grup SingTel sebelum pajak dan menyumbangkan 51 persen dividen ke SingTel.
Diperkirakan Temasek lebih rela melepaskan Indosat. Indosat memiliki posisi pasar yang lebih lemah serta valuasi lebih rendah dibandingkan Telkomsel. Indosat juga bukan merupakan faktor pendukung yang signifikan bagi STT maupun Temasek. Per Juni 2007, pangsa pasar selular Indosat hanyalah 26 persen dibandingkan dengan 56 persen pangsa pasar Telkomsel. (day/osa/joe)

Tuesday, November 13, 2007

Our Hipocracy!






In Sentul area, I do find such silly board to prevent people from doing picnic and other activties there. How come? Who own the land? THis is the simple ridicoulus way of thinking of Indonesian businessmen. They got the license to operate the area, they "engineer" the property, they ask people to leave, and they ban them for recreation unless people paid it inside the park for an expensive entry fee. And we are just shut our mouth up!!



In Surabaya Airport, on arrival area, firstly caught my eyes was the board with the words to tell the passenger at what cost we shall be charged when using porter service. The Rp 2,500.0 handling fee per luggage seems OK, but not in practice, though! I used to pay Rp15,000.0 to Rp 20,000.0 even for one piece luggage.




What do you think?

Wednesday, November 07, 2007

Ibu Kota Lumpuh, lalu apa?

Berbagai media mengulas ttg "lumpuhnya" jakarta oleh macet. Tapi berbagai analisis terlihat tidak pernah mengutik-utik akar permasalahan. Yaitu terkonsentrasinya pembangunan di ibukota.

KArena itu berbagai kebijakan yang dibuat tidak bisa bersifat jangka pendek, tapi lebih bersifat jangka menengah dan panjang. Salah satunya menurut saya...ya...pindahkan ibukota.

Eddy

============
Editorial Media Indonesia, 7 nov 07
http://www.mediaindonesia.com/editorial.asp?id=2007110621484605

Jakarta di Ambang Kelumpuhan Total

KEMACETAN di Jakarta akhir-akhir ini memasuki stadium empat. Stagnasi dan kelumpuhan sudah terjadi dan sebentar lagi ibu kota negara ini lumpuh total. Gerak manusia terhenti, roda perekonomian tidak berputar, kriminalitas merajalela, dan pemborosan menjadi-jadi.
Pejabat DKI Jakarta dan pemerintah pusat pasti paham risiko kemacetan yang terus mendera warga Jakarta. Tapi hingga hari ini belum ada solusi komprehensif mengatasinya. Slogan Fauzi Bowo di masa kampanye 'Jakarta di Tangan Ahlinya' ternyata belum memperlihatkan apa-apa.
Kemacetan di Jakarta memang bukan fakta baru. Namun, kemacetan akhir-akhir ini sudah mencapai tahap mengancam. Warga yang sebelumnya sabar dalam antrean kemacetan kini berubah menjadi pemarah. Dan kemarahan potensial menyulut tindakan anarkistis fatal.
Setiap hari jumlah mobil di Jakarta bertambah sekitar 350 unit dan kendaraan roda dua bertambah sekitar 1.250 unit. Total mobil kini mencapai sekitar 4,5 juta unit dengan porsi terbesar mobil pribadi. Sebaliknya, panjang jalan hanya sekitar 5.000 kilometer. Itu sudah termasuk jalan tol, jalan provinsi, jalan kabupaten, dan jalan lokal.
Kemacetan juga menimbulkan kerugian secara ekonomi. Bappenas menghitung, dari dua sektor saja, kesehatan dan energi, kerugian mencapai Rp7 triliun. Menurut perhitungan Yayasan Pelangi, total kerugian akibat kemacetan bisa mencapai Rp43 triliun. Itu termasuk kerugian akibat keterlambatan masuk kerja, pemborosan BBM, dan pencemaran udara.
Data lain menyebutkan jumlah pengguna kendaraan umum menurun dari tahun ke tahun dan sebaliknya pengguna kendaraan pribadi meningkat. Pada 2010 diperkirakan pengguna kendaraan umum hanya sekitar 44,1% dan kendaraan pribadi 55,9%. Padahal, setiap hari mobil pribadi mengangkut 3 juta kursi kosong melewati jalan tol di wilayah DKI Jakarta. Jumlah itu sekitar 33% dari total kursi kosong dari kendaraan pribadi yang melewati jalan-jalan Ibu Kota.
Apa makna angka-angka itu? Angka-angka itu mestinya amat berarti bagi pemerintah Jakarta dalam membuat kebijakan di bidang lalu lintas. Pertama yang paling sederhana adalah mengatur pembagian jam masuk truk dan kontainer ke tengah kota. Misalnya truk dan kontainer hanya boleh melintasi tengah kota pada tengah malam sampai subuh. Atau mengalihkan kendaraan tersebut melewati ruas tol lingkar luar (JORR).
Kedua, membuat kebijakan di bidang kepemilikan kendaraan. Kepemilikan kendaraan setiap keluarga dibatasi dan mereka boleh memiliki kendaraan baru, tapi kendaraan lama harus dienyahkan. Selain itu, kendaraan dalam usia tertentu harus dibesituakan. Dengan demikian, pertumbuhan populasi kendaraan seimbang dengan pertumbuhan infrastruktur.
Ketiga, dalam jangka panjang mengatur kembali tata ruang. Pemerintahan yang berorientasi ekonomi menciptakan penzonaan peruntukan lahan yang homogen. Zona perumahan menjadi satu kelompok yang terpisah dari zona perkantoran dan zona pusat perbelanjaan. Akibatnya, sekitar 16 juta orang harus bergerak setiap hari di jalan-jalan di Jakarta yang kemudian menciptakan kemacetan.
Keempat, memperbaiki sistem transportasi massa. Sistem bus way, water way, monorel, dan nantinya subway harus menjadi satu kesatuan dan memerhatikan kesinambungan dalam mobilitas manusia.
Kemacetan di Jakarta sudah mencapai titik kulminasi. Pemerintah DKI harus segera mengambil solusi jangka pendek. Jangan menambah jumlah warga yang stres atau gila. Jangan pula mendorong warga menjadi beringas karena akibatnya pasti fatal.