Wednesday, November 07, 2007

Ibu Kota Lumpuh, lalu apa?

Berbagai media mengulas ttg "lumpuhnya" jakarta oleh macet. Tapi berbagai analisis terlihat tidak pernah mengutik-utik akar permasalahan. Yaitu terkonsentrasinya pembangunan di ibukota.

KArena itu berbagai kebijakan yang dibuat tidak bisa bersifat jangka pendek, tapi lebih bersifat jangka menengah dan panjang. Salah satunya menurut saya...ya...pindahkan ibukota.

Eddy

============
Editorial Media Indonesia, 7 nov 07
http://www.mediaindonesia.com/editorial.asp?id=2007110621484605

Jakarta di Ambang Kelumpuhan Total

KEMACETAN di Jakarta akhir-akhir ini memasuki stadium empat. Stagnasi dan kelumpuhan sudah terjadi dan sebentar lagi ibu kota negara ini lumpuh total. Gerak manusia terhenti, roda perekonomian tidak berputar, kriminalitas merajalela, dan pemborosan menjadi-jadi.
Pejabat DKI Jakarta dan pemerintah pusat pasti paham risiko kemacetan yang terus mendera warga Jakarta. Tapi hingga hari ini belum ada solusi komprehensif mengatasinya. Slogan Fauzi Bowo di masa kampanye 'Jakarta di Tangan Ahlinya' ternyata belum memperlihatkan apa-apa.
Kemacetan di Jakarta memang bukan fakta baru. Namun, kemacetan akhir-akhir ini sudah mencapai tahap mengancam. Warga yang sebelumnya sabar dalam antrean kemacetan kini berubah menjadi pemarah. Dan kemarahan potensial menyulut tindakan anarkistis fatal.
Setiap hari jumlah mobil di Jakarta bertambah sekitar 350 unit dan kendaraan roda dua bertambah sekitar 1.250 unit. Total mobil kini mencapai sekitar 4,5 juta unit dengan porsi terbesar mobil pribadi. Sebaliknya, panjang jalan hanya sekitar 5.000 kilometer. Itu sudah termasuk jalan tol, jalan provinsi, jalan kabupaten, dan jalan lokal.
Kemacetan juga menimbulkan kerugian secara ekonomi. Bappenas menghitung, dari dua sektor saja, kesehatan dan energi, kerugian mencapai Rp7 triliun. Menurut perhitungan Yayasan Pelangi, total kerugian akibat kemacetan bisa mencapai Rp43 triliun. Itu termasuk kerugian akibat keterlambatan masuk kerja, pemborosan BBM, dan pencemaran udara.
Data lain menyebutkan jumlah pengguna kendaraan umum menurun dari tahun ke tahun dan sebaliknya pengguna kendaraan pribadi meningkat. Pada 2010 diperkirakan pengguna kendaraan umum hanya sekitar 44,1% dan kendaraan pribadi 55,9%. Padahal, setiap hari mobil pribadi mengangkut 3 juta kursi kosong melewati jalan tol di wilayah DKI Jakarta. Jumlah itu sekitar 33% dari total kursi kosong dari kendaraan pribadi yang melewati jalan-jalan Ibu Kota.
Apa makna angka-angka itu? Angka-angka itu mestinya amat berarti bagi pemerintah Jakarta dalam membuat kebijakan di bidang lalu lintas. Pertama yang paling sederhana adalah mengatur pembagian jam masuk truk dan kontainer ke tengah kota. Misalnya truk dan kontainer hanya boleh melintasi tengah kota pada tengah malam sampai subuh. Atau mengalihkan kendaraan tersebut melewati ruas tol lingkar luar (JORR).
Kedua, membuat kebijakan di bidang kepemilikan kendaraan. Kepemilikan kendaraan setiap keluarga dibatasi dan mereka boleh memiliki kendaraan baru, tapi kendaraan lama harus dienyahkan. Selain itu, kendaraan dalam usia tertentu harus dibesituakan. Dengan demikian, pertumbuhan populasi kendaraan seimbang dengan pertumbuhan infrastruktur.
Ketiga, dalam jangka panjang mengatur kembali tata ruang. Pemerintahan yang berorientasi ekonomi menciptakan penzonaan peruntukan lahan yang homogen. Zona perumahan menjadi satu kelompok yang terpisah dari zona perkantoran dan zona pusat perbelanjaan. Akibatnya, sekitar 16 juta orang harus bergerak setiap hari di jalan-jalan di Jakarta yang kemudian menciptakan kemacetan.
Keempat, memperbaiki sistem transportasi massa. Sistem bus way, water way, monorel, dan nantinya subway harus menjadi satu kesatuan dan memerhatikan kesinambungan dalam mobilitas manusia.
Kemacetan di Jakarta sudah mencapai titik kulminasi. Pemerintah DKI harus segera mengambil solusi jangka pendek. Jangan menambah jumlah warga yang stres atau gila. Jangan pula mendorong warga menjadi beringas karena akibatnya pasti fatal.

No comments: