Saturday, April 17, 2010

Gayus dan Patologi Birokrasi - Lupa atau melupakan?

Ini contoh profesor atau akademisi yang melihat satu arah, ia lupa sudah belasan profesor dan doktor dari kalangan akademisi yang juga turut serta memperburuk birokrasi dan tidak jarang mereka juga mendekam dalam penjara, kok gak disentuh dalam tulisannya prof? atau pura-pura tidak tahu? Anyway..silakan nilai sendiri.

Wassalam,
Eddy
================
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/15/0451160/gayus.dan.patologi.birokrasi
Kompas/ Kamis, 15 April 2010 | 04:51 WIB


Gayus dan Patologi Birokrasi

Eko Prasojo
Vices, maladies, and sickness of bureaucracy constitute bureaupathologies. They are not individual failings of individuals who compose organizations but the systematic shortcomings of organizations that cause individuals within them to be quilty of malpractices. (Gerald E Caiden, 1991).

Gayus Tambunan mendadak saja menjadi orang yang terkenal saat ini di Indonesia. Bukan karena prestasinya di birokrasi meningkatkan penerimaan pajak, melainkan justru karena perbuatannya telah memperkokoh keyakinan tentang buruknya birokrasi Indonesia.

Tidak semua birokrat seperti Gayus, tetapi kelemahan sistem organisasi seperti dituliskan oleh Caiden—seorang pakar ternama reformasi administrasi—telah membentuk citra menyeluruh mengenai buruknya birokrasi Indonesia.

Apa yang terjadi dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh Gayus sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam birokrasi di Indonesia. Selain itu, jumlahnya pun tidak begitu besar dibandingkan dengan kasus- kasus serupa yang belum atau tidak terungkap. Akan tetapi, tetap harus disyukuri bahwa akhirnya kesadaran tentang korupsi dalam birokrasi semakin terbuka lebar dengan terkuaknya kasus Gayus.

Maladministrasi yang saat ini mungkin dapat disebut dengan Gayusisme atau Bahasyimisme atau nama lain yang barangkali akan segera muncul sebenarnya bukanlah kesalahan yang bersifat individual, tetapi timbul karena kelemahan sistematik dari organisasi birokrasi. Rumah tahanan, penjara, dan lembaga pemasyarakatan mungkin akan penuh dengan birokrat-birokrat yang merupakan golongan Gayusisme. Namun, apakah kita akan memenjarakan semua birokrat-birokrat dengan predikat Gayusisme tersebut dan mengatakan bahwa hal tersebut sebagai penyimpangan dan kesalahan yang bersifat individual.

Caiden mendefinisikan maladministrasi sebagai ”administrative action (or inaction) based on or influenced by improper consideration or condut”. Pakar administrasi negara yang lain, seperti Kenneth Wheare, menyebutkan berbagai bentuk maladministrasi, seperti ilegalitas, korupsi, neglect (kelalaian), perversity (ketidakwajaran), turpitude (kejahatan/kekejian), discourtesy (ketidaksopanan), dan misconduct (kelakuan menyimpang). Bahkan, Caiden menyebutkan ada 175 penyakit birokrasi yang sering kali terjadi dan dilakukan birokrat (common bureaupathologies).

Di dorong rasa ingin tahu, penulis mencermati dan menganalisis bahwa semua penyakit yang disebutkan oleh Caiden terjadi di dalam konteks birokrasi di Indonesia pada saat ini. Coba kita bayangkan, menderita satu macam penyakit saja sering kali sudah sangat menyusahkan, apalagi menderita 175 jenis penyakit dalam waktu yang bersamaan. Jumlah patologi birokrasi ini sebenarnya bisa lebih banyak di Indonesia mengingat penyakit birokrasi daerah tropis akan berbeda dengan birokrasi daerah subtropis seperti menjadi konteks dalam tulisan Caiden.

Maladministrasi sebagai bentuk patologi birokrasi terjadi secara sistematik, bukan individual. Kelemahan dan kegagalan organisasi untuk membentuk sistem yang mencegah terjadinya penyakit-penyakit birokrasi akan menyebabkan perilaku menyimpang yang diterima secara kolektif. Bahkan, individu yang memiliki karakter unggul dan idealisme yang tinggi tidak akan bisa bertahan lama ketika masuk dalam birokrasi karena serangan penyakit yang demikian kompleks. Birokrat yang semacam ini memiliki tiga pilihan, yaitu menjadi bagian dari sistem yang sakit, dianggap sebagai pesakitan karena tidak menjadi bagian dari sistem, atau keluar dari sistem birokrasi.

Fenomena Gayus, Bahasyim, dan nama-nama birokrat lain yang akan muncul serta menjadi bagian dari sindrom gayusisme atau bahasyimisme adalah patologi birokrasi yang sudah menahun dan sistemis. Patologi ini seperti gurita, merusak sel-sel produktif dalam birokrasi dan melibatkan hampir semua pejabat dalam semua strata. Bisa jadi, patologi birokrasi tersebut terjadi dari level menteri atau kepala lembaga pemerintahan, para direktur jenderal, direktur, kepala subdirektorat, kepala seksi, sampai dengan birokrat tanpa jabatan.

Hal yang sama terjadi dalam birokrasi pemerintahan daerah. Apalagi setelah pilkada langsung, penyakit birokrasi daerah semakin parah dan sulit disembuhkan. Para birokrat, di samping sebagai pelaku, sebenarnya juga korban dari kejahatan yang ditimbulkan oleh buruknya sistem birokrasi Indonesia. Sebagai individu yang memiliki self-interest, dalam sistem yang korup, para birokrat akan memilih menjadi bagian dari sistem tersebut, daripada harus menjadi pesakitan yang dianggap memiliki perilaku menyimpang.
Itu sebabnya, mayoritas birokrat sebenarnya sangat berpotensi mengidap penyakit sindrom Gayusisme yang bersifat menular dan menahun. Sekarang bisa dibayangkan bahwa secara genetis mayoritas birokrat di Indonesia (meskipun tidak semua) adalah monster yang setiap saat berperilaku menyimpang dan berpotensi melakukan korupsi.

Terapi radikal
Diagnosis terhadap patologi birokrasi di Indonesia sebenarnya sudah lama dilakukan. Bahkan, setiap masyarakat selalu merasakan dampak dari penyakit birokrasi dalam pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan. Akan tetapi, tampaknya seperti orang yang sudah mengalami keter- gantungan pada obat, tidak mudah mengatasi penyakit-penyakit birokrasi tersebut. Problem dasar yang kita hadapi adalah komitmen politik untuk melakukan terapi terhadap penyakit tersebut. Karena jenis penyakit yang diderita sangat kompleks dan melibatkan lebih dari 175 penyakit sehingga dibutuhkan tidak saja komitmen politik yang tidak terbatas, tetapi juga terapi yang tepat.

Munculnya korupsi ala Gayus yang telah menjadi isu nasional harus bisa dijadikan sebagai momentum pengobatan penyakit birokrasi secara menyeluruh. Perintah Presiden untuk mengungkap tuntas kasus mafia pajak dan mafia kasus tidak boleh hanya berhenti sekadar sebagai sindrom paruh waktu, tetapi harus terus bergulir menjadi semangat dan gerakan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Karena pada dasarnya korupsi yang terjadi dalam birokrasi tidaklah berdiri sendiri, melainkan juga melibatkan penegak hukum dan juga politisi, maka terapi reformasi birokrasi harus dilakukan secara radikal.
Namun, ini dilakukan antara lain dengan memutus media pertukaran kewenangan (authority exchange) yang melibatkan pejabat birokrasi, pejabat penegak hukum, dan politisi. Reformasi birokrasi juga harus meliputi pengawasan yang ketat dan konsisten terhadap para pejabat birokrasi dan penegak hukum dengan metode pembuktian terbalik atas kekayaan yang dimilikinya. Pejabat yang memiliki kekayaan tidak wajar dibandingkan penghasilannya sebagai pegawai negeri, harus dapat membuktikan asal-usul kekayaannya tersebut. Pada sisi yang lain, promosi jabatan dalam birokrasi harus dilakukan secara terbuka dan berdasarkan catatan kompetensi dan kinerja yang dimiliki oleh seorang birokrat. Berbagai perbaikan sistem yang radikal ini diharapkan dapat menjadi obat pamungkas untuk mengurangi patologi dalam birokrasi.


Semoga.

Eko Prasojo Guru Besar dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI

Wednesday, April 14, 2010

Ledakan Korupsi?

Perlu dicermati dengan baik dan rasa prihatin, meski nyaris juga semua praktisi hukum tidak ada yang bersih...!

=================================

Selasa, 13 April 2010 | 04:40 WIB

Hendardi

Apakah kita sedang dihadapkan pada sebuah ledakan korupsi?

Setelah seorang pegawai pajak divonis bebas Pengadilan Tangerang dan terkuak memiliki rekening Rp 24,6 miliar—dalam kasus ini diduga terlibat sejumlah pejabat Polri— 30 Maret lalu juga tertangkap tangan mereka yang bertransaksi antara seorang hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan pengacara.

Istilah ledakan memang tak hanya digunakan untuk ledakan bom atau kompor, tetapi juga bersifat sosial, seperti ledakan penduduk dan maraknya korupsi, pemerasan, dan suap dalam tubuh negara. Keadaan ini ibarat ledakan korupsi.

Tahun 2005, dugaan suap atau pemerasan lebih dari Rp 10 miliar atas terdakwa Probosutedjo, melibatkan sejumlah hakim termasuk hakim agung. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan menggeledah ruang kerja mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, tetapi tak menyeret mereka ke muka pengadilan.

Kasus terkait pejabat Polri juga mencuat 2005. Pembobolan dana BNI senilai Rp 1,2 triliun, menguak dugaan suap melibatkan Rudi Sutopo, Komisaris Besar Irman Santosa, Jenderal Da’i Bachtiar, Komjen (Purn) Erwin Mappaseng, Brigjen Samuel Ismoko, dan Adrian Waworuntu.

Januari 2006, hakim Pengadilan Jakarta Selatan, Herman Alossitandi, tertangkap tangan memeras terkait penanganan perkara korupsi di PT Jamsostek senilai Rp 300 miliar. Ahmad Djunaidi sebagai terdakwa juga sempat melempar sepatu ke jaksa karena terdakwa mengklaim telah membayar Rp 550 juta.

Tahun 2007, semakin marak. Pada 26 September petugas KPK mengepung sebuah rumah dan membekuk pemilik PT Persada Sembada Freddy Santoso dan anggota Komisi Yudisial (KY) Irawady Joenoes terkait pembelian tanah Rp 46,990 miliar.

Kemudian, korupsi dana PT Asabri. Henry Leo mengaku memberikan rumah kepada Paul Banuara Silalahi—putra TB Silalahi—dan Jenderal (Purn) R Hartono. Selain menyelamatkan uang senilai Rp 210 miliar, Kejaksaan Agung juga menyita gedung senilai Rp 110 miliar.

Kasus Sjamsul Nursalim terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp 47,5 triliun yang ditangani jaksa Urip Tri Gunawan justru menciptakan tersangka baru melalui penggerebekan KPK sehingga jaksa ini disebut ”jaksa Rp 6 miliar”.

Dugaan suap kolektif melibatkan 39 anggota DPR periode 1999-2004 dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom, dengan imbalan Rp 300 juta- Rp 500 juta per anggota. Kasus ini terkuak setelah Agus Condro ”bernyanyi”. Diketahui, 41 anggota DPR mencairkan cek, total 480 lembar.

Politik dan hukum

Tentu masih banyak lagi, termasuk skandal Bank Century Rp 6,7 triliun yang telah naik meja operasi angket DPR, kasus PT Semen Baturaja yang diduga melibatkan Marzuki Alie, serta korupsi yang tersebar di kementerian dan berbagai daerah.

Publik sudah geram dan

kecewa, beberapa frustrasi karena korupsi terus marak, dan bertanya-tanya: apakah bangsa kita bangsa korup? Rasanya tak perlu menggeneralisasi praktik korupsi orang-orang dalam negara dan bisnis sebagai ”bangsa” karena mereka sebagian kecil saja. Akan tetapi, karena mereka dominan, korupsi jadi sistemik.

Pertama, relasi politik dan bisnis yang terbentuk melalui pola patronase bisnis adalah sumber pokok korupsi. Negara (politik) terutama sejak Orde Baru—dengan segala sumber daya—telah memodali bisnis swasta lewat kebijakan, suntikan dana, pinjaman, kontrak, proyek, hingga monopoli pasar dan fasilitas lain.

Para pebisnis di negeri ini lebih tergerak menguras sumber daya dan fasilitas negara ketimbang menggarap sektor-sektor produktif dan memajukan daya kompetitifnya. Situasi ini menjadi sangat terbuka bagi orang-orang dalam tubuh negara untuk korupsi, dari pejabat tinggi hingga pegawai rendahan.

Tak perlu heran jika terjadi skandal BLBI Rp 144,5 triliun. Begitu pula skandal Century. Kasus-kasus lain: suap dan korupsi dalam pengalihan fungsi lahan, praktik pembabatan hutan dan eksploitasi laut secara ilegal, serta berbagai kerusakan lingkungan sebagai dampak dari operasi perusahaan tambang.

Kedua, dampak dari politik-ekonomi itu menjalar pada kerangka hukum dan penegakan hukum. Hingga kini, UU Antikorupsi tak mengandung prinsip pembuktian terbalik di mana tersangka yang harus membuktikan asal-usul kekayaannya.

Kekayaan pejabat memang dilaporkan, tetapi tak perlu membuktikan asalnya. Kerangka ini juga mendorong penegak hukum dan hakim ikut membentuk mafia peradilan sebagaimana mafia lain dalam tubuh negara. Dengan begitu, pemberantasan korupsi bukan saja membutuhkan hukum yang memudahkan dan penegak hukum yang profesional, namun juga politik yang teguh tanpa pandang bulu.

Hendardi Ketua Badan Pengurus SETARA Institut

Salah Kaprah Advokat

Lumayan, pelan-pelan mari kita kuak tabir dan misteri KKN di republik ini, untuk semua ini secara simultan ataupun bertahap gak apa-apa.

===================================================
Rabu, 14 April 2010
Adnan Buyung Nasution
Geram sekali kita mendengar para advokat ikut menjadi aktor mafia hukum. Mungkin sudah terlalu lama praktik ini berjalan. Sudah saatnya para pengacara (lawyer) kembali pada martabat dan kehormatan profesinya.

Kalau kita ingat, mereka yang dulu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, selain para dokter, adalah para meester in de rechten (gelar sarjana hukum pada masa itu ). Sebut saja Mr Sujudi, Mr Iskak, dan Mr Sastromulyono yang membela habis-habisan pemimpin pergerakan Bung Karno di Pengadilan Landraad, Bandung, 1933. Juga tak kalah hebatnya founding fathers kita Mr Amir Sjarifuddin, Mr Moh Jamin, Mr Maramis, Mr Moch Roem, dan Mr Amir Sjarifuddin.

Generasi berikutnya Loekman Wiriadinata, Yap Thiam Hiem, Suardi Tasrif, Nani Razak, Abidin Singomangkuto, Hasjim Machdan, Sukardjo, Prof Ting Swan Tiong, serta Prof Subekti, semua jadi lini depan dalam membela si kecil, miskin, tertindas, dan teraniaya. Orientasi advokat masa kini lebih banyak sekadar mencari nafkah. Tiadanya idealisme dalam bekerja membuat target pencapaian profesi sebatas mengejar harta, jabatan, dan kedudukan politik. Self respect atau rasa malu hilang. Mereka jadi penumpuk harta, bahkan bangga memperlihatkan kekayaan. Prestasi sebagai pengacara menyempit, sebatas pantulan rumah megah dan mobil mewah.

Para lawyer yang tak bertanggung jawab, berkawan dan punya lahan di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Mereka ”memperdagangkan” dan menukangi perkara di berbagai tingkat proses peradilan, ibarat pekerja borongan rumah. Ada berbagai modus operandi. Di tingkat penyidikan, mereka mengatur bagaimana polisi atau jaksa menjatuhkan pasal pidana yang seringan-ringannya. Kalau perlu kasus pidana dipelintir menjadi perdata, dan sebaliknya perkara perdata direkayasa sebagai pidana untuk menakuti klien.
Di tingkat penyidikan, pengacara juga bisa membisiki polisi untuk menahan kliennya barang satu-dua hari dulu. Klien gemetar dan bersedia meraih kocek berapa saja asal pengacaranya dapat menjamin penangguhan penahanan. Di tingkat penuntutan, memoles serendah-rendahnya tuntutan dan akhirnya bebas di tangan hakim. Inisiatif menawarkan vonis bebas, kabarnya, bisa datang dari hakim, baik langsung maupun utusan. Semua tentu ada harganya. Ujungnya, pengacara membagi-bagi ”upah” kerjaan borongan tadi untuk ”para tukang” rekayasa keadilan.

Ada uang ada kebebasan
Mengetahui praktik semacam ini, masyarakat pencari keadilan akhirnya lebih memilih pengacara makelar kasus (markus) daripada advokat profesional. Kebebasan lebih terjamin, dan ada ”kepastian hukum”. Pendeknya, ada uang ada kebebasan. Sejumlah polisi dan jaksa, bahkan juga hakim, ada yang mengancam hukuman lebih berat atau tidak jadi menang bila klien memakai pengacara yang lurus karena artinya no fulus. Lebih baik memenangkan lawan yang lebih berduit.

Kalau praktik semacam ini terbongkar, pembela bersikukuh. Seperti seorang pengacara yang ngotot ketika KPK menetapkannya sebagai tersangka. Dalihnya, advokat tak bisa dituntut dalam menjalankan profesi. Enak betul. Tak ada warga negara yang kebal hukum. Benar bahwa dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat tak dapat dituntut, baik perdata maupun pidana, dalam menjalankan tugas profesi dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan (Pasal 16 Ayat 1)
Akan tetapi, tak berarti kebal hukum. Kalau ada advokat yang ”main”, baik sendiri maupun bersama klien dalam perbuatan melanggar hukum, berarti advokat itu sudah tak punya lagi itikad baik. Ia jelas melanggar kode etik profesi dan hukum karena melakukan tindak pidana. Ia dapat ditangkap, dituntut, dan dihukum sesuai due process of law oleh penegak hukum, sebagai warga negara biasa. Contohnya Harini Wijoso, bekas hakim tinggi yang jadi kuasa hukum Probosutedjo dihukum empat tahun penjara karena terlibat pidana penyuapan di tingkat kasasi, Juni 2006.

Kode etik advokat tegas-tegas menempatkan posisi advokat berbeda dengan klien. Namun, kebanyakan advokat berpendirian, tugas utama mereka adalah membebaskan kliennya. Inilah pendapat yang salah kaprah. Mereka tidak memahami sejarah tujuan dan falsafah yang melandasi profesi advokat sejak zaman Romawi kuno. Saat itu para bangsawanlah yang menjadi praetor (pembela) karena merasa terpanggil hatinya untuk membela keadilan, tanpa bayaran sepeser pun.

Masa kini, advokat menerima honorarium. Namun, fungsi dan kewajibannya tetap. Advokat bukan pedagang, tetapi pemberi jasa. Mereka, demi tegaknya keadilan, memastikan klien terjaga hak-hak asasinya dalam membela dirinya. Seperti bunyi kredo fiat justitia roat caelum, kebenaran dan keadilan harus ditegakkan sekalipun langit runtuh. Di sinilah para pengacara menggunakan daya ilmu hukum dan pengalaman sebagai advokat.

Kita masygul mendengar belum-belum seorang kuasa hukum dalam kasus korupsi pajak mendalihkan uang yang menumpuk di rekening kliennya adalah hasil bermain valas, saham, dan bisnis, sementara kliennya kemudian mengaku bahwa uang miliaran rupiah yang dimilikinya adalah fee dari wajib pajak. Ini hanya satu contoh.

Makelar kasus tidak peduli pada cita- cita negara hukum atau tegaknya proses hukum yang bebas bersih dan berwibawa (free and impartial tribunal). Mereka merusak wibawa peradilan di negeri kita. Mereka lupa bahwa tegaknya negara hukum, mutlak mensyaratkan bersih dan berwibawanya penegak hukum. Jaksa, hakim, polisi, dan advokat adalah tiang penyangga tegaknya proses hukum yang berkeadilan. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang kini sedang bekerja di bawah pimpinan Kuntoro Mangkusubroto jangan pandang bulu. Bersihkan sistem hukum dan pengadilan kita dari advokat kotor, tanpa ampun
Kita harus tetap optimistis. Tak semua advokat mengingkari sumpah. Masih banyak advokat yang punya integritas. Umumnya adalah mereka yang sebelum berprofesi sebagai advokat privat bergulat dalam Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Mereka belajar secara empiris bagaimana orang kecil dipermainkan hukum.
Secara internal, UU Advokat menempatkan pengacara di tempat terhormat. Organisasi Advokat ditugasi mengawasi perilaku anggotanya. Bila mereka melakukan pelanggaran kode etik profesi advokat, sanksi dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Profesi, mulai dari teguran lisan sampai pemberhentian tetap. Tanpa menghilangkan tanggung jawab pidana, bila ada unsur pidana.

Sayangnya, meski diamanatkan Pasal 32 Ayat 4 UU Advokat, selambat-lambatnya dibentuk satu wadah tunggal Organisasi Advokat pada 2005 untuk kepentingan peningkatan profesionalisme advokat, para pembela tidak sanggup dan tampaknya tidak punya kemauan bersatu. Masing-masing anggota organisasi yang ada, KAI, Peradi, Peradin, dan lain-lain, memilih jalan sendiri dan mempertahankan ego masing-masing. Sulitnya mengurus advokat! Seribu kepala, seribu pendapat.

Adnan Buyung Nasution Pengacara Senior