Thursday, June 18, 2009

Jusuf Kalla: Andaikan Ada Kepwapres

Betulkan? bersyukurlah rakyat Indonesia karena dengan headlines di Kompas ini semakin jelas dan resmi bagaimana hubungan kerja para elite pimpinan kita. Sesungguhnya masalah utama bangsa ini bukanlah siapa pemimpinnya, tetapi bagaimana sebuah sistem diterapkan dan dijalankan. Terus terang JK dulu itu sangat berkesempatan memperbaiki situasi..tetapi kecepatan beliau tidak diimbangi dengan kelenturan birokrasi..juga diperburuk oleh berbagai masalah kepemimpinan dan mesin birokrasi dan campur tangan faktor eksternal.

So..we are still here, a nation in waiting.

ES

KOMPAS Cetak : Jusuf Kalla: Andaikan Ada Kepwapres

CALON PRESIDEN
Jusuf Kalla: Andaikan Ada Kepwapres
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Jusuf Kalla


Kamis, 18 Juni 2009 | 03:24 WIB

Jakarta, Kompas - Sebagai wakil presiden, Muhammad Jusuf Kalla mengaku sering gemas melihat jalannya pemerintahan yang dinilainya lamban. Rapat berhari-hari, keputusannya tak kunjung tiba.

Adakalanya ia ingin ikut mengambil keputusan agar pemerintahan bisa berjalan lebih cepat. Namun, ia menyadari, dirinya hanyalah seorang wapres yang tidak memiliki kewenangan. Ia hanya bisa menjalankan sesuatu yang sudah diputuskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sidang kabinet.

”Sekiranya ada keputusan wapres (kepwapres), tentu semua kebijakan sudah saya ambil sehingga semuanya bisa berjalan dengan cepat dan lebih baik. Dengan demikian, krisis bisa segera kita selesaikan. Hanya persoalannya, kepwapres tidak ada,” ungkap Kalla tersenyum saat diwawancarai Kompas di rumah dinasnya di Jalan Diponegoro, Jakarta, Minggu (3/5) petang, dua hari setelah deklarasi sebagai capres dan cawapres bersama Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat Jenderal (Purn) Wiranto.

Sebagai wapres, tentu ia tidak boleh melampaui kewenangan presiden. Namun, pada praktiknya, sejumlah tugas yang ia jalankan dirasakannya sebagai sesuatu tugas yang melebihi tanggung jawabnya. Sebut saja bagaimana ia mewujudkan perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam.

”Oleh sebab itu, saya memutuskan maju sebagai capres. Saya yakin bisa melakukan semuanya itu berdasarkan pengalaman beberapa kali pemerintahan yang saya ikuti. Saya akan bekerja dengan lebih cepat agar negeri ini segera terbebas dari krisis,” lanjutnya.

Kalla mengakui, awalnya, ia tidak berniat berpisah dari Presiden Yudhoyono. Apalagi dengan perolehan suara Partai Golkar yang berada di nomor urut 2 setelah Partai Demokrat. Namun, situasi menyebabkan ia mengambil jalan berpisah dari SBY.

Tekadnya semakin bulat setelah SBY ternyata tidak menggandengnya dalam koalisi. Ditambah desakan Dewan Pimpinan Daerah Tingkat I Partai Golkar dan jajaran pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, ia pun mendeklarasikan diri sebagai capres bersama Wiranto sebagai cawapres.

”Sekarang saya lebih lega, lebih punya arah, dan akan lebih fokus untuk pilpres. Semata-mata bukan untuk kehormatan dan kemuliaan saya dan Pak Wiranto, tetapi kemuliaan dan kehormatan rakyat. Saya tidak ingin meninggalkan rakyat yang masih tergantung dan belum sepenuhnya mandiri,” lanjut Kalla.

Bukan ”ban serep”

Kalla menyadari, saat mendampingi SBY, ia bukan sosok wapres yang seperti ”ban serep” semata. Ia the ”real” president. ”Kadang kala, saya ikut merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi terus-menerus. Bahkan, minggu per minggu. Namun, semua itu sepengetahuan presiden. Jadi, apa yang saya lakukan kadang kala memang melebihi peranan saya sebagai wapres,” papar Kalla.

Bahkan, sejumlah proyek disebutkan ia yang ikut menggagas, merencanakan, melaksanakan, dan ikut mengawasinya sendiri. Proyek-proyek tersebut di antaranya program bantuan langsung tunai, konversi minyak tanah ke gas elpiji, proyek listrik 10.000 MW, serta pembangunan sejumlah infrastruktur, seperti bandar udara, jalan tol, dan pelabuhan. (HAR)

Sunday, June 14, 2009

Kretek Industry Faces Big Losses as US Moves to Ban Clove Cigarettes

So Let's call it a free trade!

Kretek Industry Faces Big Losses as US Moves to Ban Clove Cigarettes - The Jakarta Globe

June 13, 2009

A man smokes a cigarette near a traditional schooner at Sunda Kelapa port in Jakarta. (Photo: Beawiharta, Reuters)

A man smokes a cigarette near a traditional schooner at Sunda Kelapa port in Jakarta. (Photo: Beawiharta, Reuters)

Kretek Industry Faces Big Losses as US Moves to Ban Clove Cigarettes

Indonesia’s kretek cigarettes are almost certain to be banned in the United States after the US Senate passed a strict antismoking bill aimed at cutting the attraction of cigarettes to children.

The Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act, voted through by a Senate committee late on Thursday, has a raft of new measures but includes the kretek prohibition because a US study found they helped to hook children on smoking.

If the bill is signed into law by President Barack Obama — as the White House says it will be — US authorities will have the power to impose strict new controls on the making and marketing of tobacco, including banning cloves as a cigarette flavoring along with such flavors as cherry and chocolate.

For Indonesian clove cigarette makers, who export about 20 percent of the $500 million worth of kretek sold overseas every year to the United States, this means $100 million a year is likely to go up in smoke. It is especially likely to affect Indonesia’s biggest kretek exporter, Gudang Garam, which has a factory in South America for the continental market.

Menthol cigarettes will not be included in the ban, however, which has angered Indonesian trade officials who point out that a ban on kretek but not menthol is discriminatory and are threatening to complain to the World Trade Organization. Government officials’ comments on the ban make it likely that WTO action will now proceed.

Earlier this month, Trade Minister Mari Pangestu hit out at the bill for not including a ban on menthols and threatened to invoke WTO action if the bill was passed. Mari and Indonesian Ambassador to the United States Sudjadnan Parnohadiningrat have argued that the US Congress would be favoring a domestic product over an imported one if it banned cloves and not menthols.

“I think it is unfair because menthol cigarettes have not been included,” Mari said last month.

Thursday’s 79-17 Senate vote sends the measure back to Congress, which in April passed a similar but not identical version. House acceptance of the Senate bill would send it directly to Obama, who supports the action and has said he would sign in into law as soon as it reached his desk.

JG, Agencies

Thursday, June 11, 2009

Miss Indonesia's first plan is to learn Indonesian | The Jakarta Post

What "another mess" for Indonesia!

Miss Indonesia's first plan is to learn Indonesian | The Jakarta Post

Miss Indonesia's first plan is to learn Indonesian

Tue, 06/09/2009 10:47 AM | People

Reuters/SupriReuters/Supri

JAKARTA: The newly crowned Miss Indonesia Kerenina Sunny Halim might have amazed people with her fluent English, but surprised just as many with her poor ability to speak Indonesian.

On the final night of the Miss Indonesia pageant last week, Kerenina needed a translator to help her understand the judges' questions. Kerenina admits this is a weakness but has promised to improve her Indonesian language skills.

"It's been hard for me *to speak Indonesian*, because I use English every day," says the half-American woman. "But I will learn. Indonesian is an easy language, as long as we're willing to learn."

Kerenina's brother, actor Steve Emmanuel (now Yusuf Iman), reveals that his sister was not exposed to Indonesian as a child because she didn't go to a formal school. "She was with homeschooling," Steve says. "She barely uses Indonesian at home, and doesn't go out often *so she can't practice Indonesian*."

The 23-year-old has also promised to learn more about the local culture in preparing for this year's Miss World competition in Johannesburg, South Africa. "Currently, I don't know much *about Indonesian culture*," says the girlfriend of actor Nino Fernandez. "But within six months, I'm going to learn about it all, because I represent Indonesia at the international level."

Kerenina, who holds six diplomas - in public relations; sales and marketing; primary school teaching; economics; performing arts; and music and art - won the competition over the two other finalists, Viviane (from Bali) and Melati Putri Kusuma Dewi (West Sulawesi). Kerenina impressed the judges with her fluent English, and was considered to meet the contest's criteria of MISS (Manners, Impressive, Smart and Social). - JP

Wednesday, June 10, 2009

Haji Indonesia :: Berita :: Pengumuman BPIH Ditunda, Ada Kemungkinan Garuda Turunkan Biaya Penerbangan Haji

Ya Allah..bukakanlah mata dan pikiran orang2 Garuda dan para pengambil keputusan itu bahwa harga BBM (avtur) sekarang lebih rendah dari harga Internasional ketika biaya haji dulu diputuskan. meski catering dan pemondokan naik..secara aggregat sudah seyogyanya harga BPIH itu diturunkan, bukan malah sebalikny mau dinaikkan $84. Amin! (siap dipenjara jika berdoa saja masih kena pasal pencemaran nama baik dan pasal lain UU apapun di INDONesia ini)....sungguh untuk melakukan rukun islam pun butuh perjuangan dan kesabaran yang tiada ujung!

Masak Menag berpendapat bahwa KENAIKAN BIAYA HAJI ADALAH HASIL MAKSIMAL?

=========
Haji Indonesia :: Berita :: Pengumuman BPIH Ditunda, Ada Kemungkinan Garuda Turunkan Biaya Penerbangan Haji

Pengumuman BPIH Ditunda, Ada Kemungkinan Garuda Turunkan Biaya Penerbangan Haji

Posted by: Administrator on June 09, 2009 10:05:36 AM

Jakarta, 9/6 (Pinmas)--Sedianya pemerintah mengumumkan besaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) hari ini, (Rabu 10/6). Namun pihak DPR meminta penundaan rapat kerja dengan Menteri Agama. Ini ditegaskan Abdul Ghofur Djawahir, Sekretaris Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh Depag, dalam perbincanagn dengan Republika di Jakarta Selasa (9/6).


Mundur, tidak jadi besok (hari ini red.) karena DPR mengundurkan waktunya, rakernya mundur dan belum ada ketentuan (sampai kapan). Besok diganti rapat DPR dengan Pak Dirjen Haji. Jadi ada pendalaman-pendalaman lagi, sebelum diputuskan besaran BPIH,`` kata Ghofur.

Salah satu materi yang akan dibahas dalam rapat dengan Dirjen Haji ini menurut Ghofur, adalah adanya kemungkinan pihak PT Garuda menurunkan lagi biaya pesawat bagi jamaah haji. ``Jadi ada kemungkinan (penurunan dari Garuda)), tapi ya pembahasannya baru besok,`` kata Ghofur. Sementara dari pihak maskapai Saudia Airlines menurut Ghofur belum ada perkembangan lagi apakah mau menurunkan biaya penerbangan atau tidak. ``Pihak Saudia belum ada perkembangan lagi,`` kata Ghofur.

Dua hari sebelumnya, Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni menegaskan bahwa keputusan besaran BPIH akan dilakukan pada Rabu hari ini, saat raker dengan DPR. ``Keputusannya tanggal 10 Juni 2009," kata Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni usai menghadiri peringatan Hari Jadi ke-76 Gerakan Pemuda Ansor di Padepokan Silat Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, Ahad (7/6) kemarin. ``Apakah ongkos haji jadi dinaikkan, tunggu saja tanggal 10 Juni,`` papar Menag.

Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2009 jamaah Indonesia diperkirakan naik 84 dolar AS atau sekitar Rp 839.580. Kenaikan itu disebabkan komponen pemondokan dan katering naik 174,7 dolar AS atau sekitar Rp 1.746.126 sedangkan komponen penerbangan turun 91 dolar AS atau sekitar Rp 909.545. Selisihnya 83,7 dolar AS dan dibulatkan menjadi 84 dolar AS. Kenaikan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang sudah dibahas bersama Komisi VIII DPR RI dengan pemerintah itu, semula dijadwalkan akan diputuskan dalam raker dengan Menag hari ini.

Lebih lanjut dikatakan Ghofur, pihaknya terus melakukan persiapan-persiapan menjelang musim haji tahun 2009 ini. ``Tim perumahan kami di sana, baik yang di Madinah maupun di Mekah, saat ini tengah menyelesaikan soal katering di sana,`` ungkap Ghofur.

Dikatakan Ghofur, pemerintah akan tetap menggunakan sejumlah hotel sebagai transit jamaah haji di Jedah. ``Jadi pihak Madinatul Hujjaj, saat ini merencanakan pembangunan tower baru di tempat itu dan dimulai pembangunannya dalam waktu dekat ini. Nantinya kita akan menggunakan tower baru itu. Jadi tanahnya bekas bandara dan luas sekali, mereka akan bangun tower baru di sana,`` papar Ghofur. Karena rencana pembangunan tower baru di kompleks Madinatul Hujjaj tersebut, pemerintah memutuskan untuk transit jamaah haji selama di Jedah akan ditempatkan di sejumlah hotel.

Besaran BPIH 2009 Diputuskan 10 Juni

Posted by: Administrator on June 08, 2009 7:45:00 AM

Jakarta, 8/6 (Pinmas)--Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2009 jamaah Indonesia diperkirakan naik 84 dolar AS atau sekitar Rp 839.580. Kenaikan itu disebabkan komponen pemondokan dan katering naik 174,7 dolar AS atau sekitar Rp 1.746.126 sedangkan komponen penerbangan turun 91 dolar AS atau sekitar Rp 909.545. Selisihnya US$ 83, 7 dan dibulatkan menjadi US$ 84.


Kenaikan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang sudah dibahas bersama Komisi VIII DPR RI dengan pemerintah itu akan diputuskan dalam rapat pada Rabu (10/6) mendatang.

"Keputusannya tanggal 10 Juni 2009," kata Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni usai menghadiri peringatan Hari Jadi ke-76 Gerakan Pemuda Ansor di Padepokan Silat Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, Minggu (7/6) kemarin. "Apakah ongkos haji jadi dinaikkan, tunggu saja tanggal 10 Juni," kata Maftuh Basuni.

Dijadwalkan rapat kerja Menteri Agama dengan Komisi VIII DPR-RI akan membahas pengesahan BPIH 2009 berlangsung Rabu (10/6), pukul 19.00 WIB di ruang rapat komisi VIII DPR-RI.

=====

Menag: Kenaikan BPIH Sudah Hasil Maksimal

Posted by: Administrator on June 08, 2009 2:20:54 AM
Jakarta,5/6(Pinmas)--Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni mengatakan, kenaikan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang dibahas bersama Komisi VIII DPR-RI, belum lama ini sudah merupakan hasil maksimal.

Kenaikan tersebut sudah maksimal, kendati demikian, Menag berterima kasih jika ada pihak yang mampu memberikan perhitungan dan meyakinkan semua pemangku kepentingan sehingga BPIH atau Ongkos Naik Haji (ONH) tidak naik, kata Maftuh dalam percakapan dengan ANTARA di ruang kerjanya, Jumat (5/6).

Kenaikan BPIH memang belum ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Kepres), sehingga masih ada kesempatan untuk mengubah angka kenaikan yang diperhitungkan pemerintah bersama anggota Komisi VIII. Namun dari hitungan yang ada, kenaikan sebesar 84 dolar AS adalah perhitungan yang masuk akal, katanya.

Direktur Jenderal Saudi Arabian Airlines Khaled A.Almolhem ketika berkunjung ke Depag pada Kamis (5/6) lalu, Menag mendapat penegasan bahwa harga atau tarif yang sudah ditetapkan bagi jemaah Indonesia sulit unduk diubah.

Dalam konteks ini, menteri menegaskan bahwa komponen biaya haji dewasa ini memang berat untuk ditekan. Kendati demikian ia mengaku berterima kasih kepada semua pihak, termasuk Indonesia Coruption Watch (ICW) dan pengamat haji Ade Marfudin, jika mampu menjelaskan bahwa memang BPIH layak untuk diturunkan.

Kenaikan BPIH yang diputuskan lewat rapat Menag dengan anggota Komisi VIII DPR-RI sekitar 84 dolar AS. "Kita tak main-main dengan masalah ini. Apalagi jika tujuannya untuk mengurangi beban jemaah calon haji," kata Maftuh.

Seperti diberitakan sebelumnya, ICW mengajukan penolakan terhadap kenaikan (BPIH tahun 2009 sebesar 84 dolar AS kepada Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).

"Alasan menaikkan BPIH seperti pemindahan pemondokan dari ring tiga ke ring satu serta kenaikan biaya konsumsi jemaah haji, menurut kami tidak mendasar," kata Koordinator Divisi Pusat Data dan Analisis Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas usai rapat di Kantor Wantimpres, Jakarta, Kamis.

Ia menjelaskan, kenaikannya hanya sebanyak 7 persen, dengan rencana komposisi jemaah haji di ring satu sebanyak 26 persen, di ring dua dan tiga sebanyak 73,6 persen.

"Selain itu Depag DPR pun tidak menjelaskan kualitas pemondokan di semua ring tersebut," kata Firdaus.

Untuk konsumsi ibadah haji, kata dia, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai harganya terlalu mahal, misalnya untuk jamuan Armina, rata-rata uang yang dibebankan kepada jemaah haji sebesar 20 real Saudi Arabia (SAR) sekali makan atau total 300 SAR.

Menurut dia, dengan jumlah jemaah haji terbesar di dunia penyelenggara haji bisa menekan harga lebih rendah dibandingkan negara lain, seperti Filipina yang hanya setengah dari BPIH Indonesia.

Berdasarkan undang-undang nomor 13 tahun 2008, kata dia, ibadah haji diselenggarakan berdasarkan asas keadilan, profesionalitas, dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba.

Dengan pengajuan penolakan tersebut, ICW berharap akan disampaikan kepada presiden selaku pembuat kebijakan.






Tuesday, June 09, 2009

Kasus Prita Akan Berulang

Memang kesukaan bangsa kita pakai karet....ya jam karet, pasal karet, dan banyak lagi karet2 lain yang justru negatif.

Wassalam,

ES

========
KOMPAS Cetak : Kasus Prita Akan Berulang

Kasus Prita Akan Berulang
Senin, 8 Juni 2009 | 05:26 WIB

ATMAKUSUMAH

Dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia, 3 Mei di Doha, Qatar, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menyerukan agar negara anggotanya ”menyingkirkan pasal hukum pencemaran nama baik atau penistaan dari undang-undang pidana”. Tetapi, seruan itu tak terdengar lagi di Indonesia 10 hari kemudian.

Adalah Prita Mulyasari yang ditahan pada 13 Mei-3 Juni 2009 karena dituduh melanggar pasal pencemaran nama baik dan penghinaan dalam KUHP serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Penulis e-mail dari Serpong, Banten, itu mengeluhkan informasi yang tidak jelas saat dirawat di rumah sakit.

Deklarasi di Doha itu mengingatkan Pasal 19 Pernyataan Umum Hak-Hak Manusia yang diumumkan PBB 10 Desember 1948 bahwa ”Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; dan hak ini termasuk kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa gangguan serta untuk mencari, menerima, dan berbagi informasi serta gagasan melalui media apa pun dan tanpa mengindahkan perbatasan negara.”

Peringatan ini penting, mengingat banyaknya tuntutan pencemaran nama baik, penistaan, dan penghinaan di pengadilan selama beberapa tahun terakhir dengan menggunakan pasal-pasal hukum pidana dan perdata.

International Federation of Journalists (IFJ), organisasi pengamat pers internasional di Brussels, Belgia, dalam konferensi di Taipei, Taiwan, yang dihadiri wartawan Asia dan Pasifik, 7-10 Juli 2005, mengeluarkan resolusi yang ”mengecam keras kasus-kasus pidana tentang pencemaran nama baik atau penistaan dan penghinaan (defamation and libel) di Indonesia.” Menurut IFJ, telah terjadi penyalahgunaan hukum pidana dalam kasus-kasus pencemaran nama baik atau penistaan di Indonesia. Karena itu, IFJ meminta Pemerintah Indonesia mengubah perundang- undangannya sehingga kasus penghinaan dan pencemaran nama baik atau penistaan hanya dapat diproses sebagai perkara perdata.

Takut berpendapat

Akhir-akhir ini, sejumlah wartawan dan warga dituntut di pengadilan karena tuduhan pencemaran nama baik, atau penistaan dan penghinaan, dengan sanksi masuk penjara (pidana) dan denda (perdata). Mereka termasuk penulis surat pembaca terkait transaksi jual-beli kios dan dimuat di Kompas, Suara Pembaruan, dan Warta Kota, seperti Khoe Seng Seng, Kwie Meng Luan, dan Pan Esther. Januari 2009, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membatalkan putusan perkara perdata Pan Esther oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menjatuhkan hukuman ganti rugi Rp 1 miliar. Tetapi, proses perkara perdata dan pidana atas Khoe Seng Seng dan Kwie Meng Luan masih berlangsung.

Kasus paling baru terjadi di Manado. Pemimpin Redaksi Harian Media Sulut, Doan Tagah, bernasib sama dengan Prita. Kepolisian Daerah Sulawesi Utara menahan dan memeriksa Tagah karena tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan terkait persidangan Wali Kota Manado Jimmy Rimba Rogi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (harian Jurnal Nasional, 23/2004).

Wartawan MetroTV di Makassar, Jupriadi (Upi) Asmarandana, kini masih menghadapi proses hukum di Pengadilan Negeri Makassar karena gugatan perdata Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto, mantan Kapolda Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat di Makassar. Upi dituduh mencemarkan nama baik Sisno yang kini menjabat Kapolda Sumatera Selatan di Palembang.

Tuntutan hukum atas tuduhan pencemaran nama baik atau penistaan dan penghinaan, dalam perkara pidana, kian tidak populer di banyak negara. Hal itu karena sanksi atas pasal-pasal hukum ini, berupa hukuman badan dan denda ganti rugi yang tinggi, dapat menyebabkan orang takut mengutarakan pendapat dan aspirasi secara terbuka.

Denda dan ganti rugi

Puluhan negara kini sudah menghapus pasal-pasal defamation, libel, slander, dan insult dari hukum pidana meski masih dipertahankan dalam hukum perdata. Maka, bagi pelanggar pasal-pasal ini tidak lagi berlaku hukuman penjara. Timor Lorosa’e, yang masih menggunakan perundang-undangan Indonesia, pada 7 September 2000, menetapkan Pasal 310 sampai 321 tentang Penghinaan dalam KUHP sebagai bukan tindak pidana.

Kini, sejumlah negara mulai/sudah melaksanakan sanksi denda dan ganti rugi proporsional. Ini dimaksudkan agar terhukum mampu membayar denda sesuai penghasilan dan bila dikenakan pada lembaga atau perusahaan, tidak menyebabkan kebangkrutan. Bahkan, di Australia, UU Pencemaran Nama Baik tahun 2005 (Defamation Act 2005) menetapkan, korporasi hanya dapat menuntut karena pencemaran nama baik dan penistaan bila hanya memiliki kurang dari 10 pegawai atau merupakan organisasi nirlaba. Tujuannya agar ”yang kecil” tidak terlindas oleh yang ”besar, kokoh, dan kuat”.

Bagaimanakah di Indonesia? Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Abdul Kadir Mappong, 5 Juni lalu, menyiratkan kemungkinan menghapus ”pasal karet” pencemaran nama baik ini. Tetapi, MK sudah dua kali menolak penghapusan pasal itu, baik dari KUHP maupun dari UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dalam pembicaraan dengan sejumlah advokat, dosen, hakim, dan hakim agung, saya mengajukan pertanyaan dari orang yang awam ilmu hukum yang dapat menjadi ”korban hukum”, mengapa mereka, dan juga perancang perundang-undangan, seolah lebih menyukai pasal-pasal hukum dengan sanksi ”keras” dan bersifat menghukum daripada bertujuan mendidik?

Seorang dosen ilmu hukum dari Surabaya menjawab, ”Fokus mata ajaran ilmu hukum dari semua fakultas hukum di Indonesia bukan falsafah ilmu hukum untuk menemukan keadilan, tetapi berkutat dengan perundang-undangan.” Disarankan, fakultas hukum diubah menjadi fakultas perundang-undangan.

Jika perhatian dan pikiran para ahli dan perancang serta penegak hukum kita masih seperti itu, agaknya kasus Prita akan terus berulang.

ATMAKUSUMAH Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS); Ketua Dewan Pengurus Voice of Human Rights (VHR) News Centre

Omni case: A PR suicide | The Jakarta Post

Ini memang cerminan akan masih rendahnya pemahaman masyarakat, birokrasi dan pimpinan teras republik ini akan manfaat dan pemberdayaan yang bisa diciptakan oleh "kuda hitam" Internet yang sering tidak di anggap mereka.

Semua sudah saya perkirakan dari jauh2 hari. tapi ini juga pembelajaran yang sangat berharga untuk semua.

Wassalam-Edd

Omni case: A PR suicide | The Jakarta Post

Omni case: A PR suicide

Sherria Ayuandini , Jakarta | Fri, 06/05/2009 9:54 AM | Opinion

Exactly this month four years ago, a man named Jeff Jarvis lamented on his blog of his discontent towards Dell Computers. He colorfully outlined his frustration on both the quality of its product and the customer service he received from the company.

To Jarvis’ surprise, and later Dell’s, that one comment spiraled into one of the biggest customer relations nightmares ever recorded. A swarm of other disgruntled customers came forward and a new jargon term was born: Dell Hell!

Without question, Dell’s carefully-built reputation was severely compromised. In fact, the impact was colossal, and it took Dell more than two years to put out the hellfire.

There was a lot to be learned from the Dell experience, especially with regards to how customer relations have now evolved, thanks to a relatively novel but very powerful and unstoppable ally: the Internet.

Angry customers tell 3,000? Try 300,000 others. This revelation sent shockwaves through companies and service providers around the world, and resulted in endless seminars and countless books to illuminate businesses about this latest phenomena.

Today, Indonesian ventures and service suppliers may have the chance to learn about this first-hand, with Omni International Hospital Tangerang’s handling of one disgruntled customer, Prita Mulyasari.

Prita had been detained for around three weeks and is now facing trial at Tangerang District Court for allegedly defaming the hospital and violating the Criminal Code and Law on the Internet and Electronic Transaction.

Prita’s case began when she wrote personal email narrating an unpleasant experience she encountered during her treatment at the hospital. This email ended up on mailing lists and blogs and soon became a public affair.

Omni Tangerang obviously understood that negative sentiment snowballing on the World Wide Web was bad for business in more ways than one. It subsequently took action to try to put a stop on it. A fair decision, so far. It decided to respond to Prita’s complaint via the mailing list, and even used mass media to express its side of the story. So far, so good. But then, feeling that all these measures were still not enough, Omni decided to sue Prita. Ouch! (for the hospital)

The first rule about controlling “bad” press — which likes to blow up gossip, rumors and the like — is to avoid making the story even bigger than it already is. Suddenly, Prita’s case exploded. More and more people started to forward Prita’s email, or if they couldn’t get Prita’s original email, they forwarded a news article about it. What was once a mere electronic message with questionable reliability, was now beheld as the hidden truth – simply because Omni Tangerang tried to stifle it.

People saw this as confirmation of the credibility behind Prita’s story.

Omni should have done its homework before taking legal action. They could have tried typing “bad hospital Indonesia” into Google, for instance. Omni Tangerang’s name does not even come up in the first three pages of search results, nor in pages and pages after that. But now, with the legal action, more than 40,000 people in Facebook have joined a cause to support Prita. By attempting to sue Prita, Omni achieved exactly what it so desperately wanted to avoid: it made Prita’s complaints louder.

Now, not only has Omni violated the first rule of controlling “bad” press, it has also violated the first rule of controlling online bashing: treat complainers as humans.

Plenty of books and speakers on the new media of customer relations (the Internet) note that one of the most important things to do is remember that even though the outlook is electronic or an avatar, companies are still dealing with a person, so they should act like they are dealing with a person.

As such, remaining humble and conversational is highly recommended in painting a response to the critics.

But again, Omni did exactly the opposite. In resorting to legal action, Omni sent out a message that it was a cold almighty private industry player and Prita was simply a victim of blatant arrogance.

The hospital’s case was worsened further (and perhaps this was just rotten luck) since its adversary happened to be a mother who, since being imprisoned, was prevented from breastfeeding and cuddling her newborn baby.

Imagine the sympathy Prita gained from news of this situation alone! Who would want to go to a hospital that did not care about human suffering?

What Omni Tangerang has just committed is public-relations suicide. But damage control can still be done. Omni can opt to waive the verdict of the civil court and not press for Prita to pay damages or make a public apology as ordered by the court.

If Omni is still bent on suing defamers, it should start preparing lawsuits against itself.


The writer is the program director of the Association for Critical Thinking (ACT). This article is her personal opinion.

Perlukah Ilmuwan Berpolitik?

Kalau kondisi negara kita maunya hanya jalan pintas dan tidak pernah mengutamakan kerja keras, akhirnya beginilah nasib bangsa kita. Tidak ada prinsip dasar untuk memuliakan suatu profesi. Alhasil, dari 6 Capres-Cawapres, 3 dari eks militer, 1 ilmuawan, 1 pengusaha, 1 politisi. Gak ada yang murni dari birokrasi. Memang gak salah2 amat, tapi kalau eks militer lagi mendominasi..artinya tidak ada reformasi. Dulu semua turun kejalan memprotes ABRI/TNI, sekarang dan kemaren..it's okay..fine-fine saja.

Salam Prihatin, tidak ada alternatif


KOMPAS Cetak : Perlukah Ilmuwan Berpolitik?

Perlukah Ilmuwan Berpolitik?
Senin, 8 Juni 2009 | 05:25 WIB

Elisabeth Rukmini

Kebijakan pemilu presiden di AS bertautan dengan sains. Para ilmuwan menyebutnya politicization of science.

Kebijakan Bush kerap disebut paling memolitisasi sains. Meski demikian, politicization of science secara berimbang dapat ditimpakan kepada Obama dalam kampanye terkait energi bersih (clean energy). Bukankah Obama memolitisasi sains yang tidak dilakukan Bush?

Roger Pielke, profesor Environmental Studies University of Colorado at Boulder, aktif dalam penelitian sains teknologi dan decision making; menulis kaitan sains dan politik (Harvard International Review, 2008).

Pielke mencontohkan enam presiden yang melakukan politicization of science. Richard Nixon mengubah waktu peluncuran Apollo 17 demi pilpres ulang tahun 1972. Ford meminta Environmental Protection Agency (EPA) mengubah data pendukung emisi gas sulfur dioksida; investigasi terhadap regulasi ini menunjukkan bukti-bukti berlawanan dengan kesahihan regulasinya. Jimmy Carter menyimpulkan, AS menyediakan 20 persen energi dari sumber-sumber terbarukan; data ini berbeda dengan data dari penasihat sainsnya. Ronald Reagan membawa isu evolusi dalam kampanye dan mengusulkan agar teori evolusi sekaligus kisah penciptaan dari Alkitab diajarkan di sekolah. George Bush membawa isu wetlands untuk membebaskan lahan terbuka di bawah perlindungan hukum federal bagi pembangunan properti. Bill Clinton memerintahkan penutupan pabrik farmasi Al Shifa di Sudan tahun 1998 terkait kasus peledakan bom Kedubes AS di Kenya dan Tanzania. Diberitakan, berdasarkan bukti-bukti ilmiah, Al Shifa terlibat kasus ini. Belakangan diketahui, bukti-bukti ilmiah itu belum disimpulkan. Barack Obama menambah daftar ini dengan membawa isu perubahan cuaca dan clean energy.

Peran ilmuwan

Politicization of science tidak terkait hitam putih sains dan politik atau pengambilan keputusan. Dalam isu-isu terkait sains, teknologi, dan kehidupan masyarakat, politicization of science penting dipandang sebagai advokasi. Contoh, isu lingkungan terkait sumber energi terbarukan atau perubahan iklim. Pengambil keputusan membutuhkan tenaga ahli untuk menilai aksi apa yang perlu dipilih.

Pielke dalam buku The Honest Broker (2008) merangkum empat peran ilmuwan dalam politik dan policy. Keempat peran itu adalah the pure scientist; the science arbiter; the issue advocate; the honest broker of policy options. Di antara peran-peran itu ada stealth issue advocacy bila ilmuwan dibayangi keuntungan pribadi untuk mengegolkan isu tertentu, ada konflik kepentingan. Peran pertama dan kedua berjalan baik, bila nilai suatu isu amat jelas dan derajat ketidakpastiannya amat minim. Ketika ada konflik nilai dan ketidakpastiannya jelas, peran ilmuwan sebagai the issue advocate dan the honest broker terlihat jelas. Peran ketiga berbeda dari peran keempat dalam pilihan solusi yang disodorkan ilmuwan kepada pembuat keputusan. The issue advocate membawakan satu opsi dengan analisisnya, sedangkan the honest broker mengajukan beberapa opsi beserta analisis positif dan negatifnya.

Pertanyaannya, dimanakah posisi ilmuwan kita? Memasuki masa kampanye pilpres, penting bagi ilmuwan (dan capres-cawapres) memperhitungkan politicization of science dalam penilaian program-program yang ditawarkan para calon. Masyarakat berhak mengetahui duduk persoalan isu-isu penting dan menyangkut harkat hidup orang banyak.

Ilmuwan pantas menjalankan pilihan empat peran itu demi masyarakat terdidik. Peran pertama (the pure scientist) dan kedua (the science arbiter) tentu penting. Namun, peran ketiga dan terutama keempat amat penting dalam politicization of science. Para calon pemimpin layak menyodorkan siapa ilmuwan terpilih yang menjadi penasihat kepresidenan dan rencana program mereka. Ilmuwan di luar sistem mengkritisinya sehingga politicization of science menemukan opsi terbaik.

Belajar dari Jepang, penasihat sains kepresidenan mengusulkan negara memberikan insentif bagi sektor industri yang berhasil mengurangi emisi karbon tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi. Dengan cara ini sektor industri bersandar pada penelitian dan advancement di bidang emisi karbon (bergantung peran the honest broker). Pertalian ilmuwan dengan politik dan policy tak mungkin dihentikan.

Elisabeth Rukmini Staf Akademik Unika Indonesia Atma Jaya Jakarta; Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kimia Miami University, Oxford, Ohio, AS

Wednesday, June 03, 2009

Sudah sakit, bukan tertimpa tangga lagi, tapi masuk penjara. Itulah Indonesia.

Mungki orang lupa. Tapi satu hal yang patut dilaskaanakan hari ini adalah bersyukur dan berterima kasih atas "kejumawaan" RS OMNI International dan dr HG dan GH yang "tega" menggugat Prita dan "keyakinan tanpa nurani" dari para jaksa di PN Tangerang.

Sekali lagi....terima kasih kepada meraka dan " Alhamdullillah, Khairan dan adiknya sudah bisa kembali ke pelukan ibunya, Prita Mulyasari...apa ganjaran yang pantas untuk orang yang telah memisahkan ibu dengan anaknya yang masih di bawah tiga tahun, dua orang lagi, serta suaminya? Ya Allah tunjukkanlah kekuasaanMu di bumi bernama Indonesia ini biar semua mengerti apa arti keadilan dan hak asasi....! krn kalau Kau biarkan kami ..niscaya kami akan tetap begini!"
Sementara, saya baru melampirkan surat pembaca yang disampaikan Bu Prita Mulyasari.

Analisis menunggu. Terimakasih.



=================================
RS Omni Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif
Prita Mulyasari - suaraPembaca



Jakarta - Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.

Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.

dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.

Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.

Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.

Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.

Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.

Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.

Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.

Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.

dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.

Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.

Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.

Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.

Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.

Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.

Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.

Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.

Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.

Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.

Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.

Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.

Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.

Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.

Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.

Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.

Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.

Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.

Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.

Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.

Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.

Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.

Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.

Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.

Salam,
Prita Mulyasari
Alam Sutera
prita.mulyasari@yahoo.com
081513100600