Tuesday, December 30, 2008

"Tongkat Membawa Rebah"

Akhirnya Allah menunjukkan kebesarannya juga. Setelah DPR masih ngotot mengesahkan UU MA yang mengizinkan hakim agung menerima gaji dari republik hingga usia 70 tahun, Wakil Ketua MA pun terpaksa mengakui kekuatan yang dimilikinya sudah tidak layak untuk berkarya. PAdahal baru 67 tahun, kurang 3 tahun lagi hingga akhir batas pensiun yang diizinkan UU baru. APa mau dikata, kondisi alamiah terutama usia sudah harus diinsafi, bukan malah diplintir dan mematikan karir banyak pejabat dibawahnya. Akh..atau mungkin saya yang salah.

detikNews : situs warta era digital | Kronologi Terjatuhnya Wakil Ketua MA Harifin A Tumpa

Selasa, 30/12/2008 15:07 WIB
Kronologi Terjatuhnya Wakil Ketua MA Harifin A Tumpa
Indra Subagja - detikNews

Jakarta - Wakil Ketua Harifin A Tumpa tidak menyangka kram akan menimpa dirinya. Akibatnya, calon kuat Ketua MA itu pun sempat terjatuh saat hendak melantik 6 hakim agung baru.

Peristiwa jatuhnya Harifin terjadi sekitar pukul 11.10 WIB, Selasa (30/12/2008) di Gedung MA, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta.

Sebelumnya, sekitar pukul 10.00 WIB, Harifin sempat melantik 4 Ketua Pengadilan Tinggi. Dan selama 30 menit dia berdiri, tidak terjadi peristiwa apa pun.

Selesai pelantikan para ketua pengadilan tinggi, acara ditunda selama 30 menit, untuk persiapan pelantikan hakim agung. Sekitar pukul 11.00 WIB, acara pelantikan dimulai.

29 Hakim agung berbaris, 21 di antaranya berdiri di podium hakim. Sedang Harifin beserta 8 hakim lainnya yang mengenakan seragam kebesaran hakim, berdiri di hadapan 6 hakim agung baru.

Pembawa acara kemudian mengumumkan dimulainya proses pelantikan. Saat itu sebagai Wakil Ketua MA, Harifin didaulat membacakan Keppres pengangkatan hakim agung. Namun tidak disangka saat hendak melangkah menuju pengeras suara, tiba-tiba dia terjatuh.

Untungnya, hakim agung yang berada di kanan dan kiri Harifin, segera menyambar tubuhnya. Tubuh hakim yang akan berusia 67 tahun pada Februari 2009 mendatang itu pun tidak sampai rebah ke lantai.

Para undangan yang saat itu tengah duduk menyimak proses pelantikan pun terhenyak. Mereka berdiri dari kursinya, ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi. Sedang beberapa staf dari MA segera berlarian memberi pertolongan pada Harifin yang mengenakan toga lengkap hakim agung.

"Acara pelantikan diskors," ucap pembawa acara memberi pengumuman.

Namun, tidak lama kemudian, Harifin tampak sehat kembali dan bisa melanjutkan acara. Meski begitu, satu kursi kemudian diberikan pada Harifin. Sambil duduk, dia pun membacakan Keppres.

Duduk sekitar 10 menit di kursi, Harifin akhirnya kembali melanjutkan acara dengan berdiri, untuk membacakan sumpah hakim agung. Dan prosesi pelantikan kembali dilanjutkan seperti biasa.

"Asam urat saya agak tinggi," ujar Harifin setelah acara.

Saat liburan, dia memang bermain dengan cucunya di Bandung. "Mungkin saya agak kurang istirahat," kata Harifin.(ndr/nrl)

Saturday, December 27, 2008

Siapa yang harus diikuti: Imam atau Makmum?


Banyak Imam "Ngawur" di Indonesia.

Maaf, to the point saja. Saya lagi kesal sama manusia Indonesia yang kebetulan beragama Islam dan kebetulan lagi sering di daulat jadi imam pada saat shalat berjamaah. Pasalnya, banyak di antara mereka entah karena ada tumor diotaknya atau memang menganut paham "miring", sehingga sering kali memiringkan sajadahnya ke kanan. Meski shalat sudah dilaksanakan di mesji atau musholla yang nota bene pasti sudah di stel atau di "adjust" arahnya kepada kiblat umat Islam di Mekkah.

Entah gejala apa ini. Tapi buat sebagian orang mungkin gak terlalu masalah. Namun bagi saya ini cukup mengganggu. Betapa tidak, jika kita ikut shalat berjamaah dan akhirnya tahu ada imam yang memiringkan lagi sekitar 15-20 derajat kekanan, artinya kita tidak searah dengan Imam tersebut, padahal kita adalah pengikut imam itu guna dapat melaksanakan shalat fardhu berjamaah yang InsyaAllah pahalanya jauh lebih besar dibanding melaksanakan shalat sendirian.

Di beberapa mesjid atau musholla sering saya jumpai sajadah imam yang mirin dan melenceng jika dibanding arah sajadah makmum yang dibelakangnya.

Ah....mudah2-an bisa ditertibkan atau paling tidak ada kelompok yang dapat menghimbau hal ini kepada umat Islam. Sungguh saya prihatin, namun hanya bisa menulis di Fb untuk sementara waktu. Meski terkadang sehabis shalat saya sering berdiskusi, pura-pura sih diskusi, dengan imam2 tersebut lalu bagian akhir mengingatkan. Namun seperti biasa, imam mesjid itu rata-rata teguh dengan pendiriannya dan agak "gelap mata". Pokoknya ya pokoknya, dan sayapun biasanya pamit sambil mengucapkan terserah anda.., saya hanya ingin menyampaikan sesuatu yang menurut saya keliru dan sebaiknya diperbaiki.

Wallahualalm bissawab.

Monday, December 22, 2008

GDP : Suatu Besaran atau Indikator yang sering diabaikan pemimpin kita.

GDP mungkin sudah sangat sering kita dengar sebagai satu besaran ekonomi makro yang menjadi indikator "kesehatan" dan "kesejahteraan" suatu bangsa. Dalam praktek sehari-hari , sering kali kita saksikan banyak pimpinan yang abai akan GDP. Ia tidak pernah tahu dan mau tahu betapa secara internasional dan pergaulan dunia bangsa kita memang masih tergolong setingkat di atas negara miskin, alias masih jauh dari sebutan negara kaya. Namun karena banyak pemimpin kita yang kekayaan dan gaya hidupnya sudah jauh di atas rata-rata orang kaya di negara maju sekalipun, maka tidak pelak lagi mereka menjadi "buta" dan abai terhadap sebagian lain penduduk dan WNI. Karena itu saya pernah melawan langsung di di tempat diskusi ketika salah seorang menteri di zaman Gusdur mewanti-wanti agar rakyat Indonesia jangan begini-begitu atau terlalu begini-begitu, nanti "bisa seperti Rusia" kata sang Menteri.

Seketika itu pula saya sampaikan dengan santun, bahwa saya mau pak negara saya seperti Rusia, karena faktanya Rusia jauh lebih tinggi GDP nya dari kita, apalagi GDP per capita yang jauh di atas Indonesia. Sungguh tidak mudah mengerti dan memahami suatu persoalan, namun bangsa kita lebih cepat mengomongkannya dari pada mempelajarinya. Namun bisa seperti Rusia bukan berarti saya mengizinkan negara saya kembali menjadi negara sosialis, apalagi berhaluan komunis. Itu sih perkara lain, tegas saya. Yang pasti saya mau negara saya setingkat dengan Argentina, atau juga Peru, apalagi Rusia yang sekarang nyata-nyata menjadi sangat sejahtera ketika mereka mampu meraup "petro dollar" disaat harga minyak sangat tinggi. Bagaimana kita? "Harga minyak naik buntung, harga minyak turun bingung!"

Tulisan berikut adalah resource yang sangat baik tentang GDP dan bagaimana sebaiknya pemimpin atau calon pemimpin Indonesia memahami nya.

Semoga berguna.


ES



Finance & Development
A quarterly magazine of the IMF
December 2008, Volume 45, Number 4

Back to Basics
Tim Callen

What Is Gross Domestic Product?
Many professions commonly use acronyms. To doctors, accountants, and baseball players, the letters MRI (magnetic resonance imaging), GAAP (generally accepted accounting principles), and ERA (earned run average), respectively, need no explanation. To someone unfamiliar with these fields, however, without an explanation these acronyms are a stumbling block to a better understanding of the subject at hand.

Economics is no different. Economists use many acronyms. One of the most common is GDP, which stands for gross domestic product. It is often cited in newspapers, on the television news, and in reports by governments, central banks, and the business community. It has become widely used as a reference point for the health of national and global economies. When GDP is growing, especially if inflation is not a problem, workers and businesses are generally better off than when it is not.

Measuring GDP
GDP measures the monetary value of final goods and services—that is, those that are bought by the final user—produced in a country in a given period of time (say a quarter or a year). It counts all the output generated within the borders of a country. GDP is composed of goods and services produced for sale in the market and also includes some nonmarket production, such as defense or education services provided by the government. An alternative concept, gross national product, or GNP, counts all the output of the residents of a country. So if a German-owned company has a factory in the United States, the output of this factory would be included in U.S. GDP, but in German GNP.

Not all productive activity is included in GDP. For example, unpaid work (such as that performed in the home or by volunteers) and black-market activities are not included because they are difficult to measure and value accurately. That means, for example, that a baker who produces a loaf of bread for a customer would contribute to GDP, but would not contribute to GDP if he baked the same loaf for his family.

Moreover, "gross" domestic product takes no account of the wear and tear on the machinery, buildings, and so on (the so-called capital stock) that are used in producing the output. If this depletion of the capital stock, called depreciation, is subtracted from GDP, we get net domestic product.

Theoretically, GDP can be viewed in three different ways.
• The production approach sums the "value added" at each stage of production, where value added is defined as total sales minus the value of intermediate inputs into the production process. For example, flour would be an intermediate input and bread the final product, or an architect's services would be an intermediate input and the building the final product.
• The expenditure approach adds up the value of purchases made by final users—for example, the consumption of food, televisions, and medical services by households; the investments in machinery by companies; and the purchases of goods and services by the government and foreigners.
• The income approach sums the incomes generated by production—for example, the compensation employees receive and the operating surplus of companies (roughly sales minus costs).

GDP in a country is usually calculated by the national statistical agency, which compiles the information from a large number of sources. In making the calculations, however, most countries follow established international standards. The international standard for measuring GDP is contained in the System of National Accounts, 1993, compiled by the International Monetary Fund, the European Commission, the Organization for Economic Cooperation and Development, the United Nations, and the World Bank.

Real GDP
One thing people want to know about an economy is whether its total output of goods and services is growing or shrinking. But because GDP is collected at current, or nominal, prices, one cannot compare two periods without making adjustments for inflation. To determine "real" GDP, its nominal value must be adjusted to take into account price changes to allow us to see whether the value of output has gone up because more is being produced or simply because prices have increased. A statistical tool called the price deflator is used to adjust GDP from nominal to constant prices.

GDP is important because it gives information about the size of the economy and how an economy is performing. The growth rate of real GDP is often used as an indicator of the general health of the economy. In broad terms, an increase in real GDP is interpreted as a sign that the economy is doing well. When real GDP is growing strongly, employment is likely to be increasing as companies hire more workers for their factories and people have more money in their pockets. At present, concerns are in the opposite direction. After several years of exceptionally strong real GDP growth, many countries are experiencing a slowdown, with real GDP estimated to have declined in a number of industrial countries in recent quarters. But real GDP growth does move in cycles over time. Economies are sometimes in periods of boom, and sometimes periods of slow growth or even recession (with the latter sometimes defined as two consecutive quarters in which output declines). In the United States, for example, there were six recessions of varying length and severity between 1950 and 2007 (see chart). The National Bureau of Economic Research makes the call on the dates of U.S. business cycles.

Growth and gaps

Comparing GDPs of two countries

GDP is measured in the currency of the country in question. That requires adjustment when trying to compare the value of output in two countries using different currencies. The usual method is to convert the value of GDP of each country into U.S. dollars and then compare them. Conversion to dollars can be done either using market exchange rates—those that prevail in the foreign exchange market—or purchasing-power-parity (PPP) exchange rates. The PPP exchange rate is the rate at which the currency of one country would have to be converted into that of another to purchase the same amount of goods and services in each country (see "Back to Basics" in the March 2007 issue of Finance & Development). There is a large gap between market and PPP-based exchange rates in emerging market and developing countries. For most emerging market and developing countries, the ratio of the market and PPP U.S. dollar exchange rates is between 2 and 4. This is because nontraded goods and services tend to be cheaper in low-income than in high-income countries—for example, a haircut in New York is more expensive than in Bishkek—even when the cost of making tradable goods, such as machinery, across two countries is the same. For advanced countries, market and PPP exchange rates tend to be much closer. These differences mean that emerging market and developing countries have a higher estimated dollar GDP when the PPP exchange rate is used.

The IMF publishes an array of GDP data on its website (www.imf.org). International institutions such as the IMF also calculate global and regional measures of real GDP growth. These give an idea of how quickly or slowly the world economy or the economies in a particular region of the world are growing. The aggregates are constructed as weighted averages of the GDP in individual countries, with weights reflecting each country's share of GDP in the group (with PPP exchange rates used to determine the appropriate weights). So, for example, the updated edition of the IMF's World Economic Outlook projects that global real GDP will grow by 2.2 percent in 2009, down from 3.7 percent this year (and 5 percent in 2007). Advanced economies are expected to contract for the first time on an annual basis since World War II.

What GDP does not reveal
It is also important to understand what GDP cannot tell us. GDP is not a measure of the overall standard of living or well-being of a country. Although changes in the output of goods and services per person (GDP per capita) are often used as a measure of whether the average citizen in a country is better or worse off, it does not capture things that may be deemed important to general well-being. So, for example, increased output may come at the cost of environmental damage or other external costs, such as noise. Or it might involve the reduction of leisure time or the depletion of nonrenewable natural resources. The quality of life may also depend on the distribution of GDP among the residents of a country, not just the overall level. To try to account for such factors, the United Nations computes a Human Development Index, which ranks countries not only based on GDP per capita, but on other factors, such as life expectancy, literacy, and school enrollment. Other attempts have been made to account for some of the shortcomings of GDP, such as the Genuine Progress Indicator and the Gross National Happiness Index, but these too have their critics.

Tim Callen is a Division Chief in the IMF's Middle East and Central Asia Department.

Saturday, December 13, 2008

Harus hati-hati: PT Pertamina Akui Kewalahan Pasok Gas

Kudu hati-hati nih..kalau Pertamina udah mulai ngeles begini pasti ada yang gak beres. Pastinya, setelah konversi dari minyak tanah ke gas di selanggarakan ternyata masalah yang dihadapi dilapangan makin berlipat. Mulai dari pasokan atau supply di hulu hingga ke masalah distribusi di hilir. Lalu pertanyaannya, kalau memang kita tidak siap dan belum punya perencanaan matang, mengapa ESDM "memaksakan" konversi itu. Padahal semua juga tahu dan mulai menyaksikan bbrp bulan sebelum konversi masayarakat sudah mulai berpindah ke briket batu bara. Bahkan dulu tetangga di komplek saya sudah mulai menjadi penyalur briket dan dengan bangganya memampangkan spanduk di depan rumahnya "Disini Tersedia Briket Batu Bara"....Kecian deh kita.

Mungkin bisa dicek juga tulisan saya dulu di majalah Hilir BPH Migas.


KOMPAS Cetak : PT Pertamina Akui Kewalahan Pasok Gas

Kamis, 11 Desember 2008 | 03:00 WIB

PT Pertamina Akui Kewalahan Pasok Gas
Mendesak Penambahan Infrastruktur untuk Imbangi Konversi
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO / Kompas Images
Puluhan kendaraan pengangkut tabung gas ukuran 3 kilogram antre mengisi tabung di Stasiun Pengisian Bulk Elpiji di Kawasan Srengseng, Jakarta Barat, Rabu (10/12). Antrean tersebut merupakan buntut dari keterlambatan pasokan elpiji ke SPBE. Mereka membutuhkan waktu seharian, bahkan lebih dari satu hari, untuk antre.


Jakarta, Kompas - Lonjakan pemakaian elpiji pascakonversi bergulir membuat Pertamina kewalahan karena kondisi infrastruktur bongkar muat elpiji yang terbatas. Akibatnya, rawan terjadi gangguan pasokan gas elpiji ke masyarakat.

”Konsumsi elpiji berjalan sangat cepat setelah konversi berjalan,” ujar Direktur Utama PT Pertamina Ari H Soemarno, dalam jumpa pers, Rabu (10/12), di Jakarta.

Pertamina, menurut Ari, perlu menambah fasilitas kapal pengisian elpiji untuk mengamankan pasokan elpiji tahun depan. Namun, ia membantah kalau terjadi keterlambatan impor.

Vice President Gas Domestik PT Pertamina Wahyudin Akbar, mengemukakan, sejak konversi elpiji sudah stabil, konsumsi elpiji rumah tangga melonjak dari kemasan 3.000 ton per hari menjadi 6.000 ton per hari. Sementara, kondisi infrastruktur penyimpanan dan fasilitas pengisian elpiji belum bertambah.

Keterbatasan infrastruktur

Hal inilah yang menjadi penyebab distribusi elpiji ke masyarakat di sebagian Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah, terputus karena ada gangguan suplai dari Kilang Cilacap dan Kilang Balongan. Apabila dirunut, pasokan elpiji berasal dari produksi kilang milik Pertamina sendiri (jumlahnya hanya sekitar 2.000 ton per hari). Pasokan dari kilang swasta (antara lain kilang elpiji Petrochina di Tanjung Jabung, Jambi, kilang ConocoPhillips di Natuna), dan impor.

Ketika kilang Cilacap dan Balongan stop berproduksi seperti yang terjadi pekan lalu, otomatis pengisian elpiji harus dialihkan ke sumber nonkilang Pertamina (dari kilang swasta yang ada di luar Jawa) atau pun impor. Fasilitas pengisian elpiji ini seperti yang ada di Terminal Tanjung Priok, Eretan-Indramayu, dan Surabaya.

Akan tetapi karena kapasitasnya yang terbatas, fasilitas pengisian ini tidak sanggup memenuhi kebutuhan agen stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBBE). Pengisian elpiji pun tersendat.

Wahyudin mengatakan, penambahan fasilitas penyimpanan dan bongkar muat elpiji tahun depan harus ditambah. Mengingat dengan target konversi elpiji sebanyak 17 juta keluarga, konsumsi elpiji diperkirakan mencapai 11.000 ton per hari.

Tahun depan, akan ada dua terminal pengisian baru yang berlokasi di Semarang dan Gresik. Selain itu, Pertamina juga merencanakan ada fasilitas pengisian terapung di Balongan dan Cilacap agar pengisian elpiji di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat tidak terganggu, meskipun kilang berhenti operasi.

Hal senada juga disuarakan oleh Ketua Umum Himpunan Wiraswastawan Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Muhammad Nuradib. Menurut Nuradib, kelangkaan itu karena baru ada beberapa perusahaan distributor kecil yang bersedia menjadi distributor gas, yaitu Blue Gas dan My Gas.

”Inti persoalan terjadinya kelangkaan elpiji adalah minimnya infrastruktur, seperti terminal dan SPBBE. Saat ini, untuk memasok Jawa dan Sumatera, Pertamina hanya punya empat terminal naik turunnya elpiji dari kapal angkut. Sejak awal direncanakan pembangunan lebih dari 200 SPBBE, namun yang terealisasi baru 25 SPBBE. Lambannya realisasi itu karena sulitnya perizinan di daerah,” kata Nuradib.

Menurut Nuradib, hingga Desember ini, pembangunan terminal di Lampung, Serang, Cilegon, dan Semarang masih dalam proses. Jika terminal dan SPBBE makin banyak dan tersebar, distribusi elpiji bakal mudah dan efektif.

Sementara Kepala Hubungan Pemerintahan dan Masyarakat Pertamina Unit Pengolahan VI Balongan Darijanto menginformasikan, perbaikan rutin pada kilang gas dilakukan sejak akhir November dan direncanakan selesai pertengahan Desember ini. Sementara ini, pasokan gas LPG di wilayah Cirebon dan sekitarnya dipasok dari SPBE Eretan.

Kesalahan pemerintah

Namun berbagai kalangan tidak bisa begitu saja menerima argumentasi Pertamina. Mereka menggugat agar Pemerintah dan Pertamina bertanggung atas kelangkaan gas elpiji. Tuntutan itu kian kuat karena masyarakat kini tidak memiliki alternatif pemakaian bahan bakar lain.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Husna Zahir, Rabu (10/12) mengatakan, pemerintah sendiri yang menciptakan kondisi ini setelah menutup akses masyarakat memilih bahan bakar alternatif, seperti minyak tanah. ”Jadi pemerintah turut bertanggung jawab jika distribusi elpiji kerap bermasalah," kata Husna.

Monopoli distribusi bahan bakar memberi dampak kurang baik. Perusahaan distributor bisa berbuat sesukanya dan merugikan konsumen. Seharusnya pemerintah memiliki sistem proteksi sehingga bisa memastikan pasokan gas aman. .

Akibat kekacauan itu masyarakat yang harus menanggungnya. Kristi (27) penjual ayam goreng tepung di Pasar Kebayoran Lama sempat tidak berjualan satu hari saat pasokan elpiji terputus, Sabtu (6/12) lalu. Dia berkeliling mencari isi ulang elpiji di sekitar Jakarta Selatan hingga Tangerang, namun tetap gagal.

Kekosongan pasokan gas 3 kilogram (kg) juga dirasakan di Rangkasbitung, Banten. Hampir seluruh warung pengecer gas elpiji kemasan 3 kg di Kota Rangkasbitung, Kabupaten Lebak dan sekitarnya kehabisan stok elpiji. Tabung-tabung kosong sudah seminggu menumpuk di warung, karena agen elpiji tak kunjung datang. Kondisi itu membuat warga kebingungan, dan terpaksa berkeliling berburu elpiji.

Sejumlah agen di Serang belum mendapat pasokan elpiji 3 kg. Sebagian besar truk pengangkut elpiji masih mengantre di SPBBE Bojonegara. Beberapa truk dari SPBBE langsung diserbu pembeli sehingga dalam dua jam gas itu sudah habis.

Bahkan dari Kota Semarang dikabarkan, kelangkaan gas elpiji 3 kg dan 12 kg sudah terjadi sejak tiga pekan terakhir. Sejumlah warga terpaksa beralih menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak karena sulit memperoleh elpiji.

Kelangkaan elpiji juga terjadi di Solo. Menurut Kepala Bidang Elpiji Hiswana Migas Surakarta Tien Suprapto, sudah seminggu ini pasokan elpiji tersendat.

Menurut Assistant Manager External Relation PT Pertamina Pemasaran Bahan Bakar Minyak Retail Region IV Jateng dan DI Yogyakarta Heppy Wulansari, kondisi ini akibat lalu lintas kapal dari terminal elpiji Surabaya dan Eretan, Cirebon, terganggu. (ksp/dot/nel/nta/ ILO/DEN/EKI/THT)

Friday, November 21, 2008

KONSULTAN NASIONAL : "Dibunuh atau dimatikan?"

Kembali mengingat masa lalu bagi saya merupakan refleksi pemikiran yang mesti dilakukan secara berkala. Baik karena kebiasaan, ataupun bisa juga karena ada pemicunya.

Hari ini (Selasa 18 Nov 2008) bagi saya menjadi suatu hari yang cukup berat. Betapa tidak, di tengah mendung kelabu, terkadang rintik hujan juga menyertai, dan sesekali hujan deras juga mengguyur jalanan yang harus saya tempuh sendirian di mobil. Hanya iringan musik dari radio ataupun usb plug-in yang menghibur saya menyetir di tengah kemacetan ibukota. Kemana pun pergi, kepadatan lalu lintas menghadang.

Dalam suasana seperti itu saya mendapat "teguran" dari seorang pejabat di RI ini. Teguran itu cukup keras yang pada dasarnya mempertanyakan "mengapa saya mencantum kan nama satu PT di dalam undangan yang baru saja kami fax dan transmit ke berbagai pihak.

Terjebak dalam "kegilaan" lalu lintas di Jakarta, terus terang membuat saya tegang setelah menerima teguran itu. Pada saat itu saya anggap positif saja, dan saya mencoba dengan tenang menjelaskan via telepon. Seperti saya sampaikan tadi, kondisi lelah, capek, hujan, serta macet yang menumpuk menjadi satu berhasil mengalahkan nalar saya pada siang itu. Akhirnya saya menjawab :"Baik pak, akan kami ralat, dan kami fax kan segera kepada undangan lainnya!" jawab saya halus dan berusaha tenang. Namun terus terang saya agak gelisah, karena pejabat bersangkutan menyebutkan ia dapat telepon dari banyak orang. Kok kantor saya mencantumkan nama suatu PT dalam suatu undangan resmi?

Namun setelah agak tenang dan ketika saya memarkir kendaraan terlebih dahulu di tempat aman (tidak terlalu aman dan tenang juga karena ada petugas parkir mengusir saya), otak saya mulai berpikir agak jernih. Apa salahnya?

Kalau kenyataannya memang memang beberapa personil dari PT itu akan mempresentasikan draft hasil kajiannya? SAya sendiri akan menjadi pengantar dan sekaligus moderator guna mengundang komentar dan memandu diskusi. Tujuan meminta personil konsultan adalah memberikan kenyataan bahwa hasil kajian mereka memang sangat diperlukan, jika memang nanti reaksi peserta demikian. Atau sebaliknya, tidak penting. Bisa juga sekaligus memberikan feed back bahwa mereka berada dalam kondisi yang tidak bagus kinerjanya. Sekali lagi itu tentu akan tercermin dari tanggapan peserta.

Salahkah kalau kita membayar mereka dan meminta mereka untuk memaparkan? Ataukah apakah selalu benar jika pejabat yang membayar (maksudnya negara yang bayar lho) yang memaparkan untuk kondisi laporan yang belum final? Saya sendiri "binun" ketika teguran itu datang.

Terlepas dari itu semua, saya masih berbulat pendapat bahwa sudah waktunya kita menampilkan konsultan nasional kita apa adanya. Bukan sebaliknya, justru membatasi ruang gerak mereka. Dalam arti, jika kita benar-benar mau membina SDM kita menjadi lebih handal dalam berbagai sektor ekonomi maupun kehidupan nyata, maka sudah seharusnya kita mendorong konsultan nasional tampil kedepan di berbagai forum. Hanya karena saya cantumkan PT, apakah itu memang tidak patut. Tapi kalau saya ganti dengan "Prof X atau DR.X atau Mr. X, peneliti dari Universitas Anu..kok jadi boleh dan tidak masalah? Apalagi kalau akhir-akhir ini saya juga sering mendapat undangan atau datang ke rapat pembahasan suatu kajian atau diskusi dengan pembicara Mr.atau Mrs. Joe Cologne Yr (contoh) Chief Economist XXX Bank, France, UK, USA atau Prof. Sakukurata otakumati matakubuta dari Japan, malah disanjung-sanjung dan tidak pernah ada protes. Mengapa kalau saya mengundang dengan pembicara MR. X, dari PT.Y, Cimahi....saya dapat teguran itu?

Akh..pantasan saja bangsaku menjadi kuli saja di rumah sendiri. Bayangkan, apa yang bisa dikerjakan oleh Konsultan kita sekarang, jika semua kerjaan sudah di swakelola? Jika semua diskusi dan seminar di dominasi Prof Doktor dari Perguruan Tinggi/Universitas. Lalu anak-anak kita, anakmu, dan anak-anak mereka sendiri, kalau lulus mau kerja dimana? Sungguh saya sedih hari ini, tapi sementara belum berdaya.

Satu yang pasti, dulu ketika saya baru lulus dari perguruan tinggi, kerja dimana saja sebagai yunior engineer sudah menunggu dimana-mana. Sekarang? sampai botak juga kalau gak punya koneksi, maka lamaran hanya ada di tumpukan. memang peluang selalu ada. Tetapi, apakah konsultan lokal kita memang harus "dibunuh" atau "dimatikan"?

Mungkin ada rimbun daun dan semilir angin yang mau menjawab kegundahan saya ini. Adakah?

(Di dingin Sawangan, Selasa 18 Nov 2008)

Wednesday, November 19, 2008

Tempo itu.

For the time being, I personally have no comment yet!

+++

Panas Digoyang Gempa Bumi

Istana diduga ikut melindungi kepentingan keluarga bisnis Bakrie dalam gonjang-ganjing saham Bumi Resources. Krisis keuangan grup bisnis itu juga dijadikan klaim untuk mengerem dana penanggulangan lumpur Lapindo. Ditekan kiri-kanan, Sri Mulyani sempat meminta mundur.
Terpisah samudra ribuan kilometer, dua pejabat Departemen Keuangan itu tetap terhubung oleh persoalan gawat di Jakarta. Sekretaris Jenderal Mulya Nasution di Peru dan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution di Guangzhou, Cina, mengikuti rapat jarak jauh dengan Menteri Sri Mulyani dan para pejabat eselon I departemen itu di Tanah Air, Rabu pagi dua pekan lalu.
Rapat yang tak diagendakan sebelumnya itu juga dihadiri Kepala Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Fuad Rahmany serta Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Erry Firmansyah. Setelah memberikan penjelasan panjang-lebar, Sri Mulyani mengambil keputusan yang mengejutkan bawahannya. ”Ibu Menteri menyatakan hendak mundur,” kata sumber Tempo, ”dia merasa kredibilitasnya dipertaruhkan.”
Semua terenyak. Para pejabat itu meminta Ibu Menteri tidak bertindak emosional. Mereka meminta bos mereka memikirkan untung-rugi sebelum mengambil keputusan. Krisis keuangan dijadikan alasan untuk menahan keinginan Ani, begitu Bu Menteri dipanggil. ”Tapi jajaran eselon satu memahami persoalan yang dihadapi Bu Menteri,” ujar sumber yang sama. Menjelang tengah hari, rapat distop untuk diteruskan sore harinya.
”Gempa kabinet” ini berawal dari runtuhnya harga saham PT Bumi Resources Tbk. (BUMI), perusahaan tambang batu bara milik keluarga Bakrie. Sempat menjulang di harga Rp 8.500-an per lembar pada pertengahan tahun, saham perusahaan itu melorot hingga kisaran Rp 3.000-an pada awal Oktober. Perdagangan saham Bumi distop pada 7 Oktober, karena harganya melorot 32,03 persen dalam sehari. Hal yang sama diberlakukan pada saham lima perusahaan lain di bawah Grup Bakrie.
Loyonya saham Bakrie dipicu kabar bahwa kelompok usaha itu kesulitan membayar utang berjaminan saham. Nilainya luar biasa: Rp 11 triliun. Kabar ini semakin kencang karena pada saat yang sama grup itu juga bergerilya menjual 35 persen saham Bumi kepada sejumlah pengusaha. Sementara perdagangan tiga perusahaan lain dibuka kembali beberapa hari kemudian, jual-beli saham Bumi tetap dibekukan nyaris sebulan.
Setelah sempat bernegosiasi dengan sejumlah pihak, pada Sabtu tiga pekan lalu, keluarga Bakrie akhirnya meneken perjanjian transaksi 35 persen saham Bumi dengan PT Northstar Pacific. Pada hari yang sama, menurut sumber, Nirwan Bakrie, pengendali Grup Bakrie, menemui Menteri Keuangan yang ditemani Darmin Nasution dan Fuad Rahmany. Adik kandung Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie ini melaporkan kesepakatan transaksi dengan Northstar.
Menerima laporan itu, Sri Mulyani kabarnya kemudian menyatakan per-dagangan saham Bumi harus segera dibuka pada pekan berikutnya. Namun Nirwan meminta waktu untuk melakukan berbagai konsolidasi, sebelum saham Bumi kembali diperdagangkan di lantai Bursa. Sri Mulyani menolak permintaan itu.
Masalah kelompok Bakrie bertambah karena pada pertemuan itu, menurut sumber yang lain, Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution juga menagih utang royalti batu bara dan pajak Bumi yang belum dibayar. Jumlahnya pun tidak sedikit, sekitar US$ 500 juta. Masalah ini sempat membuat para petinggi Bumi dilarang ke luar negeri. ”Nirwan pada pertemuan itu berjanji membayar pajak pada akhir tahun,” kata sumber itu.
Menteri Keuangan meminta perdagangan saham Bumi dibuka Rabu pekan berikutnya. Namun, menurut sumber, pada Selasa pekan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Sri Mulyani bertemu dengan Aburizal lebih dulu sebelum perdagangan dibuka. Sri menolak permintaan ini karena ia menganggap perdagangan saham Bumi bukan urusan koleganya di Kabinet Indonesia Bersatu itu.
Satu pengumuman pun ditayangkan situs Internet Bursa Efek Indonesia pada Rabu, 5 November, pukul 08.00. Isinya: otoritas Bursa akan membuka kembali perdagangan saham Bumi Resources mulai sesi pertama pukul 09.30 waktu Jakarta Automatic Trading System atau jam bursa efek, hari itu juga.
Pada saat yang hampir sama, menurut sumber yang lain, selarik pesan dikirimkan Presiden Yudhoyono ke telepon seluler Sri Mulyani. Isinya, teguran tak langsung kepada menterinya itu. Mungkin karena perdagangan hendak dibuka sebelum Sri Mulyani bertemu dengan Aburizal. ”Intinya, Presiden menyatakan, kalau dalam organisasi ada yang tidak sepaham dengan perintah atasan, itu berarti tidak disiplin,” sumber itu menuturkan.
Menerima pesan ini, Sri Mulyani berusaha menelepon bosnya. Namun telepon ini tak kunjung diangkat—padahal ia biasanya memiliki hotline dengan sang Presiden. Pelaksana Menteri Koordinator Perekenomian ini pun akhirnya meminta Bursa Efek Indonesia membatalkan pembukaan perdagangan saham Bumi.
Satu seperempat jam setelah pengumuman pembukaan perdagangan saham Bumi ditayangkan, muncul pengumuman baru. ”Mengingat adanya permintaan dari pemerintah, Bursa memutuskan untuk menunda pembukaan suspensi perdagangan efek BUMI hingga pengumuman lebih lanjut,” demikian tertulis dalam pengumuman. Segera setelah itu, Menteri Keuangan memanggil para pejabat eselon I rapat di kantornya.

l l l
Sore setelah lanjutan rapat ini dibuka, Sri Mulyani menyatakan tetap pada keputusannya untuk mundur. Mulya Nasution di Peru dan Darmin Nasution di Guangzhou pun kembali terhubung ke rapat di Jakarta melalui telepon internasional. Mereka dan pejabat lainnya rupanya tak mampu mengubah keputusan Ibu Menteri.
Seusai rapat, sumber bercerita, Sri Mulyani meminta waktu untuk bertemu dengan Presiden. Tapi Kepala Negara punya acara menjamu Presiden Madagaskar Marc Ravalomanana petang itu. Sri menunggu jamuan itu selesai di Lapangan Banteng, kantornya. Ia baru ke Istana sekitar pukul 21.00. Di situ ia menyampaikan permintaannya untuk mundur dari kabinet ke Presiden. Permintaan ini ditolak Yudhoyono.
Juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng menepis informasi tersebut. ”Saya tidak pernah mendengar hal semacam itu. Sekarang pun Ibu Sri Mulyani sedang mendampingi Presiden SBY dalam Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Washington,” katanya kepada reporter Ismi Wahid. Adapun Sri Mulyani ketika dimintai konfirmasi hanya berujar pendek: ”Ah, yang benar...?”
Kepada para pembantunya, menurut sumber Tempo, Yudhoyono berpendapat saham Bumi harus diselamatkan. Jika harganya terus mengempis dan kekayaan keluarga Bakrie tergerus, ia khawatir mereka tak sanggup membayar ganti rugi untuk korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Pada awal lumpur itu menyembur, keluarga Bakrie kabarnya menyatakan sanggup membayar kerugian korban hingga Rp 3 triliun.
Pendapat Yudhoyono itu bukannya tanpa dasar. Pada akhir Oktober lalu, PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan yang dibentuk Bakrie untuk mengurus persoalan luapan lumpur, mengirim surat ke Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo—Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Isinya, Minarak mengakui mengalami masalah keuangan. Untuk itu, mereka meminta Badan Penanggulangan ”memberikan kebijaksanaan sementara” menggantikan fungsi Minarak.
Namun sebenarnya krisis global itu tidak bisa dianggap sebagai penyebab seretnya pembayaran ganti rugi untuk korban lumpur Lapindo. Keluarga Bakrie toh tetap saja tak kunjung menyelesaikan pembayaran ketika harga saham Bumi masih digdaya dan Aburizal ditetapkan sebagai orang terkaya se-Indonesia oleh majalah Forbes. Karena itu, kalangan politikus yakin ”perlindungan” Istana untuk kelompok usaha Bakrie jauh lebih dalam daripada itu. Apalagi pemerintah juga terkesan lemah dalam kasus Lapindo.
Syahdan, pada 2004, Aburizal serta pengusaha Surya Paloh dan Jusuf Kalla berpacu menjadi calon presiden dari Partai Golkar melalui jalur konvensi. Mereka juga bersaing dengan, antara lain, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia Wiranto dan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung. Di tengah jalan, Kalla meninggalkan gelanggang dan berduet dengan Yudhoyono. Wiranto pada akhirnya memenangi konvensi. Alih-alih menyokong Wiranto, segera setelah konvensi ini, Aburizal dan Surya merapat ke pasangan Yudhoyono-Kalla.
Sumber Tempo mengatakan jasa Aburizal dalam menopang kebutuhan dana kampanye Yudhoyono-Jusuf Kalla cukup besar. Ia kabarnya selalu memasok dana dalam jumlah dua kali lipat dibanding dana yang disetor Surya Paloh. Itu sebabnya, begitu pasangan yang mengusung slogan ”Bersama Kita Bisa” ini memenangi pemilihan presiden, dengan dukungan yang sangat kuat dari Jusuf Kalla, Aburizal langsung dijatah pos strategis: Menteri Koordinator Perekonomian.
Kepada Sahala Lumban Raja dan Cornila Desyana dari Tempo, Aburizal membantah informasi itu. ”Kalau menulis seperti itu, berarti Anda menulis informasi yang salah,” katanya ketika ditemui pada Malam Apresiasi Olahraga di Jakarta, Jumat malam pekan lalu.
Adapun Andi Mallarangeng mengatakan daftar penyumbang dana kampanye 2004 untuk Yudhoyono-Kalla ada di Komisi Pemilihan Umum. Dalam daftar itu, Aburizal memang tak tercantum sebagai daftar penyumbang. Namun sumber tersebut yakin Aburizal termasuk salah satu donatur.
Aburizal, kata sumber itu, juga berperan penting memuluskan Jusuf Kalla merebut posisi Ketua Umum Partai Golkar dalam Musyawarah Nasional di Bali. Ini misi yang direstui Yudhoyono. Hanya diusung Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, ia perlu tambahan dukungan di Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan menempatkan Kalla di Beringin, tujuan itu bisa diraih.
Di arena Musyawarah Nasional, Hotel Westin, Nusa Dua, akhir 2004, Aburizal kembali berkolaborasi dengan Surya Paloh. Sementara Aburizal memasok ”gizi” buat menggaet dukungan dari pengurus daerah, kata seorang peserta, Surya bertugas menaklukkan beberapa pengurus yang masih setia kepada Akbar Tandjung. Walhasil, Jusuf Kalla mulus menuju puncak Beringin, mengalahkan Akbar yang beraliansi dengan Wiranto.
Surya Paloh yang kemudian ditunjuk menjadi Ketua Dewan Penasihat Golkar, ketika dimintai konfirmasi mengaku tidak ingat dengan peristiwa empat tahun lalu itu. ”Untuk apa cerita-cerita lama dijadikan konsumsi publik lagi?” ujarnya. Adapun Aburizal mengatakan Yudhoyono tak pernah meminta bantuannya menyokong Jusuf Kalla merebut kursi Ketua Umum Golkar.
Mungkin karena ”jasa” itulah, posisi Aburizal di kabinet hanya digeser walau kinerjanya sebagai Menteri Koordinator Perekonomian dianggap tak moncer. Pada perombakan pertama kabinet, tiga tahun lalu, ia hanya digeser ke Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Padahal menteri lain yang dinilai gagal, langsung dicopot.

l l l
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pemerintah tidak pernah mengistimewakan keluarga Bakrie. Tapi, menurut dia, ”Pemerintah memang berkewajiban menjaga kelangsungan hidup pengusaha nasional.” Ia mengakui sempat bertemu dengan Nirwan Bakrie buat membicarakan masalah suspensi saham Bumi. ”Apa salahnya saya bertemu Nirwan?” ujarnya. ”Saya tersinggung, pengusaha nasional ketemu Wapres Anda pertanyakan. Dia sah ketemu saya. Jangan terlalu curiga.”
Mengomentari permintaan kelompok Bakrie agar penjualan saham Bumi tetap ditutup, Jusuf Kalla mengatakan, ”Kalau Bakrie (minta) tolong diliatin supaya jangan jatuh, masak itu salah? Zaman dulu Astra dibantu, BII dibantu, Danamon dibantu. Semua konglomerat dibantu habis-habisan. Masak Bakrie hanya sedikit minta tolong satu-dua hari tidak boleh?”
Pada akhirnya, campur tangan petinggi Republik ini di lantai bursa menjadi tak ada artinya. Kekuasaan tak mampu menahan kekuatan pasar. Ketika kemudian dibuka pada 6 November, harga saham Bumi langsung terempas. Dari hari ke hari nilainya terus menukik, hingga kini.
Budi Setyarso, Yandhrie Arvian, Padjar Iswara, Gabriel Yoga
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/11/17/LU/mbm.20081117.LU128780.id.html


+++

Perniagaan Politik Bakrie

Eep Saefulloh Fatah

  • Anggota Komunitas ”Para Penagih Janji” Dalam rentang waktu Juni-Agustus 2008, dalam rangkaian seminar yang diadakan sejumlah institusi bisnis dan keuangan secara sambung-menyambung, saya diminta membuat prediksi hasil Pemilihan Umum 2009 dan implikasi-implikasi politiknya. Dan sebuah pertanyaan hampir selalu mengemuka, ”Seberapa besar peluang Aburizal Bakrie untuk bisa menjadi calon presiden atau wakil presiden?”
    Saya sempat menduga bahwa para penanya di sejumlah kota itu adalah pemain bursa saham yang sedang menaksir nasib saham PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) milik Bakrie. Mungkin, bagi mereka, suram-cemerlang nasib sang saham akan ikut ditentukan oleh masa depan politik Bakrie. Saham BUMI sendiri ternyata terguncang krisis keuangan global, terpelanting lebih cepat daripada datangnya Pemilu Presiden 2009.
    Tapi jangan-jangan di balik pertanyaan itu sesungguhnya tersembunyi kebingungan untuk memposisikan Bakrie, sang saudagar, dalam konteks perkembangan politik Indonesia mutakhir. Sebagai saudagar, ia dipandang sebagai ”pemenang”: berhasil membangun kembali dan memperbesar imperium bisnisnya setelah nyaris lebur tersapu krisis ekonomi 1997. Lalu ”pemenang” atau ”pecundang”-kah ia dalam arena politik?
    Ada baiknya kita bicara tentang ”Bakrie” bukan sebagai ”seorang saudagar”, melainkan sebagai potret dari ”institusi kesaudagaran” dalam centang-perenang satu dasawarsa demokratisasi sebagai zaman kesempatan.
    Demokratisasi membidani lahirnya para pengambil kesempatan. Dalam konteks ini, ”kemenangan ekonomi” Bakrie tumbuh di atas lahan politik yang subur. Demokratisasi Indonesia berbaik hati kepada siapa saja, termasuk para saudagar, untuk menjadi bagian dari—meminjam Joel Hellman—”para pemenang pertama” yang merebut kemenangan lalu ikut menentukan arah demokratisasi berikutnya.
    Proses demokratisasi melahirkan para aktor pengendali baru yang tumbuh bersama dan di dalam struktur yang mereka bentuk sendiri. Keterlibatan para saudagar dalam dunia politik adalah bagian dari proses ini, sekaligus membuktikan kesigapan mereka merespons keadaan.
    Selayaknya para tukang besi, banyak saudagar sadar benar bahwa besi hanya bisa dibentuk selagi panas. Maka, ketika Indonesia sedang panas-panasnya pada tahun-tahun awal reformasi, mereka pun sigap ikut membentuk sang besi panas itu. Walhasil, arus masuk kalangan saudagar ke dalam arena politik terjadi secara mengesankan. Sekadar contoh, menurut pendataan Indonesia Corruption Watch, 39,8 persen dari 550 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih dalam Pemilu 2004 ternyata berlatar belakang sebagai pengusaha.
    Keterlibatan Bakrie dalam pemerintahan, selain melanjutkan keterlibatan politiknya secara lebih terbatas dalam era sebelumnya, dapat dipahami sebagai bagian dari arus itu. Politik kemudian menjadi lahan subur pembesaran imperium bisnisnya antara lain karena demokrasi kita belum berhasil membangun tembok etika dan hukum yang memisahkan para pejabat publik dari dunia bisnis yang bisa membikinnya berperilaku antipublik.
    Demokratisasi Indonesia membolehkan hampir apa saja, termasuk membiarkan konflik kepentingan terjadi antara mandat pejabat publik untuk mengelola kebijakan publik dan hasrat sang pejabat untuk menangguk keuntungan bisnis-ekonomi dari kebijakan itu bagi diri serta kelompoknya. Padahal cerita demokratisasi di sejumlah tempat membuktikan betapa penting dan gentingnya tembok etika dan hukum semacam itu untuk memelihara prinsip keterwakilan, mandat, dan akuntabilitas jabatan-jabatan publik.
    Di Afrika Selatan, misalnya, sejak 1998 berlaku etika bagi anggota lembaga eksekutif, yang antara lain mengatur larangan bagi anggota kabinet, deputi menteri, dan anggota konsulat daerah atau provinsi untuk berpenghasilan dari jabatan atau pekerjaan lain. Etika ini juga melarang para pejabat itu menggunakan jabatan dan informasi yang dipercayakan kepadanya untuk keuntungan memperkaya diri.
    Di Brasil, sejak 2000 berlaku kode etik yang melarang pejabat pemerintah berinvestasi dalam aset yang nilainya bisa dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah, terutama yang berhubungan langsung dengan jabatan yang dipegangnya dalam pemerintahan.
    Pembatasan serupa tak hanya berkembang di negara-negara demokrasi baru semacam Afrika Selatan dan Brasil, tapi juga lazim diberlakukan di negara demokrasi lama ataupun negara nondemokrasi yang berusaha menegakkan tata kelola pemerintahan yang efektif. Di Inggris, sekadar misal, Aturan Kementerian yang dikeluarkan oleh Tony Blair pada Juli 2005 mengharuskan menteri keluar dari jabatan yang dipegangnya pada perusahaan publik atau swasta dan dari institusi apa pun yang menghasilkan gaji atau honor, kecuali jika perusahaan yang dipimpinnya adalah perusahaan keluarga. Tapi, menurut aturan ini, pengecualian terakhir ini pun tak berlaku jika dalam perjalanannya timbul konflik kepentingan.
    Di Singapura, sejak 1954 berlaku kode etik bahwa setiap menteri tak boleh terlibat secara formal atau menjadi penasihat perusahaan komersial, tidak boleh memegang jabatan, baik dibayar maupun tidak, dalam perusahaan publik atau swasta. Pengecualian diberikan jika sang menteri mendapat izin—yang harus diumumkan di surat kabar—dari perdana menteri dan untuk kepentingan negara. Kode etik ini juga mengatur menteri hanya boleh terlibat usaha di bidang kemanusiaan.
    Kita di Indonesia tak memandang penting aturan-aturan serupa itu. Sekalipun niat pengaturan ke arah sana sudah disemai bibit-bibitnya, seperti dalam Undang-Undang Kementerian Negara (2008), antara niat dan praktek masih jauh panggang dari api. Dalam prakteknya, aturan yang mengharamkan konflik kepentingan para pejabat publik tak pernah ditegakkan dengan seksama.
    Maka kemenangan ekonomi pejabat publik berlatar saudagar sesungguhnya mewartakan salah satu kelalaian demokrasi memfasilitasi terbangunnya tata kelola pemerintahan yang baik. Di satu sisi, demokrasi telah mengembangkan kebebasan, kompetisi, dan partisipasi secara luar biasa. Di sisi lain, upaya yang layak untuk menegakkan prinsip keterwakilan, akuntabilitas, dan mandat sungguh masih kurang.
    Dalam konteks itulah, cerita tentang ”kemenangan ekonomi” Bakrie bisa kita letakkan. Namun kemenangan ekonomi ini berbatas amat tipis dengan ”kekalahan politik”-nya. Fakta ini tergarisbawahi tegas di Sidoarjo.
    Luapan lumpur Lapindo menjadi monumen ”kemenangan ekonomi” Bakrie. Pemerintah menetapkan luapan lumpur Sidoarjo sebagai bencana alam. Terbebaslah Lapindo dari sebagian terbesar kewajiban finansial untuk mempertanggungjawabkan kasus ini. Negara dengan murah hati mengambil alih kewajiban itu.
    Pada saat yang sama, kelompok Bakrie, yang membebaskan lahan yang terkena genangan, berpotensi memiliki aset tanah mahaluas dan bernilai ekonomis tinggi beberapa dekade ke depan. Maka korban Lapindo sudah jatuh tertimpa tangga, sedangkan kelompok usaha ini sudah bangun disediakan kursi pula.
    Tapi buatlah survei atau sensus. Tanyalah masyarakat Sidoarjo, siapa kandidat presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Banyak yang berani bertaruh, nama Aburizal Bakrie tak akan ada di dalamnya.
    Itulah potret perniagaan politik Bakrie. Di satu sisi, kemenangan ekonomi Bakrie membuatnya menjadi salah satu tokoh politik dengan sokongan finansial paling meyakinkan. Namun, di sisi lain, kemenangan ekonomi itu justru menjauhkannya dari sokongan politik (partai-partai) serta dukungan publik.
    Sebagai sebuah ”transaksi” (transaction), perniagaan politik Bakrie—barter di antara kemenangan ekonomi dan kekalahan politik—itu boleh jadi layak belaka. Tapi, sebagai sebuah ”pertukaran” (exchange), menurut saya, ia sungguh tak layak.
    Maka jawaban generik saya untuk pertanyaan di awal kolom ini: ”Dalam kaitan dengan Pemilu Presiden 2009, Bakrie membantu kita membuktikan bahwa punya sokongan finansial besar saja sangat boleh jadi tak cukup untuk menjadikan seseorang sebagai calon presiden atau wakil presiden.”
    Kabar baik atau burukkah itu? Selanjutnya terserah Anda.

    http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/11/17/LU/mbm.20081117.LU128784.id.html

    +++


    Drama Saham Sejuta Umat

    Bursa Efek Indonesia punya agenda penting Senin pekan lalu. Rapat yang dihadiri anggota Bursa mesti memutuskan apakah saham Bumi Resources Tbk. tetap diperdagangkan atau distop. Sejak dibuka pada Kamis pekan sebelumnya, harga saham perusahaan milik Bakrie ini terus ambrol. Hanya peraturan Bursa soal auto rejection di angka 10 persen yang membuat saham Bumi tidak turun lebih dalam.
    Suasana di ruang pertemuan di gedung Bursa Efek Indonesia lantai satu itu memanas ketika tiba saat harus mengambil keputusan. Sumber Tempo yang hadir di sana mengungkapkan keputusan akhirnya diambil melalui pemungutan suara. Dari 77 anggota Bursa yang hadir, 48 perusahaan efek meminta perdagangan saham Bumi dihentikan, 7 lainnya mengusulkan sebaliknya, dan 22 lagi abstain.
    Tapi rekomendasi para anggota Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia itu mentah di tangan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Otoritas pasar modal itu menolak menghentikan kembali perdagangan saham Bumi. Bapepam memilih menerima masukan Asosiasi Perusahaan Pengelola Reksa Dana, yang pada hari yang sama mengusulkan agar saham Bumi tetap diperdagangkan.
    Ketua Bapepam Fuad Rahmany mengatakan suspensi bisa mengakibatkan tidak adanya acuan harga reksa dana. Buntutnya, spekulasi akan merebak dan hal itu bisa memicu redemption (pencairan besar-besaran). Dana kelolaan perusahaan-perusahaan manajemen investasi senilai Rp 90 triliun itu bisa menguap. ”Itu jauh lebih besar dibanding potensi kerugian broker yang tersangkut saham Bumi,” kata Fuad dalam jumpa pers di Jakarta pekan lalu.
    Penolakan itu merupakan klimaks dari perjalanan panjang suspensi Bumi. Bersama lima saham Grup Bakrie lainnya, perdagangan saham Bumi distop pada 7 Oktober lalu karena rontok 32,03 persen menjadi Rp 2.175. Pemicunya adalah rumor soal Grup Bakrie kesulitan membayar utang berjaminan saham (repurchasing agreement/Repo) senilai US$ 1,12 miliar (sekitar Rp 11 triliun).
    Tak sampai sepuluh hari, Bursa Efek kembali memperdagangkan saham Bakrie Telecom, Bakrie Sumatera Plantations, dan Bakrieland. Tapi Bursa tetap menahan saham Bumi, Bakrie & Brothers, dan Energi Mega Persada. Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Erry Firmansyah berdalih suspensi itu untuk melindungi investor, bukan Grup Bakrie.
    Menurut dia, akan ada kerugian besar jika perdagangan dilanjutkan di tengah ketidakpastian penjualan aset Grup Bakrie. ”Bumi saham sejuta umat,” ujarnya. Hingga akhir Juni 2008, dari 19,4 miliar lembar, 15,7 miliar lembar saham Bumi dikuasai publik (80 persen). Saking banyaknya saham beredar, saham Bumi pernah menjadi saham berkapitalisasi terbesar di Bursa.
    Itu sebabnya, Bursa seperti menghadapi dilema. Apalagi mayoritas broker juga meminta otoritas Bursa menghentikan saham perusahaan yang dulu bernama Bumi Modern ini. ”Dari enam kali pertemuan, mayoritas broker minta Bumi disuspensi sampai ada kejelasan penjualannya ke investor baru,” kata sumber Tempo di Jakarta pekan lalu.
    Alasannya, banyak investor melakukan transaksi margin. Dalam transaksi margin, jika harga saham Bumi terus melorot, investor akan rugi. ”Broker-broker juga memegang Repo saham Bumi,” kata sumber itu. Jika harga saham Bumi anjlok, pemegang Repo terpaksa menjual sahamnya dan bisa membuat broker limbung.
    Sebaliknya, otoritas Bursa juga gerah jika terlalu lama menghentikan perdagangan saham Bumi. Biasanya penghentian perdagangan saham hanya beberapa jam atau beberapa hari, tapi saham Bumi sudah sebulan. Apalagi banyak investor yang protes. Akhirnya Bursa memutuskan akan membuka perdagangan pada 6 November, terutama karena Bakrie sudah meneken perjanjian jual-beli bersyarat 35 persen saham Bumi dengan Northstar Pacific pada 31 Oktober.
    Tapi rencana itu tertunda sehari gara-gara pemerintah ”mengintervensi” perdagangan kembali saham tersebut. Protes pun kembali berdatangan. ”Itu sangat disesalkan. Inkonsisten,” ujar Direktur PT Finan Corpindo Nusa Edwin Sinaga kepada Tempo di Jakarta. Ia mengingatkan prinsip bursa efek itu transparan, teratur, dan efisien.
    Fuad meminta maaf atas insiden tersebut. Bapepam juga tegar melanjutkan perdagangan saham Bumi, kendati harganya terus meluncur menuju Rp 1.129 pada perdagangan Jumat pekan lalu dan para broker meminta suspensi lagi. Dia menegaskan, tak ada alasan untuk itu, karena modal kerja broker toh tidak melorot sekalipun harga saham Bumi turun. Selain itu, hanya lima broker yang tersangkut Repo Bumi. ”Tak sebesar yang diberitakan.”
    Padjar Iswara, R.R. Ariyani, Amandra Mustika Megarani

    http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/11/17/LU/mbm.20081117.LU128781.id.html
    +++

    Ganjalan Bernama Lumpur Lapindo

    Minarak Lapindo Jaya meminta pemerintah menangani sementara lumpur karena kesulitan likuiditas. Banyak pembayaran tertunggak.
    Surat itu ditujukan kepada Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Djoko Kirmanto pada 23 Oktober lalu. Dalam surat yang ditandatangani Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Bambang Mahargyanto itu, anak perusahaan Grup Bakrie ini meminta Badan Penanggulangan untuk sementara waktu menangani lumpur Lapindo. Tak hanya soal dampak sosialnya, tapi juga pengaliran lumpurnya.
    Minarak punya alasan, krisis global telah berdampak langsung pada induk perusahaan. Pada akhirnya, soal itu mengakibatkan Minarak kesulitan likuiditas untuk membayar ganti rugi. Singkat kata, Minarak meminta pemerintah menalangi dulu biaya penanggulangan lumpur Lapindo. Tapi, pada 3 November lalu, Minarak mengirim surat pencabutan atas surat terdahulu. ”Dana talangan akan memakan proses cukup lama sehingga semakin memperlambat pembayaran,” ujar Direktur Operasional Bambang Prasetyo Widodo.
    Kendati sudah ditarik, persoalan ini sampai juga ke Istana. Senin pekan lalu, Presiden memanggil Djoko. Menurut Djoko, Presiden tetap meminta Lapindo menanggulangi dampak lumpur. Pembayaran ganti rugi tetap harus berjalan sesuai dengan jadwal. Menteri Pekerjaan Umum ini mengatakan Minarak masih memiliki cukup dana ganti rugi korban lumpur. ”Penanggulangan lumpurnya juga masih kerja terus meski agak menurun,” ujar Djoko kepada Rieka Rahadiana dari Tempo.
    Deputi Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan, yang juga Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, menambahkan, permintaan dana talangan itu tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2008. Peraturan itu menyebutkan Lapindo bertanggung jawab mengganti tanah dan bangunan yang terkena lumpur. Biaya penanggulangan semburan lumpur, termasuk pengalirannya ke Sungai Porong, juga dibebankan kepada Lapindo.
    Memang, kata Bachtiar, pemerintah bisa memahami kesulitan keuangan yang dihadapi Lapindo. Krisis global sudah tentu mempengaruhi kinerja banyak perusahaan, termasuk Lapindo. Itu sebabnya, pemerintah memberikan tenggang waktu dua minggu sejak surat permohonan itu dilayangkan. ”Mereka harus konsolidasi keuangan lebih dulu,” katanya kepada Tempo.
    Sayangnya, kenyataan di lapangan memang masih jauh dari yang diminta pemerintah. Di Jakarta, 150-an warga Renokenongo, Sidoarjo, berdemo di Jalan Diponegoro menuntut kejelasan ganti rugi lumpur Lapindo. Mereka menginap di gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, di kawasan Salemba, Jakarta Pusat. ”Kami akan tetap di sini sampai ada jawaban dari pemerintah,” kata Hari Suwandi, 44 tahun, sambil menikmati asap rokok di pelataran gedung.
    Kantor Yayasan LBH itu kini tak ubahnya sebuah hotel. Di aula gedung yang baru saja selesai dibangun itu, mereka setiap malam melepas lelah. Tidur selonjoran di atas lembaran-lembaran tikar serta karpet. Beberapa lainnya asyik menikmati pijatan sambil bertelanjang dada. Mereka harus mengendurkan urat setelah seharian berdemonstrasi di sekitar Salemba, Jakarta, Jumat sore pekan lalu.
    Di Sidoarjo, puluhan warga memilih tidur dalam tenda di atas tanggul Renokenongo sepanjang pekan kemarin. Warga korban lumpur yang menginap di Pasar Baru Renokenongo juga ramai-ramai menanam pohon pisang di atas tanggul. Mereka berniat menghalangi pembuatan tanggul sebelum mendapat ganti rugi.
    Pitanto, 46 tahun, warga Desa Renokenongo, mengatakan sudah menandatangani surat penerimaan ganti rugi dua bulan lalu. Lapindo berjanji akan membayar dua minggu setelah dia tanda tangan. Namun uang muka 20 persen tahap pertama itu ternyata tidak kunjung diterimanya hingga kini. ”Lapindo beralasan mereka terkena dampak krisis global, walau kami ndak tahu artinya,” kata Pitanto.
    Situasi itu juga berbeda dengan yang dinyatakan para petinggi Minarak. Vice President Minarak Andi Darusalam beberapa waktu lalu mengatakan Lapindo mempersiapkan dana Rp 3,2 triliun untuk ganti rugi. Adapun biaya penanggulangan serta penutupan semburan mencapai Rp 3,04 triliun. Pembayaran ganti rugi akan dilunasi secara bertahap hingga November 2009. Dalam rekapitulasi realisasi 11 November lalu, Minarak telah mengeluarkan dana sekitar Rp 1,8 triliun untuk ganti rugi.
    Bambang Prasetyo juga mengatakan Lapindo tetap pada komitmennya untuk membayar ganti rugi hingga tuntas. Perusahaan ini sudah meneruskan transaksi lagi pada 10 November lalu. Menurut dia, Lapindo sudah menemukan solusi sehingga tetap bisa membayar ganti rugi kepada masyarakat. ”Solusinya antara lain dengan mengangsur pembayaran,” kata Bambang.
    Hingga 11 November lalu, Lapindo sudah melunasi ganti rugi 20 persen tahap pertama yang jumlahnya 12.061 berkas senilai Rp 656 miliar. Tahap kedua baru 733 berkas senilai Rp 56 miliar. Lapindo juga sudah membayar sisa 80 persen untuk 4.249 berkas senilai Rp 1,04 triliun. Bambang mengatakan, masih ada tanggungan ratusan berkas susulan yang belum terbayar.
    Dalam peraturan presiden, Lapindo ditetapkan harus membayar ganti rugi dengan membeli tanah dan bangunan secara bertahap. Tahap pertama dibayarkan 20 persen dan sisanya, yang 80 persen, dibayar paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah habis selama dua tahun. Setiap keluarga dijatah Rp 5 juta untuk menyewa rumah dan Rp 500 ribu untuk pindahan. Di luar itu, masih ada Rp 300 ribu untuk jatah hidup selama tiga bulan untuk setiap orang.
    Repotnya, banyak keluarga yang sudah habis masa kontrak rumahnya, tapi uang ganti ruginya belum dibayar seluruhnya. Sapiri, misalnya. Warga Kedungbendo ini telah habis masa kontrak rumahnya September lalu. Artinya, uang ganti rugi 80 persen seharusnya dibayar pada Agustus lalu. ”Tapi sampai sekarang belum. Kekurangan untuk yang 20 persen saja belum dibayar,” katanya.
    Ketua Paguyuban Renokenongo Sunarto mengatakan, masih ada 465 berkas senilai Rp 37 miliar yang belum dibayar Lapindo untuk 20 persen tahap pertama. Mereka pun menduduki tanggul Renokenongo dan meminta kejelasan pembayaran. Adapun di Jakarta, Hari dan warga lainnya akan menunggu agar bisa bertemu dengan Presiden yang sedang berkunjung ke Amerika sampai akhir November ini.
    Yandi M.R., Dini Mawuntyas (Sidoarjo)

    http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/11/17/LU/mbm.20081117.LU128783.id.html

    +++



  • Wednesday, November 12, 2008

    KOMPAS Cetak : Kasus Romli Tegaskan Potret Birokrasi

    Payah...pemahaman pendekar-pendekar hukum pun terhadap deep-rootednya KKN di negara kita memang masih dangkal dan payah. Harian Kompas menyiratkan buktinya. Mereka belum tahu definis Korupsi di Indonesia.
    Mau tahu?
    Korupsi di Indonesi saya definisikan adalah "Sebagai bagian dari perbuatan tercela yang memanfaatka kekuasaan atau jabatan untuk memperkaya diri sendiri, kelompok maupun golongan, yang dikerjakan oleh orang lain!"

    KOMPAS Cetak : Kasus Romli Tegaskan Potret Birokrasi

    Korupsi Sisminbakum
    Kasus Romli Tegaskan Potret Birokrasi
    Rabu, 12 November 2008 | 00:29 WIB

    Jakarta, Kompas - Dugaan keterlibatan pakar hukum pidana dan aktivis antikorupsi, Romli Atmasasmita, dalam dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum atau Sisminbakum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia kian menegaskan potret birokrasi Indonesia.

    ”Inilah wajah birokrasi kita. Siapa pun orangnya kalau masuk birokrasi pasti terimbas korupsi. Mau profesor atau aktivis antikorupsi, tetapi kalau memasuki sistem pengelolaan birokrasi sangat mudah berperilaku korupsi,” ujar Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zaenal Mochtar Arifin, Selasa (11/11).

    Menurut dia, peluang melakukan korupsi sangat terbuka di birokrasi. Namun, ia juga menilai, saat ini adalah peluang bagi Romli untuk bicara blakblakan. ”Ini peluang Romli untuk buka blakblakan, siapa saja yang terlibat dan ke mana aliran uangnya,” kata Zaenal.

    Soal apakah penahanan Romli merupakan serangan balik terhadap gerakan antikorupsi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), Zaenal menuturkan tidak ingin terjebak pada perdebatan itu. Siapa pun yang terindikasi korupsi mesti ditindak sesuai prosedur.

    Penerima Anugerah Bung Hatta Anticorruption Award, Busyro Muqoddas, meminta semua pihak memegang asas praduga tak bersalah. ”Kita tunggu di pengadilan. Kejagung harus membuktikan sangkaan itu di sana,” ujarnya. Busyro pun mengakui kesulitan menjawab jika penahanan Romli dikaitkan dengan serangan balik terhadap gerakan antikorupsi. Kasus itu menegaskan, korupsi terjadi di semua sektor dan lini di negeri ini.

    Sebaliknya, anggota Komisi III DPR, Wila Chandrawila, mengapresiasi penanganan kasus dugaan korupsi Sisminbakum oleh Kejagung. Namun, dia juga mempertanyakan mengapa Kejagung baru menyidik kasus itu sekarang. ”Mudah-mudahan tidak ada udang di balik batu,” ujarnya.

    Wila juga mengharapkan Kejagung tidak berhenti sampai di sini, tetapi terus membongkar kasus itu. ”Kejaksaan harus berani membabat eksekutif. Korupsi terbesar terjadi di situ,” katanya.

    Minta penangguhan Romli

    Dari Bandung, Rektor Universitas Padjadjaran Ganjar Kurnia, Selasa, mengatakan sudah mengajukan penangguhan penahanan bagi Romli ke Kejagung. Ia khawatir penahanan Romli, yang juga guru besar hukum pidana di Unpad, dapat mengganggu proses belajar-mengajar di kampus.

    Seperti diberitakan, Romli ditahan Kejagung karena diduga terlibat korupsi Sisminbakum. Kasus itu terjadi saat Romli menjadi Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Dephuk dan HAM. Kejagung juga menahan Dirjen AHU Syamsuddin Manan Sinaga dan mantan Dirjen AHU lainnya, Zulkarnaen Yunus (Kompas, 11/11).

    Romli, melalui penasihat hukumnya, menilai, tak ada alasan bagi Kejagung menahan dirinya. Ia tak akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau melakukan perbuatannya kembali. (ana/har/jon/son/sut)

    Saturday, November 08, 2008

    MUNGKINKAH ADA PEMIMPIN KITA DENGAN KEMAMPUAN ORASI SEPERTI INI?

    Published: November 5, 2008: The New York Times

    SENATOR BARACK OBAMA: (Cheers, applause.) Hello, Chicago. (Cheers, applause.)
    If there is anyone out there who still doubts that America is a place where all things are possible, who still wonders if the dream of our Founders is alive in our time, who still questions the power of our democracy, tonight is your answer. (Cheers, applause.)

    It's the answer told by lines that stretched around schools and churches in numbers this nation has never seen, by people who waited three hours and four hours, many for the first time in their lives, because they believed that this time must be different, that their voices could be that difference.
    It's the answer spoken by young and old, rich and poor, Democrat and Republican, black, white, Hispanic, Asian, Native American, gay, straight, disabled and not disabled -- (cheers) -- Americans who sent a message to the world that we have never been just a collection of individuals or a collection of red states and blue states; we are and always will be the United States of America. (Cheers, applause.)

    It's the answer that -- that led those who've been told for so long by so many to be cynical and fearful and doubtful about what we can achieve to put their hands on the arc of history and bend it once more toward the hope of a better day. It's been a long time coming, but tonight, because of what we did on this day, in this election, at this defining moment, change has come to America. (Cheers, applause.)

    A little bit earlier this evening, I received an extraordinarily gracious call from Senator McCain. (Cheers, applause.) Senator McCain fought long and hard in this campaign, and he's fought even longer and harder for the country that he loves. He has endured sacrifices for America that most of us cannot begin to imagine. We are better off for the service rendered by this brave and selfless leader. (Applause.) I congratulate him, I congratulate Governor Palin for all they've achieved, and I look forward to working with them to renew this nation's promise in the months ahead. (Cheers, applause.)

    I want to thank my partner in this journey, a man who campaigned from his heart and spoke for the men and women he grew up with on the streets of Scranton, and rode with on the train home to Delaware, the vice president-elect of the United States, Joe Biden. (Cheers, applause.)
    And I would not be standing here tonight without the unyielding support of my best friend for the last 16 years, the rock of our family, the love of my life, the nation's next first lady, Michelle Obama. (Cheers, applause.)

    Sasha and Malia, I love you both more than you can imagine, and you have earned the new puppy that's coming with us to the White House. (Cheers, applause.)
    And while she's no longer with us, I know my grandmother is watching, along with the family that made me who I am. I miss them tonight, and know that my debt to them is beyond measure.
    To my sister Maya, my sister Auma, all my other brothers and sisters, thank you so much for all the support that you've given to me. I am grateful to them. (Cheers, applause.)

    And to my campaign manager, David Plouffe -- (cheers, applause) -- the unsung hero of this campaign who built the best -- (cheers) -- the best political campaign I think in the history of the United States of America -- (cheers, applause) -- to my chief strategist, David Axelrod -- (cheers, applause) -- who has been a partner with me every step of the way, to the best campaign team ever assembled in the history of politics -- (cheers) -- you made this happen, and I am forever grateful for what you've sacrificed to get it done. (Cheers, applause.)

    But above all, I will never forget who this victory truly belongs to. It belongs to you. (Cheers, applause.) It belongs to you. (Cheers.)
    I was never the likeliest candidate for this office. We didn't start with much money or many endorsements. Our campaign was not hatched in the halls of Washington; it began in the backyards of Des Moines and the living rooms of Concord and the front porches of Charleston. It was built by working men and women who dug into what little savings they had to give $5 and $10 and $20 to the cause. (Cheers, applause.) It grew strength from the young people who rejected the myth of their generation's apathy -- (cheers) -- who left their homes and their families for jobs that offered little pay and less sleep. It drew strength from the not-so-young people who braved the bitter cold and scorching heat to knock on the doors of perfect strangers, and from the millions of Americans who volunteered and organized, and proved that more than two centuries later a government of the people, by the people and for the people has not perished from the Earth. This is your victory. (Cheers, applause.)

    Now, I know you didn't do this just to win an election, and I know you didn't do it for me. You did it because you understand the enormity of the task that lies ahead. For even as we celebrate tonight, we know the challenges that tomorrow will bring are the greatest of our lifetime: two wars, a planet in peril, the worst financial crisis in a century. Even as we stand here tonight, we know there are brave Americans waking up in the deserts of Iraq and the mountains of Afghanistan to risk their lives for us. There are mothers and fathers who will lie awake after their children fall asleep and wonder how they'll make the mortgage or pay their doctors' bills or save enough for their child's college education.
    There's new energy to harness, new jobs to be created, new schools to build, and threats to meet, alliances to repair.

    The road ahead will be long. Our climb will be steep. We may not get there in one year or even in one term, but America, I have never been more hopeful than I am tonight that we will get there. I promise you: We as a people will get there. (Cheers, applause.)
    AUDIENCE: Yes, we can! Yes, we can! Yes, we can! Yes, we can! Yes, we can!
    MR. OBAMA: There will be setbacks and false starts. There are many who won't agree with every decision or policy I make as president, and we know the government can't solve every problem. But I will always be honest with you about the challenges we face. I will listen to you, especially when we disagree. And above all, I will ask you to join in the work of remaking this nation the only way it's been done in America for 221 years -- block by block, brick by brick, calloused hand by calloused hand.
    What began 21 months ago in the depths of winter cannot end on this autumn night. This victory alone is not the change we seek; it is only the chance for us to make that change.
    And that cannot happen if we go back to the way things were. It can't happen without you, without a new spirit of service, a new spirit of sacrifice. So let us summon a new spirit of patriotism, of responsibility where each of us resolves to pitch in and work harder and look after not only ourselves, but each other.
    Let us remember that if this financial crisis taught us anything, it's that we cannot have a thriving Wall Street while Main Street suffers. In this country, we rise or fall as one nation; as one people.
    Let's resist the temptation to fall back on the same partisanship and pettiness and immaturity that has poisoned our politics for so long. Let's remember that it was a man from this state who first carried the banner of the Republican Party to the White House -- a party founded on the values of self-reliance and individual liberty and national unity. Those are values we all share. And while the Democratic Party has won a great victory tonight, we do so with a measure of humility and determination to heal the divides that have held back our progress. (Cheers, applause.)

    As Lincoln said to a nation far more divided than ours, "We are not enemies, but friends -- though passion may have strained it must not break our bonds of affection." And to those Americans whose support I have yet to earn, I may not have won your vote tonight, but I hear your voices, I need your help, and I will be your president too. (Cheers, applause.)
    And to all those watching tonight from beyond our shores, from parliaments and palaces to those who are huddled around radios in the forgotten corners of the world, our stories are singular, but our destiny is shared, and a new dawn of American leadership is at hand. (Cheers, applause.) To those -- to those who would tear the world down: we will defeat you. (Cheers, applause.) To those who seek peace and security: we support you. (Cheers, applause.) And to all those who have wondered if America's beacon still burns as bright: tonight we proved once more that the true strength of our nation comes not from the might of our arms or the scale of our wealth, but from the enduring power of our ideals -- democracy, liberty, opportunity and unyielding hope. (Cheers, applause.)

    That's the true genius of America, that America can change. Our union can be perfected. And what we have already achieved gives us hope for what we can and must achieve tomorrow.
    This election had many firsts and many stories that will be told for generations. But one that's on my mind tonight's about a woman who cast her ballot in Atlanta. She is a lot like the millions of others who stood in line to make their voice heard in this election, except for one thing: Ann Nixon Cooper is 106 years old. (Cheers, applause.)

    She was born just a generation past slavery; a time when there were no cars on the road or planes in the sky; when someone like her couldn't vote for two reasons, because she was a woman and because of the color of her skin. And tonight, I think about all that she's seen throughout her century in America: the heartache and the hope, the struggle and the progress, the times we were told that we can't, and the people who pressed on with that American creed, yes we can.

    At a time when women's voices were silenced and their hopes dismissed, she lived to see them stand up and speak out and reach for the ballot. Yes we can.
    When there was despair in the Dust Bowl and depression across the land, she saw a nation conquer fear itself with a New Deal, new jobs, a new sense of common purpose. Yes we can.
    AUDIENCE: Yes we can!

    MR. OBAMA: When the bombs fell on our harbor and tyranny threatened the world, she was there to witness a generation rise to greatness and a democracy was saved. Yes we can.
    AUDIENCE: Yes we can!
    MR. OBAMA: She was there for the buses in Montgomery, the hoses in Birmingham, a bridge in Selma, and a preacher from Atlanta who told a people that "We shall overcome." Yes we can.
    AUDIENCE: Yes we can!
    MR. OBAMA: A man touched down on the Moon, a wall came down in Berlin, a world was connected by our own science and imagination. And this year, in this election, she touched her finger to a screen and cast her vote, because after 106 years in America, through the best of times and the darkest of hours, she knows how America can change.
    Yes, we can.
    AUDIENCE: Yes, we can.
    MR. OBAMA: America, we have come so far. We have seen so much. But there's so much more to do. So tonight let us ask ourselves, if our children should live to see the next century, if my daughters should be so lucky to live as long as Ann Nixon Cooper, what change will they see? What progress will we have made?
    This is our chance to answer that call. This is our moment. This is our time -- to put our people back to work and open doors of opportunity for our kids; to restore prosperity and promote the cause of peace; to reclaim the American dream and reaffirm that fundamental truth that out of many, we are one; that while we breathe, we hope; and where we are met with cynicism and doubt and those who tell us that we can't, we will respond with that timeless creed that sums up the spirit of a people: Yes, we can.
    AUDIENCE: Yes, we can.

    MR. OBAMA: Thank you. God bless you. And may God bless the United States of America. (Cheers, applause.)

    Wednesday, November 05, 2008

    KRISIS KEPERCAYAAN

    (Sebuah cerita yang tercecer di Batam.)

    Mencari lokasi yang tidak membutuhkan mobil, saya memilih pindah hotel ke sebuah hotel berbintang empat di kawasan pusat perbelanjaan, sekitar Nagoya. Check in hotel dengan santai setelah memastikan harganya masuk dalam budget saya. Juga saya menambah satu lagi kriteria hotel: ada fasilitas Internet di kamar dan biayanya masuk dalam harga kamar. Maklum sekarang PNS kalau berdinas ke daerah dibayar dengan "at cost". Tidak bisa lagi, atau nyaris sudah sulit untuk mengambil sedikit uang saku dari selisih harga yang harus dibayar dengan "plafond" dana yang disediakan. Ada baik, ada pula buruknya. Tentu.

    Seperti biasa setelah check in, ketika mau keluar kamar untuk jalan-jalan, saya sempat memeriksa kulkas. Ternyata terkunci. Ketika saya tanyakan, ternyata kemaren ada rombongan kata resepsionis. "Nanti aja!" tukas saya ketika ditawarkan untuk mengirim orang membuka kunci kulkas. Saya memang sudah ditunggu teman di lobi.

    Besoknya ketika saya membeli beberpa pak coklat untuk anak2, saya meminta agar kulkas tersebut dibuka, biar coklat bisa disimpan. Ketika petugasnya datang dan saya tanyakan ulang mengapa pakai dikunci segala, ia menegaskan jawaban temannya kemaren. "Ada rombongan pak dari XX, dan panitia tidak mau bertanggung jawab jika ada pegawai yang menginap dan mengambil isi minibar" jawabnya. Dengan cekatan ia mencari kunci sesuai dengan nomor kamar dan membuka pintu kayu lemari kulkas. Di atas kulkas itu tertumpuk lagi segulung kain terbuat dari kain satin mengkilap yang indah. Warnanya puti bersih. "Kenapa diganjal kulkasnya pakai kain itu?" tanya saya penasaran. "Bukan diganjal pak, tapi ini kimono!" dengan tenang ia menjelaskan. Saya pun terperangah. "Akh...kimono bagus kan kok disimpan disana?". Ia tak menjelaskan lagi dan segera menggantung kimono itu di lemari baju.

    Sungguh, inilah fakta tentang krisis kepercayaan masyarakat terhadap instansi XX tadi yang sebenarnya menjadi gudang pendekar hukum di negeri ini yang bertugas membela rasa keadilan di masyarakat. Gara-gara citra instansi XX tersebut, saya tidak menggunakan kimono yang nyaman untuk tidur di hotel tersebut. Kemaren dan hari ini, karena takut sudah tidak bersih dan berkuman karena disimpan di lemari minibar yang terkunci.

    Bagaimana dengan kantor anda? mudah-mudahan tidak seburuk itu dan tidak membuat hotel menyimpan propertinya dengan traumatis seperti itu. Atau hotel harusnya punya aturan yang lebih baik?
    Wallahualam.

    Dari sebuah hotel di daerah Nagoya, Batam, Kepri.

    Tuesday, November 04, 2008

    Syech Puji, Seto, dan Kita

    Entah bagaimana harus menyikapi terbukanya berita telah dinikahinya seorang gadis cilik berumur 12 tahun oleh seorang Syech. Syech Puji menikahi Ulfa di Kabupaten Semarang. LAlu menjadikan isteri mudanya ini (maksudnya berusia muda) sebagai General Manager sebuah perusahaannya.

    Tersebarnya berita pernikahan dua anak manusia berlawanan jenis ini sebetulnya adalah hal yang biasa saja. Namun menjadi tidak biasa ketika berita itu tersebar dengan cepat di media cetak dan elektronik yang menggarap isu umur si penganten wanita. Berbagai pro dan kontra (lebih banyak kontra menurut pengamatan saya) terjadi, diulang-ulang, di dramatisir, dan mungkin juga bisa dilebih-lebihkan ke berbagai urusan lain.

    Berkembangnya isu ini telah membawa Seto Mulyadi, seorang Ketua Komnas ANak, untuk IKUT CAMPUR dalam persoalan ini. Seto ikut campur sebagai Ketua organisasi yang merasa berkewajiban pula "membereskan" permasalahan ini. Tapi apa mungkin dan apanya yang harus ia "bereskan", dan bagaimana membereskannya, jelas bukan persoalan yang gampang.

    Yang kita tahu, menurut pemberitaan, kemudian Syech Puji berjanji akan mengembalikan saja Ulfa ke orang tuanya. Hah? SAmpai disini tentu kita terperangah. Se simple itukah kita menyelesaikan masalah yang menyangkut harga diri, perasaan, dan jiwa manusia? Semudah itukah caranya. APakah SAng ANak itu bisa dianggap sebagai komoditi yang karena ditolak masyarakat bisa dikembalikan begitu mudah ke orang tuanya.

    SAya menjadi semakin bertanya-tanya. Bukankah kasus seperti ini sangat banyak terjadi di tanah air. Banyak, namun karena budaya lokal tidak mempermasalahkannya hal tersebut tidak menjadi pemberitaan yang gencar. Seiring berjalnnya waktu, sang anak yang memang sekarang usia 12 tahun bisa saja sudah mendapat haid pertamanya, menjadi peristiwa yang biasa. Paling tidak untuk kelompok masyarakat tertentu di negara kita.

    Menjadi pertanyaan, efektifkah KOmnas ANak melibatkan diri dalam kasus seperti ini? Apakah tidak memperburuk masalah? Jika bermanfaat, maka manfaat seperti apakah yang akan diperoeh Sang Syech, Ulfa dan masyarakat banyak?

    Waktu akan berbicara dan membuktikannya. Bagi saya, satu yang pasti. JIka keterlibatan kita dalam suatu persoalan justru diperkirakan akan memperkeruh masalah, maka pepatah bijak menganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengawas saja terlebih dahulu. SUngguh tak terbayangkan sakitnya hati orang tua Ulfa atau bagi Ulfa sendiri jika dikembalikan keorang tua dalam kondisi sudah tidak perawan dan berbagai permasalahan dan trauma pemberitaan yang tidak mudah dihadapi mereka.

    Terkadang kita memang harus bertanya lagi ke diri sendiri..."Untuk apa kudisini?"...ah itu kan sepenggal lirik lagu dari kelompok NAIF. Tapi memang terkadang kita naif.

    Friday, October 31, 2008

    detik Finance: Barometer Bisnis Anda | PGN Raih Laba Rp 2 Triliun

    Mungkin saatnya PGN membuat anak perusahaan yang bertugas untuk melayani masyarakat miskin atau tidak mampu untuk memenuhi pasokan gasnys. Bisa saja mekanisme PSO atau CSR.

    Edd

    detik Finance: Barometer Bisnis Anda | PGN Raih Laba Rp 2 Triliun

    Monday, October 27, 2008

    Dinilai Progresif, Menpan Dianugerahi Doktor HC Undip Semarang

    Terlepas dari setuju atau tidak, pro atau kontra, bagi saya pemberian gelar Doktor atau Profesor kepada para pejabat, terutama menteri yang sedang menjabat, rasanya seperti menonton ludruk yang tidak lucu. Mengingatkan saya akan beberapa institusi di zaman orba yang mempunyai kekuatan politik maupun birokrasi, dengan tenangnya bisa menjelma menjadi institusi pendidikan yang mungkin paling canggih di dunia. Betapa tidak, saking kuatnya pengaruh institusi ini, maka seorang pejabat yang masuk hanya bergelar S-1, maka seketika setelah selesai menjabat di sana bisa melenggang kangkung menyandang S-3, bahkan juga tidak kurang diberikan gelar Guru Besar.

    Tidak mengerti saya, institusinya yang memang sebenarnya hebat atau perguruan tingginya yang bermental suap dan tolol. Kalau untuk pak Taufik, saya lebih baik no comment!

    Bacaan terkait: Reformasi (Birokrasi) itu Mudah

    ********* 

    detikNews : situs warta era digital | Dinilai Progresif, Menpan Dianugerahi Doktor HC Undip Semarang

    Dinilai Progresif, Menpan Dianugerahi Doktor HC Undip Semarang

    Triono Wahyu Sudibyo - detikNews




    Courtesy Detik.com (foto: Dikhy Sasra/detikcom)

    Semarang - Menpan Taufiq Effendi dinilai sebagai menteri yang progresif, inovatif, dan kreatif. Univeristas Diponegoro (Undip) pun menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa.

    Penganugerahan digelar di Gedung Prof Sudharto Undip Tembalang, Senin (27/10/2008). Selain civitas akademika, sejumlah pejabat setingkat dirjen dan pejabat Jawa Tengah hadir dalam acara tersebut.

    Guru Besar Undip, Satjipto Rahardjo yang didaulat membacakan sambutan tim promotor mengatakan, penganugerahan itu tidak dilakukan hanya karena Taufiq seorang menteri, tapi karena gagasan dan kapasitasnya.

    "Kalau toh itu dikaitkan, berarti jabatan menteri telah tuan (Taufiq Effendi) gunakan secara sungguh-sungguh dalam mengimplementasikan gagasannya," katanya.

    Sebelum memberi gelar, tim promotor telah menggelar diskusi dan seminar sebagai sarana bagi Taufiq menyampaikan gagasannya. Tim menilai Taufiq lolos dengan cukup memuaskan karena mempunyai gagasan yang progresif, inovatif, dan kreatif mengenai birokrasi.

    Sementara Taufiq Effendi mengatakan, saat ini, yang dibutuhkan birokrasi bukan persoalan wewenang, tapi peranan. "Bukan apa wewenang saya, tapi apa peranan saya," katanya.

    Birokrasi juga tidak boleh berpikir output, tapi outcome. Mindset seperti itu yang harus dilakukan agar birokrasi lebih efektif dan efisien dalam melayani masyarakat.

    Taufiq merupakan orang keenam yang mendapat gelar doktor HC dari Undip. Sebelumnya, Undip memberi gelar HC kepada Ali Alatas (28 Nopember 1996), Alm Yang Dipertuan Agung X Malaysia (11 Oktober 1997), Menteri PU Djoko Kirmanto (15 Oktober 2005), Burhanudin Abdulan (3 Juni 2006), dan Sutiyoso (4 Agustus 2007).(try/djo)

    Aha.... | PLN Ingin Tarif Listrik Naik 30%

    Betapapun benar alasannya (jika itu memang benar), membicarakan rencana keinginan untuk menaikan tarif hingga 30 % ketika semua lapisan sedang lintang pungkan merapihkan diri akibat krisis finansial, mencerminkan dangkalnya sensitivitas pejabat di Kantor Pusat PLN. Jangan lupa pemerintah dan rakyat (melalui DPR) telah bermurah hati menyediakan subsidi BBM dan listrik sekitar (Rp 180 T) untuk TA 2009. Artinya PLN telah mendapat subsidi berlipat-lipat: (a) dari harga BBM; (b) subsidi listrik sendiri: dan (c)...PLN juga telah menaikkan TDL sepihak sejak bulan sekitar Juni 2008 (bisa dibandingkan bill listrik anda dengan sebelumnya, telah mengalami kenaikan cukup berarti).

    Sekali lagi, meski kita pahami banyak institusi pemerintah yang menunggak, atau masyarakat yang me maling listrik denganberbagai cara, sudah selayaknya PT. PLN juga memperbaiki management internal mereka guna penyehatan BUMN itu secara khusus, juga sebagai bagian penting dalam memperbaiki kehidupan ekonomi masyarakat, khususnya memperbaiki sektor riil dari keterpurukan.

    Semoga berhasil, tapi jangan mengutamakan dari kenaikan tarif yang semakin menumpulkan daya beli masyarakat yang sekaligus memperberat peluang orang berusaha.

    detik Finance: Barometer Bisnis Anda | PLN Ingin Tarif Listrik Naik 30%
    (courtesy: detik.com)

    PLN Ingin Tarif Listrik Naik 30%
    Alih Istik Wahyuni - detikFinance



    Foto: Indro-detikFinance

    Jakarta - PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) PLN menargetkan bisa menghapus subsidi listrik pada 2010. Tapi untuk mencapainya, Tarif Dasar Listrik (TDL) disarankan naik sebesar 30% pada 2010.

    Demikian disampaikan Dirut PT PLN (persero) Fahmi Mochtar disela Hari Listrik Nasional di Gedung PLN Pusat, Jalan Trunojoyo, Jakarta, Senin (27/10/2008).

    "Kita ingin PLN memiliki kemandirian pada 2012. Termasuk agar masalah keuangan bisa berasal dari internal. Karena saya kira kenaikan 30% di 2010 masih wajar," katanya.

    Menurut Fahmi, tarif listrik di Indonesia merupakan yang termurah se-ASEAN. Jika dibandingkan, tarif listrik di Indonesia hanya sekitar US$ 7 sen/kWh. Sementara di Malaysia sekitar US$ 10 sen/kWh, bahkan Singapura lebih dari US$ 20 sen/kWh. "Jadi ada distorsi dari sisi kompetitif," katanya.

    Ia mengakui, tarif listrik yang ditetapkan pemerintah juga mempertimbangkan daya beli masyarakatnya. Namun baginya, harus ditentukan dengan jelas, masyarakat seperti apa yang benar-benar berhak menerima subsidi.

    Penghapusan subsidi listrik di 2010 memungkinkan karena dengan adanya program 10.000 MW maka PLN bisa menurunkan biaya pokok penyediannya (BPP). Dengan begitu, BPP yang merupakan harga keekonomian listrik bisa makin mendekati tarif dasar listrik yang ada.(lih/ddn)

    Thursday, October 23, 2008

    What a Pity: Efforts seen to unseat Sri Mulyani

    Sungguh menyedihkan apa yang diperlihatkan segelintir elit bangsa kita. Jika apa yang disinyalir The Jakarta Post (JP) di bawah ini benar, maka sulitlah dibantah bahwa memang ada segelintir umat manusia di bumi Indonesia ini yang tidak menginginkan negerinya aman, damai, dan mampu melewati krisis finansial yang berpotensi menjadi krisis ekonomi ini.

    Sungguh sulit diterima akal sehat, jika hanya untuk untung sesaat banyak orang yang ingin menangguh di air keruh. Apakah itu di lantai bursa atau juga di money changer dan di belakang dealing room. Jelas arah yang dituju adalah menciptakan kekalutan dan kepanikan, sehingga masyarakat terpancing panik baik di sisi keuangan seperti menjual saham mereka, menukarkan dollar atau rupiah, atau juga bisa dengan melakukan rush di bank nasional yang tentu saja berdampak buruk bagi bangsa dan negara.

    Sudah saatnya kita bersatu dan mendorong kepentingan masyarakat diletakkan di atas kepentingan golongan dan partai. Kita tentu merasakan suatu keberpihakan dari seorang Sri Mulyani kepada kelompok terbesar masysarakat kita ketika menolak membantu para pelaku usaha yang memang semestinya dan sewajarnya mengalami untung dan rugi.

    Bisakah kita bersatu tanpa harus mengorbankan pribadi seorang Menteri yang sudah meninggalkan pekerjaannya dan lingkungan yang relatif lebih enak dari pekerjaannya sekarang? Ah..mari dengarkan nurani anda dan doakan Indonesia bisa melewati krisis demi krisis untuk menjadi suatu bangsa yang besar. Jalan sudah terbuka, jangan mundur lagi bung!

    Wassalam,

    Edd

    Efforts seen to unseat Sri Mulyani: Sources | The Jakarta Post

    Efforts seen to unseat Sri Mulyani: Sources

    Rendi A. Witular and Aditya Suharmoko , The Jakarta Post , Jakarta | Wed, 10/22/2008 10:53 AM | Headlines

    Vested interests are launching a covert attempt to replace Finance Minister Sri Mulyani Indrawati following her stern moves to guard the state budget from abuse and clamp down on violators, sources say.

    Efforts to topple the "iron lady" intensified after she turned down requests from a major conglomerate for government assistance in saving its business empire in the wake of the global financial meltdown, sources said.

    "Speculation has been rife for the past two or three weeks. I think the political motive is bigger than those of the economy, with the market showing confidence in the minister," said Andi Rahmat, a member of the House of Representatives' Commission XI, which oversees financial affairs, on Tuesday.

    Andi said a possible replacement for Mulyani, proposed by the vested interest, was Darmin Nasution, the Finance Ministry's director general of taxation.

    "It's going to be a very risky move by President Susilo Bambang Yudhoyono to replace Mulyani at a time when a figure like her is badly needed to shield Indonesia from the impact of the global downturn," he said.

    Finance Ministry sources and some businessmen said one of the moves being made to discredit Mulyani was to promote an image of her as lacking nationalism, a sentiment widely touted since her appointment as minister back in 2004.

    Mulyani's previous post as an executive at the International Monetary Fund (IMF) has been used by her opponents to question her nationalism following criticism over the agency's poor performance in helping the country survive the late-1997 Asian financial crisis.

    Economist Faisal Basri, Mulyani's close friend and former colleague at the University of Indonesia, blamed certain parties, inconvenienced by Mulyani's moves to deal with the financial meltdown, as the main sponsors of the efforts.

    "There are some politicians who suffered losses from the havoc in the stock market. Besides, knowing Mulyani well, it is not her 'style' to take a policy of suddenly closing down the stock market," he said.

    Faisal added it was unlikely Mulyani would be replaced by Darmin -- a close confidant of hers and a mentor during her time at the University of Indonesia.

    Ministry sources say businessmen involved in violations in the mining sector, the customs and excise business, and the tax sector were among those teaming up with businessmen who recently got burned in the stock market and could not recover their losses.

    Mulyani has been praised for her efforts in reforming the once corruption-infested customs and tax offices, including refusing to allow 10 helicopters belonging to a firm linked to Vice President Jusuf Kalla to pass through customs before paying duties.

    Her courage was on show again when she ordered state-run Bank Mandiri to transfer disputed funds worth Rp 1.23 trillion (US$ 126 million) from Hutomo "Tommy" Mandala Putra, son of the late former president Soeharto, to the state account for development use.

    However, her latest move in refusing to help a politically wired business group has ignited a backlash of rage which may cost her her job unless Yudhoyono ensures Mulyani remains in her post until his administration ends.

    Finance Ministry spokesman Samsuar Said said the "cost will be too expensive for the Cabinet" if Mulyani leaves before the current administration ends its term next year.

    "Use common sense. What is the motive in this kind of situation for unseating her?" he said.

    Economist Pande Raja Silalahi said some businessmen were likely offended by Mulyani's statement during a recent speech at the office of the powerful lobby group the Indonesian Chamber of Commerce and Industry (Kadin).

    "I am the Finance Minister, my job is to protect the state fund. Companies have a job to protect their own financial affairs. If they fail, it is their fault and they deserve to go bust," said Pande, quoting Mulyani.