Saturday, April 26, 2008

Pitfalls in paradise: why Palm Jumeirah is struggling to live up to the hype

Courtesy of Guardian.co.uk

This is the hype in Dubai,
Where dreams are doubted to come true in 48C degree,
But some already bought some.


Here we are in Indonesia.
Where you gonna drive your ball? To the Lake, Fairway, Concrete,
or to the head of officer who issued the permit.


Still in Surabaya, Indonesia.
Where you gonna chip your ball? To the green, bunker,
or straight to nose of the owner who just rarely visit the house?

It always like that. Not only in Indonesia's big city properties, nor abroad. For the purpose of selling properties at high price, many developers usually exaggerate their attractiveness and at the same time conceal its weaknesses.

Nowadays, Jakarta and other big cities in the country offer many properties especially housing and apartments at unreasonably high prices so that can only be purchased by the haves. Knowing so many properties are being promoted at the same time and while the economy is in its uncertainties, one can only pray that we will not follow the US experience, leading to a worsening situation.

Hopefully not.


Friday, April 25, 2008

What a miss to fulfill local demand

So, when will we gonna use our own resorces for our people?
for our local industry,
for our power plant,
for our city gas,
for our bus and local transportation means,
for our fertilizer,
for our ceramics,
for our DIGNITY.

When?
That's still a big question, why?
When President SBY already stated on March 2006
To stop or not to extend the LNG Export contract expired on 2009/10,
But still we're stubborn.
Just ship it out to the boundary.
No need to care for our own people
Oh...What a mess in gas industry.

===========
LNG export to rise 6.2% in 2008

Business and Investment - April 24, 2008

Ika Krismantari,
The Jakarta Post, Jakarta http://old.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20080424.L04

Liquefied natural gas (LNG) exports from Indonesia will rise by 6.2 percent this year due to increased gas production, an official said Wednesday.
State oil and gas firm Pertamina vice president, Iin Arifin Takhyan, said Indonesia, the world's third-largest gas exporter, would export 22.1 million tons of LNG this year, compared with 20.8 million tons last year.
Iin said the increase was partly due to the success of French oil giant Total in increasing gas production in Mahakam block in East Kalimantan, whose output was delivered to the country's biggest LNG plant in Bontang, also in East Kalimantan.
"Of the total 22.1 million tons, 19.6 will come from Bontang and the remainder (2.5 million tons) will come from Arun," Iin said.
Arun is an LNG plant in Nanggroe Aceh Darussalam.
Last year, Arun produced 2.8 million tons of LNG and Bontang produced 18 million tons, all of which was exported to meet the country's export commitment of 24 million tons per year until 2010.
Indonesia has failed to meet its export commitment in the past few years because of the decline in the country's gas production, due mostly to the aging fields.
Total last year announced the discovery of two new gas reserves in its Mahakam block in East Kalimantan. It said the discovery had strengthened the block's potential to produce gas.
Indonesia exports LNG from two LNG plants in Arun and Bontang. Arun LNG plant has a total capacity of 12.5 million tons per year with six processing units (trains). Bontang has a total capacity of 18.5 million tons per year with eight trains.
One train in Arun has a capacity of 1.8 million tons per year, and Bontang trains have a capacity ranging from 2.5 to 2.7 million tons per year.
The government has appointed Pertamina to operate those LNG plants.
Iin said after the export contract expired, Indonesia gas production would also drop. He said by 2011, total production from the Arun and Bontang plants would reach 13.4 million tons, of which 3 million tons would be exported to Japan and the other 10 million used for domestic market consumption.
Following increasing demand for gas in the domestic market, the government has decided not to extend the gas export contracts and instead deliver the gas from Bontang to the local industry.
However, in a deal with Japanese buyers, the government has agreed to deliver 3 million tons of gas each year for the five years after the export contract expires in 2010 and 2 million tons per year for the five years after that.

Tuesday, April 22, 2008

Pembobolan Situs Depkominfo, Tak Perlu Dibesar-besarkan.

Banyak orang kesal dengan pemblokiran youtube.com dan beberapa portal penyedia blog karena blog mereka juga tercekal. Begitu pula para hackers (bukan bloggers) yang merasa penasaran akan dampak disetujuinya UU-ITE. Lantas mereka ramai-ramai merasa mendapat "pasport" untuk mengacak-acak situs resmi berbagai instansi pemerintah, terutama Depkominfo dengan alamat http://www.depkominfo.go.id/ .

Yang terjadi kemudian adalah banyak pula orang yang mengaitkan UU-ITE ini dengan film "FITNA" yang disunting oleh anggota parlement Belanda serta dengan rekan saya Roy Suryo yang oleh berbagai media sering dijuluki dengan pakar telematika. Akhirnya berbagai serangan dan pembobolan seolah menjadi pelampiasan berbagai pihak. Seyogyanya pembobolan tersebut ditanggapi arif oleh semua pihak, terutama Depkominfo.

Pembobolan tersebut bisa diartikan sebagai feedback oleh berbagai pihak yang merasa tidak senang atau kurang puas atas kinerja departemen yang baru berdiri ini. Seyogyanya pula pembobolan ini menjadi cerminan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, termasuk dunia bisnis yang akhir-akhir ini memang semakin membutuhkan kondisi berusaha yang aman dan kondusif. Berbagai razia yang terjadi di sektor telematika, kekacauan penggunaan frekuensi, kisruh penggunaan satelit oleh Astro yang memonopoli siaran tv tertentu, rendahnya succesfull call ratio (services berbagai operator seluler), gagalnya tender USO telekomunikasi, ribut-ribut masalah menara telekomunikasi, serta berbagai hal lainnya yang belum terselesaikan, kiranya telah memicu banyak kalangan mengambil kesempatan dalam kesempitan ketika UU-ITE disetujui.

Berbagai pihak termasuk, Depkominfo tentu berhak berargumen mempertahankan diri masing-masing. Namun alangkah lebih baik jika semua pihak melakukan "cooling down" guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan atau dapat justru memicu kekisruhan baru.

Pihak pers boleh saja merasa dipojokkan oleh beberapa pasal yang ada, namun tentu bagaimanapun kedudukan UU Pers meski setara dengan UU-ITE pasti akan menjadi rujukan utama jika itu menyangkut segala sesuatu terkait pers. Jadi menurut hemat saya tidaklah terlalu perlu dikhawatirkan pada kondisi awal berjalannya UU-ITE. Sebaiknya diberikan "room" untuk UU baru ini menjawab tantangan pembangunan telematika di tengah-tengah masyarakat. Apabila di kemudian hari bermasalah dan ternyata memang ada masalah yang muncul tanpa terselesaikan, barulah dibawa ke MK.

Bagaimanapun juga esensi UU-ITE yang telah ditunggu lama (apalagi jika dibandingkan dengan Malaysia yang sudah mengeluarkan 6 UU terkait dalam satu paket), adalah untuk menyebarluaskan informasi dan melindungi transaksi elekronik dalam satu payung hukum yang pasti dan diakui guna meningkatkan ekonomi secara nasional. Sekali lagi, esensi UU-ITE adalah di bidang ekonomi, bukan untuk membatasi pornographi, pencemaran nama baik dan lain-lain yang menjadi muatan tambahan UU-ITE ini.

Kekhawatiran perlu tetap ada, namun memberikan kesempatan terlebih dulu akan UU-ITE menjawab tantangan regulasi, teknologi dan aplikasi telematika merupakan sikap yang bijaksana.

Semoga kita bersedia, dan Depkominfo juga perlu memperbaiki kinerjanya dengan sungguh-sungguh.

Bisnis Indonesia Harian - Pembobolan Situs, Kampanye Negatif Depkominfo

UU-ITE sebaiknya memang jalan dulu, tidak usah dijegal.

Menarik juga mengamai komentar masyarakat dan kalangan pers tentan UU ITE. Namun tidaklah bijaksana jika UU yang baru disetujui tersebut sudah harus direvisi atau dibatalkan, mengingat pada dasarnya memang dibutuhkan untuk melindungi transaksi elektronik dan penyebaran informasi yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Jangan pula keberadaan UU itni terlalu dikonfrontir dengan masalah-masalah terkait yang di atur oleh UU lain seperti pornographi dan kebebasan pers. Jika pun ada pembatasan dan blokir dalam rangka mengendalikan informasi yang dianggap merugikan masyarakat atau membahayakan negara dan rakyatnya, maka itu diperkirakan hanya dalam kondisi sementara dan transisi. DIhimbau pula agar pelaku IT tidak "meng hack" yang tidak perlu.

Semoga kita siap menuju new economy.

ES


Bisnis Indonesia Harian - UUITE tidak akan direvisi

Thursday, April 17, 2008

The Jakarta Post - Oil subsidies fueling the rich, not poor

Sorry to say...our main problems in oil and gas sectors today are: (1) how to gear up all efforts to increase significant lifting; and (2) how to start a more transparent regim, especially in production and upstreams. The rest are to follow. Dont bother, we have to thank God for such high oil price, but we are still dumb and dumber instead. yes...oil and gas are supposed to prosper our country as oil producer country. That's the rule of thumbs. No excuse.

The Jakarta Post - Oil subsidies fueling the rich, not poor

Pelan-Pelan Kemunafikan Kita mulai tersingkap

Kemunafikan kita sebagai bangsa Indonesia, terutama di lingkungan birokrat akan mulai tersingkap. Pelan namun pasti. Terakhir adalah mengenai rumah dinas. Memang harus diakui, tidak adanya sistem remunerasi yang jelas di lingkungan PNS termasuk TNI dan Polri selama berpuluh-puluh tahun telah menggiring setiap birokrat, terutama pejabat, menjadi sangat kreatif. Sayangnya kreatifitas yang beragam tersebut, mulai dari yang apa adanya, sedikit canggih, hingga ke tingkat sangat advanced dan master, tidak pernah kunjung dibereskan.

BErbagai departemen dan LPND memiliki cara-cara tersendiri untuk mensejahterakan pegawainya. Banyak pelajaran sudah bisa diambil. Ada yang menggunakan cara-cara elegan dengan memanfaatkan sebagian dana yang diterima kantornya dalam pengurusan izin sebagai salah satu sumber dana. Ada yang setengah resmi berkongkalingkong dengan pengelola anggaran, sehingga bisa mengalirkan sebagian dana PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) untuk tambahan membeli mobil setengah dinas, atau menambah uang saku pegawai yang dinas belajar ke luar negeri atau dalam negeri sekalipun. Praktek2 ini dulu menciptakan berbagai kesenjangan antara PNS yang menuntut pelajaran di luar negeri. Mahasiswa dari Departemen yang biasa-biasa saja, rata-rata tidak menerima tambahan. Dari BI dan Pertamina atau BUMN besar lainnya akan menikmati fasilitas aduhai. Atau yang berasal dari instansi lain yang memiliki sistem kesejahteraan lebih baik, maka akan menikmati tambahan berkala. SUmbernya bermacam-macam.

Kembali ke rumah dinas, ya terpaksa memakai lagi istilah "the tips of the Iceberg" yang terkenal itu. Ya..itu hanyalah sebagian masalah. DI samping rumah, akan menunggu mobil dinas, komputer dinas (yang dulu coba diluruskan DPR dengan anggaran resmi mau membeli laptop, tapi justru ditolak masyarakat luas), dan barang-barang dinas lainnya.

RUmah dinas jelas lebih rumit masalahnya, tetapi koruptor dan perekayasanya yang sedang berkuasa akan mampu mencari jalan keluar, yang pada waktu itu akan terasa nalar. Namun tetap saja jika dilihat dari kaca mata keadilan sekarang, jelas suatu hal yang keliru. Ada rumah dinas yang dibiarkan terlantar karena menjadi kasus, sementara pegawai atau pejabat yang membutuhkan harus pontang panting mencari perumahan sementara. Ada rumah dinas dan tanahnya yangdisulap menjadi aset golongan tertentu sehingga bisa dialihkepemilikan. COntoh yang disorot dari mantan Menteri PU, hanyalah satu dua kasus. Yang lain pasti dengan mudah diungkap. Masalahnya, apakah kita memang ingin menyelesaikan dengan tuntas dan jelas yang merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan sederhana, atau kita hanya memilah-milah "korban", lalu pelajaran apayang mau diambil?

KKN dan kemunafikan hanyalah berbeda ruangan di dalam suatu bangunan. Kadang kita masuk ke kamar KKN, keluar, lalu masuk lagi kekamar lain yang nalar, dihari lain masuk lagi ke kamar kemunafikan. Begitulah kita di Indonesia. Jadi jangan heran kalau anda, saya dan siapa saja yang pernah atau sedang menjabat akan terkaget karena harus berurusan dengan masalah serupa.

Siap-siap saja, selagi gaji PNS masih disamakan bahkan kalah dengan subsidi sapi yang diterima peternak dan petani di Eropa atau Jepang. Tak terkecuali pegawai Depkeu yang telah menerima remunerasi setara direksi BUMN sekalipun. Namun bahayanya, jika isu yang berkaitan dengan kesejahteraan PNS terus diungkit tanpa arah yang benar, maka hal ini bisa memicu mandeknya roda birokrasi yang ujung2nya akan menyusahkan rakyat dan berantakannya negara kita. Jadi jika hal ini mau dibereskan, haruslah hati-hati dan bijak. Ibarat "menarik rambut atau benang dalam tepung". Yang satu tidak boleh putus, yang lain dijaga agar tidak berantakan. Semoga kita bisa!

Wassalam


KOMPAS Cetak Tentang RUmah Dinas

Wednesday, April 16, 2008

Banning and Blocking the Blog is not over yet















Banning and blocking the blog have been far from over yet. It shocked me a lot, when I just about to send a file on a website automatically to one of my blogspot account in the middle of the night April 15. THe message is posted above. It happened in a very nice star hotel HORISON in Palembang. I, at first, was very happy to know that the hotel provide the customer with "free" wifi connection in every room, lobby or even any corner inside the hotel. What an effort to suppor regional economy through the slogan "VISIT MUSI 2008" but failed to address the national issues on Cyber law on regional desk. THus..everyone must take the lesson, it is not like father like son, but...Jakarta's policy to ban Internet and specific blog is easily followed by region. When Jakarta took it off, the region stood still. Because of the different interpretation and banning policy of the hotel, I can not send any important message and files on time.

I bet, none of the authority could have imagine what would happened in the regions. They're too far to be reached, distantly and in mind.

Again, what a pity.

Tuesday, April 15, 2008

Permen Kominfo tentang Menara Telekomunikasi menuai kritik

Peraturan Menkominfo tentang Pedoman Pembangungan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi menuai kritik dan tanggapan miring. Terutamanya terkait dengan pembatasan investasi asing. Hal ini sebenarnya telah banyak disuarakan sebelumnya. Kelihatannya Depkominfo tetap bertahan agar pembuatan menara yang tergolong teknologi sedang (bukan tinggi) sebaiknya dilakukan oleh perusahaan dalam negeri. Hal ini perlu juga diacungi jempol untuk memberikan porsi lebih kepada pelaku usaha domestik dalam industri yang tumbuh pesat. Media (14/4 hal 15) juga mengangkat isu ini. Jelas disini diperlukan keberpihakan. Di sisi lain pemerintah juga sudah mengeluarkan kebijakan PEPI (Peningkatan Ekspor, Peningkatan Investasi) yang juga berkepentingan menarik investasi asing untuk menggenjot ekonomi.

Semoga cepat dapa jalan keluar, atau memang kita setuju-setuju saja rencana Depkominfo yang cukup masuk akal karena melindungi pengusaha nasional.

Semoga.

Internet Blocking cost government a lot

Probably report attached here from JP (11/4) states one of the best positions regarding Internet Blocking that shocks millions of Internet users in Indonesia.

Yes, I am agree to say that our new government has failed to really understand what the potentials of Internet is, how users really dedicate their life and tug it to Internet in daily life, and how users have been benefitting Internet for their economy, including leisure and daily life.

This, the blocking, should have not been happend if the authority had proffessionally done their job. Waht a pity. THis includes not only government, but also related associations, operators (big and small), and leaders.

Or this reflects how confused and unready we are in welcoming globaliszation in real life, not in a piece of paper.

The Jakarta Post - The Journal of Indonesia Today

Hati-hati dengan Klasifikasi Pelanggan Gas

Harian Media (14/4 hal 15) mengangkat isu tentang rencana penyusunan formula harga gas yang dikaitkan dengan usulan klasifikasi pelanggan gas. PT. PGN (tbk.) mengajukan pengelompokan sbb: (1) rumah tangga dan UMK; (2) industri khusus; (3) rumah sakit dan kantor; (4) hotel dan restoran; (5) industri manufaktur; dan (6) pembangkit listrik. Masing2 dengan kriteria tertentu terkait besarnya volume pemakaian dan besarnya usaha.

Tidak terlalu jelas kemana arah yang akan dituju. Namun satu yang pasti, pasokan gas bumi dengan pipa untuk pelanggan tidak mengalami jumlah yang berarti. Mengapa harus mengelompokkan demikian banyak? Lalu untuk transportasi masuk kemana?

Biasanya semakin banyak klasifikasi akan makin rumit tata cara penentuan harganya (pricing), hal mana yang semakin dihindari oleh perusahaan besar karena akan menyulitkan dalam billing dan penagihan pembayaran.

Kelihatannya PGN lebih serius mengurus birokrasi dan tata cara penyaluran gas ketimbang memperbesar jaringan distribusi untuk kelas menengah kebawah, segmen bisnis yang dari dulu memang agak "dihindari" PGN karena tidak terlalu profitable dan lucrative. Kalau sudah begini, akhirnya yang menikmati pasokan gas dengan harga rata-rata dibawah keekoniomiannya justru kelompok berpunya seperti rumah-rumah di kawasan Menteng, apartemen, rumah susun dan kawasan lain yang sudah dilalui pipa distribusi. Lalu bagaimana nasib ibu-ibu di pinggiran jabodetabek yang harus tunggang langgang setiap bulan mengamankan ketersediaan tabung gas di rumahnya. Sementara untuk balik ke minyak tanah atau sekedar menyediakan kompor minyak tanah juga sudah nyaris tidak mungkin karena minyak tanah justru menghilang atau tersedia dengan harga melebihi bensin pertamax.

Sebenarnya Bank DUnia sudah pernah memberikan pinjaman lunak kepada PGN tahun 2004 untuk memperluas jaringan distribusi di bebebrapa kota di Indonesia yang direncanakan akan diteruskan PGn dengan dana sendiri untuk kota-kota lain. Tapi tidak jelas kedengaran tindak lanjutnya. Padahal PGN sudah dalam status tbk.

Kesimpulannya, pemerintah mungkin perlu memikirkan pembentukan anak perusahaan PGN atau perusahaan baru yang mengurusi distribusi gas untuk rumah tangga dan UMKM yang tidak terlalu high profit, tapi bisa sustain. Kalau tidak, masalah distribusi gas rumah tangga akan abadi dan terus membikin kita "sport jantung" ketika membaca berita terkait dengan kelangkaan pasokan tabung gas, kelangkaan pasokan gas, ataupun ketika mendengar harga minyak makin tinggi. Karena dalam prakteknya, harga gas juga di peg terhadap harga minyak di pasaran.

Semoga distribusi gas di negeri penghasil gas ini bisa dipikirkan dari sekarang, guna mengantisipsinya di masa datang. Bukan hanya kalut dan kalap ketika "bencana" itu akhirnya tiba.

AMin.

Saturday, April 12, 2008

Surat Terbuka kepada Bapak MENKOMINFO RI

Di bawah ini adalah salah satu surat dari seorang WNI yang dapat menggambarkan kegalauan dan keksiruhan yang terjadi disektor ICT yang harusnya menjadi penggerak ekonomi, tetapi malah menjelma menjadi "burden".

Selamat mencerna

==================
Pak Muhammad Nuh YSH,
Pak Menteri YSH,

Dalam beberapa waktu terakhir ini Departemen yang Bapak pimpin (DEPKOMINFO)telah membuat beberapa gebrakan-gebrakan (dibaca kebijakan) yang sangat"mengagetkan" dan cenderung merugikan saya sebagai pribadi konsumen danmungkin juga ratusan, ribuan dan mungkin juga "jutaan" konsumen lainnya.Yang menjadi pertanyaan, apakah beberapa kebijakan yang diambil telahdipertimbangkan masak-masak dan diperhitungkan untung dan ruginya bagikepentingan masyarakat secara luas ?

Inilah beberapa kebijakan DEPKOMINFO yang saya ketahui dan saya catat hinggasaat ini :
1. Kebijakan penundaan Permen BWA terkait industri lokal
2. Keputusan pemebatalan tender USO
3. Perintah pemblokiran beberapa situs/portal video terkait film dokumenter"FITNA"
4. Keluarnya Kepdirjen Perangkat BWA 2.3 GHz (tidak comply dengan WiMAXForum)
5. Sweeping perangkat elektronik di toko/mall di Surabaya
6. Dan terakhir pemberhentian/penutupan siaran ASTRO

Saya disini tidak akan membahas beberapa kebijakan tersebut diatas secaradetail, namun saya mencoba menyampaikan beberapa hal saja terkait beberapakebijakan tersebut diatas sebagai berikut :1. Sampai saat ini Pemerintah cq DEPKOMINFO belum kunjung juga menerbitkanPermen BWA yang sangat diharapkan dan dinanti-nantikan oleh komunitas BWAIndonesia, sudah 2 tahun lebih tidak ada kepastian hukum disektor usaha inisehingga terjadi "opportunity loss" bagi operator BWA yang tidak sedikitjumlahnya. Komunitas BWA melalui FKBWI telah mengajukan permohonan waktuuntuk berdiskusi tentang hal ini dengan Bapak dan tim DEPKOMINFO, namunsampai saat ini penundaan demi penundaan yang terjadi dengan alasan adaagenda yang lebih penting.

Teknologi BWA diharapkan dapat menjadi saranatumbuhnya operator-operator kecil dan menengah untuk dapat memberikanlayanan komunikasi & internet yang murah bagi masyarakat. Dengan teknologiBWA, komitmen keberpihakan pemerintah terhadap usaha kecil dan menengahdapat terwujud. Akan menjadi lain ceritanya kalau ternyata pemerintah tetaphanya berpihak kepada operator besar dan pemodal besar.2. Keluarnya Kepdirjen standar perangkat BWA di 2.3GHz yang tidak sesuaidengan standar global dalam hal ini WiMAX Forum, menurut saya adalahkemunduran bagi bangsa ini.

Mau tidak mau saat ini kita ada dalam eraglobalisasi dimana trendnya adalah sinergi secara global. Sikap arogan bahwakita memiliki populasi penduduk yang besar sehingga merupakan potensi pasaruntuk mengembangkan produk sendiri berbeda dengan yang lain akan membawakita dalam kehancuran dikemudian hari. Bisnis akan selalu memperhitungkanuntung dan rugi, "economic of scale" menjadi penting dalam perhitunganbisnis. Seharusnya kita dapat bersama-sama menciptakan dan memanfaatkanvolume secara global untuk suatu produk. Jika kita hanya mengurung danmenutup diri kita bagaikan orang yang akan hidup dalam pulau terpencil. Jikasaat ini issue yang diangkat dibalik semangatnya DEPKOMINFO mengembangkanindustri nasional adalah penyerapan tenaga kerja, perlu kita ingat bahwaindustri telekomunikasi adalah industri padat modal dan bukan industri padatkarya.

Belajar ke Taiwan dalam mengembangkan industri dalam negeri denganmodel M-Taiwannya kitapun dapat melakukan hal yang sama untuk membuatinisiatif M-Indonesia. Dalam model M-Taiwan, kuncinya adalah terdapatsinergi antara industri Taiwan dan global dengan model ecosystem denganmembagi peranan masing-masing pihak sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.Jika fakta kita di Indonesia bahwa kompetensi kita adalah dalam hal rancangbangun "brainware", software & art maka harusnya inilah yang dikembangkan.Kenapa untuk industri telekomunikasi kita, kita mesti memaksakan diri untukmembangun industri manufaktur dari hulu ke hilir.3. Terkait dengan sweeping perangkat yang terjadi di Surabaya baru - baruini, sesunggunya apakah pemerintah telah mengeluarkan/menerbitkan standarperangkat untuk perangkat yang disweeping.

Sweeping ini, jika tidakdilakukan secara benar menjadi kontra produktif karena akan menjadi ajang"oknum" untuk mengambil kesempatan untuk kepentingan pribadi.4. Terakhir dengan penutupan layanan ASTRO, saya tidak mendapatkan layananyang "ditutup" tersebut secara "gratis", melainkan saya telah membayarselama 1 tahun untuk menikmati layanan-layanan tersebut. Sejujurnya sayaadalah penggemar sepakbola liga inggris, saya sangat terhibur denganpermainan liga inggris. Saya berharap suatu saat nanti sepakbola kita bisamaju seperti liga inggris sehingga saya bisa menjadi penggemar fanatik satuklub di Indonesia dan dapat melupakan "Manchester United". Dimanakahperlindungan buat saya sebagai konsumen dalam hal ini.Pak Menteri YSH, saya melihat pendekatan "kekuasaan" telah dikedepankandibandingkan pendekatan-pendekatan yang lainnya.

Cara-cara yang dilakukanDEPKOMINFO sekarang ini tidak jauh berbeda dengan cara jaman-jaman dahulu.Menurut hemat saya, sebaiknya Pemerintah melakukan pendekatan hukum dalammelakukan penindakan kepada pelaku usaha (operator) yang dianggap melanggar.Kami mohon dengan sangat, berikanlah alternatif solusi pengganti jika akanmengambil tindakan terhadap bisnis /usaha yang sedang berjalan karena merekatelah memiliki konsumen salah satunya saya.Ketika terjadi pergantian Menteri dari Pak Sofyan ke Bapak, saya awalnyaadalah salah satu orang yang percaya dan berharap dengan latar belakangakademisi dan pemahaman tentang dunia ICT, Bapak dapat memimpin DEPKOMINFOke arah yang lebih baik. Namun sekarang, mohon maaf saya tidak banyakberharap lagi dengan Bapak. Sekarang saya hanya menunggu Pemilu 2009 dansemoga akan terjadi perubahan setelah itu ........

Hormat Kami,

wahyu.haryadi.or.id

Friday, April 11, 2008

UNFORTUNATE UUITE, oh dear.

After 5 deliberating years on Parliament, finally Indonesia's Cyber Law (known as Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik - UUITE) was made available and came into effect on MArch 25, 2008. Unfortunately, on that week short film "Fitna" by one of Holland Parliament's member was also on highest hit that shocked the world and moslem community. Thus, this situation made the authority and even President SBY to ban that film in the archipelago. However, underpressured circumstances, panics, amatirarian has led the authority to ban of some unneccessary portals, blogs, and myspace. OVerreacting attitudes then, followed by operator and ISP, including the biggest operator PT. Telkom with its broadband service Speedy that I additionally use for faster connection in the office.

I am one of the victims, my personal blog eddysatriya.blogspot.com turned out to be out of my reach on Friday noon. Meanwhile, last weekend I was suffered after having banned at home, from First Media.

Now in my office. ......What a pity.

Having such a ban, I cannot timely posting the report of Our Today's Meeting in the Office of Depkominfo (COmmunication and Information Department) on the issues of Economic Coordination, including the issues on ICT such as Internet, Infrastructure and dispute for Shared TOwer on Telecommunication that are closed to foreign investment.

One more time, what a pity.
SO can you have the anwer to the following question: Is Indonesia ready to welcome new economy? Pls tell me!!

Eddy.





================

Banning websites deemed 'extreme'


National News - April 10, 2008


Desy Nurhayati, The Jakarta Post, Jakarta


The government's move to block access to YouTube, MySpace and other websites showing the Dutch film Fitna, deemed anti-Islamic, sparked protests on Wednesday.
Agus Sudibyo of the Science, Esthetics and Technology Foundation said because European communities had condemned the film themselves, it was unnecessary for the government to ban the websites.
"There's no need to act in that way. Blocking access may strengthen the `stereotype' that the Indonesian and Islamic community here have always overreacted when faced with these kinds of issues," Agus told The Jakarta Post.
He feared the bans reflected the state's intention to seize control of information, which is against democratic principles.
Internet service providers blocked the websites upon request of the Communication and Information Minister, Muhammad Nuh, saying the 17-minute film was a "disturbance to religious and civil harmony at a global level".
President Susilo Bambang Yudhoyono announced a ban on the film and asked all Internet service providers to block the film recently. He said the government would also ban the filmmaker, Dutch parliament member Geert Wilders, from visiting Indonesia.
Agus challenges the justification of the government's policy.
"So where's the proof the film disturbs religious harmony? Are there any other Islamic countries across the world that concur with Indonesia? I don't think so. This is too much," said Agus.
He said the government had often bothered itself by taking on issues it could not cope with.
The blocking of YouTube and MySpace has also upset independent musicians and filmmakers, who find the websites have provided great opportunities for them to distribute their work to the global community.
Many short filmmakers have received invitations from international festival curators and film critics after posting their work on the two websites.
"YouTube and MySpace have connected us to the global community. Several songs composed by Indonesian bands have been used as soundtracks for independent American films through MySpace," rock band vocalist Anto Arief said.
"Why should the government completely block access to the websites? Why not just ban the URL to the film? It's too extreme."
Short-film maker Paul Agusta said "The continued blocking of these two websites will do irreparable harm to the independent music and film scenes in Indonesia. This is mass censorship against the creative."
By blocking these particular sites, he said, the government is gagging the creative voices of artists throughout the country.
However, bloggers can still find leeway to access the websites through proxy sites www.vtunnel.com and www.youhide.com.
"The government has always lagged behind. We can always find more sophisticated ways to resist its control," Anto said.
In February, YouTube was inaccessible globally for several hours after the government of Pakistan blocked it, citing what it said were clips in which Wilders made denigrating remarks about Islam.
Wilders' film intersperses scenes of recent terror attacks with verses from the Koran and speeches from Islamic extremists calling for attacks on non-Muslims. It has been condemned as racist and misleading by governments around the world.

Friday, April 04, 2008

NEW NEW CRAZY POLICY IN GAS INDUSTRY..

Hari ini saya terhenyak ketika menyaksikan (baru saja) headline news metro tv (23.00) yang menayangakan penjelasan Menteri ESDM Purnomo tentang kelangkaan tabung gas 12 kg. Menurutnya, kelangkaan terjadi karena adanya penyesusaian harga gas untuk industri (tabung yang lebih besar dari 12 kg maksudnya), sehingga industri berpindah membeli (memborong barangkali ya) gas dengan tabung 12 kg. Ya jelas, disparitas harga akan memaksa pengusaha berhemat dengan bahan baku yang lebih murah. Sedangkan, menurut Menteri ini lagi, pemerintah hanya meregulate tabung yang 3 kg saja.

Weleh..weleh..betul-betul keterlaluan PD nya Menteri ini sekaligus mantap ngawurnya juga. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab kalau masyarakat (katakanlah golongan menengah) tidak bisa lagi kebagian gas 12 kg? Sedangkan hukum pasar yang dengan mudah dimengerti anak kecil sekalipun, para industri akan memborong gas 12 kg meski dengan harga sedikit diatas harga pasar/patokan, tapi masih jauh lebih rendah per kilonya jika dibandingkan dengan gas industri dengan tabung yang lebihbesar.

Mengapa Pertamina harus meregulate harga gas industri pada saat seperti ini? Pada saat semua serba menunggu dalam ketidakpastian akan stabilitas harga minyak. Kalau cerita dan penjelasan itu yang diberikan Purnomo, kita juga sudah paham sekali. Pertanyaannya, mengapa dibiarkan Pertamina mencipatakan disparitas harga yang cukup besar? Lalu apa solusinya, kita tidak butuh beberan mengapa terjadi, semua dengan mudah dimengerti, yang penting solusi Bung?Prihatin, No.

Wednesday, April 02, 2008

MASIH SEPUTAR REFORMASI BIROKRASI

Aduh-aduh, hari ini Kompas kembali menurunkan dua opini sekaligus tentang Reformasi Birokrasi. Memang jika dipikir-pikir, reformasi birokrasi untuk negara berkembang seperti Indonesia tak akan habis-habis untuk dibahas. Pembahasan ini sesungguhnya sah-sah saja, karena memang semakin dibahas, diharapkan semakin mengerucut isunya dan semakin mudah dicari penyelesaiannya. Namun harapan tersebut akan menjadi sekedar harapan saja. Pembahasan dari Eko Prasojo, sang guru besar UI cukup fundamental, tetapi masih belum menyentuh isu sebenarnya, begitu juga opini Dita. Namun saya tidak bermaksud melecehkan atau mengabaikan pendapat mereka. Yang saya sayangkan, dari dulu kita tidak pernah mampu keluar dari jurang kemunafikan jika membahas reformasi birokrasi ini.

Maksud saya begini, jika kita belum mampu membuat seorang birokrat bangga dengan peran dan tugasnya, lalu apanya yang mau direformasi?
Jika kita belum mau memberikan gaji memenuhi standar kebutuhan wajar, lalu apanya yang mau direformasi?
Jika kita tetap munafik, disatu sisi membiarkan gaji kecil, tapi disisi lain tetap diberikan tunjangan dan berbagai fasilitas, lalu apanya yang mau disebut reformasi?
Dengan kondisi gaji yang pas-pasan, akan terbayang pensiun dan masa depan yang suram, maka jabatan pun masih akan diincar dan dikejar, lalu apanya yang mau direformasi?

Ini berlaku untuk semua PNS, TNI, guru, dosen dan guru besar sekalipun.

Ngomong reformasi adalah bicara tentang kesejahteraan (dalam arti secukupnya tidak berlebihan) dan sanksi. Diperburuk dengan kondisi politik dan tarik ulur kepentingan diberbagai institusi, sungguh reformasi birokrasi hanyalah fata morgana semata.

Ada baiknya kita bicara nyata dengan mebandingkan PNS atau buruh di Indonesia bukan dengan buruh di negara tetangga, tapi bandingkan lah mereka dengan sapi di eropa dan jepang yang petaninya di subsidi oleh negara karena mau memelihara dan menternakan sapi.

Silakan cek: PNS juga Manusia (Biasa) atau You Pay Peanut, You'll Get Monkey.

SAlam hangat, masih.

Eddy




Reformasi Birokrasi Bukan Birokratisasi Reformasi

Rabu, 2 April 2008 00:37 WIB

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.02.00372274&channel=2&mn=158&idx=158

Oleh Dita Indah Sari
Komisi Pemberantasan Korupsi bergerak cepat. Penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan segera diikuti dengan penahanan dan penggeledahan sejumlah ruangan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung berikut rumah kediaman Sjamsul Nursalim (Kompas, 4/3). Penangkapan ini tentu adalah aib, bukan saja bagi Kejagung, tetapi juga bagi segenap jajaran birokrasi penegakan hukum, bahkan bagi pemerintahan SBY.
Kebobrokan birokrasi di republik kita sudah jamak dirasakan, telah mendarah daging dan berurat akar. Bagaimana mungkin birokrasi bisa mengurus keperluan publik jika mengurus dirinya sendiri saja tidak mampu? KKN, struktur yang gemuk dan tidak efisien, profesionalisme rendah, minimnya gaji, dan cara pandang feodal merupakan wajah publik birokrasi kita, apa pun bidangnya. Reformasi birokrasi pun kemudian menjadi soal mendesak yang banyak dibahas serta menjadi salah satu program pemerintah.
Pembentukan komisi
Reaksi terhadap kekacauan birokrasi kemudian melahirkan gagasan pembentukan berbagai komisi yang juga dikenal sebagai lembaga negara independen. Komisi-komisi ini diharapkan dapat melakukan check and balances serta memelopori penyelenggaraan pemerintahan yang lebih efektif. Komisi-komisi ini juga diharapkan dapat mem-by-pass belitan kusut proses birokrasi sehingga dalam jangka panjang dapat mewujudkan reformasi birokrasi.
Namun, belakangan muncul keluhan soal efektivitas komisi-komisi ini. Selain terlihat ada upaya dari kekuasaan (pemerintah dan DPR) untuk menggergaji otoritasnya, sejumlah komisi sedari awal memang tidak dilengkapi dengan wewenang besar. Beberapa komisi memang kokoh berdiri di atas pijakan UU yang disahkan oleh DPR, tetapi sejumlah lainnya ditetapkan hanya oleh keppres. Komisi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dipersenjatai dengan wewenang untuk menyusun peraturan, memeriksa, memberi putusan yang mengikat, bahkan menjatuhkan sanksi. Namun, tidak sedikit komisi yang hanya berhak memberikan masukan dan rekomendasi kepada pemerintah. Komnas HAM merupakan contoh lembaga yang wewenang puncaknya sekadar memberi rekomendasi kepada Kejaksaan Agung tentang kasus-kasus pelanggaran HAM.
Pendirian berbagai badan ini pada era reformasi (50 lembaga/ komisi negara dan 25 lembaga pemerintah nondepartemen) seakan menciptakan birokratisasi baru. Meskipun dimaksudkan sebagai ”tandingan” atau ”pengimbang” terhadap birokrasi yang ada, dalam praktiknya memang menciptakan prosedur dan formalitas baru.
KPK dan Komnas HAM
Di sisi lain, gebrakan KPK di Kejaksaan Agung memberikan bukti bahwa auxillary bodies atau lembaga tambahan dapat berfungsi sangat efektif jika memiliki otoritas besar. Wewenang KPK yang setara dengan Kejaksaan Agung dalam soal korupsi membuatnya dapat bertindak cepat dan tuntas, mulai dari menyelidiki hingga membawa kasusnya ke pengadilan. Demikian juga hukuman KPPU terhadap Temasek Holdings untuk melepaskan selu- ruh saham di Telkomsel dan Indosat serta membayar denda yang bersifat otoritatif. Hampir mustahil birokrasi resmi pemerintah saat ini berani melakukan kedua hal di atas. Lebih mustahil lagi bagi komisi-komisi yang ada untuk sanggup menjalankan ini tanpa wewenang yang besar.
Kewenangan Komnas HAM yang terbatas membuat begitu banyak kemacetan dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM. Tanpa otoritas untuk melakukan penyidikan dan penuntutan seperti yang dimiliki oleh KPK, upaya Komnas HAM untuk memeriksa berbagai petinggi negara juga mudah dimentahkan. Padahal, hasil penyelidikan dan rekomendasi Komnas HAM biasanya sudah sangat kuat. Pascapembatalan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu, sangat wajar jika untuk mengisi kekosongan yang ada, otoritas Komnas HAM-lah yang diperkuat dalam mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Keberadaan komisi-komisi tanpa pengokohan wewenangnya tidak akan menyumbang banyak dalam upaya percepatan reformasi birokrasi. Sebaliknya, penguatan dan perluasan KPK menjadi suatu keharusan. Untuk saat ini KPK dapat dianggap sebagai ujung tombak membenahi birokrasi yang tercemar. Sudah saatnya KPK dibentuk di daerah- daerah, minimal hingga tingkat provinsi. Dengan otoritas besar, proses seleksi yang ketat tetapi wilayah kerja yang lebih kecil, KPK di daerah-daerah dapat menjadi tulang punggung pemberantasan KKN dalam birokrasi pemerintah daerah. Penggabungan beberapa komisi pun dapat menjadi pilihan jika dinilai dapat membuat proses pengawasan dan penegakan hukum menjadi lebih efektif dan efisien.
Reformasi birokrasi pada intinya menuntut keberanian politik. Penguatan otoritas komisi/ lembaga negara yang strategis, KPK, Komnas HAM, KPPU, dan sebagainya, bergantung pada seberapa besar pemerintah memiliki keberanian dan komitmen untuk membenahi birokrasinya. Reformasi birokrasi pada era reformasi ini dengan sekadar mengandalkan tindakan ad-hoc tidak akan menghasilkan perubahan mendasar.

Dita Indah Sari MPP Papernas

=================
Reformasi Pertama Birokrasi


Rabu, 2 April 2008 00:37 WIB
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.02.00375945&channel=2&mn=158&idx=158

Oleh Eko Prasojo

Gelombang reformasi yang bergulir tahun 1998 ternyata belum mampu menciptakan kesejahteraan umum masyarakat. Dipicu oleh harga minyak dunia, kebutuhan pokok masyarakat pun semakin mahal dan sulit didapatkan. Namun, apakah memang harga minyak dunia yang menjadi penyebab utama semakin sulitnya kehidupan masyarakat? Bukankah di negara- negara lain—bahkan yang tidak memiliki cadangan minyak sekalipun— kondisi ekonomi masyarakatnya tidaklah separah di Indonesia?
Refleksi yang harus dilakukan adalah apakah memang keberadaan dan pekerjaan pemerintah benar-benar menjadi pilar untuk menciptakan kesejahteraan umum masyarakat? Atau sebaliknya pemerintahan yang korup, tidak efisien, tidak profesional, tidak akuntabel, dan tidak sensitiflah yang menjadi akar masalah semakin terpuruknya bangsa ini.
Prahara birokrasi
Barangkali yang paling mudah untuk ditunjuk sebagai penyebab sulitnya menciptakan kesejahteraan umum masyarakat adalah kualitas birokrasi pemerintahan. Lebih jelasnya, negara dan bangsa ini tidak pernah bersungguh-sungguh memperbaiki apa yang disebut sebagai birokrasi pemerintahan.
Kita lebih serius membahas berapa jumlah kursi DPR pada pemilihan umum mendatang, kita lebih konsern berdebat apakah ketentuan electoral treshold tetap akan diberlakukan pada tahun 2009, kita lebih bersemangat untuk melobi apakah jumlah sisa suara akan ditarik ke provinsi atau diletakkan di daerah pemilihan. Namun, siapa yang peduli tentang mengapa dan berapa jumlah uang yang menguap dalam berbagai dana pembangunan dan pelayanan; siapa pula yang harus memberi perhatian tentang buruknya pelayanan publik; dan siapa yang tertarik untuk memerhatikan betapa kecilnya gaji pegawai negeri sehingga terpaksa harus mencuri uang negara dan masyarakat dalam memberikan pelayanan publik.
Prahara buruknya birokrasi pemerintahan adalah sebab utama mengapa negara ini tidak pernah selesai dengan keterpurukan ekonomi. Birokrasi pemerintahan adalah mesin yang menggerakkan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Mesin itu sudah sangat tua dan renta sehingga berjalan sendiri pun sangat sulit, apalagi menggerakkan dan mendorong pembangunan bagi masyarakatnya.
Kondisi ini dipersulit oleh beberapa hal: pertama, keseriusan dan kemauan politik untuk merevitalisasi dan meremajakan mesin birokrasi sangatlah lemah jika tidak mau dikatakan tidak ada. Kedua, birokrasi pemerintahan adalah sasaran yang sangat potensial bagi partai politik untuk menjara uang negara melalui koalisi politik dan birokrasi. Ketiga, sejak kita merdeka ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perilaku birokrasi untuk melayani masyarakat tidaklah kondusif. Keempat, masyarakat berada dalam posisi yang sangat lemah ketika berhadap-hadapan dengan pemerintah, tidak ada posisi tawar dan bahkan selalu menjadi pihak yang paling dirugikan.
Prinsip-prinsip good governance yang didengungkan dan ditabuhkan oleh berbagai pihak, baik lembaga donor maupun lembaga pemerintah, adalah isapan jempol belaka. Dalam praktiknya, prinsip-prinsip tersebut berada dalam ruang yang hampa karena tidak menjelma menjadi norma hukum yang konkret dan tidak menjadi darah daging dan jiwa penyelenggara pemerintahan. Tidak sulit mencari jawaban, mengapa kemakmuran masyarakat tidak bisa diciptakan. Karena birokrasi pemerintahan yang menjadi mesin pembangunan kesejahteraan masyarakat mengalami peradangan akut, yang tidak diupayakan secara serius penyembuhannya.
Jalan baru
Buruknya birokrasi pemerintahan harus segera diperbaiki dengan langkah-langkah reformasi. Tidak ada jalan lain. Semakin lama kita menunda reformasi birokrasi, semakin lama dan sulit harapan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan. Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah memulai langkah reformasi birokrasi dengan menyusun Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP). RUU ini penting dalam kacamata reformasi birokrasi karena menjadi instrumen mewujudkan prinsip-prinsip good governance dalam norma hukum yang bersifat mengikat, baik bagi pejabat birokrasi maupun masyarakat. Instrumentasi pasal-pasal dalam RUU ini dimaksudkan untuk mengatur perilaku pejabat birokrasi dalam menyelenggarakan pemerintahan—terutama dalam membuat keputusan—serta relasi antara birokrasi dan masyarakat yang setara dalam pemerintahan dan pelayanan.
Konkretisasi prinsip partisipasi dalam pemerintahan diwujudkan melalui pemberian hak kepada setiap individu untuk didengar pendapatnya sebelum sebuah Keputusan Administrasi Pemerintahan yang bersifat memberatkan dibuat. Dalam praktiknya, hal ini dapat menghindarkan perbuatan semena-mena dan menyalahgunakan kewenangan oleh pejabat administrasi pemerintahan. Pada sisi lainnya, RUU AP memberikan payung hukum yang bersifat umum bagi semua sektor yang memungkinkan terciptanya efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Untuk menjamin kesamaan keberlakuan hukum bagi semua orang dan dalam rangka menghindari terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme, RUU AP juga memuat ketentuan pejabat pemerintahan yang didiskualifikasikan (tidak boleh terlibat) dalam membuat keputusan administrasi pemerintahan. Dari konteks sosiologis Indonesia, ketentuan ini akan mengurangi kroniisme yang sering kali berhubungan dengan tingkat korupsi. Hal ini akan menjadi tindakan preventif untuk mengurangi KKN dalam administrasi pemerintahan dan pelayanan publik. RUU ini juga mengatur keberatan dan gugatan individu dan masyarakat terhadap keputusan administrasi pemerintahan yang dianggap memberatkan dan merugikan.
Berbagai instrumen yang diatur dalam RUU AP pada akhirnya ditujukan untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan perbaikan iklim investasi berupa kepastian hukum. Dari sisi penegakan hukum, RUU ini kelak akan menjadi hukum materiil bagi para hakim di Peradilan Tata Usaha Negara. Meskipun demikian, RUU ini harus dilengkapi dengan reformasi birokrasi lainnya, terutama di bidang Kepegawaian Negara. Komitmen pemerintah dan DPR untuk melakukan reformasi birokrasi dapat diawali dengan membahas dan menetapkan RUU Administrasi Pemerintahan. Semoga.

Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI