Wednesday, April 02, 2008

MASIH SEPUTAR REFORMASI BIROKRASI

Aduh-aduh, hari ini Kompas kembali menurunkan dua opini sekaligus tentang Reformasi Birokrasi. Memang jika dipikir-pikir, reformasi birokrasi untuk negara berkembang seperti Indonesia tak akan habis-habis untuk dibahas. Pembahasan ini sesungguhnya sah-sah saja, karena memang semakin dibahas, diharapkan semakin mengerucut isunya dan semakin mudah dicari penyelesaiannya. Namun harapan tersebut akan menjadi sekedar harapan saja. Pembahasan dari Eko Prasojo, sang guru besar UI cukup fundamental, tetapi masih belum menyentuh isu sebenarnya, begitu juga opini Dita. Namun saya tidak bermaksud melecehkan atau mengabaikan pendapat mereka. Yang saya sayangkan, dari dulu kita tidak pernah mampu keluar dari jurang kemunafikan jika membahas reformasi birokrasi ini.

Maksud saya begini, jika kita belum mampu membuat seorang birokrat bangga dengan peran dan tugasnya, lalu apanya yang mau direformasi?
Jika kita belum mau memberikan gaji memenuhi standar kebutuhan wajar, lalu apanya yang mau direformasi?
Jika kita tetap munafik, disatu sisi membiarkan gaji kecil, tapi disisi lain tetap diberikan tunjangan dan berbagai fasilitas, lalu apanya yang mau disebut reformasi?
Dengan kondisi gaji yang pas-pasan, akan terbayang pensiun dan masa depan yang suram, maka jabatan pun masih akan diincar dan dikejar, lalu apanya yang mau direformasi?

Ini berlaku untuk semua PNS, TNI, guru, dosen dan guru besar sekalipun.

Ngomong reformasi adalah bicara tentang kesejahteraan (dalam arti secukupnya tidak berlebihan) dan sanksi. Diperburuk dengan kondisi politik dan tarik ulur kepentingan diberbagai institusi, sungguh reformasi birokrasi hanyalah fata morgana semata.

Ada baiknya kita bicara nyata dengan mebandingkan PNS atau buruh di Indonesia bukan dengan buruh di negara tetangga, tapi bandingkan lah mereka dengan sapi di eropa dan jepang yang petaninya di subsidi oleh negara karena mau memelihara dan menternakan sapi.

Silakan cek: PNS juga Manusia (Biasa) atau You Pay Peanut, You'll Get Monkey.

SAlam hangat, masih.

Eddy




Reformasi Birokrasi Bukan Birokratisasi Reformasi

Rabu, 2 April 2008 00:37 WIB

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.02.00372274&channel=2&mn=158&idx=158

Oleh Dita Indah Sari
Komisi Pemberantasan Korupsi bergerak cepat. Penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan segera diikuti dengan penahanan dan penggeledahan sejumlah ruangan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung berikut rumah kediaman Sjamsul Nursalim (Kompas, 4/3). Penangkapan ini tentu adalah aib, bukan saja bagi Kejagung, tetapi juga bagi segenap jajaran birokrasi penegakan hukum, bahkan bagi pemerintahan SBY.
Kebobrokan birokrasi di republik kita sudah jamak dirasakan, telah mendarah daging dan berurat akar. Bagaimana mungkin birokrasi bisa mengurus keperluan publik jika mengurus dirinya sendiri saja tidak mampu? KKN, struktur yang gemuk dan tidak efisien, profesionalisme rendah, minimnya gaji, dan cara pandang feodal merupakan wajah publik birokrasi kita, apa pun bidangnya. Reformasi birokrasi pun kemudian menjadi soal mendesak yang banyak dibahas serta menjadi salah satu program pemerintah.
Pembentukan komisi
Reaksi terhadap kekacauan birokrasi kemudian melahirkan gagasan pembentukan berbagai komisi yang juga dikenal sebagai lembaga negara independen. Komisi-komisi ini diharapkan dapat melakukan check and balances serta memelopori penyelenggaraan pemerintahan yang lebih efektif. Komisi-komisi ini juga diharapkan dapat mem-by-pass belitan kusut proses birokrasi sehingga dalam jangka panjang dapat mewujudkan reformasi birokrasi.
Namun, belakangan muncul keluhan soal efektivitas komisi-komisi ini. Selain terlihat ada upaya dari kekuasaan (pemerintah dan DPR) untuk menggergaji otoritasnya, sejumlah komisi sedari awal memang tidak dilengkapi dengan wewenang besar. Beberapa komisi memang kokoh berdiri di atas pijakan UU yang disahkan oleh DPR, tetapi sejumlah lainnya ditetapkan hanya oleh keppres. Komisi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dipersenjatai dengan wewenang untuk menyusun peraturan, memeriksa, memberi putusan yang mengikat, bahkan menjatuhkan sanksi. Namun, tidak sedikit komisi yang hanya berhak memberikan masukan dan rekomendasi kepada pemerintah. Komnas HAM merupakan contoh lembaga yang wewenang puncaknya sekadar memberi rekomendasi kepada Kejaksaan Agung tentang kasus-kasus pelanggaran HAM.
Pendirian berbagai badan ini pada era reformasi (50 lembaga/ komisi negara dan 25 lembaga pemerintah nondepartemen) seakan menciptakan birokratisasi baru. Meskipun dimaksudkan sebagai ”tandingan” atau ”pengimbang” terhadap birokrasi yang ada, dalam praktiknya memang menciptakan prosedur dan formalitas baru.
KPK dan Komnas HAM
Di sisi lain, gebrakan KPK di Kejaksaan Agung memberikan bukti bahwa auxillary bodies atau lembaga tambahan dapat berfungsi sangat efektif jika memiliki otoritas besar. Wewenang KPK yang setara dengan Kejaksaan Agung dalam soal korupsi membuatnya dapat bertindak cepat dan tuntas, mulai dari menyelidiki hingga membawa kasusnya ke pengadilan. Demikian juga hukuman KPPU terhadap Temasek Holdings untuk melepaskan selu- ruh saham di Telkomsel dan Indosat serta membayar denda yang bersifat otoritatif. Hampir mustahil birokrasi resmi pemerintah saat ini berani melakukan kedua hal di atas. Lebih mustahil lagi bagi komisi-komisi yang ada untuk sanggup menjalankan ini tanpa wewenang yang besar.
Kewenangan Komnas HAM yang terbatas membuat begitu banyak kemacetan dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM. Tanpa otoritas untuk melakukan penyidikan dan penuntutan seperti yang dimiliki oleh KPK, upaya Komnas HAM untuk memeriksa berbagai petinggi negara juga mudah dimentahkan. Padahal, hasil penyelidikan dan rekomendasi Komnas HAM biasanya sudah sangat kuat. Pascapembatalan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu, sangat wajar jika untuk mengisi kekosongan yang ada, otoritas Komnas HAM-lah yang diperkuat dalam mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Keberadaan komisi-komisi tanpa pengokohan wewenangnya tidak akan menyumbang banyak dalam upaya percepatan reformasi birokrasi. Sebaliknya, penguatan dan perluasan KPK menjadi suatu keharusan. Untuk saat ini KPK dapat dianggap sebagai ujung tombak membenahi birokrasi yang tercemar. Sudah saatnya KPK dibentuk di daerah- daerah, minimal hingga tingkat provinsi. Dengan otoritas besar, proses seleksi yang ketat tetapi wilayah kerja yang lebih kecil, KPK di daerah-daerah dapat menjadi tulang punggung pemberantasan KKN dalam birokrasi pemerintah daerah. Penggabungan beberapa komisi pun dapat menjadi pilihan jika dinilai dapat membuat proses pengawasan dan penegakan hukum menjadi lebih efektif dan efisien.
Reformasi birokrasi pada intinya menuntut keberanian politik. Penguatan otoritas komisi/ lembaga negara yang strategis, KPK, Komnas HAM, KPPU, dan sebagainya, bergantung pada seberapa besar pemerintah memiliki keberanian dan komitmen untuk membenahi birokrasinya. Reformasi birokrasi pada era reformasi ini dengan sekadar mengandalkan tindakan ad-hoc tidak akan menghasilkan perubahan mendasar.

Dita Indah Sari MPP Papernas

=================
Reformasi Pertama Birokrasi


Rabu, 2 April 2008 00:37 WIB
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.02.00375945&channel=2&mn=158&idx=158

Oleh Eko Prasojo

Gelombang reformasi yang bergulir tahun 1998 ternyata belum mampu menciptakan kesejahteraan umum masyarakat. Dipicu oleh harga minyak dunia, kebutuhan pokok masyarakat pun semakin mahal dan sulit didapatkan. Namun, apakah memang harga minyak dunia yang menjadi penyebab utama semakin sulitnya kehidupan masyarakat? Bukankah di negara- negara lain—bahkan yang tidak memiliki cadangan minyak sekalipun— kondisi ekonomi masyarakatnya tidaklah separah di Indonesia?
Refleksi yang harus dilakukan adalah apakah memang keberadaan dan pekerjaan pemerintah benar-benar menjadi pilar untuk menciptakan kesejahteraan umum masyarakat? Atau sebaliknya pemerintahan yang korup, tidak efisien, tidak profesional, tidak akuntabel, dan tidak sensitiflah yang menjadi akar masalah semakin terpuruknya bangsa ini.
Prahara birokrasi
Barangkali yang paling mudah untuk ditunjuk sebagai penyebab sulitnya menciptakan kesejahteraan umum masyarakat adalah kualitas birokrasi pemerintahan. Lebih jelasnya, negara dan bangsa ini tidak pernah bersungguh-sungguh memperbaiki apa yang disebut sebagai birokrasi pemerintahan.
Kita lebih serius membahas berapa jumlah kursi DPR pada pemilihan umum mendatang, kita lebih konsern berdebat apakah ketentuan electoral treshold tetap akan diberlakukan pada tahun 2009, kita lebih bersemangat untuk melobi apakah jumlah sisa suara akan ditarik ke provinsi atau diletakkan di daerah pemilihan. Namun, siapa yang peduli tentang mengapa dan berapa jumlah uang yang menguap dalam berbagai dana pembangunan dan pelayanan; siapa pula yang harus memberi perhatian tentang buruknya pelayanan publik; dan siapa yang tertarik untuk memerhatikan betapa kecilnya gaji pegawai negeri sehingga terpaksa harus mencuri uang negara dan masyarakat dalam memberikan pelayanan publik.
Prahara buruknya birokrasi pemerintahan adalah sebab utama mengapa negara ini tidak pernah selesai dengan keterpurukan ekonomi. Birokrasi pemerintahan adalah mesin yang menggerakkan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Mesin itu sudah sangat tua dan renta sehingga berjalan sendiri pun sangat sulit, apalagi menggerakkan dan mendorong pembangunan bagi masyarakatnya.
Kondisi ini dipersulit oleh beberapa hal: pertama, keseriusan dan kemauan politik untuk merevitalisasi dan meremajakan mesin birokrasi sangatlah lemah jika tidak mau dikatakan tidak ada. Kedua, birokrasi pemerintahan adalah sasaran yang sangat potensial bagi partai politik untuk menjara uang negara melalui koalisi politik dan birokrasi. Ketiga, sejak kita merdeka ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perilaku birokrasi untuk melayani masyarakat tidaklah kondusif. Keempat, masyarakat berada dalam posisi yang sangat lemah ketika berhadap-hadapan dengan pemerintah, tidak ada posisi tawar dan bahkan selalu menjadi pihak yang paling dirugikan.
Prinsip-prinsip good governance yang didengungkan dan ditabuhkan oleh berbagai pihak, baik lembaga donor maupun lembaga pemerintah, adalah isapan jempol belaka. Dalam praktiknya, prinsip-prinsip tersebut berada dalam ruang yang hampa karena tidak menjelma menjadi norma hukum yang konkret dan tidak menjadi darah daging dan jiwa penyelenggara pemerintahan. Tidak sulit mencari jawaban, mengapa kemakmuran masyarakat tidak bisa diciptakan. Karena birokrasi pemerintahan yang menjadi mesin pembangunan kesejahteraan masyarakat mengalami peradangan akut, yang tidak diupayakan secara serius penyembuhannya.
Jalan baru
Buruknya birokrasi pemerintahan harus segera diperbaiki dengan langkah-langkah reformasi. Tidak ada jalan lain. Semakin lama kita menunda reformasi birokrasi, semakin lama dan sulit harapan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan. Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah memulai langkah reformasi birokrasi dengan menyusun Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP). RUU ini penting dalam kacamata reformasi birokrasi karena menjadi instrumen mewujudkan prinsip-prinsip good governance dalam norma hukum yang bersifat mengikat, baik bagi pejabat birokrasi maupun masyarakat. Instrumentasi pasal-pasal dalam RUU ini dimaksudkan untuk mengatur perilaku pejabat birokrasi dalam menyelenggarakan pemerintahan—terutama dalam membuat keputusan—serta relasi antara birokrasi dan masyarakat yang setara dalam pemerintahan dan pelayanan.
Konkretisasi prinsip partisipasi dalam pemerintahan diwujudkan melalui pemberian hak kepada setiap individu untuk didengar pendapatnya sebelum sebuah Keputusan Administrasi Pemerintahan yang bersifat memberatkan dibuat. Dalam praktiknya, hal ini dapat menghindarkan perbuatan semena-mena dan menyalahgunakan kewenangan oleh pejabat administrasi pemerintahan. Pada sisi lainnya, RUU AP memberikan payung hukum yang bersifat umum bagi semua sektor yang memungkinkan terciptanya efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Untuk menjamin kesamaan keberlakuan hukum bagi semua orang dan dalam rangka menghindari terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme, RUU AP juga memuat ketentuan pejabat pemerintahan yang didiskualifikasikan (tidak boleh terlibat) dalam membuat keputusan administrasi pemerintahan. Dari konteks sosiologis Indonesia, ketentuan ini akan mengurangi kroniisme yang sering kali berhubungan dengan tingkat korupsi. Hal ini akan menjadi tindakan preventif untuk mengurangi KKN dalam administrasi pemerintahan dan pelayanan publik. RUU ini juga mengatur keberatan dan gugatan individu dan masyarakat terhadap keputusan administrasi pemerintahan yang dianggap memberatkan dan merugikan.
Berbagai instrumen yang diatur dalam RUU AP pada akhirnya ditujukan untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan perbaikan iklim investasi berupa kepastian hukum. Dari sisi penegakan hukum, RUU ini kelak akan menjadi hukum materiil bagi para hakim di Peradilan Tata Usaha Negara. Meskipun demikian, RUU ini harus dilengkapi dengan reformasi birokrasi lainnya, terutama di bidang Kepegawaian Negara. Komitmen pemerintah dan DPR untuk melakukan reformasi birokrasi dapat diawali dengan membahas dan menetapkan RUU Administrasi Pemerintahan. Semoga.

Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI

No comments: