Tuesday, December 30, 2008

"Tongkat Membawa Rebah"

Akhirnya Allah menunjukkan kebesarannya juga. Setelah DPR masih ngotot mengesahkan UU MA yang mengizinkan hakim agung menerima gaji dari republik hingga usia 70 tahun, Wakil Ketua MA pun terpaksa mengakui kekuatan yang dimilikinya sudah tidak layak untuk berkarya. PAdahal baru 67 tahun, kurang 3 tahun lagi hingga akhir batas pensiun yang diizinkan UU baru. APa mau dikata, kondisi alamiah terutama usia sudah harus diinsafi, bukan malah diplintir dan mematikan karir banyak pejabat dibawahnya. Akh..atau mungkin saya yang salah.

detikNews : situs warta era digital | Kronologi Terjatuhnya Wakil Ketua MA Harifin A Tumpa

Selasa, 30/12/2008 15:07 WIB
Kronologi Terjatuhnya Wakil Ketua MA Harifin A Tumpa
Indra Subagja - detikNews

Jakarta - Wakil Ketua Harifin A Tumpa tidak menyangka kram akan menimpa dirinya. Akibatnya, calon kuat Ketua MA itu pun sempat terjatuh saat hendak melantik 6 hakim agung baru.

Peristiwa jatuhnya Harifin terjadi sekitar pukul 11.10 WIB, Selasa (30/12/2008) di Gedung MA, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta.

Sebelumnya, sekitar pukul 10.00 WIB, Harifin sempat melantik 4 Ketua Pengadilan Tinggi. Dan selama 30 menit dia berdiri, tidak terjadi peristiwa apa pun.

Selesai pelantikan para ketua pengadilan tinggi, acara ditunda selama 30 menit, untuk persiapan pelantikan hakim agung. Sekitar pukul 11.00 WIB, acara pelantikan dimulai.

29 Hakim agung berbaris, 21 di antaranya berdiri di podium hakim. Sedang Harifin beserta 8 hakim lainnya yang mengenakan seragam kebesaran hakim, berdiri di hadapan 6 hakim agung baru.

Pembawa acara kemudian mengumumkan dimulainya proses pelantikan. Saat itu sebagai Wakil Ketua MA, Harifin didaulat membacakan Keppres pengangkatan hakim agung. Namun tidak disangka saat hendak melangkah menuju pengeras suara, tiba-tiba dia terjatuh.

Untungnya, hakim agung yang berada di kanan dan kiri Harifin, segera menyambar tubuhnya. Tubuh hakim yang akan berusia 67 tahun pada Februari 2009 mendatang itu pun tidak sampai rebah ke lantai.

Para undangan yang saat itu tengah duduk menyimak proses pelantikan pun terhenyak. Mereka berdiri dari kursinya, ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi. Sedang beberapa staf dari MA segera berlarian memberi pertolongan pada Harifin yang mengenakan toga lengkap hakim agung.

"Acara pelantikan diskors," ucap pembawa acara memberi pengumuman.

Namun, tidak lama kemudian, Harifin tampak sehat kembali dan bisa melanjutkan acara. Meski begitu, satu kursi kemudian diberikan pada Harifin. Sambil duduk, dia pun membacakan Keppres.

Duduk sekitar 10 menit di kursi, Harifin akhirnya kembali melanjutkan acara dengan berdiri, untuk membacakan sumpah hakim agung. Dan prosesi pelantikan kembali dilanjutkan seperti biasa.

"Asam urat saya agak tinggi," ujar Harifin setelah acara.

Saat liburan, dia memang bermain dengan cucunya di Bandung. "Mungkin saya agak kurang istirahat," kata Harifin.(ndr/nrl)

Saturday, December 27, 2008

Siapa yang harus diikuti: Imam atau Makmum?


Banyak Imam "Ngawur" di Indonesia.

Maaf, to the point saja. Saya lagi kesal sama manusia Indonesia yang kebetulan beragama Islam dan kebetulan lagi sering di daulat jadi imam pada saat shalat berjamaah. Pasalnya, banyak di antara mereka entah karena ada tumor diotaknya atau memang menganut paham "miring", sehingga sering kali memiringkan sajadahnya ke kanan. Meski shalat sudah dilaksanakan di mesji atau musholla yang nota bene pasti sudah di stel atau di "adjust" arahnya kepada kiblat umat Islam di Mekkah.

Entah gejala apa ini. Tapi buat sebagian orang mungkin gak terlalu masalah. Namun bagi saya ini cukup mengganggu. Betapa tidak, jika kita ikut shalat berjamaah dan akhirnya tahu ada imam yang memiringkan lagi sekitar 15-20 derajat kekanan, artinya kita tidak searah dengan Imam tersebut, padahal kita adalah pengikut imam itu guna dapat melaksanakan shalat fardhu berjamaah yang InsyaAllah pahalanya jauh lebih besar dibanding melaksanakan shalat sendirian.

Di beberapa mesjid atau musholla sering saya jumpai sajadah imam yang mirin dan melenceng jika dibanding arah sajadah makmum yang dibelakangnya.

Ah....mudah2-an bisa ditertibkan atau paling tidak ada kelompok yang dapat menghimbau hal ini kepada umat Islam. Sungguh saya prihatin, namun hanya bisa menulis di Fb untuk sementara waktu. Meski terkadang sehabis shalat saya sering berdiskusi, pura-pura sih diskusi, dengan imam2 tersebut lalu bagian akhir mengingatkan. Namun seperti biasa, imam mesjid itu rata-rata teguh dengan pendiriannya dan agak "gelap mata". Pokoknya ya pokoknya, dan sayapun biasanya pamit sambil mengucapkan terserah anda.., saya hanya ingin menyampaikan sesuatu yang menurut saya keliru dan sebaiknya diperbaiki.

Wallahualalm bissawab.

Monday, December 22, 2008

GDP : Suatu Besaran atau Indikator yang sering diabaikan pemimpin kita.

GDP mungkin sudah sangat sering kita dengar sebagai satu besaran ekonomi makro yang menjadi indikator "kesehatan" dan "kesejahteraan" suatu bangsa. Dalam praktek sehari-hari , sering kali kita saksikan banyak pimpinan yang abai akan GDP. Ia tidak pernah tahu dan mau tahu betapa secara internasional dan pergaulan dunia bangsa kita memang masih tergolong setingkat di atas negara miskin, alias masih jauh dari sebutan negara kaya. Namun karena banyak pemimpin kita yang kekayaan dan gaya hidupnya sudah jauh di atas rata-rata orang kaya di negara maju sekalipun, maka tidak pelak lagi mereka menjadi "buta" dan abai terhadap sebagian lain penduduk dan WNI. Karena itu saya pernah melawan langsung di di tempat diskusi ketika salah seorang menteri di zaman Gusdur mewanti-wanti agar rakyat Indonesia jangan begini-begitu atau terlalu begini-begitu, nanti "bisa seperti Rusia" kata sang Menteri.

Seketika itu pula saya sampaikan dengan santun, bahwa saya mau pak negara saya seperti Rusia, karena faktanya Rusia jauh lebih tinggi GDP nya dari kita, apalagi GDP per capita yang jauh di atas Indonesia. Sungguh tidak mudah mengerti dan memahami suatu persoalan, namun bangsa kita lebih cepat mengomongkannya dari pada mempelajarinya. Namun bisa seperti Rusia bukan berarti saya mengizinkan negara saya kembali menjadi negara sosialis, apalagi berhaluan komunis. Itu sih perkara lain, tegas saya. Yang pasti saya mau negara saya setingkat dengan Argentina, atau juga Peru, apalagi Rusia yang sekarang nyata-nyata menjadi sangat sejahtera ketika mereka mampu meraup "petro dollar" disaat harga minyak sangat tinggi. Bagaimana kita? "Harga minyak naik buntung, harga minyak turun bingung!"

Tulisan berikut adalah resource yang sangat baik tentang GDP dan bagaimana sebaiknya pemimpin atau calon pemimpin Indonesia memahami nya.

Semoga berguna.


ES



Finance & Development
A quarterly magazine of the IMF
December 2008, Volume 45, Number 4

Back to Basics
Tim Callen

What Is Gross Domestic Product?
Many professions commonly use acronyms. To doctors, accountants, and baseball players, the letters MRI (magnetic resonance imaging), GAAP (generally accepted accounting principles), and ERA (earned run average), respectively, need no explanation. To someone unfamiliar with these fields, however, without an explanation these acronyms are a stumbling block to a better understanding of the subject at hand.

Economics is no different. Economists use many acronyms. One of the most common is GDP, which stands for gross domestic product. It is often cited in newspapers, on the television news, and in reports by governments, central banks, and the business community. It has become widely used as a reference point for the health of national and global economies. When GDP is growing, especially if inflation is not a problem, workers and businesses are generally better off than when it is not.

Measuring GDP
GDP measures the monetary value of final goods and services—that is, those that are bought by the final user—produced in a country in a given period of time (say a quarter or a year). It counts all the output generated within the borders of a country. GDP is composed of goods and services produced for sale in the market and also includes some nonmarket production, such as defense or education services provided by the government. An alternative concept, gross national product, or GNP, counts all the output of the residents of a country. So if a German-owned company has a factory in the United States, the output of this factory would be included in U.S. GDP, but in German GNP.

Not all productive activity is included in GDP. For example, unpaid work (such as that performed in the home or by volunteers) and black-market activities are not included because they are difficult to measure and value accurately. That means, for example, that a baker who produces a loaf of bread for a customer would contribute to GDP, but would not contribute to GDP if he baked the same loaf for his family.

Moreover, "gross" domestic product takes no account of the wear and tear on the machinery, buildings, and so on (the so-called capital stock) that are used in producing the output. If this depletion of the capital stock, called depreciation, is subtracted from GDP, we get net domestic product.

Theoretically, GDP can be viewed in three different ways.
• The production approach sums the "value added" at each stage of production, where value added is defined as total sales minus the value of intermediate inputs into the production process. For example, flour would be an intermediate input and bread the final product, or an architect's services would be an intermediate input and the building the final product.
• The expenditure approach adds up the value of purchases made by final users—for example, the consumption of food, televisions, and medical services by households; the investments in machinery by companies; and the purchases of goods and services by the government and foreigners.
• The income approach sums the incomes generated by production—for example, the compensation employees receive and the operating surplus of companies (roughly sales minus costs).

GDP in a country is usually calculated by the national statistical agency, which compiles the information from a large number of sources. In making the calculations, however, most countries follow established international standards. The international standard for measuring GDP is contained in the System of National Accounts, 1993, compiled by the International Monetary Fund, the European Commission, the Organization for Economic Cooperation and Development, the United Nations, and the World Bank.

Real GDP
One thing people want to know about an economy is whether its total output of goods and services is growing or shrinking. But because GDP is collected at current, or nominal, prices, one cannot compare two periods without making adjustments for inflation. To determine "real" GDP, its nominal value must be adjusted to take into account price changes to allow us to see whether the value of output has gone up because more is being produced or simply because prices have increased. A statistical tool called the price deflator is used to adjust GDP from nominal to constant prices.

GDP is important because it gives information about the size of the economy and how an economy is performing. The growth rate of real GDP is often used as an indicator of the general health of the economy. In broad terms, an increase in real GDP is interpreted as a sign that the economy is doing well. When real GDP is growing strongly, employment is likely to be increasing as companies hire more workers for their factories and people have more money in their pockets. At present, concerns are in the opposite direction. After several years of exceptionally strong real GDP growth, many countries are experiencing a slowdown, with real GDP estimated to have declined in a number of industrial countries in recent quarters. But real GDP growth does move in cycles over time. Economies are sometimes in periods of boom, and sometimes periods of slow growth or even recession (with the latter sometimes defined as two consecutive quarters in which output declines). In the United States, for example, there were six recessions of varying length and severity between 1950 and 2007 (see chart). The National Bureau of Economic Research makes the call on the dates of U.S. business cycles.

Growth and gaps

Comparing GDPs of two countries

GDP is measured in the currency of the country in question. That requires adjustment when trying to compare the value of output in two countries using different currencies. The usual method is to convert the value of GDP of each country into U.S. dollars and then compare them. Conversion to dollars can be done either using market exchange rates—those that prevail in the foreign exchange market—or purchasing-power-parity (PPP) exchange rates. The PPP exchange rate is the rate at which the currency of one country would have to be converted into that of another to purchase the same amount of goods and services in each country (see "Back to Basics" in the March 2007 issue of Finance & Development). There is a large gap between market and PPP-based exchange rates in emerging market and developing countries. For most emerging market and developing countries, the ratio of the market and PPP U.S. dollar exchange rates is between 2 and 4. This is because nontraded goods and services tend to be cheaper in low-income than in high-income countries—for example, a haircut in New York is more expensive than in Bishkek—even when the cost of making tradable goods, such as machinery, across two countries is the same. For advanced countries, market and PPP exchange rates tend to be much closer. These differences mean that emerging market and developing countries have a higher estimated dollar GDP when the PPP exchange rate is used.

The IMF publishes an array of GDP data on its website (www.imf.org). International institutions such as the IMF also calculate global and regional measures of real GDP growth. These give an idea of how quickly or slowly the world economy or the economies in a particular region of the world are growing. The aggregates are constructed as weighted averages of the GDP in individual countries, with weights reflecting each country's share of GDP in the group (with PPP exchange rates used to determine the appropriate weights). So, for example, the updated edition of the IMF's World Economic Outlook projects that global real GDP will grow by 2.2 percent in 2009, down from 3.7 percent this year (and 5 percent in 2007). Advanced economies are expected to contract for the first time on an annual basis since World War II.

What GDP does not reveal
It is also important to understand what GDP cannot tell us. GDP is not a measure of the overall standard of living or well-being of a country. Although changes in the output of goods and services per person (GDP per capita) are often used as a measure of whether the average citizen in a country is better or worse off, it does not capture things that may be deemed important to general well-being. So, for example, increased output may come at the cost of environmental damage or other external costs, such as noise. Or it might involve the reduction of leisure time or the depletion of nonrenewable natural resources. The quality of life may also depend on the distribution of GDP among the residents of a country, not just the overall level. To try to account for such factors, the United Nations computes a Human Development Index, which ranks countries not only based on GDP per capita, but on other factors, such as life expectancy, literacy, and school enrollment. Other attempts have been made to account for some of the shortcomings of GDP, such as the Genuine Progress Indicator and the Gross National Happiness Index, but these too have their critics.

Tim Callen is a Division Chief in the IMF's Middle East and Central Asia Department.

Saturday, December 13, 2008

Harus hati-hati: PT Pertamina Akui Kewalahan Pasok Gas

Kudu hati-hati nih..kalau Pertamina udah mulai ngeles begini pasti ada yang gak beres. Pastinya, setelah konversi dari minyak tanah ke gas di selanggarakan ternyata masalah yang dihadapi dilapangan makin berlipat. Mulai dari pasokan atau supply di hulu hingga ke masalah distribusi di hilir. Lalu pertanyaannya, kalau memang kita tidak siap dan belum punya perencanaan matang, mengapa ESDM "memaksakan" konversi itu. Padahal semua juga tahu dan mulai menyaksikan bbrp bulan sebelum konversi masayarakat sudah mulai berpindah ke briket batu bara. Bahkan dulu tetangga di komplek saya sudah mulai menjadi penyalur briket dan dengan bangganya memampangkan spanduk di depan rumahnya "Disini Tersedia Briket Batu Bara"....Kecian deh kita.

Mungkin bisa dicek juga tulisan saya dulu di majalah Hilir BPH Migas.


KOMPAS Cetak : PT Pertamina Akui Kewalahan Pasok Gas

Kamis, 11 Desember 2008 | 03:00 WIB

PT Pertamina Akui Kewalahan Pasok Gas
Mendesak Penambahan Infrastruktur untuk Imbangi Konversi
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO / Kompas Images
Puluhan kendaraan pengangkut tabung gas ukuran 3 kilogram antre mengisi tabung di Stasiun Pengisian Bulk Elpiji di Kawasan Srengseng, Jakarta Barat, Rabu (10/12). Antrean tersebut merupakan buntut dari keterlambatan pasokan elpiji ke SPBE. Mereka membutuhkan waktu seharian, bahkan lebih dari satu hari, untuk antre.


Jakarta, Kompas - Lonjakan pemakaian elpiji pascakonversi bergulir membuat Pertamina kewalahan karena kondisi infrastruktur bongkar muat elpiji yang terbatas. Akibatnya, rawan terjadi gangguan pasokan gas elpiji ke masyarakat.

”Konsumsi elpiji berjalan sangat cepat setelah konversi berjalan,” ujar Direktur Utama PT Pertamina Ari H Soemarno, dalam jumpa pers, Rabu (10/12), di Jakarta.

Pertamina, menurut Ari, perlu menambah fasilitas kapal pengisian elpiji untuk mengamankan pasokan elpiji tahun depan. Namun, ia membantah kalau terjadi keterlambatan impor.

Vice President Gas Domestik PT Pertamina Wahyudin Akbar, mengemukakan, sejak konversi elpiji sudah stabil, konsumsi elpiji rumah tangga melonjak dari kemasan 3.000 ton per hari menjadi 6.000 ton per hari. Sementara, kondisi infrastruktur penyimpanan dan fasilitas pengisian elpiji belum bertambah.

Keterbatasan infrastruktur

Hal inilah yang menjadi penyebab distribusi elpiji ke masyarakat di sebagian Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah, terputus karena ada gangguan suplai dari Kilang Cilacap dan Kilang Balongan. Apabila dirunut, pasokan elpiji berasal dari produksi kilang milik Pertamina sendiri (jumlahnya hanya sekitar 2.000 ton per hari). Pasokan dari kilang swasta (antara lain kilang elpiji Petrochina di Tanjung Jabung, Jambi, kilang ConocoPhillips di Natuna), dan impor.

Ketika kilang Cilacap dan Balongan stop berproduksi seperti yang terjadi pekan lalu, otomatis pengisian elpiji harus dialihkan ke sumber nonkilang Pertamina (dari kilang swasta yang ada di luar Jawa) atau pun impor. Fasilitas pengisian elpiji ini seperti yang ada di Terminal Tanjung Priok, Eretan-Indramayu, dan Surabaya.

Akan tetapi karena kapasitasnya yang terbatas, fasilitas pengisian ini tidak sanggup memenuhi kebutuhan agen stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBBE). Pengisian elpiji pun tersendat.

Wahyudin mengatakan, penambahan fasilitas penyimpanan dan bongkar muat elpiji tahun depan harus ditambah. Mengingat dengan target konversi elpiji sebanyak 17 juta keluarga, konsumsi elpiji diperkirakan mencapai 11.000 ton per hari.

Tahun depan, akan ada dua terminal pengisian baru yang berlokasi di Semarang dan Gresik. Selain itu, Pertamina juga merencanakan ada fasilitas pengisian terapung di Balongan dan Cilacap agar pengisian elpiji di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat tidak terganggu, meskipun kilang berhenti operasi.

Hal senada juga disuarakan oleh Ketua Umum Himpunan Wiraswastawan Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Muhammad Nuradib. Menurut Nuradib, kelangkaan itu karena baru ada beberapa perusahaan distributor kecil yang bersedia menjadi distributor gas, yaitu Blue Gas dan My Gas.

”Inti persoalan terjadinya kelangkaan elpiji adalah minimnya infrastruktur, seperti terminal dan SPBBE. Saat ini, untuk memasok Jawa dan Sumatera, Pertamina hanya punya empat terminal naik turunnya elpiji dari kapal angkut. Sejak awal direncanakan pembangunan lebih dari 200 SPBBE, namun yang terealisasi baru 25 SPBBE. Lambannya realisasi itu karena sulitnya perizinan di daerah,” kata Nuradib.

Menurut Nuradib, hingga Desember ini, pembangunan terminal di Lampung, Serang, Cilegon, dan Semarang masih dalam proses. Jika terminal dan SPBBE makin banyak dan tersebar, distribusi elpiji bakal mudah dan efektif.

Sementara Kepala Hubungan Pemerintahan dan Masyarakat Pertamina Unit Pengolahan VI Balongan Darijanto menginformasikan, perbaikan rutin pada kilang gas dilakukan sejak akhir November dan direncanakan selesai pertengahan Desember ini. Sementara ini, pasokan gas LPG di wilayah Cirebon dan sekitarnya dipasok dari SPBE Eretan.

Kesalahan pemerintah

Namun berbagai kalangan tidak bisa begitu saja menerima argumentasi Pertamina. Mereka menggugat agar Pemerintah dan Pertamina bertanggung atas kelangkaan gas elpiji. Tuntutan itu kian kuat karena masyarakat kini tidak memiliki alternatif pemakaian bahan bakar lain.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Husna Zahir, Rabu (10/12) mengatakan, pemerintah sendiri yang menciptakan kondisi ini setelah menutup akses masyarakat memilih bahan bakar alternatif, seperti minyak tanah. ”Jadi pemerintah turut bertanggung jawab jika distribusi elpiji kerap bermasalah," kata Husna.

Monopoli distribusi bahan bakar memberi dampak kurang baik. Perusahaan distributor bisa berbuat sesukanya dan merugikan konsumen. Seharusnya pemerintah memiliki sistem proteksi sehingga bisa memastikan pasokan gas aman. .

Akibat kekacauan itu masyarakat yang harus menanggungnya. Kristi (27) penjual ayam goreng tepung di Pasar Kebayoran Lama sempat tidak berjualan satu hari saat pasokan elpiji terputus, Sabtu (6/12) lalu. Dia berkeliling mencari isi ulang elpiji di sekitar Jakarta Selatan hingga Tangerang, namun tetap gagal.

Kekosongan pasokan gas 3 kilogram (kg) juga dirasakan di Rangkasbitung, Banten. Hampir seluruh warung pengecer gas elpiji kemasan 3 kg di Kota Rangkasbitung, Kabupaten Lebak dan sekitarnya kehabisan stok elpiji. Tabung-tabung kosong sudah seminggu menumpuk di warung, karena agen elpiji tak kunjung datang. Kondisi itu membuat warga kebingungan, dan terpaksa berkeliling berburu elpiji.

Sejumlah agen di Serang belum mendapat pasokan elpiji 3 kg. Sebagian besar truk pengangkut elpiji masih mengantre di SPBBE Bojonegara. Beberapa truk dari SPBBE langsung diserbu pembeli sehingga dalam dua jam gas itu sudah habis.

Bahkan dari Kota Semarang dikabarkan, kelangkaan gas elpiji 3 kg dan 12 kg sudah terjadi sejak tiga pekan terakhir. Sejumlah warga terpaksa beralih menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak karena sulit memperoleh elpiji.

Kelangkaan elpiji juga terjadi di Solo. Menurut Kepala Bidang Elpiji Hiswana Migas Surakarta Tien Suprapto, sudah seminggu ini pasokan elpiji tersendat.

Menurut Assistant Manager External Relation PT Pertamina Pemasaran Bahan Bakar Minyak Retail Region IV Jateng dan DI Yogyakarta Heppy Wulansari, kondisi ini akibat lalu lintas kapal dari terminal elpiji Surabaya dan Eretan, Cirebon, terganggu. (ksp/dot/nel/nta/ ILO/DEN/EKI/THT)