Saturday, December 13, 2008

Harus hati-hati: PT Pertamina Akui Kewalahan Pasok Gas

Kudu hati-hati nih..kalau Pertamina udah mulai ngeles begini pasti ada yang gak beres. Pastinya, setelah konversi dari minyak tanah ke gas di selanggarakan ternyata masalah yang dihadapi dilapangan makin berlipat. Mulai dari pasokan atau supply di hulu hingga ke masalah distribusi di hilir. Lalu pertanyaannya, kalau memang kita tidak siap dan belum punya perencanaan matang, mengapa ESDM "memaksakan" konversi itu. Padahal semua juga tahu dan mulai menyaksikan bbrp bulan sebelum konversi masayarakat sudah mulai berpindah ke briket batu bara. Bahkan dulu tetangga di komplek saya sudah mulai menjadi penyalur briket dan dengan bangganya memampangkan spanduk di depan rumahnya "Disini Tersedia Briket Batu Bara"....Kecian deh kita.

Mungkin bisa dicek juga tulisan saya dulu di majalah Hilir BPH Migas.


KOMPAS Cetak : PT Pertamina Akui Kewalahan Pasok Gas

Kamis, 11 Desember 2008 | 03:00 WIB

PT Pertamina Akui Kewalahan Pasok Gas
Mendesak Penambahan Infrastruktur untuk Imbangi Konversi
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO / Kompas Images
Puluhan kendaraan pengangkut tabung gas ukuran 3 kilogram antre mengisi tabung di Stasiun Pengisian Bulk Elpiji di Kawasan Srengseng, Jakarta Barat, Rabu (10/12). Antrean tersebut merupakan buntut dari keterlambatan pasokan elpiji ke SPBE. Mereka membutuhkan waktu seharian, bahkan lebih dari satu hari, untuk antre.


Jakarta, Kompas - Lonjakan pemakaian elpiji pascakonversi bergulir membuat Pertamina kewalahan karena kondisi infrastruktur bongkar muat elpiji yang terbatas. Akibatnya, rawan terjadi gangguan pasokan gas elpiji ke masyarakat.

”Konsumsi elpiji berjalan sangat cepat setelah konversi berjalan,” ujar Direktur Utama PT Pertamina Ari H Soemarno, dalam jumpa pers, Rabu (10/12), di Jakarta.

Pertamina, menurut Ari, perlu menambah fasilitas kapal pengisian elpiji untuk mengamankan pasokan elpiji tahun depan. Namun, ia membantah kalau terjadi keterlambatan impor.

Vice President Gas Domestik PT Pertamina Wahyudin Akbar, mengemukakan, sejak konversi elpiji sudah stabil, konsumsi elpiji rumah tangga melonjak dari kemasan 3.000 ton per hari menjadi 6.000 ton per hari. Sementara, kondisi infrastruktur penyimpanan dan fasilitas pengisian elpiji belum bertambah.

Keterbatasan infrastruktur

Hal inilah yang menjadi penyebab distribusi elpiji ke masyarakat di sebagian Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah, terputus karena ada gangguan suplai dari Kilang Cilacap dan Kilang Balongan. Apabila dirunut, pasokan elpiji berasal dari produksi kilang milik Pertamina sendiri (jumlahnya hanya sekitar 2.000 ton per hari). Pasokan dari kilang swasta (antara lain kilang elpiji Petrochina di Tanjung Jabung, Jambi, kilang ConocoPhillips di Natuna), dan impor.

Ketika kilang Cilacap dan Balongan stop berproduksi seperti yang terjadi pekan lalu, otomatis pengisian elpiji harus dialihkan ke sumber nonkilang Pertamina (dari kilang swasta yang ada di luar Jawa) atau pun impor. Fasilitas pengisian elpiji ini seperti yang ada di Terminal Tanjung Priok, Eretan-Indramayu, dan Surabaya.

Akan tetapi karena kapasitasnya yang terbatas, fasilitas pengisian ini tidak sanggup memenuhi kebutuhan agen stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBBE). Pengisian elpiji pun tersendat.

Wahyudin mengatakan, penambahan fasilitas penyimpanan dan bongkar muat elpiji tahun depan harus ditambah. Mengingat dengan target konversi elpiji sebanyak 17 juta keluarga, konsumsi elpiji diperkirakan mencapai 11.000 ton per hari.

Tahun depan, akan ada dua terminal pengisian baru yang berlokasi di Semarang dan Gresik. Selain itu, Pertamina juga merencanakan ada fasilitas pengisian terapung di Balongan dan Cilacap agar pengisian elpiji di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat tidak terganggu, meskipun kilang berhenti operasi.

Hal senada juga disuarakan oleh Ketua Umum Himpunan Wiraswastawan Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Muhammad Nuradib. Menurut Nuradib, kelangkaan itu karena baru ada beberapa perusahaan distributor kecil yang bersedia menjadi distributor gas, yaitu Blue Gas dan My Gas.

”Inti persoalan terjadinya kelangkaan elpiji adalah minimnya infrastruktur, seperti terminal dan SPBBE. Saat ini, untuk memasok Jawa dan Sumatera, Pertamina hanya punya empat terminal naik turunnya elpiji dari kapal angkut. Sejak awal direncanakan pembangunan lebih dari 200 SPBBE, namun yang terealisasi baru 25 SPBBE. Lambannya realisasi itu karena sulitnya perizinan di daerah,” kata Nuradib.

Menurut Nuradib, hingga Desember ini, pembangunan terminal di Lampung, Serang, Cilegon, dan Semarang masih dalam proses. Jika terminal dan SPBBE makin banyak dan tersebar, distribusi elpiji bakal mudah dan efektif.

Sementara Kepala Hubungan Pemerintahan dan Masyarakat Pertamina Unit Pengolahan VI Balongan Darijanto menginformasikan, perbaikan rutin pada kilang gas dilakukan sejak akhir November dan direncanakan selesai pertengahan Desember ini. Sementara ini, pasokan gas LPG di wilayah Cirebon dan sekitarnya dipasok dari SPBE Eretan.

Kesalahan pemerintah

Namun berbagai kalangan tidak bisa begitu saja menerima argumentasi Pertamina. Mereka menggugat agar Pemerintah dan Pertamina bertanggung atas kelangkaan gas elpiji. Tuntutan itu kian kuat karena masyarakat kini tidak memiliki alternatif pemakaian bahan bakar lain.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Husna Zahir, Rabu (10/12) mengatakan, pemerintah sendiri yang menciptakan kondisi ini setelah menutup akses masyarakat memilih bahan bakar alternatif, seperti minyak tanah. ”Jadi pemerintah turut bertanggung jawab jika distribusi elpiji kerap bermasalah," kata Husna.

Monopoli distribusi bahan bakar memberi dampak kurang baik. Perusahaan distributor bisa berbuat sesukanya dan merugikan konsumen. Seharusnya pemerintah memiliki sistem proteksi sehingga bisa memastikan pasokan gas aman. .

Akibat kekacauan itu masyarakat yang harus menanggungnya. Kristi (27) penjual ayam goreng tepung di Pasar Kebayoran Lama sempat tidak berjualan satu hari saat pasokan elpiji terputus, Sabtu (6/12) lalu. Dia berkeliling mencari isi ulang elpiji di sekitar Jakarta Selatan hingga Tangerang, namun tetap gagal.

Kekosongan pasokan gas 3 kilogram (kg) juga dirasakan di Rangkasbitung, Banten. Hampir seluruh warung pengecer gas elpiji kemasan 3 kg di Kota Rangkasbitung, Kabupaten Lebak dan sekitarnya kehabisan stok elpiji. Tabung-tabung kosong sudah seminggu menumpuk di warung, karena agen elpiji tak kunjung datang. Kondisi itu membuat warga kebingungan, dan terpaksa berkeliling berburu elpiji.

Sejumlah agen di Serang belum mendapat pasokan elpiji 3 kg. Sebagian besar truk pengangkut elpiji masih mengantre di SPBBE Bojonegara. Beberapa truk dari SPBBE langsung diserbu pembeli sehingga dalam dua jam gas itu sudah habis.

Bahkan dari Kota Semarang dikabarkan, kelangkaan gas elpiji 3 kg dan 12 kg sudah terjadi sejak tiga pekan terakhir. Sejumlah warga terpaksa beralih menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak karena sulit memperoleh elpiji.

Kelangkaan elpiji juga terjadi di Solo. Menurut Kepala Bidang Elpiji Hiswana Migas Surakarta Tien Suprapto, sudah seminggu ini pasokan elpiji tersendat.

Menurut Assistant Manager External Relation PT Pertamina Pemasaran Bahan Bakar Minyak Retail Region IV Jateng dan DI Yogyakarta Heppy Wulansari, kondisi ini akibat lalu lintas kapal dari terminal elpiji Surabaya dan Eretan, Cirebon, terganggu. (ksp/dot/nel/nta/ ILO/DEN/EKI/THT)

No comments: