Thursday, September 27, 2007

Ada apa dengan Bagir Manan?

Judul di atas adalah pertanyaan dari seorang pembaca MEdia Indonesia (27/9/07) yang mengatakan Bagir membuat keputusan sesuai maunya. "Menaikkan pungutan biaya perkara tanpa persetujuan Menteri Keuangan. Memperpanjang sendiri masa jabatan... Membolehkan hakim dan jaksa menerima bingkisan dari manapun. Mangkir dari pengadilan dan juga tidak mau diaudit BPK".

Apa yang terjadi di negeri ini. KOk semua dari semula membiarkan saja?

ES

Suap KY-KPK: Menjebak Terjebak?

Gak usah peduli mana yang benar. Menjebak atau terjebak? Satu yang pasti, KKN termasuk suap masih terus berjuang untuk berkibar di republik ini.

ES

====
Republika/http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=308491&kat_id=3

Kamis, 27 September 2007 7:43:00

KPK Tangkap Anggota KY

JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap anggota Komisi Yudisial (KY), Irawady Joenoes, dan rekanan pengadaan tanah bakal lokasi gedung KY, Rabu (26/9). KPK menemukan uang tunai Rp 600 juta di tas Irawady dan 30 ribu dolar AS di dua saku celananya. ''Sekitar pukul 13.00-13.30 WIB, penyidik KPK telah menangkap dua orang dengan inisial IJ dan FS,'' kata Wakil Ketua KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, kemarin.
Penangkapan itu dilakukan, jelas Tumpak, karena penyidik KPK menemukan bahwa Irawady tertangkap tangan menerima sejumlah uang. ''Uang disimpan di dalam tas, dan sebagian di dalam kantong bersangkutan.''
Irawady ditangkap di sebuah rumah di Jl Panglima Polim, Kebayoran Baru, Jaksel. Menurut Tumpak, Freddy mengaku telah memberi uang ke Irawady. ''Kita masih menyelidiki, belum dapat memberi komentar lebih banyak (mengenai modus dan motif pemberian uang),'' kata Tumpak.
Sesuai KUHAP, Irawady akan diperiksa KPK maksimal selama 24 jam. Selama proses pemeriksaan ini, status mereka sebagai terperiksa. Yang pasti, tegasnya, diduga terjadi perbuatan penyuapan atau penerimaan hadiah.
Menurut Tumpak, penangkapan ini merupakan hasil penyelidikan KPK sejak satu hingga dua bulan lalu. ''KPK melakukan penyelidikan kemungkinan ada suap dalam pengadaan tanah oleh KY.''
Mengomentari penangkapan itu, Ketua KY, Busyro Muqoddas, tak dapat menutupi keterkejutannya. ''Buat kami mengagetkan, mengejutkan, sekaligus musibah,'' kata Busyro.
Namun demikian, KY tetap mendukung dan menghormati proses hukum yang dijalankan KPK sesuai tugas dan kewenangan. Proses pembelian tanah yang akan dijadikan lokasi pembangunan gedung KY di Jl Kramat Raya 57 Jakpus itu, menurut Busyro, dilakukan sesuai peraturan perundangan.
Lahan seluas 5.720 meter persegi itu semula dimiliki Freddy Santoso dari PT Persada Sembada. ''Total harga pembeliannya Rp 46,991 miliar,'' ungkapnya.
Anggota KY, tegas dia, tidak diperkenankan terlibat dalam penentuan lokasi bakal gedung KY. Busyro juga mengatakan bahwa KY tak mengetahui hubungan Irawady dan Freddy.
Mengenai nasib Irawady di KY, jelas Busyro, masih menunggu hasil pemeriksaan KPK. Setelah itu, KY melakukan rapat pleno sesuai peraturan perundangan. Irawady saat ini menjabat sebagai Koordinator Bidang Pengawasan, Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim KY.
'Mau Menjebak, Tapi Dijebak'
''Saya mau menjebak, tapi dijebak. Uang itu tadinya akan saya bawa ke Kantor Komisi Yudisial untuk ditujukan kepada Ketua KY. Namun, ternyata kejadiannya seperti ini,'' kata anggota Komisi Yudisial (KY), Irawady Joenoes, saat dihubungi Republika melalui telepon selulernya di sela-sela pemeriksaan oleh KPK, Rabu (26/9) malam.
Irawady tak mau menjelaskan lebih lanjut soal kronologis penangkapannya. Menurutnya, hal ini menyangkut penugasan khusus kepadanya dalam rangka pengawasan internal yang harus dilakukan secara tertutup dan rahasia. Dia mengaku ditangkap di rumah kakaknya di Jl Panglima Polim, Jakpus. ''Yang mengajak pertemuan adalah Freddy,'' paparnya. one

Rektor yang Profesor tertipu Rp 1,8 Milyar

Berita di Media Indonesia 27 Sept 07 halaman 3 menceritakan bahwa seorang Rektor PTS yang Profesor akhirnya tertipu cukup besar setelah mengharapkan uang sebesar US$ 25 juta dari sindikat penipu Burkina Paso. Astaga! Hari gini sang Profesor masih mau yang beginian.

Makanya, naikkan gaji PNS, bukan tunjangannya, sehingga gak perlu kayak prof yang satu ini. Kesian deh kita.

ES

Monday, September 24, 2007

TAXI kok dilarang? Apa kata dunia!

Bagi anda yang sudah sadar akan hemat energi, maka jangan senang dulu. Banyak sekali aturan yang ada saat ini akan menghadang usaha anda untuk melakukan berbagai aktivitas yang berbau hemat energi. Salah satu kejadian saya alami langsung ketika mendarat dari Sydney pada 14 Sept 2007 malam di Cengkareng.

Seperti biasa, jika memungkinkan saya akan parkir kendaraan bermalam sehingga tidak perlu merepotkan orang lain (supir atau anggota keluarga) untuk menjemput di Bandara. Namun untuk perjalanan jauh saya lebih suka memakai taksi saja. Praktis, meski mahal dikit namun tidak menimbulkan banyak resiko.

Kali ini saya kecele dan kena batunya, ketika memesan taksi di bandara dan saat akan naik saya tanyakan apakah bisa lewat belakang (maksudnya jalur ke Tangerang terus BSD). Alangkah terkejutnya saya..ketika pengurus taksi bandara menyatakan tidak bisa.!!

Apa pula ini? saya makin penasaran. Tidak jelas, tapi memang sedang dilarang, meski biasanya juga dilarang tapi kalau diberi uang rokok dibolehkan (ini sudah jamak lho..para pejabat dilarang tahu!).

Untunglah saya cuma membawa satu koper yang tidak terlalu berat dan tas kecil, sehingga bisa naik ke DAMRI saja.

Anda bisa bayangkan betapa tidak macetnya Jakarta dan sekitarnya, jika larangan ini diantisipasi oleh masyarakat dengan memerintahkan supir menjemput. SUdah jauh, mahal biaya bensin dan macet pasti menghadang.

Hanya di negeri kita tercinta inilah TAXI dilarang kesana-kesini. Lihat saja dibundaran HI, masih ada larangan untuk taksi pada jam-jam tertentu. Jika larangan di bandara masih berlangsung, apa jadinya orang yang tinggal di Tangerang atau BSD sekitarnya, yang harus mutar jauh ketengah kota ke Semanggi dan Gatot SUbroto.

Kesimpulannya? Jakarta memang harus macet!! KArena sikap dan aturan kita yang ngawur!

Sungguh ..inilah Indonesia kita.

Wassalam,

Eddy

Friday, September 21, 2007

JIka Instititusi dipimpin orang2 sepuh

Usia pensiun yang menunjukkan kondisi alamiah seseorang sering diabaikan. "post power syndrome" telah menghantui banyak pejabat atau mantan pejabat yang akan pensiun. Hal ini menurut saya lebih mendasari mengapa terjadi "kebuntuan" dalam kasus BPK vs MA. Karena itu tadi, mereka pemimpin sudah mengingkari alam yang menuntut mereka yang semestinya sudah bisa "memainkan burung" dirumah, tapi masih memaksa untuk terus bercokol di jabatan. Padahal berkarya tidak mesti di kursi jabatan.

wallahualam,

ES
=========

Jum'at, 21 September 2007
EDITORIAL Media Indonesia
http://www.mediaindonesia.com/editorial.asp?id=2007092022304605

Perseteruan Memalukan BPK versus MA

LEMBAGA negara di Republik ini sepertinya baru belajar bernegara. Mereka ribut kewenangan yang sudah terang benderang diatur dalam konstitusi. Wibawa lembaga negara justru sedang dipertaruhkan egoisme para pemimpinnya.
Contohnya adalah perseteruan terbuka antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA). Itulah sengketa yang memalukan, sampai-sampai BPK harus melaporkan pimpinan MA ke polisi.
Semua itu bermula dari hasil audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2006 yang menemukan uang Rp7,45 miliar di rekening MA. Uang itu, menurut MA, bukan milik negara, melainkan milik MA dari hasil pungutan biaya perkara. Padahal, dasar hukum pungutan bukanlah undang-undang, melainkan hanya selembar surat keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Alasan MA untuk tidak menyetor hasil pungutan itu ke kas negara sangatlah sederhana, yaitu untuk biaya operasional persidangan misalnya biaya pengiriman berkas perkara ke daerah terpencil.
Sebaliknya bagi BPK, setiap sen pungutan dari rakyat harus menjadi milik negara. Pungutan perkara dalam persepsi BPK masuk kategori penerimaan negara bukan pajak yang harus disetor ke negara dan wajib diaudit untuk kemudian dilaporkan kepada publik melalui lembaga perwakilan rakyat. Hakikatnya transparansi dalam mengelola keuangan.
Setiap perbuatan yang mencegah BPK melakukan audit, sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, diancam dengan sanksi pidana.
Karena itulah, pada 13 September, BPK melaporkan MA ke polisi. BPK juga berniat mengadu ke Mahkamah Konstitusi yang punya tugas antara lain menyelesaikan sengketa kewenangan antarlembaga negara.
Kita sangat yakin, MA bukan tidak tahu ada ketentuan undang-undang yang mengatur mengenai pungutan. Bahwa setiap pungutan masuk kas negara dan kebutuhan lembaga dialokasikan melalui APBN. Kita juga sangat yakin MA bukan tidak tahu tugas BPK untuk mengaudit keuangan negara.
Lantas, mengapa MA tetap tidak mau diaudit? Di situlah letak persoalan sesungguhnya. Benarkah uang yang masuk rekening MA itu digunakan hanya untuk kepentingan lembaga tanpa sesen pun dipakai untuk kepentingan di luar itu? Masih terlalu banyak pertanyaan seputar penggunaan dana MA itu, yang semula rekeningnya atas nama Ketua MA Bagir Manan kemudian diganti atas nama Sekretaris MA dan Kepala Biro Keuangan MA.
Rentetan pertanyaan itu harus dijawab secara transparan dan akuntabel. Untuk itulah, seharusnya dengan senang hati MA menerima uluran tangan BPK melakukan audit agar publik tidak menaruh curiga atas penggunaan uang tersebut.
Hasil audit itulah jawaban atas keraguan publik.
Kita sangat mendukung keinginan Ketua BPK Anwar Nasution membentuk tertib hukum di Indonesia. Tidak boleh ada instansi yang mengumpulkan dan menggunakan uang itu sesukanya sendiri tanpa laporan kepada rakyat secara akuntabel.
Sungguh ironis memang. Mestinya, keinginan menegakkan tertib hukum itu datang dari seorang Bagir Manan yang memimpin lembaga tertinggi penegakan hukum. Selama ini, yang didengar publik dari MA hanya keinginan untuk menaikkan tunjangan atau memperpanjang usia pensiun. Bahkan, keinginan untuk tidak mau diawasi Komisi Yudisial dan memperpanjang sediri masa jabatan ketua.
Sudah saatnya MA memberi teladan kepada publik untuk menaati semua ketentuan perundang-undangan dan konstitusi. Jika tidak, sudah saatnya pula rakyat memaksa MA mereformasi diri.

Thursday, September 20, 2007

Reformasi dan Undang-Undang Anti Diskriminasi













Semangat reformasi boleh saja menggebu, kalau perlu tak tentu arah. Namun keadilan haruslah nomor satu.

Kiranya sudah mendesak dibuat UU anti diskriminasi di negeri ini, jika memang keadilan akan ditegakkan. Jika tidak, niscaya..masalah akan hilang satu tumbuh seribu. Sebenarnya perbaikan gaji, tunjangan atau kesejahteraan sudah mulai terasa. tapi mengapa hanya untuk segelintir? Bukankah ini akan menimbulkan kecemburuan yang hebat antar sesama PNS atau anggota TNI. ALhasil..korupsi akan semakin berkualitas dan menggila, meski berbagai usaha pemberantasannya tetap dilakukan.

Gambar diatas memperlihatkan bagaimana perlakuan tidak adil membuat orang makin nekat. Mobil harga Rp 1 M juga bisa menjadi mobil dinas untuk kota Jakarta atau mobil dinas dengan cc besar terus diadakan.

Gitu ajah,

ES

=========

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/20/ekonomi/3857230.htm

Kamis, 20 September 2007

Birokrasi
Kebutuhan Remunerasi Rp 62 Triliun

Jakarta, Kompas - Anggaran untuk remunerasi atau tunjangan tambahan di luar gaji pokok terkait reformasi birokrasi mencapai Rp 62 triliun, dengan perhitungan pegawai di seluruh departemen saat ini mencapai 3,5 juta orang.
Akan tetapi, pemerintah tidak mungkin menganggarkan dana sebesar itu dalam satu tahun sehingga perlu didistribusikan pada beberapa tahun anggaran.
Anggota Panitia Anggaran DPR Rama Pratama, Rabu (19/9) di Jakarta, menjelaskan, kebutuhan anggaran tersebut diungkapkan pemerintah kepada Panitia Anggaran beberapa hari lalu sehingga belum mendapatkan persetujuan DPR.
Sebelumnya, dalam Sidang Paripurna pada 28 Agustus 2007, DPR menyetujui APBN Perubahan 2007 yang berarti meloloskan permintaan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentang tambahan anggaran pegawai Depkeu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung sebesar Rp 1,46 triliun. Anggaran itu digunakan untuk memenuhi pembayaran remunerasi di ketiga instansi tersebut. Dari 10 fraksi di DPR, hanya Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) yang menolak pemberian remunerasi itu.
Remunerasi diberikan dalam bentuk Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN). TKPKN merupakan tambahan penerimaan baru bagi pegawai di luar gaji pokok. Saat ini, gaji pokok untuk pegawai negeri sipil (PNS) golongan terendah Rp 760.495 per bulan, dan golongan tertinggi mencapai Rp 2,38 juta per bulan. Dengan demikian, uang yang dibawa ke rumah (take home pay) oleh setiap pegawai di Depkeu berkisar Rp 2,091 juta hingga Rp 49,33 juta per bulan.
Rama mengatakan, penetapan anggarannya sendiri masih tergantung pada pemerintah. Jika pegawai di seluruh departemen akan diberi remunerasi yang sama, pemerintah harus berkomitmen meningkatkan pendapatan negara. Itu perlu ditekankan karena sumber pembiayaan remunerasi itu antara lain dari penerimaan perpajakan.
Rama menyebutkan, Depkeu sudah mengajukan anggaran remunerasi untuk pegawainya, pegawai BPK, dan MA pada 2008 sebesar Rp 5,2 triliun. Pada awalnya, sebesar Rp 3 triliun akan ditutup dari rekening 69 dan sisanya, Rp 2,2 triliun, dari realokasi atau pemotongan anggaran di beberapa unit di Depkeu. Namun, belakangan disetujui, seluruh kebutuhan TKPKN 2008 tersebut diambil dari rekening 69.
Anggota Komisi XI yang menjadi mitra kerja Depkeu dalam pembahasan anggaran, Dradjad H Wibowo, menegaskan, perlakuan istimewa bagi Depkeu, MA, dan BPK merusak rasa keadilan departemen lain. Jika pemerintah tak sanggup memberi renumerasi bagi seluruh departemen, seharusnya tidak ada remunerasi untuk ketiga lembaga itu.
"Selain itu, rekening 69 seharusnya digunakan untuk kondisi darurat, dan biasanya dipatok harus selalu tersedia sekitar Rp 17 triliun per tahunnya," katanya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, remunerasi hanya sebagian kecil dari proses reformasi birokrasi yang diharapkan mendongkrak kinerja pegawai. Jika terjadi pelanggaran pegawai, sanksi tegas pun berlaku. (OIN)

=======

Thursday, September 13, 2007

Harusnya atur dulu, kok malah melaporkan?

Semestinya pemerintah cq Depkominfo mengatur aspek bisnis penyiaran dari masalah dimonopolinya siaran Liga Inggris di TV berbayar Astro, bukan melaporkan ke KPPU. Masyarakat boleh lah. Apa pasalnya? Yang pasti Indovision atau TV berbayar lainnya tidak mampu membuat kontrak yang memadai sehingga ESPN tidak memberikan siaran yang sama sebelum kasus ini meruyak, atau memang ada "main mata" antara Astro dengan ESPN.

Yang pasti, masyarakat pengguna Indovision tidaklah manusia bodoh. Kami mengerti bahwa ESPN memberikan siaran yang sangat usang (misalnya MU-Roma 7:1) dan lain sebagainya yang merupakan program sangat usang dan hanya mengelabui masyarakat pelanggan INdovision dll.

Juga perlu dicermati, adalah kewajiban Indovision cs untuk memberikan program yang sama mutunya kepada pelanggan sebelum pelanggan "terjebak" harus membayar denda jika memutuskan kontrak sebelum habis waktu berlangganan satu tahun.

Jika pun pelanggan memutuskan tidak mau lagi berlangganan Indovision, bukan tidak mungkin suatu saat nanti (tahun depan atau dua tahun lagi) justru Indovision yang memenangi "hak siar" liga inggris..terus pelanggan Astro yang giliran akan protes.

Solusinya? jelas ada....buat beberapa keluarga kaya (super kaya mungkin)...tidak masalah...mereka berlangganan kedua-duanya. nanti kalau muncuk player barupun...mereka akan mampu, abis punya uang sih....!

Nah kalau udah begini...apa iya Depkominfo dan Komisi Penyiaran lalu "buang badan" melapor ke KPPU.....enak teunannn!..

Dimana peran Depkominfo sebagai pembuat kebijakan dan penegak aturan (via BRTI...kalau memang bisa).

Duh...pusingkan.

Wassalam,

ES

=============
http://kompas.com/kompas-cetak/0709/12/ekonomi/3832665.htm


Rabu, 12 September 2007

PenyiaranDepkominfo Laporkan PT Direct Vision ke KPPU

Jakarta, Kompas - Departemen Komunikasi dan Informatika melaporkan ASTRO TV ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU.
Pemerintah meminta KPPU menyikapi ketidakpuasan sebagian masyarakat yang tidak dapat menikmati tayangan Liga Inggris dikarenakan hanya disiarkan oleh ASTRO TV yang dikelola PT Direct Vision.
Pejabat Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Sistem Komunikasi Diseminasi Informatika Departemen Komunikasi dan Informatika Freddy Tulung, Selasa (11/9) di Jakarta, mengatakan, pemerintah juga meminta PT Direct Vision untuk membuka akses tayangan Liga Inggris kepada publik.
Pemerintah memberikan waktu kepada PT Direct Vision selama tujuh hari untuk membuka akses, terhitung sejak tanggal 7 September lalu. "Sejauh ini, PT Direct Vision sudah berjanji akan memenuhi," ujar Freddy.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Sasa Djuarsa Sendjaja mengatakan, secara hukum memang belum bisa dibuktikan kalau ASTRO TV melanggar. Namun, masyarakat mendesak agar KPI meminta ASTRO untuk membuka akses atas siaran Liga Inggris.
Vice President Corporate Affairs PT Direct Vision Halim Mahfudz mengatakan, pihaknya tidak keberatan atas pengaduan pemerintah kepada KPPU.
"Semua prosedur hukum sudah kami taati. Jadi, memang tidak ada pelanggaran yang kami lakukan," ujarnya. Atas permintaan pembukaan akses, Halim mengatakan, saat ini pihaknya sedang berkoordinasi dengan ESPN dan Star Sport sebagai pemegang hak siar.
"Kami masih mendiskusikan paket-paket tayangan yang bisa ditawarkan, baik itu siaran langsung, tunda, maupun siaran kilas preview dan hasil pertandingan," kata Halim. (OTW)

Sampai Kapan Kita Munafik?

Sudah dari dulu kita mengerti bahwa TNI atau dulu juga ABRI sangatlah susah melepaskan diri dari cengkraman cukong dan korupsi. Lalu mengapa masih dibiarkan kesejahteraan mereka morat-marit. kalau udah begini mau apa lagi. Jendral baru mengaku terima rumah setelah tidak berkuasa atau baru "eling" di pengadilan.

Weleh-weleh...


Eddy

==========

http://kompas.com/kompas-cetak/0709/13/Politikhukum/3834118.htm


Kamis, 13 September 2007

Hartono Terima Rumah Mantan KSAD
Itu Diperiksa Terkait Dugaan Korupsi PT Asabri

Jakarta, Kompas - Jenderal (Purn) R Hartono mengakui pernah menerima pemberian rumah dari pengusaha Henry Leo. Rumah di Jalan Suwiryo Nomor 7, Menteng, Jakarta Pusat, itu diberikan pada tahun 1995, saat Hartono menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Seusai diperiksa jaksa Bagian Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Rabu (12/9), kepada wartawan Hartono juga menyatakan tak pernah menempati rumah itu. Meski demikian, rumah yang sebelumnya berstatus hak guna bangunan (HGB), pada tahun 2006 berubah menjadi hak milik atas nama dirinya.
Hartono yang pernah menduduki jabatan sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) pada kurun waktu Februari 1995-Juni 1997 diperiksa jaksa selama dua jam, sejak pukul 10.00 hingga 12.00. Ia diperiksa sebagai saksi dugaan korupsi dana PT Asabri (Persero).
Menurut Hartono, ia diperiksa dalam kapasitasnya sebagai pribadi, bukan sebagai mantan KSAD. Ia juga mengatakan, dirinya menyerahkan sertifikat rumah di Jalan Suwiryo Nomor 7, Menteng, Jakarta Pusat, kepada jaksa. "Terserah, pemeriksa yang akan menentukan. Saya kan tak ada sesuatu keterlibatan dengan Asabri," kata dia lagi.
Membebani, diserahkan
Ditanya mengenai alasan pemberian rumah dari Henry Leo itu, Hartono sambil tersenyum mengatakan, "Mungkin karena saya KSAD." Ia juga menambahkan, saat itu sempat menanyakan kepada Henry Leo apakah ada persoalan, tetapi hingga saat ini tidak ada masalah.
Menurut mantan Menteri Penerangan Kabinet Pembangunan VI dan Menteri Dalam Negeri Kabinet Pembangunan VII itu, rumah tersebut membebaninya, sebab pajak, listrik, dan airnya harus dibayar. "Justru itu saya serahkan dengan senang hati," ujarnya.
Hartono juga mengaku sakit hati karena dana yang dikumpulkan prajurit TNI dengan susah payah di PT Asabri malah ditebar ke mana-mana.
Direktur Penyidikan pada Bagian Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Muhammad Salim membenarkan, Hartono dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi dugaan korupsi dana PT Asabri. Hartono juga menyerahkan sertifikat rumah di Jalan Suwiryo Nomor 7, Menteng, Jakarta Pusat. Rencananya, rumah itu akan disita jaksa sebagai barang bukti perkara dugaan korupsi dana PT Asabri.
Sebelumnya, Plasa Mutiara di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, juga disita kejaksaan karena ditengarai sebagian dana PT Asabri yang dikorupsi untuk membangun gedung itu.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Thomson Siagian dalam jumpa pers menjelaskan, 35 saksi sudah diperiksa dalam perkara itu. "Pak Hartono ditanya, garis besarnya tentang bagaimana aset PT Asabri," kata dia.
Dalam perkara itu, jaksa menetapkan pengusaha Henry Leo dan mantan Direktur Utama PT Asabri Mayjen TNI (Purn) Su- barda Midjaja sebagai tersangka. Keduanya ditahan di rumah tahanan Kejagung sejak 13 Agustus 2007. Menurut Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, baru Rp 150 miliar yang dikembalikan dalam bentuk tunai ditambah sejumlah aset tak bergerak (Kompas, 14/8).
Henry Leo dan Subarda Midjaja disangka korupsi menggunakan dana deposito PT Asabri sebesar Rp 410 miliar sepanjang tahun 1995-1997. Dana yang semula berupa time deposit diubah menjadi certificate deposit (CD) oleh PT Asabri dan dijadikan jaminan kredit Henry Leo di BNI 46 Cabang Jakarta Kota, tanpa persetujuan Dewan Komisaris PT Asabri.
Saat jatuh tempo, Henry Leo tak mampu mengembalikan kredit serta bunganya sehingga jaminan CD itu hangus. Perbuatan itu terjadi saat PT Asabri masih dipimpin Subarda Midjaja. (idr)