Friday, September 21, 2007

JIka Instititusi dipimpin orang2 sepuh

Usia pensiun yang menunjukkan kondisi alamiah seseorang sering diabaikan. "post power syndrome" telah menghantui banyak pejabat atau mantan pejabat yang akan pensiun. Hal ini menurut saya lebih mendasari mengapa terjadi "kebuntuan" dalam kasus BPK vs MA. Karena itu tadi, mereka pemimpin sudah mengingkari alam yang menuntut mereka yang semestinya sudah bisa "memainkan burung" dirumah, tapi masih memaksa untuk terus bercokol di jabatan. Padahal berkarya tidak mesti di kursi jabatan.

wallahualam,

ES
=========

Jum'at, 21 September 2007
EDITORIAL Media Indonesia
http://www.mediaindonesia.com/editorial.asp?id=2007092022304605

Perseteruan Memalukan BPK versus MA

LEMBAGA negara di Republik ini sepertinya baru belajar bernegara. Mereka ribut kewenangan yang sudah terang benderang diatur dalam konstitusi. Wibawa lembaga negara justru sedang dipertaruhkan egoisme para pemimpinnya.
Contohnya adalah perseteruan terbuka antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA). Itulah sengketa yang memalukan, sampai-sampai BPK harus melaporkan pimpinan MA ke polisi.
Semua itu bermula dari hasil audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2006 yang menemukan uang Rp7,45 miliar di rekening MA. Uang itu, menurut MA, bukan milik negara, melainkan milik MA dari hasil pungutan biaya perkara. Padahal, dasar hukum pungutan bukanlah undang-undang, melainkan hanya selembar surat keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Alasan MA untuk tidak menyetor hasil pungutan itu ke kas negara sangatlah sederhana, yaitu untuk biaya operasional persidangan misalnya biaya pengiriman berkas perkara ke daerah terpencil.
Sebaliknya bagi BPK, setiap sen pungutan dari rakyat harus menjadi milik negara. Pungutan perkara dalam persepsi BPK masuk kategori penerimaan negara bukan pajak yang harus disetor ke negara dan wajib diaudit untuk kemudian dilaporkan kepada publik melalui lembaga perwakilan rakyat. Hakikatnya transparansi dalam mengelola keuangan.
Setiap perbuatan yang mencegah BPK melakukan audit, sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, diancam dengan sanksi pidana.
Karena itulah, pada 13 September, BPK melaporkan MA ke polisi. BPK juga berniat mengadu ke Mahkamah Konstitusi yang punya tugas antara lain menyelesaikan sengketa kewenangan antarlembaga negara.
Kita sangat yakin, MA bukan tidak tahu ada ketentuan undang-undang yang mengatur mengenai pungutan. Bahwa setiap pungutan masuk kas negara dan kebutuhan lembaga dialokasikan melalui APBN. Kita juga sangat yakin MA bukan tidak tahu tugas BPK untuk mengaudit keuangan negara.
Lantas, mengapa MA tetap tidak mau diaudit? Di situlah letak persoalan sesungguhnya. Benarkah uang yang masuk rekening MA itu digunakan hanya untuk kepentingan lembaga tanpa sesen pun dipakai untuk kepentingan di luar itu? Masih terlalu banyak pertanyaan seputar penggunaan dana MA itu, yang semula rekeningnya atas nama Ketua MA Bagir Manan kemudian diganti atas nama Sekretaris MA dan Kepala Biro Keuangan MA.
Rentetan pertanyaan itu harus dijawab secara transparan dan akuntabel. Untuk itulah, seharusnya dengan senang hati MA menerima uluran tangan BPK melakukan audit agar publik tidak menaruh curiga atas penggunaan uang tersebut.
Hasil audit itulah jawaban atas keraguan publik.
Kita sangat mendukung keinginan Ketua BPK Anwar Nasution membentuk tertib hukum di Indonesia. Tidak boleh ada instansi yang mengumpulkan dan menggunakan uang itu sesukanya sendiri tanpa laporan kepada rakyat secara akuntabel.
Sungguh ironis memang. Mestinya, keinginan menegakkan tertib hukum itu datang dari seorang Bagir Manan yang memimpin lembaga tertinggi penegakan hukum. Selama ini, yang didengar publik dari MA hanya keinginan untuk menaikkan tunjangan atau memperpanjang usia pensiun. Bahkan, keinginan untuk tidak mau diawasi Komisi Yudisial dan memperpanjang sediri masa jabatan ketua.
Sudah saatnya MA memberi teladan kepada publik untuk menaati semua ketentuan perundang-undangan dan konstitusi. Jika tidak, sudah saatnya pula rakyat memaksa MA mereformasi diri.

No comments: