Friday, November 21, 2008

KONSULTAN NASIONAL : "Dibunuh atau dimatikan?"

Kembali mengingat masa lalu bagi saya merupakan refleksi pemikiran yang mesti dilakukan secara berkala. Baik karena kebiasaan, ataupun bisa juga karena ada pemicunya.

Hari ini (Selasa 18 Nov 2008) bagi saya menjadi suatu hari yang cukup berat. Betapa tidak, di tengah mendung kelabu, terkadang rintik hujan juga menyertai, dan sesekali hujan deras juga mengguyur jalanan yang harus saya tempuh sendirian di mobil. Hanya iringan musik dari radio ataupun usb plug-in yang menghibur saya menyetir di tengah kemacetan ibukota. Kemana pun pergi, kepadatan lalu lintas menghadang.

Dalam suasana seperti itu saya mendapat "teguran" dari seorang pejabat di RI ini. Teguran itu cukup keras yang pada dasarnya mempertanyakan "mengapa saya mencantum kan nama satu PT di dalam undangan yang baru saja kami fax dan transmit ke berbagai pihak.

Terjebak dalam "kegilaan" lalu lintas di Jakarta, terus terang membuat saya tegang setelah menerima teguran itu. Pada saat itu saya anggap positif saja, dan saya mencoba dengan tenang menjelaskan via telepon. Seperti saya sampaikan tadi, kondisi lelah, capek, hujan, serta macet yang menumpuk menjadi satu berhasil mengalahkan nalar saya pada siang itu. Akhirnya saya menjawab :"Baik pak, akan kami ralat, dan kami fax kan segera kepada undangan lainnya!" jawab saya halus dan berusaha tenang. Namun terus terang saya agak gelisah, karena pejabat bersangkutan menyebutkan ia dapat telepon dari banyak orang. Kok kantor saya mencantumkan nama suatu PT dalam suatu undangan resmi?

Namun setelah agak tenang dan ketika saya memarkir kendaraan terlebih dahulu di tempat aman (tidak terlalu aman dan tenang juga karena ada petugas parkir mengusir saya), otak saya mulai berpikir agak jernih. Apa salahnya?

Kalau kenyataannya memang memang beberapa personil dari PT itu akan mempresentasikan draft hasil kajiannya? SAya sendiri akan menjadi pengantar dan sekaligus moderator guna mengundang komentar dan memandu diskusi. Tujuan meminta personil konsultan adalah memberikan kenyataan bahwa hasil kajian mereka memang sangat diperlukan, jika memang nanti reaksi peserta demikian. Atau sebaliknya, tidak penting. Bisa juga sekaligus memberikan feed back bahwa mereka berada dalam kondisi yang tidak bagus kinerjanya. Sekali lagi itu tentu akan tercermin dari tanggapan peserta.

Salahkah kalau kita membayar mereka dan meminta mereka untuk memaparkan? Ataukah apakah selalu benar jika pejabat yang membayar (maksudnya negara yang bayar lho) yang memaparkan untuk kondisi laporan yang belum final? Saya sendiri "binun" ketika teguran itu datang.

Terlepas dari itu semua, saya masih berbulat pendapat bahwa sudah waktunya kita menampilkan konsultan nasional kita apa adanya. Bukan sebaliknya, justru membatasi ruang gerak mereka. Dalam arti, jika kita benar-benar mau membina SDM kita menjadi lebih handal dalam berbagai sektor ekonomi maupun kehidupan nyata, maka sudah seharusnya kita mendorong konsultan nasional tampil kedepan di berbagai forum. Hanya karena saya cantumkan PT, apakah itu memang tidak patut. Tapi kalau saya ganti dengan "Prof X atau DR.X atau Mr. X, peneliti dari Universitas Anu..kok jadi boleh dan tidak masalah? Apalagi kalau akhir-akhir ini saya juga sering mendapat undangan atau datang ke rapat pembahasan suatu kajian atau diskusi dengan pembicara Mr.atau Mrs. Joe Cologne Yr (contoh) Chief Economist XXX Bank, France, UK, USA atau Prof. Sakukurata otakumati matakubuta dari Japan, malah disanjung-sanjung dan tidak pernah ada protes. Mengapa kalau saya mengundang dengan pembicara MR. X, dari PT.Y, Cimahi....saya dapat teguran itu?

Akh..pantasan saja bangsaku menjadi kuli saja di rumah sendiri. Bayangkan, apa yang bisa dikerjakan oleh Konsultan kita sekarang, jika semua kerjaan sudah di swakelola? Jika semua diskusi dan seminar di dominasi Prof Doktor dari Perguruan Tinggi/Universitas. Lalu anak-anak kita, anakmu, dan anak-anak mereka sendiri, kalau lulus mau kerja dimana? Sungguh saya sedih hari ini, tapi sementara belum berdaya.

Satu yang pasti, dulu ketika saya baru lulus dari perguruan tinggi, kerja dimana saja sebagai yunior engineer sudah menunggu dimana-mana. Sekarang? sampai botak juga kalau gak punya koneksi, maka lamaran hanya ada di tumpukan. memang peluang selalu ada. Tetapi, apakah konsultan lokal kita memang harus "dibunuh" atau "dimatikan"?

Mungkin ada rimbun daun dan semilir angin yang mau menjawab kegundahan saya ini. Adakah?

(Di dingin Sawangan, Selasa 18 Nov 2008)

Wednesday, November 19, 2008

Tempo itu.

For the time being, I personally have no comment yet!

+++

Panas Digoyang Gempa Bumi

Istana diduga ikut melindungi kepentingan keluarga bisnis Bakrie dalam gonjang-ganjing saham Bumi Resources. Krisis keuangan grup bisnis itu juga dijadikan klaim untuk mengerem dana penanggulangan lumpur Lapindo. Ditekan kiri-kanan, Sri Mulyani sempat meminta mundur.
Terpisah samudra ribuan kilometer, dua pejabat Departemen Keuangan itu tetap terhubung oleh persoalan gawat di Jakarta. Sekretaris Jenderal Mulya Nasution di Peru dan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution di Guangzhou, Cina, mengikuti rapat jarak jauh dengan Menteri Sri Mulyani dan para pejabat eselon I departemen itu di Tanah Air, Rabu pagi dua pekan lalu.
Rapat yang tak diagendakan sebelumnya itu juga dihadiri Kepala Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Fuad Rahmany serta Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Erry Firmansyah. Setelah memberikan penjelasan panjang-lebar, Sri Mulyani mengambil keputusan yang mengejutkan bawahannya. ”Ibu Menteri menyatakan hendak mundur,” kata sumber Tempo, ”dia merasa kredibilitasnya dipertaruhkan.”
Semua terenyak. Para pejabat itu meminta Ibu Menteri tidak bertindak emosional. Mereka meminta bos mereka memikirkan untung-rugi sebelum mengambil keputusan. Krisis keuangan dijadikan alasan untuk menahan keinginan Ani, begitu Bu Menteri dipanggil. ”Tapi jajaran eselon satu memahami persoalan yang dihadapi Bu Menteri,” ujar sumber yang sama. Menjelang tengah hari, rapat distop untuk diteruskan sore harinya.
”Gempa kabinet” ini berawal dari runtuhnya harga saham PT Bumi Resources Tbk. (BUMI), perusahaan tambang batu bara milik keluarga Bakrie. Sempat menjulang di harga Rp 8.500-an per lembar pada pertengahan tahun, saham perusahaan itu melorot hingga kisaran Rp 3.000-an pada awal Oktober. Perdagangan saham Bumi distop pada 7 Oktober, karena harganya melorot 32,03 persen dalam sehari. Hal yang sama diberlakukan pada saham lima perusahaan lain di bawah Grup Bakrie.
Loyonya saham Bakrie dipicu kabar bahwa kelompok usaha itu kesulitan membayar utang berjaminan saham. Nilainya luar biasa: Rp 11 triliun. Kabar ini semakin kencang karena pada saat yang sama grup itu juga bergerilya menjual 35 persen saham Bumi kepada sejumlah pengusaha. Sementara perdagangan tiga perusahaan lain dibuka kembali beberapa hari kemudian, jual-beli saham Bumi tetap dibekukan nyaris sebulan.
Setelah sempat bernegosiasi dengan sejumlah pihak, pada Sabtu tiga pekan lalu, keluarga Bakrie akhirnya meneken perjanjian transaksi 35 persen saham Bumi dengan PT Northstar Pacific. Pada hari yang sama, menurut sumber, Nirwan Bakrie, pengendali Grup Bakrie, menemui Menteri Keuangan yang ditemani Darmin Nasution dan Fuad Rahmany. Adik kandung Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie ini melaporkan kesepakatan transaksi dengan Northstar.
Menerima laporan itu, Sri Mulyani kabarnya kemudian menyatakan per-dagangan saham Bumi harus segera dibuka pada pekan berikutnya. Namun Nirwan meminta waktu untuk melakukan berbagai konsolidasi, sebelum saham Bumi kembali diperdagangkan di lantai Bursa. Sri Mulyani menolak permintaan itu.
Masalah kelompok Bakrie bertambah karena pada pertemuan itu, menurut sumber yang lain, Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution juga menagih utang royalti batu bara dan pajak Bumi yang belum dibayar. Jumlahnya pun tidak sedikit, sekitar US$ 500 juta. Masalah ini sempat membuat para petinggi Bumi dilarang ke luar negeri. ”Nirwan pada pertemuan itu berjanji membayar pajak pada akhir tahun,” kata sumber itu.
Menteri Keuangan meminta perdagangan saham Bumi dibuka Rabu pekan berikutnya. Namun, menurut sumber, pada Selasa pekan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Sri Mulyani bertemu dengan Aburizal lebih dulu sebelum perdagangan dibuka. Sri menolak permintaan ini karena ia menganggap perdagangan saham Bumi bukan urusan koleganya di Kabinet Indonesia Bersatu itu.
Satu pengumuman pun ditayangkan situs Internet Bursa Efek Indonesia pada Rabu, 5 November, pukul 08.00. Isinya: otoritas Bursa akan membuka kembali perdagangan saham Bumi Resources mulai sesi pertama pukul 09.30 waktu Jakarta Automatic Trading System atau jam bursa efek, hari itu juga.
Pada saat yang hampir sama, menurut sumber yang lain, selarik pesan dikirimkan Presiden Yudhoyono ke telepon seluler Sri Mulyani. Isinya, teguran tak langsung kepada menterinya itu. Mungkin karena perdagangan hendak dibuka sebelum Sri Mulyani bertemu dengan Aburizal. ”Intinya, Presiden menyatakan, kalau dalam organisasi ada yang tidak sepaham dengan perintah atasan, itu berarti tidak disiplin,” sumber itu menuturkan.
Menerima pesan ini, Sri Mulyani berusaha menelepon bosnya. Namun telepon ini tak kunjung diangkat—padahal ia biasanya memiliki hotline dengan sang Presiden. Pelaksana Menteri Koordinator Perekenomian ini pun akhirnya meminta Bursa Efek Indonesia membatalkan pembukaan perdagangan saham Bumi.
Satu seperempat jam setelah pengumuman pembukaan perdagangan saham Bumi ditayangkan, muncul pengumuman baru. ”Mengingat adanya permintaan dari pemerintah, Bursa memutuskan untuk menunda pembukaan suspensi perdagangan efek BUMI hingga pengumuman lebih lanjut,” demikian tertulis dalam pengumuman. Segera setelah itu, Menteri Keuangan memanggil para pejabat eselon I rapat di kantornya.

l l l
Sore setelah lanjutan rapat ini dibuka, Sri Mulyani menyatakan tetap pada keputusannya untuk mundur. Mulya Nasution di Peru dan Darmin Nasution di Guangzhou pun kembali terhubung ke rapat di Jakarta melalui telepon internasional. Mereka dan pejabat lainnya rupanya tak mampu mengubah keputusan Ibu Menteri.
Seusai rapat, sumber bercerita, Sri Mulyani meminta waktu untuk bertemu dengan Presiden. Tapi Kepala Negara punya acara menjamu Presiden Madagaskar Marc Ravalomanana petang itu. Sri menunggu jamuan itu selesai di Lapangan Banteng, kantornya. Ia baru ke Istana sekitar pukul 21.00. Di situ ia menyampaikan permintaannya untuk mundur dari kabinet ke Presiden. Permintaan ini ditolak Yudhoyono.
Juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng menepis informasi tersebut. ”Saya tidak pernah mendengar hal semacam itu. Sekarang pun Ibu Sri Mulyani sedang mendampingi Presiden SBY dalam Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Washington,” katanya kepada reporter Ismi Wahid. Adapun Sri Mulyani ketika dimintai konfirmasi hanya berujar pendek: ”Ah, yang benar...?”
Kepada para pembantunya, menurut sumber Tempo, Yudhoyono berpendapat saham Bumi harus diselamatkan. Jika harganya terus mengempis dan kekayaan keluarga Bakrie tergerus, ia khawatir mereka tak sanggup membayar ganti rugi untuk korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Pada awal lumpur itu menyembur, keluarga Bakrie kabarnya menyatakan sanggup membayar kerugian korban hingga Rp 3 triliun.
Pendapat Yudhoyono itu bukannya tanpa dasar. Pada akhir Oktober lalu, PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan yang dibentuk Bakrie untuk mengurus persoalan luapan lumpur, mengirim surat ke Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo—Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Isinya, Minarak mengakui mengalami masalah keuangan. Untuk itu, mereka meminta Badan Penanggulangan ”memberikan kebijaksanaan sementara” menggantikan fungsi Minarak.
Namun sebenarnya krisis global itu tidak bisa dianggap sebagai penyebab seretnya pembayaran ganti rugi untuk korban lumpur Lapindo. Keluarga Bakrie toh tetap saja tak kunjung menyelesaikan pembayaran ketika harga saham Bumi masih digdaya dan Aburizal ditetapkan sebagai orang terkaya se-Indonesia oleh majalah Forbes. Karena itu, kalangan politikus yakin ”perlindungan” Istana untuk kelompok usaha Bakrie jauh lebih dalam daripada itu. Apalagi pemerintah juga terkesan lemah dalam kasus Lapindo.
Syahdan, pada 2004, Aburizal serta pengusaha Surya Paloh dan Jusuf Kalla berpacu menjadi calon presiden dari Partai Golkar melalui jalur konvensi. Mereka juga bersaing dengan, antara lain, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia Wiranto dan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung. Di tengah jalan, Kalla meninggalkan gelanggang dan berduet dengan Yudhoyono. Wiranto pada akhirnya memenangi konvensi. Alih-alih menyokong Wiranto, segera setelah konvensi ini, Aburizal dan Surya merapat ke pasangan Yudhoyono-Kalla.
Sumber Tempo mengatakan jasa Aburizal dalam menopang kebutuhan dana kampanye Yudhoyono-Jusuf Kalla cukup besar. Ia kabarnya selalu memasok dana dalam jumlah dua kali lipat dibanding dana yang disetor Surya Paloh. Itu sebabnya, begitu pasangan yang mengusung slogan ”Bersama Kita Bisa” ini memenangi pemilihan presiden, dengan dukungan yang sangat kuat dari Jusuf Kalla, Aburizal langsung dijatah pos strategis: Menteri Koordinator Perekonomian.
Kepada Sahala Lumban Raja dan Cornila Desyana dari Tempo, Aburizal membantah informasi itu. ”Kalau menulis seperti itu, berarti Anda menulis informasi yang salah,” katanya ketika ditemui pada Malam Apresiasi Olahraga di Jakarta, Jumat malam pekan lalu.
Adapun Andi Mallarangeng mengatakan daftar penyumbang dana kampanye 2004 untuk Yudhoyono-Kalla ada di Komisi Pemilihan Umum. Dalam daftar itu, Aburizal memang tak tercantum sebagai daftar penyumbang. Namun sumber tersebut yakin Aburizal termasuk salah satu donatur.
Aburizal, kata sumber itu, juga berperan penting memuluskan Jusuf Kalla merebut posisi Ketua Umum Partai Golkar dalam Musyawarah Nasional di Bali. Ini misi yang direstui Yudhoyono. Hanya diusung Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, ia perlu tambahan dukungan di Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan menempatkan Kalla di Beringin, tujuan itu bisa diraih.
Di arena Musyawarah Nasional, Hotel Westin, Nusa Dua, akhir 2004, Aburizal kembali berkolaborasi dengan Surya Paloh. Sementara Aburizal memasok ”gizi” buat menggaet dukungan dari pengurus daerah, kata seorang peserta, Surya bertugas menaklukkan beberapa pengurus yang masih setia kepada Akbar Tandjung. Walhasil, Jusuf Kalla mulus menuju puncak Beringin, mengalahkan Akbar yang beraliansi dengan Wiranto.
Surya Paloh yang kemudian ditunjuk menjadi Ketua Dewan Penasihat Golkar, ketika dimintai konfirmasi mengaku tidak ingat dengan peristiwa empat tahun lalu itu. ”Untuk apa cerita-cerita lama dijadikan konsumsi publik lagi?” ujarnya. Adapun Aburizal mengatakan Yudhoyono tak pernah meminta bantuannya menyokong Jusuf Kalla merebut kursi Ketua Umum Golkar.
Mungkin karena ”jasa” itulah, posisi Aburizal di kabinet hanya digeser walau kinerjanya sebagai Menteri Koordinator Perekonomian dianggap tak moncer. Pada perombakan pertama kabinet, tiga tahun lalu, ia hanya digeser ke Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Padahal menteri lain yang dinilai gagal, langsung dicopot.

l l l
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pemerintah tidak pernah mengistimewakan keluarga Bakrie. Tapi, menurut dia, ”Pemerintah memang berkewajiban menjaga kelangsungan hidup pengusaha nasional.” Ia mengakui sempat bertemu dengan Nirwan Bakrie buat membicarakan masalah suspensi saham Bumi. ”Apa salahnya saya bertemu Nirwan?” ujarnya. ”Saya tersinggung, pengusaha nasional ketemu Wapres Anda pertanyakan. Dia sah ketemu saya. Jangan terlalu curiga.”
Mengomentari permintaan kelompok Bakrie agar penjualan saham Bumi tetap ditutup, Jusuf Kalla mengatakan, ”Kalau Bakrie (minta) tolong diliatin supaya jangan jatuh, masak itu salah? Zaman dulu Astra dibantu, BII dibantu, Danamon dibantu. Semua konglomerat dibantu habis-habisan. Masak Bakrie hanya sedikit minta tolong satu-dua hari tidak boleh?”
Pada akhirnya, campur tangan petinggi Republik ini di lantai bursa menjadi tak ada artinya. Kekuasaan tak mampu menahan kekuatan pasar. Ketika kemudian dibuka pada 6 November, harga saham Bumi langsung terempas. Dari hari ke hari nilainya terus menukik, hingga kini.
Budi Setyarso, Yandhrie Arvian, Padjar Iswara, Gabriel Yoga
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/11/17/LU/mbm.20081117.LU128780.id.html


+++

Perniagaan Politik Bakrie

Eep Saefulloh Fatah

  • Anggota Komunitas ”Para Penagih Janji” Dalam rentang waktu Juni-Agustus 2008, dalam rangkaian seminar yang diadakan sejumlah institusi bisnis dan keuangan secara sambung-menyambung, saya diminta membuat prediksi hasil Pemilihan Umum 2009 dan implikasi-implikasi politiknya. Dan sebuah pertanyaan hampir selalu mengemuka, ”Seberapa besar peluang Aburizal Bakrie untuk bisa menjadi calon presiden atau wakil presiden?”
    Saya sempat menduga bahwa para penanya di sejumlah kota itu adalah pemain bursa saham yang sedang menaksir nasib saham PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) milik Bakrie. Mungkin, bagi mereka, suram-cemerlang nasib sang saham akan ikut ditentukan oleh masa depan politik Bakrie. Saham BUMI sendiri ternyata terguncang krisis keuangan global, terpelanting lebih cepat daripada datangnya Pemilu Presiden 2009.
    Tapi jangan-jangan di balik pertanyaan itu sesungguhnya tersembunyi kebingungan untuk memposisikan Bakrie, sang saudagar, dalam konteks perkembangan politik Indonesia mutakhir. Sebagai saudagar, ia dipandang sebagai ”pemenang”: berhasil membangun kembali dan memperbesar imperium bisnisnya setelah nyaris lebur tersapu krisis ekonomi 1997. Lalu ”pemenang” atau ”pecundang”-kah ia dalam arena politik?
    Ada baiknya kita bicara tentang ”Bakrie” bukan sebagai ”seorang saudagar”, melainkan sebagai potret dari ”institusi kesaudagaran” dalam centang-perenang satu dasawarsa demokratisasi sebagai zaman kesempatan.
    Demokratisasi membidani lahirnya para pengambil kesempatan. Dalam konteks ini, ”kemenangan ekonomi” Bakrie tumbuh di atas lahan politik yang subur. Demokratisasi Indonesia berbaik hati kepada siapa saja, termasuk para saudagar, untuk menjadi bagian dari—meminjam Joel Hellman—”para pemenang pertama” yang merebut kemenangan lalu ikut menentukan arah demokratisasi berikutnya.
    Proses demokratisasi melahirkan para aktor pengendali baru yang tumbuh bersama dan di dalam struktur yang mereka bentuk sendiri. Keterlibatan para saudagar dalam dunia politik adalah bagian dari proses ini, sekaligus membuktikan kesigapan mereka merespons keadaan.
    Selayaknya para tukang besi, banyak saudagar sadar benar bahwa besi hanya bisa dibentuk selagi panas. Maka, ketika Indonesia sedang panas-panasnya pada tahun-tahun awal reformasi, mereka pun sigap ikut membentuk sang besi panas itu. Walhasil, arus masuk kalangan saudagar ke dalam arena politik terjadi secara mengesankan. Sekadar contoh, menurut pendataan Indonesia Corruption Watch, 39,8 persen dari 550 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih dalam Pemilu 2004 ternyata berlatar belakang sebagai pengusaha.
    Keterlibatan Bakrie dalam pemerintahan, selain melanjutkan keterlibatan politiknya secara lebih terbatas dalam era sebelumnya, dapat dipahami sebagai bagian dari arus itu. Politik kemudian menjadi lahan subur pembesaran imperium bisnisnya antara lain karena demokrasi kita belum berhasil membangun tembok etika dan hukum yang memisahkan para pejabat publik dari dunia bisnis yang bisa membikinnya berperilaku antipublik.
    Demokratisasi Indonesia membolehkan hampir apa saja, termasuk membiarkan konflik kepentingan terjadi antara mandat pejabat publik untuk mengelola kebijakan publik dan hasrat sang pejabat untuk menangguk keuntungan bisnis-ekonomi dari kebijakan itu bagi diri serta kelompoknya. Padahal cerita demokratisasi di sejumlah tempat membuktikan betapa penting dan gentingnya tembok etika dan hukum semacam itu untuk memelihara prinsip keterwakilan, mandat, dan akuntabilitas jabatan-jabatan publik.
    Di Afrika Selatan, misalnya, sejak 1998 berlaku etika bagi anggota lembaga eksekutif, yang antara lain mengatur larangan bagi anggota kabinet, deputi menteri, dan anggota konsulat daerah atau provinsi untuk berpenghasilan dari jabatan atau pekerjaan lain. Etika ini juga melarang para pejabat itu menggunakan jabatan dan informasi yang dipercayakan kepadanya untuk keuntungan memperkaya diri.
    Di Brasil, sejak 2000 berlaku kode etik yang melarang pejabat pemerintah berinvestasi dalam aset yang nilainya bisa dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah, terutama yang berhubungan langsung dengan jabatan yang dipegangnya dalam pemerintahan.
    Pembatasan serupa tak hanya berkembang di negara-negara demokrasi baru semacam Afrika Selatan dan Brasil, tapi juga lazim diberlakukan di negara demokrasi lama ataupun negara nondemokrasi yang berusaha menegakkan tata kelola pemerintahan yang efektif. Di Inggris, sekadar misal, Aturan Kementerian yang dikeluarkan oleh Tony Blair pada Juli 2005 mengharuskan menteri keluar dari jabatan yang dipegangnya pada perusahaan publik atau swasta dan dari institusi apa pun yang menghasilkan gaji atau honor, kecuali jika perusahaan yang dipimpinnya adalah perusahaan keluarga. Tapi, menurut aturan ini, pengecualian terakhir ini pun tak berlaku jika dalam perjalanannya timbul konflik kepentingan.
    Di Singapura, sejak 1954 berlaku kode etik bahwa setiap menteri tak boleh terlibat secara formal atau menjadi penasihat perusahaan komersial, tidak boleh memegang jabatan, baik dibayar maupun tidak, dalam perusahaan publik atau swasta. Pengecualian diberikan jika sang menteri mendapat izin—yang harus diumumkan di surat kabar—dari perdana menteri dan untuk kepentingan negara. Kode etik ini juga mengatur menteri hanya boleh terlibat usaha di bidang kemanusiaan.
    Kita di Indonesia tak memandang penting aturan-aturan serupa itu. Sekalipun niat pengaturan ke arah sana sudah disemai bibit-bibitnya, seperti dalam Undang-Undang Kementerian Negara (2008), antara niat dan praktek masih jauh panggang dari api. Dalam prakteknya, aturan yang mengharamkan konflik kepentingan para pejabat publik tak pernah ditegakkan dengan seksama.
    Maka kemenangan ekonomi pejabat publik berlatar saudagar sesungguhnya mewartakan salah satu kelalaian demokrasi memfasilitasi terbangunnya tata kelola pemerintahan yang baik. Di satu sisi, demokrasi telah mengembangkan kebebasan, kompetisi, dan partisipasi secara luar biasa. Di sisi lain, upaya yang layak untuk menegakkan prinsip keterwakilan, akuntabilitas, dan mandat sungguh masih kurang.
    Dalam konteks itulah, cerita tentang ”kemenangan ekonomi” Bakrie bisa kita letakkan. Namun kemenangan ekonomi ini berbatas amat tipis dengan ”kekalahan politik”-nya. Fakta ini tergarisbawahi tegas di Sidoarjo.
    Luapan lumpur Lapindo menjadi monumen ”kemenangan ekonomi” Bakrie. Pemerintah menetapkan luapan lumpur Sidoarjo sebagai bencana alam. Terbebaslah Lapindo dari sebagian terbesar kewajiban finansial untuk mempertanggungjawabkan kasus ini. Negara dengan murah hati mengambil alih kewajiban itu.
    Pada saat yang sama, kelompok Bakrie, yang membebaskan lahan yang terkena genangan, berpotensi memiliki aset tanah mahaluas dan bernilai ekonomis tinggi beberapa dekade ke depan. Maka korban Lapindo sudah jatuh tertimpa tangga, sedangkan kelompok usaha ini sudah bangun disediakan kursi pula.
    Tapi buatlah survei atau sensus. Tanyalah masyarakat Sidoarjo, siapa kandidat presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Banyak yang berani bertaruh, nama Aburizal Bakrie tak akan ada di dalamnya.
    Itulah potret perniagaan politik Bakrie. Di satu sisi, kemenangan ekonomi Bakrie membuatnya menjadi salah satu tokoh politik dengan sokongan finansial paling meyakinkan. Namun, di sisi lain, kemenangan ekonomi itu justru menjauhkannya dari sokongan politik (partai-partai) serta dukungan publik.
    Sebagai sebuah ”transaksi” (transaction), perniagaan politik Bakrie—barter di antara kemenangan ekonomi dan kekalahan politik—itu boleh jadi layak belaka. Tapi, sebagai sebuah ”pertukaran” (exchange), menurut saya, ia sungguh tak layak.
    Maka jawaban generik saya untuk pertanyaan di awal kolom ini: ”Dalam kaitan dengan Pemilu Presiden 2009, Bakrie membantu kita membuktikan bahwa punya sokongan finansial besar saja sangat boleh jadi tak cukup untuk menjadikan seseorang sebagai calon presiden atau wakil presiden.”
    Kabar baik atau burukkah itu? Selanjutnya terserah Anda.

    http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/11/17/LU/mbm.20081117.LU128784.id.html

    +++


    Drama Saham Sejuta Umat

    Bursa Efek Indonesia punya agenda penting Senin pekan lalu. Rapat yang dihadiri anggota Bursa mesti memutuskan apakah saham Bumi Resources Tbk. tetap diperdagangkan atau distop. Sejak dibuka pada Kamis pekan sebelumnya, harga saham perusahaan milik Bakrie ini terus ambrol. Hanya peraturan Bursa soal auto rejection di angka 10 persen yang membuat saham Bumi tidak turun lebih dalam.
    Suasana di ruang pertemuan di gedung Bursa Efek Indonesia lantai satu itu memanas ketika tiba saat harus mengambil keputusan. Sumber Tempo yang hadir di sana mengungkapkan keputusan akhirnya diambil melalui pemungutan suara. Dari 77 anggota Bursa yang hadir, 48 perusahaan efek meminta perdagangan saham Bumi dihentikan, 7 lainnya mengusulkan sebaliknya, dan 22 lagi abstain.
    Tapi rekomendasi para anggota Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia itu mentah di tangan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Otoritas pasar modal itu menolak menghentikan kembali perdagangan saham Bumi. Bapepam memilih menerima masukan Asosiasi Perusahaan Pengelola Reksa Dana, yang pada hari yang sama mengusulkan agar saham Bumi tetap diperdagangkan.
    Ketua Bapepam Fuad Rahmany mengatakan suspensi bisa mengakibatkan tidak adanya acuan harga reksa dana. Buntutnya, spekulasi akan merebak dan hal itu bisa memicu redemption (pencairan besar-besaran). Dana kelolaan perusahaan-perusahaan manajemen investasi senilai Rp 90 triliun itu bisa menguap. ”Itu jauh lebih besar dibanding potensi kerugian broker yang tersangkut saham Bumi,” kata Fuad dalam jumpa pers di Jakarta pekan lalu.
    Penolakan itu merupakan klimaks dari perjalanan panjang suspensi Bumi. Bersama lima saham Grup Bakrie lainnya, perdagangan saham Bumi distop pada 7 Oktober lalu karena rontok 32,03 persen menjadi Rp 2.175. Pemicunya adalah rumor soal Grup Bakrie kesulitan membayar utang berjaminan saham (repurchasing agreement/Repo) senilai US$ 1,12 miliar (sekitar Rp 11 triliun).
    Tak sampai sepuluh hari, Bursa Efek kembali memperdagangkan saham Bakrie Telecom, Bakrie Sumatera Plantations, dan Bakrieland. Tapi Bursa tetap menahan saham Bumi, Bakrie & Brothers, dan Energi Mega Persada. Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Erry Firmansyah berdalih suspensi itu untuk melindungi investor, bukan Grup Bakrie.
    Menurut dia, akan ada kerugian besar jika perdagangan dilanjutkan di tengah ketidakpastian penjualan aset Grup Bakrie. ”Bumi saham sejuta umat,” ujarnya. Hingga akhir Juni 2008, dari 19,4 miliar lembar, 15,7 miliar lembar saham Bumi dikuasai publik (80 persen). Saking banyaknya saham beredar, saham Bumi pernah menjadi saham berkapitalisasi terbesar di Bursa.
    Itu sebabnya, Bursa seperti menghadapi dilema. Apalagi mayoritas broker juga meminta otoritas Bursa menghentikan saham perusahaan yang dulu bernama Bumi Modern ini. ”Dari enam kali pertemuan, mayoritas broker minta Bumi disuspensi sampai ada kejelasan penjualannya ke investor baru,” kata sumber Tempo di Jakarta pekan lalu.
    Alasannya, banyak investor melakukan transaksi margin. Dalam transaksi margin, jika harga saham Bumi terus melorot, investor akan rugi. ”Broker-broker juga memegang Repo saham Bumi,” kata sumber itu. Jika harga saham Bumi anjlok, pemegang Repo terpaksa menjual sahamnya dan bisa membuat broker limbung.
    Sebaliknya, otoritas Bursa juga gerah jika terlalu lama menghentikan perdagangan saham Bumi. Biasanya penghentian perdagangan saham hanya beberapa jam atau beberapa hari, tapi saham Bumi sudah sebulan. Apalagi banyak investor yang protes. Akhirnya Bursa memutuskan akan membuka perdagangan pada 6 November, terutama karena Bakrie sudah meneken perjanjian jual-beli bersyarat 35 persen saham Bumi dengan Northstar Pacific pada 31 Oktober.
    Tapi rencana itu tertunda sehari gara-gara pemerintah ”mengintervensi” perdagangan kembali saham tersebut. Protes pun kembali berdatangan. ”Itu sangat disesalkan. Inkonsisten,” ujar Direktur PT Finan Corpindo Nusa Edwin Sinaga kepada Tempo di Jakarta. Ia mengingatkan prinsip bursa efek itu transparan, teratur, dan efisien.
    Fuad meminta maaf atas insiden tersebut. Bapepam juga tegar melanjutkan perdagangan saham Bumi, kendati harganya terus meluncur menuju Rp 1.129 pada perdagangan Jumat pekan lalu dan para broker meminta suspensi lagi. Dia menegaskan, tak ada alasan untuk itu, karena modal kerja broker toh tidak melorot sekalipun harga saham Bumi turun. Selain itu, hanya lima broker yang tersangkut Repo Bumi. ”Tak sebesar yang diberitakan.”
    Padjar Iswara, R.R. Ariyani, Amandra Mustika Megarani

    http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/11/17/LU/mbm.20081117.LU128781.id.html
    +++

    Ganjalan Bernama Lumpur Lapindo

    Minarak Lapindo Jaya meminta pemerintah menangani sementara lumpur karena kesulitan likuiditas. Banyak pembayaran tertunggak.
    Surat itu ditujukan kepada Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Djoko Kirmanto pada 23 Oktober lalu. Dalam surat yang ditandatangani Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Bambang Mahargyanto itu, anak perusahaan Grup Bakrie ini meminta Badan Penanggulangan untuk sementara waktu menangani lumpur Lapindo. Tak hanya soal dampak sosialnya, tapi juga pengaliran lumpurnya.
    Minarak punya alasan, krisis global telah berdampak langsung pada induk perusahaan. Pada akhirnya, soal itu mengakibatkan Minarak kesulitan likuiditas untuk membayar ganti rugi. Singkat kata, Minarak meminta pemerintah menalangi dulu biaya penanggulangan lumpur Lapindo. Tapi, pada 3 November lalu, Minarak mengirim surat pencabutan atas surat terdahulu. ”Dana talangan akan memakan proses cukup lama sehingga semakin memperlambat pembayaran,” ujar Direktur Operasional Bambang Prasetyo Widodo.
    Kendati sudah ditarik, persoalan ini sampai juga ke Istana. Senin pekan lalu, Presiden memanggil Djoko. Menurut Djoko, Presiden tetap meminta Lapindo menanggulangi dampak lumpur. Pembayaran ganti rugi tetap harus berjalan sesuai dengan jadwal. Menteri Pekerjaan Umum ini mengatakan Minarak masih memiliki cukup dana ganti rugi korban lumpur. ”Penanggulangan lumpurnya juga masih kerja terus meski agak menurun,” ujar Djoko kepada Rieka Rahadiana dari Tempo.
    Deputi Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan, yang juga Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, menambahkan, permintaan dana talangan itu tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2008. Peraturan itu menyebutkan Lapindo bertanggung jawab mengganti tanah dan bangunan yang terkena lumpur. Biaya penanggulangan semburan lumpur, termasuk pengalirannya ke Sungai Porong, juga dibebankan kepada Lapindo.
    Memang, kata Bachtiar, pemerintah bisa memahami kesulitan keuangan yang dihadapi Lapindo. Krisis global sudah tentu mempengaruhi kinerja banyak perusahaan, termasuk Lapindo. Itu sebabnya, pemerintah memberikan tenggang waktu dua minggu sejak surat permohonan itu dilayangkan. ”Mereka harus konsolidasi keuangan lebih dulu,” katanya kepada Tempo.
    Sayangnya, kenyataan di lapangan memang masih jauh dari yang diminta pemerintah. Di Jakarta, 150-an warga Renokenongo, Sidoarjo, berdemo di Jalan Diponegoro menuntut kejelasan ganti rugi lumpur Lapindo. Mereka menginap di gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, di kawasan Salemba, Jakarta Pusat. ”Kami akan tetap di sini sampai ada jawaban dari pemerintah,” kata Hari Suwandi, 44 tahun, sambil menikmati asap rokok di pelataran gedung.
    Kantor Yayasan LBH itu kini tak ubahnya sebuah hotel. Di aula gedung yang baru saja selesai dibangun itu, mereka setiap malam melepas lelah. Tidur selonjoran di atas lembaran-lembaran tikar serta karpet. Beberapa lainnya asyik menikmati pijatan sambil bertelanjang dada. Mereka harus mengendurkan urat setelah seharian berdemonstrasi di sekitar Salemba, Jakarta, Jumat sore pekan lalu.
    Di Sidoarjo, puluhan warga memilih tidur dalam tenda di atas tanggul Renokenongo sepanjang pekan kemarin. Warga korban lumpur yang menginap di Pasar Baru Renokenongo juga ramai-ramai menanam pohon pisang di atas tanggul. Mereka berniat menghalangi pembuatan tanggul sebelum mendapat ganti rugi.
    Pitanto, 46 tahun, warga Desa Renokenongo, mengatakan sudah menandatangani surat penerimaan ganti rugi dua bulan lalu. Lapindo berjanji akan membayar dua minggu setelah dia tanda tangan. Namun uang muka 20 persen tahap pertama itu ternyata tidak kunjung diterimanya hingga kini. ”Lapindo beralasan mereka terkena dampak krisis global, walau kami ndak tahu artinya,” kata Pitanto.
    Situasi itu juga berbeda dengan yang dinyatakan para petinggi Minarak. Vice President Minarak Andi Darusalam beberapa waktu lalu mengatakan Lapindo mempersiapkan dana Rp 3,2 triliun untuk ganti rugi. Adapun biaya penanggulangan serta penutupan semburan mencapai Rp 3,04 triliun. Pembayaran ganti rugi akan dilunasi secara bertahap hingga November 2009. Dalam rekapitulasi realisasi 11 November lalu, Minarak telah mengeluarkan dana sekitar Rp 1,8 triliun untuk ganti rugi.
    Bambang Prasetyo juga mengatakan Lapindo tetap pada komitmennya untuk membayar ganti rugi hingga tuntas. Perusahaan ini sudah meneruskan transaksi lagi pada 10 November lalu. Menurut dia, Lapindo sudah menemukan solusi sehingga tetap bisa membayar ganti rugi kepada masyarakat. ”Solusinya antara lain dengan mengangsur pembayaran,” kata Bambang.
    Hingga 11 November lalu, Lapindo sudah melunasi ganti rugi 20 persen tahap pertama yang jumlahnya 12.061 berkas senilai Rp 656 miliar. Tahap kedua baru 733 berkas senilai Rp 56 miliar. Lapindo juga sudah membayar sisa 80 persen untuk 4.249 berkas senilai Rp 1,04 triliun. Bambang mengatakan, masih ada tanggungan ratusan berkas susulan yang belum terbayar.
    Dalam peraturan presiden, Lapindo ditetapkan harus membayar ganti rugi dengan membeli tanah dan bangunan secara bertahap. Tahap pertama dibayarkan 20 persen dan sisanya, yang 80 persen, dibayar paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah habis selama dua tahun. Setiap keluarga dijatah Rp 5 juta untuk menyewa rumah dan Rp 500 ribu untuk pindahan. Di luar itu, masih ada Rp 300 ribu untuk jatah hidup selama tiga bulan untuk setiap orang.
    Repotnya, banyak keluarga yang sudah habis masa kontrak rumahnya, tapi uang ganti ruginya belum dibayar seluruhnya. Sapiri, misalnya. Warga Kedungbendo ini telah habis masa kontrak rumahnya September lalu. Artinya, uang ganti rugi 80 persen seharusnya dibayar pada Agustus lalu. ”Tapi sampai sekarang belum. Kekurangan untuk yang 20 persen saja belum dibayar,” katanya.
    Ketua Paguyuban Renokenongo Sunarto mengatakan, masih ada 465 berkas senilai Rp 37 miliar yang belum dibayar Lapindo untuk 20 persen tahap pertama. Mereka pun menduduki tanggul Renokenongo dan meminta kejelasan pembayaran. Adapun di Jakarta, Hari dan warga lainnya akan menunggu agar bisa bertemu dengan Presiden yang sedang berkunjung ke Amerika sampai akhir November ini.
    Yandi M.R., Dini Mawuntyas (Sidoarjo)

    http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/11/17/LU/mbm.20081117.LU128783.id.html

    +++



  • Wednesday, November 12, 2008

    KOMPAS Cetak : Kasus Romli Tegaskan Potret Birokrasi

    Payah...pemahaman pendekar-pendekar hukum pun terhadap deep-rootednya KKN di negara kita memang masih dangkal dan payah. Harian Kompas menyiratkan buktinya. Mereka belum tahu definis Korupsi di Indonesia.
    Mau tahu?
    Korupsi di Indonesi saya definisikan adalah "Sebagai bagian dari perbuatan tercela yang memanfaatka kekuasaan atau jabatan untuk memperkaya diri sendiri, kelompok maupun golongan, yang dikerjakan oleh orang lain!"

    KOMPAS Cetak : Kasus Romli Tegaskan Potret Birokrasi

    Korupsi Sisminbakum
    Kasus Romli Tegaskan Potret Birokrasi
    Rabu, 12 November 2008 | 00:29 WIB

    Jakarta, Kompas - Dugaan keterlibatan pakar hukum pidana dan aktivis antikorupsi, Romli Atmasasmita, dalam dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum atau Sisminbakum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia kian menegaskan potret birokrasi Indonesia.

    ”Inilah wajah birokrasi kita. Siapa pun orangnya kalau masuk birokrasi pasti terimbas korupsi. Mau profesor atau aktivis antikorupsi, tetapi kalau memasuki sistem pengelolaan birokrasi sangat mudah berperilaku korupsi,” ujar Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zaenal Mochtar Arifin, Selasa (11/11).

    Menurut dia, peluang melakukan korupsi sangat terbuka di birokrasi. Namun, ia juga menilai, saat ini adalah peluang bagi Romli untuk bicara blakblakan. ”Ini peluang Romli untuk buka blakblakan, siapa saja yang terlibat dan ke mana aliran uangnya,” kata Zaenal.

    Soal apakah penahanan Romli merupakan serangan balik terhadap gerakan antikorupsi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), Zaenal menuturkan tidak ingin terjebak pada perdebatan itu. Siapa pun yang terindikasi korupsi mesti ditindak sesuai prosedur.

    Penerima Anugerah Bung Hatta Anticorruption Award, Busyro Muqoddas, meminta semua pihak memegang asas praduga tak bersalah. ”Kita tunggu di pengadilan. Kejagung harus membuktikan sangkaan itu di sana,” ujarnya. Busyro pun mengakui kesulitan menjawab jika penahanan Romli dikaitkan dengan serangan balik terhadap gerakan antikorupsi. Kasus itu menegaskan, korupsi terjadi di semua sektor dan lini di negeri ini.

    Sebaliknya, anggota Komisi III DPR, Wila Chandrawila, mengapresiasi penanganan kasus dugaan korupsi Sisminbakum oleh Kejagung. Namun, dia juga mempertanyakan mengapa Kejagung baru menyidik kasus itu sekarang. ”Mudah-mudahan tidak ada udang di balik batu,” ujarnya.

    Wila juga mengharapkan Kejagung tidak berhenti sampai di sini, tetapi terus membongkar kasus itu. ”Kejaksaan harus berani membabat eksekutif. Korupsi terbesar terjadi di situ,” katanya.

    Minta penangguhan Romli

    Dari Bandung, Rektor Universitas Padjadjaran Ganjar Kurnia, Selasa, mengatakan sudah mengajukan penangguhan penahanan bagi Romli ke Kejagung. Ia khawatir penahanan Romli, yang juga guru besar hukum pidana di Unpad, dapat mengganggu proses belajar-mengajar di kampus.

    Seperti diberitakan, Romli ditahan Kejagung karena diduga terlibat korupsi Sisminbakum. Kasus itu terjadi saat Romli menjadi Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Dephuk dan HAM. Kejagung juga menahan Dirjen AHU Syamsuddin Manan Sinaga dan mantan Dirjen AHU lainnya, Zulkarnaen Yunus (Kompas, 11/11).

    Romli, melalui penasihat hukumnya, menilai, tak ada alasan bagi Kejagung menahan dirinya. Ia tak akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau melakukan perbuatannya kembali. (ana/har/jon/son/sut)

    Saturday, November 08, 2008

    MUNGKINKAH ADA PEMIMPIN KITA DENGAN KEMAMPUAN ORASI SEPERTI INI?

    Published: November 5, 2008: The New York Times

    SENATOR BARACK OBAMA: (Cheers, applause.) Hello, Chicago. (Cheers, applause.)
    If there is anyone out there who still doubts that America is a place where all things are possible, who still wonders if the dream of our Founders is alive in our time, who still questions the power of our democracy, tonight is your answer. (Cheers, applause.)

    It's the answer told by lines that stretched around schools and churches in numbers this nation has never seen, by people who waited three hours and four hours, many for the first time in their lives, because they believed that this time must be different, that their voices could be that difference.
    It's the answer spoken by young and old, rich and poor, Democrat and Republican, black, white, Hispanic, Asian, Native American, gay, straight, disabled and not disabled -- (cheers) -- Americans who sent a message to the world that we have never been just a collection of individuals or a collection of red states and blue states; we are and always will be the United States of America. (Cheers, applause.)

    It's the answer that -- that led those who've been told for so long by so many to be cynical and fearful and doubtful about what we can achieve to put their hands on the arc of history and bend it once more toward the hope of a better day. It's been a long time coming, but tonight, because of what we did on this day, in this election, at this defining moment, change has come to America. (Cheers, applause.)

    A little bit earlier this evening, I received an extraordinarily gracious call from Senator McCain. (Cheers, applause.) Senator McCain fought long and hard in this campaign, and he's fought even longer and harder for the country that he loves. He has endured sacrifices for America that most of us cannot begin to imagine. We are better off for the service rendered by this brave and selfless leader. (Applause.) I congratulate him, I congratulate Governor Palin for all they've achieved, and I look forward to working with them to renew this nation's promise in the months ahead. (Cheers, applause.)

    I want to thank my partner in this journey, a man who campaigned from his heart and spoke for the men and women he grew up with on the streets of Scranton, and rode with on the train home to Delaware, the vice president-elect of the United States, Joe Biden. (Cheers, applause.)
    And I would not be standing here tonight without the unyielding support of my best friend for the last 16 years, the rock of our family, the love of my life, the nation's next first lady, Michelle Obama. (Cheers, applause.)

    Sasha and Malia, I love you both more than you can imagine, and you have earned the new puppy that's coming with us to the White House. (Cheers, applause.)
    And while she's no longer with us, I know my grandmother is watching, along with the family that made me who I am. I miss them tonight, and know that my debt to them is beyond measure.
    To my sister Maya, my sister Auma, all my other brothers and sisters, thank you so much for all the support that you've given to me. I am grateful to them. (Cheers, applause.)

    And to my campaign manager, David Plouffe -- (cheers, applause) -- the unsung hero of this campaign who built the best -- (cheers) -- the best political campaign I think in the history of the United States of America -- (cheers, applause) -- to my chief strategist, David Axelrod -- (cheers, applause) -- who has been a partner with me every step of the way, to the best campaign team ever assembled in the history of politics -- (cheers) -- you made this happen, and I am forever grateful for what you've sacrificed to get it done. (Cheers, applause.)

    But above all, I will never forget who this victory truly belongs to. It belongs to you. (Cheers, applause.) It belongs to you. (Cheers.)
    I was never the likeliest candidate for this office. We didn't start with much money or many endorsements. Our campaign was not hatched in the halls of Washington; it began in the backyards of Des Moines and the living rooms of Concord and the front porches of Charleston. It was built by working men and women who dug into what little savings they had to give $5 and $10 and $20 to the cause. (Cheers, applause.) It grew strength from the young people who rejected the myth of their generation's apathy -- (cheers) -- who left their homes and their families for jobs that offered little pay and less sleep. It drew strength from the not-so-young people who braved the bitter cold and scorching heat to knock on the doors of perfect strangers, and from the millions of Americans who volunteered and organized, and proved that more than two centuries later a government of the people, by the people and for the people has not perished from the Earth. This is your victory. (Cheers, applause.)

    Now, I know you didn't do this just to win an election, and I know you didn't do it for me. You did it because you understand the enormity of the task that lies ahead. For even as we celebrate tonight, we know the challenges that tomorrow will bring are the greatest of our lifetime: two wars, a planet in peril, the worst financial crisis in a century. Even as we stand here tonight, we know there are brave Americans waking up in the deserts of Iraq and the mountains of Afghanistan to risk their lives for us. There are mothers and fathers who will lie awake after their children fall asleep and wonder how they'll make the mortgage or pay their doctors' bills or save enough for their child's college education.
    There's new energy to harness, new jobs to be created, new schools to build, and threats to meet, alliances to repair.

    The road ahead will be long. Our climb will be steep. We may not get there in one year or even in one term, but America, I have never been more hopeful than I am tonight that we will get there. I promise you: We as a people will get there. (Cheers, applause.)
    AUDIENCE: Yes, we can! Yes, we can! Yes, we can! Yes, we can! Yes, we can!
    MR. OBAMA: There will be setbacks and false starts. There are many who won't agree with every decision or policy I make as president, and we know the government can't solve every problem. But I will always be honest with you about the challenges we face. I will listen to you, especially when we disagree. And above all, I will ask you to join in the work of remaking this nation the only way it's been done in America for 221 years -- block by block, brick by brick, calloused hand by calloused hand.
    What began 21 months ago in the depths of winter cannot end on this autumn night. This victory alone is not the change we seek; it is only the chance for us to make that change.
    And that cannot happen if we go back to the way things were. It can't happen without you, without a new spirit of service, a new spirit of sacrifice. So let us summon a new spirit of patriotism, of responsibility where each of us resolves to pitch in and work harder and look after not only ourselves, but each other.
    Let us remember that if this financial crisis taught us anything, it's that we cannot have a thriving Wall Street while Main Street suffers. In this country, we rise or fall as one nation; as one people.
    Let's resist the temptation to fall back on the same partisanship and pettiness and immaturity that has poisoned our politics for so long. Let's remember that it was a man from this state who first carried the banner of the Republican Party to the White House -- a party founded on the values of self-reliance and individual liberty and national unity. Those are values we all share. And while the Democratic Party has won a great victory tonight, we do so with a measure of humility and determination to heal the divides that have held back our progress. (Cheers, applause.)

    As Lincoln said to a nation far more divided than ours, "We are not enemies, but friends -- though passion may have strained it must not break our bonds of affection." And to those Americans whose support I have yet to earn, I may not have won your vote tonight, but I hear your voices, I need your help, and I will be your president too. (Cheers, applause.)
    And to all those watching tonight from beyond our shores, from parliaments and palaces to those who are huddled around radios in the forgotten corners of the world, our stories are singular, but our destiny is shared, and a new dawn of American leadership is at hand. (Cheers, applause.) To those -- to those who would tear the world down: we will defeat you. (Cheers, applause.) To those who seek peace and security: we support you. (Cheers, applause.) And to all those who have wondered if America's beacon still burns as bright: tonight we proved once more that the true strength of our nation comes not from the might of our arms or the scale of our wealth, but from the enduring power of our ideals -- democracy, liberty, opportunity and unyielding hope. (Cheers, applause.)

    That's the true genius of America, that America can change. Our union can be perfected. And what we have already achieved gives us hope for what we can and must achieve tomorrow.
    This election had many firsts and many stories that will be told for generations. But one that's on my mind tonight's about a woman who cast her ballot in Atlanta. She is a lot like the millions of others who stood in line to make their voice heard in this election, except for one thing: Ann Nixon Cooper is 106 years old. (Cheers, applause.)

    She was born just a generation past slavery; a time when there were no cars on the road or planes in the sky; when someone like her couldn't vote for two reasons, because she was a woman and because of the color of her skin. And tonight, I think about all that she's seen throughout her century in America: the heartache and the hope, the struggle and the progress, the times we were told that we can't, and the people who pressed on with that American creed, yes we can.

    At a time when women's voices were silenced and their hopes dismissed, she lived to see them stand up and speak out and reach for the ballot. Yes we can.
    When there was despair in the Dust Bowl and depression across the land, she saw a nation conquer fear itself with a New Deal, new jobs, a new sense of common purpose. Yes we can.
    AUDIENCE: Yes we can!

    MR. OBAMA: When the bombs fell on our harbor and tyranny threatened the world, she was there to witness a generation rise to greatness and a democracy was saved. Yes we can.
    AUDIENCE: Yes we can!
    MR. OBAMA: She was there for the buses in Montgomery, the hoses in Birmingham, a bridge in Selma, and a preacher from Atlanta who told a people that "We shall overcome." Yes we can.
    AUDIENCE: Yes we can!
    MR. OBAMA: A man touched down on the Moon, a wall came down in Berlin, a world was connected by our own science and imagination. And this year, in this election, she touched her finger to a screen and cast her vote, because after 106 years in America, through the best of times and the darkest of hours, she knows how America can change.
    Yes, we can.
    AUDIENCE: Yes, we can.
    MR. OBAMA: America, we have come so far. We have seen so much. But there's so much more to do. So tonight let us ask ourselves, if our children should live to see the next century, if my daughters should be so lucky to live as long as Ann Nixon Cooper, what change will they see? What progress will we have made?
    This is our chance to answer that call. This is our moment. This is our time -- to put our people back to work and open doors of opportunity for our kids; to restore prosperity and promote the cause of peace; to reclaim the American dream and reaffirm that fundamental truth that out of many, we are one; that while we breathe, we hope; and where we are met with cynicism and doubt and those who tell us that we can't, we will respond with that timeless creed that sums up the spirit of a people: Yes, we can.
    AUDIENCE: Yes, we can.

    MR. OBAMA: Thank you. God bless you. And may God bless the United States of America. (Cheers, applause.)

    Wednesday, November 05, 2008

    KRISIS KEPERCAYAAN

    (Sebuah cerita yang tercecer di Batam.)

    Mencari lokasi yang tidak membutuhkan mobil, saya memilih pindah hotel ke sebuah hotel berbintang empat di kawasan pusat perbelanjaan, sekitar Nagoya. Check in hotel dengan santai setelah memastikan harganya masuk dalam budget saya. Juga saya menambah satu lagi kriteria hotel: ada fasilitas Internet di kamar dan biayanya masuk dalam harga kamar. Maklum sekarang PNS kalau berdinas ke daerah dibayar dengan "at cost". Tidak bisa lagi, atau nyaris sudah sulit untuk mengambil sedikit uang saku dari selisih harga yang harus dibayar dengan "plafond" dana yang disediakan. Ada baik, ada pula buruknya. Tentu.

    Seperti biasa setelah check in, ketika mau keluar kamar untuk jalan-jalan, saya sempat memeriksa kulkas. Ternyata terkunci. Ketika saya tanyakan, ternyata kemaren ada rombongan kata resepsionis. "Nanti aja!" tukas saya ketika ditawarkan untuk mengirim orang membuka kunci kulkas. Saya memang sudah ditunggu teman di lobi.

    Besoknya ketika saya membeli beberpa pak coklat untuk anak2, saya meminta agar kulkas tersebut dibuka, biar coklat bisa disimpan. Ketika petugasnya datang dan saya tanyakan ulang mengapa pakai dikunci segala, ia menegaskan jawaban temannya kemaren. "Ada rombongan pak dari XX, dan panitia tidak mau bertanggung jawab jika ada pegawai yang menginap dan mengambil isi minibar" jawabnya. Dengan cekatan ia mencari kunci sesuai dengan nomor kamar dan membuka pintu kayu lemari kulkas. Di atas kulkas itu tertumpuk lagi segulung kain terbuat dari kain satin mengkilap yang indah. Warnanya puti bersih. "Kenapa diganjal kulkasnya pakai kain itu?" tanya saya penasaran. "Bukan diganjal pak, tapi ini kimono!" dengan tenang ia menjelaskan. Saya pun terperangah. "Akh...kimono bagus kan kok disimpan disana?". Ia tak menjelaskan lagi dan segera menggantung kimono itu di lemari baju.

    Sungguh, inilah fakta tentang krisis kepercayaan masyarakat terhadap instansi XX tadi yang sebenarnya menjadi gudang pendekar hukum di negeri ini yang bertugas membela rasa keadilan di masyarakat. Gara-gara citra instansi XX tersebut, saya tidak menggunakan kimono yang nyaman untuk tidur di hotel tersebut. Kemaren dan hari ini, karena takut sudah tidak bersih dan berkuman karena disimpan di lemari minibar yang terkunci.

    Bagaimana dengan kantor anda? mudah-mudahan tidak seburuk itu dan tidak membuat hotel menyimpan propertinya dengan traumatis seperti itu. Atau hotel harusnya punya aturan yang lebih baik?
    Wallahualam.

    Dari sebuah hotel di daerah Nagoya, Batam, Kepri.

    Tuesday, November 04, 2008

    Syech Puji, Seto, dan Kita

    Entah bagaimana harus menyikapi terbukanya berita telah dinikahinya seorang gadis cilik berumur 12 tahun oleh seorang Syech. Syech Puji menikahi Ulfa di Kabupaten Semarang. LAlu menjadikan isteri mudanya ini (maksudnya berusia muda) sebagai General Manager sebuah perusahaannya.

    Tersebarnya berita pernikahan dua anak manusia berlawanan jenis ini sebetulnya adalah hal yang biasa saja. Namun menjadi tidak biasa ketika berita itu tersebar dengan cepat di media cetak dan elektronik yang menggarap isu umur si penganten wanita. Berbagai pro dan kontra (lebih banyak kontra menurut pengamatan saya) terjadi, diulang-ulang, di dramatisir, dan mungkin juga bisa dilebih-lebihkan ke berbagai urusan lain.

    Berkembangnya isu ini telah membawa Seto Mulyadi, seorang Ketua Komnas ANak, untuk IKUT CAMPUR dalam persoalan ini. Seto ikut campur sebagai Ketua organisasi yang merasa berkewajiban pula "membereskan" permasalahan ini. Tapi apa mungkin dan apanya yang harus ia "bereskan", dan bagaimana membereskannya, jelas bukan persoalan yang gampang.

    Yang kita tahu, menurut pemberitaan, kemudian Syech Puji berjanji akan mengembalikan saja Ulfa ke orang tuanya. Hah? SAmpai disini tentu kita terperangah. Se simple itukah kita menyelesaikan masalah yang menyangkut harga diri, perasaan, dan jiwa manusia? Semudah itukah caranya. APakah SAng ANak itu bisa dianggap sebagai komoditi yang karena ditolak masyarakat bisa dikembalikan begitu mudah ke orang tuanya.

    SAya menjadi semakin bertanya-tanya. Bukankah kasus seperti ini sangat banyak terjadi di tanah air. Banyak, namun karena budaya lokal tidak mempermasalahkannya hal tersebut tidak menjadi pemberitaan yang gencar. Seiring berjalnnya waktu, sang anak yang memang sekarang usia 12 tahun bisa saja sudah mendapat haid pertamanya, menjadi peristiwa yang biasa. Paling tidak untuk kelompok masyarakat tertentu di negara kita.

    Menjadi pertanyaan, efektifkah KOmnas ANak melibatkan diri dalam kasus seperti ini? Apakah tidak memperburuk masalah? Jika bermanfaat, maka manfaat seperti apakah yang akan diperoeh Sang Syech, Ulfa dan masyarakat banyak?

    Waktu akan berbicara dan membuktikannya. Bagi saya, satu yang pasti. JIka keterlibatan kita dalam suatu persoalan justru diperkirakan akan memperkeruh masalah, maka pepatah bijak menganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengawas saja terlebih dahulu. SUngguh tak terbayangkan sakitnya hati orang tua Ulfa atau bagi Ulfa sendiri jika dikembalikan keorang tua dalam kondisi sudah tidak perawan dan berbagai permasalahan dan trauma pemberitaan yang tidak mudah dihadapi mereka.

    Terkadang kita memang harus bertanya lagi ke diri sendiri..."Untuk apa kudisini?"...ah itu kan sepenggal lirik lagu dari kelompok NAIF. Tapi memang terkadang kita naif.