Monday, April 23, 2007

Komersialisasi public service obligation (PSO)

Good point dari Bin Nahadi, nanti kita cek perkembangannya.

=============================================


Selasa, 17/04/2007 Bisnis Indonesia

http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/opini/1id1647.html

Sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 34 ayat 3, negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak atau biasa disebut kewajiban pelayanan umum (public service obligation/PSO). Untuk ini pemerintah dapat melibatkan seluruh pihak termasuk BUMN dan swasta.

Awalnya instansi pemerintah menjalankan beberapa peran sekaligus seperti pengembangan kebijakan, implementasi regulasi, hingga penyediaan jasa tertentu yang terkait dengan kebijakan.

Perangkapan peran ini pada prosesnya mengalami tuntutan pemisahan secara formal yakni sebagai regulator yang independen dan sebagai penyedia jasa yang efisien. Pada kasus ini pemerintah bertindak sebagai pembeli (purchaser), sedangkan BUMN atau swasta sebagai penyedia (provider) jasa (purchaser-provider model).

Sejauh ini PSO hanya ditugaskan ke BUMN sebagai provider. Karena pertimbangan bisnis, swasta masih enggan terlibat. Kecilnya keterlibatan swasta dapat disebabkan dari dua sisi yaitu permintaan dan penawaran.

Dari sisi permintaan, rendahnya daya beli masyarakat menyebabkan kecilnya jumlah permintaan. Hal ini tidak cukup memberikan insentif bagi swasta untuk masuk ke pasar tersebut. Sedangkan dari sisi penawaran, tingginya capital requirement, karakter industri yang tidak menguntungkan, hingga tingginya risiko bisnis bisa jadi entry barriers yang menyebabkan enggannya swasta untuk masuk. Upaya komersialisasi atau bahkan swastanisasi bisa dijadikan sebuah alternatif solusi.

Anggaran pemerintah

Pada 2006 pemerintah mengalokasikan dana Rp99,5 triliun untuk membiayai program PSO pada 16 BUMN (lihat tabel). Sedangkan tahun ini anggaran APBN untuk membiayai program PSO direncanakan naik menjadi Rp101,5 triliun. Ini berarti hampir mencapai 3% dari total PDB.
Pembebanan PSO ke BUMN selama ini sering hanya dilihat dari paradigma penugasan, bukan dari sudut pandang bisnis komersial. Hubungan pemerintah-BUMN adalah hubungan pemberi dan penerima penugasan.

Akibatnya, ini sering merugikan BUMN sebagai sebuah entitas bisnis. BUMN lebih dianggap sebagai 'alat negara' untuk mengeksekusi tugas negara, bukan sebagai entitas bisnis yang mendapat proyek bisnis dari negara. Untuk melakukan perubahan paradigma dari konsep penugasan ke komersialisasi PSO, beberapa hal penting perlu dilakukan.

Masalah pertama dari tahapan komersialisasi PSO adalah penetapan aktivitas PSO. Dalam banyak kasus, BUMN adalah inisiator dari pengajuan program PSO kepada pemerintah. Bukan hanya itu, estimasi nilai PSO juga diajukan oleh BUMN.
Dengan melalui beberapa tahap pembahasan dan negosiasi akhirnya pemerintah menolak atau menyetujui program PSO. Proses seperti ini, menurut penulis adalah tidak sehat. Pemerintah sebagai pemilik proyek sudah semestinya menjadi pihak pertama dan utama dalam pengajuan suatu proyek PSO.

Selain rawan moral hazard, proses tersebut juga dikhawatirkan dapat menjadi cara bagi BUMN untuk menutupi loss-making activities-nya dengan mengklaimnya sebagai PSO. Pada akhirnya ini dapat mengaburkan kinerja BUMN yang sesungguhnya.
Minimal ada tiga tes yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah suatu kegiatan bisa dikategorikan sebagai PSO. Pertama, apakah kegiatan tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut instruksi pemerintah, bukan karena desakan pasar.

Kedua, apakah kegiatan tersebut dapat digolongkan sebagai non-commercial activities yang jika tidak ada intervensi pendanaan dari pemerintah, maka suatu entitas bisnis komersial akan melakukan penyesuaian terhadap jasa yang disediakannya.

Ketiga, materialitas. Jika non-commercial activities tersebut tidak cukup material dari sisi nilai maka aktivitas tersebut tidak perlu dikategorikan sebagai PSO. Ketika suatu aktivitas diyakini dapat dikategorikan sebagai PSO maka pemerintah perlu menetapkan ruang lingkup penugasan beserta kualifikasi dan spesifikasi yang jelas dan terukur.

Ini bisa meliputi batasan wilayah penugasan, estimasi jumlah pengguna, hingga hal-hal yang sifatnya kualitatif seperti tingkat kenyamanan.
Hal-hal tersebut penting untuk membantu pemerintah dalam memperkirakan besaran biaya penugasan, termasuk mekanisme dan dasar pemberian kompensasinya. Salah satu isu terpenting dalam kaitan ini adalah costing basis.

Profesionalisme

Komersialiasi PSO dimaksudkan untuk mengenalkan mekanisme pasar dan mengembangkan profesionalisme antara pemerintah sebagai pembeli dan korporasi sebagai penyedia. Kejelasan dan kedisiplinan komitmen dapat diwujudkan antara lain dengan kejelasan kontrak antara kedua belah pihak.

Kontrak semestinya mengatur secara jelas hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perlu dimasukkan dalam kontrak adalah kualifikasi dan spesifikasi yang jelas dan terukur, seperti batasan wilayah penugasan dan estimasi jumlah pengguna.
Satu isu pokok yang juga penting adalah masalah pembayaran atas penugasan PSO. BUMN sebagai pihak pelaksana PSO sering mengeluhkan keterlambatan pelunasan atas biaya yang sudah dikeluarkan.

Tujuan lain dari komersialisasi PSO adalah untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan PSO. Selama ini BUMN sebagai pelaksana PSO belum memisahkan laporan keuangan penugasan PSO dari laporan kegiatan komersialnya.
Hal ini rawan akan terjadinya cross subsidy negara atas loss making activities pada BUMN tersebut. Untuk itu, provider semestinya diharuskan untuk memisahkan laporan pelaksanaan PSO-nya dari laporan keuangan non PSO. Selanjutnya atas laporan pelaksanaan PSO tersebut perlu dilakukan audit oleh auditor independen dengan opini terpisah dari laporan keuangan umum perusahaan.

Komersialisasi PSO dapat diperluas maknanya menjadi swastanisasi. Efisiensi dan transaparansi adalah concern utama keterlibatan BUMN sebagai provider PSO. Untuk mendapatkan provider yang dapat menyediakan barang/jasa dengan kualitas yang lebih kompetitif dengan harga penawaran yang bersaing, maka pemerintah perlu membuka kesempatan bagi swasta untuk ambil bagian dalam penugasan PSO.

Oleh Bin Nahadi

Ekonom The Indonesia Economic Intelligence

Tuesday, April 17, 2007

Negara SPJ

Hari ini 17 April 2007 ada opini di Media Indonesia berjudul "NEgara SPJ" yang mengupas masalah SPJ (Surat Perintah Jalan) yang telah dijadikan sebagai salah satu alternatif peningkatan pendapatan bagi PNS dan pejabat negara. Penulis nya sdr Poltak Partogi NAinggolan, mengaku sebagai Mahasiswa ALbert Ludwigs Universitaet Freilburg, JErman.

Waduh..ini memang harus dibahas secara dalam dan tuntas, karena kondisi yang ada saat sekarang memang sangat kompleks.

Anyway..let's see.

ES

Thursday, April 05, 2007

TRAGEDI....again?

It's like a big thunder on the breaking day. Again, another student was "murdered" by the ignorance of all Indonesian.

Fatal, brutal, and the killer could be just hung, or sent to death penalty.

ES

=========================
Five suspects in fatal school beating

http://www.thejakartapost.com/detailheadlines.asp?fileid=20070405.A05&irec=4

Yuli Tri Suwarni, The Jakarta Post, Sumedang (5 April 07)

Police have named five students at the Civil Administration Institute (IPDN) in Sumedang, West Java, as suspects in the fatal beating of a fellow student.
Cliff Muntu, 20, a second-year student from Manado, North Sulawesi, died Monday night after being assaulted by at least 10 older students.
Sumedang Police chief Adj. Sr. Comr. Syamsul Bahri said Wednesday officers had gathered evidence from the scene of the attack, and had been able to so far identify five suspects.
The five have yet to be detained, Syamsul said. "We are waiting to see how the case develops as we gather more evidence from our investigation."
West Java Police spokesman Sr. Comr. Dade Ahmad said a postmortem exam of the victim by doctors at Hasan Sadikin Hospital in Bandung found numerous wounds and contusions on the victim's body, confirming he was beaten to death.
"There were contusions across the chest as well as bleeding from the head, mouth and across his back,"
Cliff's death is only the most recent in a series of violent hazing of younger students at the institute, which recently changed its curriculum in an attempt to end the culture of violence that has plagued the school for years.
"I got information from the victim's fellow students that he was being 'trained' by older students because he was out of position during a flag-raising ceremony," said Inu Kencana Syafiie, a lecturer at the institute.
Another version of the incident claims Cliff was being punished because he was slow to respond after being called over by older students.
Inu said that since 1994 there had been 37 incidents of violence involving students at the institute, where bureaucrats are trained. In 1994 a student from East Java died after an assault that left him with several broken ribs and his chest covered in bruises. No postmortem examination was conducted on the victim of that assault.
It was only with the arrival of political reform in the country in 2001 that the media began to report on violence at the institute. The first case to receive major media coverage was the beating death of Eri Rahman by seven older students.
Two years later Wahyu Hidayat died after being beaten by nine fellow students. That case ended in the courts, with the nine assailants receiving jail time, Inu said.
He said that in March 2005, the reputation of the institute, which has changed its curriculum to try and move away from the military-style education of the past, was further tarnished by a brawl in the canteen involving both younger and older students. The fight left one student, Asep Riyanto, with a broken nose.
"This shows the culture of violence at IPDN continues to this day. Many high-ranking officials try to cover up the incidents so the students feel as if they are protected, no matter what they do," Inu said.

========


Kamis, 05 April 2007 http://www.media-indonesia.com/editorial.asp?id=2007040422383006

EDITORIAL Media Indonesia

Institut Jagal di Jatinangor

PEMBUNUHAN terjadi lagi di kampus Institut Pendidikan Dalam Negeri yang sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri. Seorang siswa yang di sekolah itu disebut dengan istilah praja tewas setelah dianiaya para seniornya. Siswa nahas itu bernama Cliff Muntu dari Manado, Sulawesi Utara.
Dari hasil autopsi menunjukkan pembunuhan terhadap Cliff dilakukan dalam semangat kekejaman dan keganasan yang tinggi. Jantung Cliff memar dan tulang dada retak. Ia terkapar di barak DKI karena dihajar dengan tendangan dan tonjokan seniornya yang berjumlah 13 orang atas nama disiplin. Cliff memang terlambat datang memenuhi panggilan kakak kelasnya.
Nafsu membunuh di kampus milik Departemen Dalam Negeri di Jatinangor, Jawa Barat, itu tergolong tinggi. Mengubah nama perguruan dari sekolah tinggi ke institut--salah satu alasan adalah untuk menghilangkan budaya kekerasan--ternyata tidak berpengaruh. Para calon pamong praja, sebagian besar sudah berstatus PNS, itu tetap saja bernafsu sebagai tukang jagal. Mereka membunuh dengan alasan sepele, tetapi atas nama disiplin dan gengsi angkatan.
Pembunuhan, entah di jalanan entah di kampus, adalah kejahatan. Bagaimana bisa diterima akal sehat bila sebuah kampus yang mendidik calon pamong praja menjadi persemaian kejahatan? Apa yang bisa diharapkan dari tamatan kampus dengan watak seperti itu?
Data berikut ini seharusnya cukup dijadikan alasan untuk menutup sekolah kedinasan yang menumbuhkan kehausan membunuh sangat tinggi itu. Padahal IPDN bukan sekolah militer yang salah satu doktrinnya adalah membunuh atau dibunuh. Maklum militer dididik untuk berperang.
Dari penelitian seorang mahasiswa program doktor di Universitas Padjadjaran diperoleh data yang mencengangkan. Dari 2000 sampai dengan 2004, terjadi 660 kasus seks bebas di kalangan siswa IPDN. Dalam kurun yang sama ditemukan 35 kasus penganiayaan berat, 125 kasus narkoba, dan 9.000 penganiayaan ringan. Cliff Muntu adalah korban meninggal ke-10 sejak 1994.
Menurut kesimpulan sementara penelitian tersebut, pelanggaran yang begitu banyak dan tergolong berat itu sangat sedikit diganjar sanksi oleh para pengelola perguruan.
Disiplin memang bagus. Tetapi disiplin yang berujung pada pembunuhan adalah salah kaprah. Sistem asrama sebenarnya dirancang untuk menggugah integrasi dan sosialisasi. Tetapi, asrama di IPDN dikaveling berdasarkan daerah dan berubah menjadi enklave keganasan. Cliff yang menghuni barak Sulut dihajar ketika berada di barak DKI.
Keganasan di kalangan praja IPDN tidak hanya terjadi di kampus. Di luar kampus pun mereka bisa melakukan kebrutalan terhadap sesama siswa. Kejadian di Padang, Sumatra Barat, pada 2005 membuat kita tidak bisa mengerti.
Aidil, salah satu siswa, berlibur Lebaran di Padang, kota asalnya. Dalam rangka silaturahmi Idul Fitri, ia mendatangi rumah seniornya yang juga berlibur di kota yang sama. Aneh bin ajaib, Aidil yang datang untuk berjabat tangan sambil memohon maaf lahir dan batin disambar sang senior dengan tendangan dan tonjokan di Hari Lebaran. Aidil akhirnya memutuskan tidak melanjutkan studinya di IPDN.
Kampus yang menjadi enklave keganasan dan kebengisan seperti ini tentu tidak pantas dipertahankan. Kematian Cliff tidak cukup hanya ditelusuri dari sisi kejahatan dan penegakan hukum, tetapi sekaligus mempertanyakan secara serius eksistensi IPDN.
Pamong praja yang dihasilkan dari sebuah kampus dengan kultur keganasan tukang jagal menjadi ironi terbesar sebuah institusi pendidikan. Juga ironi memalukan bagi sebuah negara yang masih menganut kebijakan kepegawaian dari sumber yang mengangkangi peradaban dan kemanusiaan.

Tuesday, April 03, 2007

DeTIKNas: Memberi Rekomendasi, Bukan Merumuskan

Menarik juga telaahan dan kupasan yang telah dilakukan oleh Warta Ekonomi. Memang ICT di Indonesia harus diberdayakan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin guna meningkatkan daya saing bangsa yang makin terpuruk. Mudah2-an bisa terwujud, jangan hanya jadi wacana dan sarana buat orang-orang untuk numpang ngetop.

ES

=========
Jum'at, 16 Maret 2007 - warta ekonomi.com

Pemerintah membentuk DeTIKNas untuk mempercepat penetrasi ICT. Meski komposisi pengurusnya tak banyak berbeda dengan TKTI, dewan ini menawarkan pendekatan yang lain: ICT Economic. Apa itu?Di manakah posisi penerapan ICT Indonesia? Ini datanya: sampai sekarang, diperkirakan masih ada 43.000-an desa, dari total 72.000-an, yang belum menikmati bahkan layanan telekomunikasi yang bersifat dasar.

Jadi, masih ada sekitar 60% desa-desa di Indonesia yang belum terjangkau oleh layanan telekomunikasi.Padahal, kalau merujuk data International Telecommunication Union (ITU), sebuah badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), setiap peningkatan penetrasi information & communication technology (ICT) sebesar 1%, ia akan mampu memicu pertumbuhan ekonomi sampai dengan 3%. Lalu, untuk setiap 1% pertumbuhan ekonomi, ia akan mampu menciptakan 400.000 lapangan kerja.Jadi, begitu pentingnya peran ICT dalam perekonomian nasional. Maka, tak heran kalau pada Kamis (28/12) pagi, sejumlah menteri dan petinggi pemerintahan lainnya hadir di ruang rapat kantor Menko Perekonomian. Mereka adalah Menteri Kominfo Sofyan Djalil, Mendiknas Bambang Sudibyo, Menneg Ristek Kusmayanto Kadiman, Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, dan Menteri Perdagangan Mari Pangestu. Hari itu, mereka menggelar rapat koordinasi terbatas tentang Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (DeTIKNas).DeTIKNas, apa itu? Apa pula kaitannya dengan percepatan penetrasi ICT di Indonesia?Nama DeTIKNas memang melambung sejak akhir 2006.

Dibentuk berdasarkan Keppres No. 20/2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono resmi mengumumkan kelahiran dewan ini di Istana Bogor, Senin (13/11) tahun lalu. Sesuai Keppres itu, dewan ini diketuai langsung oleh Presiden SBY, dengan wakil ketua Menko Perekonomian Boediono. Sementara itu, Pengurus Harian diketuai Menteri Kominfo Sofyan Djalil, dengan beranggotakan sembilan menteri lainnya (Menteri Hukum dan HAM, Menteri Perindustrian, Menteri Diknas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perdagangan, Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menneg Ristek, dan Sekretaris Kabinet).Melihat komposisi pengurusnya, sekilas dewan ini mirip dengan Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) yang dibentuk semasa pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid.

Tim yang dibentuk lewat Keppres No. 50/2000 ini diketuai oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, dengan wakil ketua I Menko Ekuin, dan wakil ketua II dijabat oleh Menteri Negara PAN. Di jajaran anggotanya, ada 16 menteri. Semuanya ex officio.Kecuali Tim Koordinasi, TKTI juga memiliki Tim Pelaksana Harian yang dipimpin oleh Menneg PAN. Tugas pokok tim ini adalah merumuskan kebijakan pemerintah dalam bidang telematika.Dalam TKTI, Departemen Kominfo memainkan peran kunci. Bahkan, lewat Keppres No. 9/2003, Presiden Megawati menunjuk langsung Menteri Negara Urusan Komunikasi sebagai ketua, dengan anggotanya adalah tujuh pejabat setingkat menteri.Bagaimana kinerjanya?

Dalam sebuah kolomnya, Eddy Satriya, senior infrastructure economist yang pernah menjadi anggota sekretariat TKTI, menulis: “… ketidakberhasilan sinkronisasi dan koordinasi ICT selama ini mendorong pemerintah mewujudkan DeTIKNas yang sangat diharapkan dapat menaikkan daya saing bangsa melalui pemanfaatan ICT.”Beda Tugas Ada perbedaan pokok tugas DeTIKNas dengan TKTI. Dulu, salah satu tugas pokok TKTI adalah merumuskan kebijakan pemerintah dalam bidang telematika. Nah, DeTIKNas lain. Menurut Menteri Sofyan, salah satu tugas pokok DeTIKNas adalah memberikan rekomendasi tentang kebijakan pengembangan TI yang efisien dan efektif di Indonesia. Kata “memberikan rekomendasi” ini jelas berbeda dengan “merumuskan”. Mana yang lebih efektif dampaknya, masih harus ditunggu.Salah satu penyebab kurang efektifnya kinerja TKTI adalah karena anggota timnya terdiri dari para menteri—orang-orang yang super sibuk. Adakah DeTIKNas, yang anggotanya juga terdiri dari para menteri, bakal bernasib serupa?Mungkin untuk meretas masalah tersebut maka dewan ini dilengkapi dengan Tim Pelaksana. Komposisinya, ketua tim masih dijabat oleh Menteri Kominfo Sofyan Djalil. Nah, bedanya, posisi wakil ketua kali ini diisi oleh “orang swasta”, yakni mantan managing partner PricewaterhouseCoopers di Indonesia, Kemal Stamboel. Satu wakil lagi oleh dirjen Aplikasi Telematika, Departemen Kominfo, Cahyana Ahmadjayadi.

Sementara itu, untuk sekretaris tim dijabat oleh Lambock Nahathan dari Kementerian Sekretaris Kabinet.Perbedaan lainnya lagi, di jajaran anggota Tim Pelaksana, sebagian besar terdiri dari mantan “orang swasta”. Mereka, antara lain, mantan Menteri Perhubungan Giri Suseno, mantan dirut PT Indosat Jonathan L. Parapak, Hari Sulistiono yang eks dirut PT IBM Indonesia dan TVRI, mantan dirut LippoBank Jos F. Luhukay, dan Andi Siwaka Okta.

"Komposisi kepengurusan ini menunjukkan keseriusan pemerintah untuk menangani pengembangan ICT di Tanah Air," tandas Menteri Sofyan.Selain Tim Pelaksana, ini sama dengan komposisi di TKTI, DeTIKNas juga memiliki Tim Mitra yang terdiri dari akademisi, praktisi, dan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam industri ICT, seperti Asosiasi Piranti Lunak Indonesia (Aspiluki), Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (Apkomindo), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Indonesia Mobile and Online Content Provider Association (IMOCA), dan organisasi-organisasi berbasis ICT lainnya.Less Capex, More Opex Seakan mengejar setoran, DeTIKNas langsung menggelar sejumlah rapat guna memberikan rekomendasi bagi kebijakan penerapan ICT di Indonesia.

Salah satu rekomendasinya adalah menyangkut konsep ICT Economic. Apa itu? Kemal Stamboel menuturkan, “Kami mengembangkan less capex (capital expenditure), more opex (operational expenditure). Pemerintah sebaiknya tidak tanam modal, tetapi memanfaatkan fasilitas yang ada dan sharing dengan industri. Ini agar bujet lebih efisien karena pemerintah tidak harus membangun menara dan segala macamnya, tetapi cukup menyewa dari vendor dan provider yang ada.

”Konsep ICT Economic juga membuat pemerintah tak perlu pusing memikirkan pesatnya perkembangan teknologi. Bayangkan jika pemerintah mesti membenamkan dana untuk sebuah solusi berbasis ICT, ternyata beberapa tahun kemudian muncul teknologi yang baru. “Dengan ICT Economic, pemerintah tak perlu lagi memikirkan teknologi yang terus berkembang. Semua menjadi urusan para vendor. Ini juga membuat industri yang menyediakan jasa atau services bisa berkembang,” lanjut Kemal.Selain mengintrodusir konsep ICT Economic, DeTIKNas juga memancangkan tujuh flagship program, yakni e-Procurement, e-Anggaran, National Single Window (NSW), e-Education, Palapa Ring, legalisasi software pemerintah, dan Nomor Identitas Nasional (NIN). Flagship program ini sepenuhnya merupakan inisiatif dan milik pemerintah, tapi dalam pelaksananya bisa melibatkan swasta. Namun, peran swasta di sini sebatas penyedia jasa layanan (provider).Peran swasta dalam flagship program sangat penting, sebab harga untuk program-program tersebut terbilang mahal.

Misalnya NSW, menurut sekretaris tim NSW Edy Putra Irawadi, sebagaimana dikutip Kontan, di Singapura dan Thailand, biaya desainnya saja bisa mencapai US$12-14 juta. Sementara, biaya membangun sistemnya bisa mencapai US$300-400 juta. Nilai ini tentu sangat besar jika harus ditanggung APBN.Dengan melibatkan swasta, kelak investasi untuk flagship program semacam NSW bisa ditanggung mereka. Pembayarannya bisa dilakukan lewat konsep pay per used.

Artinya, konsumen yang akan mengurus dokumen kepabeanan, misalnya, yang harus membayar. Adanya flagship program semacam NSW disambut antusias oleh kalangan dunia usaha. Sebab, implementasi NSW akan memangkas lamanya proses pengurusan perizinan. Lama waktu dan biaya pengurusan izin-izin pun menjadi lebih pasti. Menurut Fredy Sutrisno, sekjen Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), proses perizinan kepabeanan secara elektronik ini akan memotong waktu ekspor maupun impor kendaraan.Lanjut Fredy, selama ini industri otomotif memang tidak mengalami kesulitan dalam mengurus izin ekspor-impor. Namun, kalau lamanya waktu bisa dipangkas, tentu ini lebih baik. “Apalagi pemerintah punya kepentingan terhadap perolehan devisa yang dihasilkan dari ekspor-impor mobil tersebut”, ujarnya.

Mawardi Arif, direktur PT Greenland Niaga, mengungkapkan hal senada. “Kalau memang akan ada layanan yang bisa lebih efisien, saya akan tunggu itu,” tuturnya. Namun, pengusaha yang bergerak dalam bidang perdagangan internasional ini berharap NSW bisa menyediakan beberapa opsi. Misalnya, soal asuransi, akan lebih baik jika banyak pilihan. “Sebab, kamilah yang membeli jasanya,” tandas Mawardi.Namun, Mawardi mencemaskan soal security dan update datanya. Kecemasan pria 33 tahun ini beralasan. Sebab, Indonesia belum memiliki Cyber Law untuk menjerat pelaku-pelaku cyber crime. “Saya takut ada pihak-pihak yang menyalahgunakan nomor identitas kami untuk kepentingan ekspor-impor,” katanya. Berarti, ada satu tugas lagi untuk DeTIKNas.

HOUTMAND P. SARAGIH, J.B. SOESETIYO, DAN DIVERA WICAKSONO

DPR akui terima dana DKP

Media Indonesia pagi ini 3 April 2007 menyebutkan bahwa dana yang dihimpun dari berbagai sumber oleh Rokhmin Damhuri dan Sekjennya di DKP ternyata mengalir jauh sampai ke Komisi III yang membidangi kelautan pada waktu itu.

Jelas..dong, orang kesejahteraan anggota Dewan dan Pemerintah dulu itu gak ada yang mikirin. ALhasil, setiap pejabat harus akrobat untuk memikirkan kesejahteraan staf nya. "KOk herman sih?" APalagi untuk setiap acara RUU yang harus diloloskan menjadi UU. pasti dong butuh dana, tapi pos pengeluaran tidak pernah ada...ya....capekkk dech.

ES