Monday, April 23, 2007

Komersialisasi public service obligation (PSO)

Good point dari Bin Nahadi, nanti kita cek perkembangannya.

=============================================


Selasa, 17/04/2007 Bisnis Indonesia

http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/opini/1id1647.html

Sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 34 ayat 3, negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak atau biasa disebut kewajiban pelayanan umum (public service obligation/PSO). Untuk ini pemerintah dapat melibatkan seluruh pihak termasuk BUMN dan swasta.

Awalnya instansi pemerintah menjalankan beberapa peran sekaligus seperti pengembangan kebijakan, implementasi regulasi, hingga penyediaan jasa tertentu yang terkait dengan kebijakan.

Perangkapan peran ini pada prosesnya mengalami tuntutan pemisahan secara formal yakni sebagai regulator yang independen dan sebagai penyedia jasa yang efisien. Pada kasus ini pemerintah bertindak sebagai pembeli (purchaser), sedangkan BUMN atau swasta sebagai penyedia (provider) jasa (purchaser-provider model).

Sejauh ini PSO hanya ditugaskan ke BUMN sebagai provider. Karena pertimbangan bisnis, swasta masih enggan terlibat. Kecilnya keterlibatan swasta dapat disebabkan dari dua sisi yaitu permintaan dan penawaran.

Dari sisi permintaan, rendahnya daya beli masyarakat menyebabkan kecilnya jumlah permintaan. Hal ini tidak cukup memberikan insentif bagi swasta untuk masuk ke pasar tersebut. Sedangkan dari sisi penawaran, tingginya capital requirement, karakter industri yang tidak menguntungkan, hingga tingginya risiko bisnis bisa jadi entry barriers yang menyebabkan enggannya swasta untuk masuk. Upaya komersialisasi atau bahkan swastanisasi bisa dijadikan sebuah alternatif solusi.

Anggaran pemerintah

Pada 2006 pemerintah mengalokasikan dana Rp99,5 triliun untuk membiayai program PSO pada 16 BUMN (lihat tabel). Sedangkan tahun ini anggaran APBN untuk membiayai program PSO direncanakan naik menjadi Rp101,5 triliun. Ini berarti hampir mencapai 3% dari total PDB.
Pembebanan PSO ke BUMN selama ini sering hanya dilihat dari paradigma penugasan, bukan dari sudut pandang bisnis komersial. Hubungan pemerintah-BUMN adalah hubungan pemberi dan penerima penugasan.

Akibatnya, ini sering merugikan BUMN sebagai sebuah entitas bisnis. BUMN lebih dianggap sebagai 'alat negara' untuk mengeksekusi tugas negara, bukan sebagai entitas bisnis yang mendapat proyek bisnis dari negara. Untuk melakukan perubahan paradigma dari konsep penugasan ke komersialisasi PSO, beberapa hal penting perlu dilakukan.

Masalah pertama dari tahapan komersialisasi PSO adalah penetapan aktivitas PSO. Dalam banyak kasus, BUMN adalah inisiator dari pengajuan program PSO kepada pemerintah. Bukan hanya itu, estimasi nilai PSO juga diajukan oleh BUMN.
Dengan melalui beberapa tahap pembahasan dan negosiasi akhirnya pemerintah menolak atau menyetujui program PSO. Proses seperti ini, menurut penulis adalah tidak sehat. Pemerintah sebagai pemilik proyek sudah semestinya menjadi pihak pertama dan utama dalam pengajuan suatu proyek PSO.

Selain rawan moral hazard, proses tersebut juga dikhawatirkan dapat menjadi cara bagi BUMN untuk menutupi loss-making activities-nya dengan mengklaimnya sebagai PSO. Pada akhirnya ini dapat mengaburkan kinerja BUMN yang sesungguhnya.
Minimal ada tiga tes yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah suatu kegiatan bisa dikategorikan sebagai PSO. Pertama, apakah kegiatan tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut instruksi pemerintah, bukan karena desakan pasar.

Kedua, apakah kegiatan tersebut dapat digolongkan sebagai non-commercial activities yang jika tidak ada intervensi pendanaan dari pemerintah, maka suatu entitas bisnis komersial akan melakukan penyesuaian terhadap jasa yang disediakannya.

Ketiga, materialitas. Jika non-commercial activities tersebut tidak cukup material dari sisi nilai maka aktivitas tersebut tidak perlu dikategorikan sebagai PSO. Ketika suatu aktivitas diyakini dapat dikategorikan sebagai PSO maka pemerintah perlu menetapkan ruang lingkup penugasan beserta kualifikasi dan spesifikasi yang jelas dan terukur.

Ini bisa meliputi batasan wilayah penugasan, estimasi jumlah pengguna, hingga hal-hal yang sifatnya kualitatif seperti tingkat kenyamanan.
Hal-hal tersebut penting untuk membantu pemerintah dalam memperkirakan besaran biaya penugasan, termasuk mekanisme dan dasar pemberian kompensasinya. Salah satu isu terpenting dalam kaitan ini adalah costing basis.

Profesionalisme

Komersialiasi PSO dimaksudkan untuk mengenalkan mekanisme pasar dan mengembangkan profesionalisme antara pemerintah sebagai pembeli dan korporasi sebagai penyedia. Kejelasan dan kedisiplinan komitmen dapat diwujudkan antara lain dengan kejelasan kontrak antara kedua belah pihak.

Kontrak semestinya mengatur secara jelas hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perlu dimasukkan dalam kontrak adalah kualifikasi dan spesifikasi yang jelas dan terukur, seperti batasan wilayah penugasan dan estimasi jumlah pengguna.
Satu isu pokok yang juga penting adalah masalah pembayaran atas penugasan PSO. BUMN sebagai pihak pelaksana PSO sering mengeluhkan keterlambatan pelunasan atas biaya yang sudah dikeluarkan.

Tujuan lain dari komersialisasi PSO adalah untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan PSO. Selama ini BUMN sebagai pelaksana PSO belum memisahkan laporan keuangan penugasan PSO dari laporan kegiatan komersialnya.
Hal ini rawan akan terjadinya cross subsidy negara atas loss making activities pada BUMN tersebut. Untuk itu, provider semestinya diharuskan untuk memisahkan laporan pelaksanaan PSO-nya dari laporan keuangan non PSO. Selanjutnya atas laporan pelaksanaan PSO tersebut perlu dilakukan audit oleh auditor independen dengan opini terpisah dari laporan keuangan umum perusahaan.

Komersialisasi PSO dapat diperluas maknanya menjadi swastanisasi. Efisiensi dan transaparansi adalah concern utama keterlibatan BUMN sebagai provider PSO. Untuk mendapatkan provider yang dapat menyediakan barang/jasa dengan kualitas yang lebih kompetitif dengan harga penawaran yang bersaing, maka pemerintah perlu membuka kesempatan bagi swasta untuk ambil bagian dalam penugasan PSO.

Oleh Bin Nahadi

Ekonom The Indonesia Economic Intelligence

No comments: