Sunday, August 31, 2008

Elpiji Ini Membunuhku

Jika D'Masiv merasa tersiksa dan bahkan merasa dibunuh gara-gara cinta, mungking bangsa Indonesia secara pelan dan pasti juga di"bunuh" oleh Elpiji. Mengapa? Bayangkan, untuk sebagian besar kelompok masyarakat tidak miskin dan kelompok menengah ke atas, mereka telah setia menggunakan LPG dari sekitar 15 tahun lalu, hingga kini. Banyak rumah tangga di seluruh pelosok RI telah menggunakan LPG terutama dalam ukuran tabung 12 kiloan. Sementara itu industri berbagai konsumen besar lainnya telah pula memanfaatkan LPG dengan ukuran lebih besar seperti hotel, restoran, rumah sakit dan lain-lain.

Namun apa yang terjadi sekarang? SUngguh "babalieut" mungkin itu salah satu ungkapan SUnda alias berantakan atau amburadul. Dengan mendadaknya pelaksanaan program konversi dari minyak tanah (MT) ke gas atau LPG, pemerintah telah menggali kubur untuk rakyatnya sendiri. Bukan karena program itu semata, tetapi oleh ketiadaan "prekondisi" melaksanakan konversi.

Semua masih ingat, betapa dekatnya perubahan tanpa persiapan itu dilaksanakan dengan program Briket Batu Bara yang mempunyai tujuan sama: Melepaskan ketergantungan akan BBM, khususnya MT. Ketika masyarakat di kampung dan beberapa pelosok di pinggir Jabodetabek mulai menggunakan tungku Briket dan jalur pasokan retailnya telah disiapkan, mendadak sontak pemerintah melaksanakan konversi. Langsung dari MT ke LPG. MEnyedihkannya lagi tabungnya hanya 3 kg. Okelah untuk sementara mungkin masuk akal mengingat daya beli masyarakat.

Tengah asyik nya pelaksanaan konversi itu terdengar kabar Pertamina ternyata telah menaikkan harga jugal LPG 12 kg beberapa kali hingga menjadi sekitar Rp 60 ribuan. APa lacur? Di tengah kesulitan kehidupan dan sempitnya lapangan kerja dengan tingkat upah yang layak, tidak pelak lagi keberadaan gas dengan tabung 3 kg (bersubsidi lagi) tentu saja menjadi alternatif pilihan untuk bertahan hidup dan mempertahankan pekerjaan atau usaha.

Meski LPG bertabung 3 kg ini masih diragukan keamanannya, maka naluri "animal behavior" masyarakat ekonomi tentu memilih lari ke tabung kecil ini. ALhasil permintaan makin melonjak, dan banyak kelompok menengah tadi mulai pula mengkonsumsi gas tabung kecil ini. Sah-sah saja, namanya juga mempertahankan diri dan pekerjaan. KOndisi ini rupanya luput dari pengamatan pemerintah dan Pertamina.

Di tengah upaya pemenuhan kebutuhan yang semakin tidak jelas kepastian pasokannya ini, Pertamina bbrp bulan lalu kembali menaikkan harga Elpiji untuk kelompok industri. Kontan saja kondisi ini semakin memperparah dan mulai "membunuh" masyarakat. Banyak industri yang kemudian mengambil jatah tabung 12kg dari masyarakat untuk industri mereka. Alhasil LPG 12 kg langka dimana-mana. Banyak antrian dan semakin panjang setiap hari. Berbagai daerah mengeluhkan kurangnya pasokan LPG 12 kg. Hampir seluruh wilayah negeri, termasuk antrian panjang di provinsi Kaltim sebagai penghasil gas terbesar neger ini.

Masih kurang gila, beberapa hari lalu Pertamina kembali menyiratkan rencana akan menaikkan harga LPG 12 kg ke tingkat sekitar Rp 69 ribuan (dibulatkan saja Rp 70ribuan karena di agen juga sudah akan naik dan tidak pernah sama dengan yang diumumkan). KEGILAAN ini lah yang mungkin membuat Direktur Niaga dan Pemasaran Pertamina Achmad Faisal menunda rencana tersebut, hingga Kompas menerbitkan berita dengan judul yang cukup membingungkan "Bulan Depan Harga Elpiji Tidak Naik". Tidak jelas memang, apakah pers yang berhasil dibingungkan Pertamina atau memang Pertamina yang bingung. Satu yang pasti saya sebagai rakyat juga ikut bingung, apalagi masyarakat luas lainnya.

Sungguh kondisi ini mulai membunuh kita. Membunuh logika untuk berpikir jernih, membunuh hati untuk tetap sabar, membunuh ketenangan yang harus dimiliki masyarakat di tengah menyambut datangnya bulan ramadhan, dan membunuh benar-benar masayarakat miskin yang harus mengorek kocek lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan energi dasar mereka.

Dan jika anda baca berita di bawah ini, jelas pemerintah juga panik yang akhirnya mengimpor lebih banyak lagi LPG dari luar negeri yang bisa saja sebenarnya berasal dari LNG yang kita terus ekspor selama sekitar 30 tahun kemudian dikonversi menjadi LPG, atau bisa juga gas pipa kita yang di ekspor ke SIngapore lewat stasiun distribusi di Panaran, Batam kemudian di "kalengkan" lagi oleh SIngapore. Lalu bagaimana nasibnya rencana pembangunan pipa gas Bontang-Banjarmasin-Semarang yang tendernya sudah dimenangkan salah satu perusahaan swasta kita. Tapi pembangunannya dulu tertunda karena BPMigas menyatakan tidak cukup reserve untuk di bawa keJawa.

Ah....Elpiji ini membunuhku!! Ironis kan. Kita ekspor LNG, kita impor LPG; kita ekspor minyak, kita impor BBM.

***
Berita terkait:
  1. Menyoal KOnversi Minyak Tanah ke BBG
  2. Proyek Pipa Gas Kaltim-JAteng: "Sui Generis"
  3. Welcoming New Paradigm in Gas UTilization

KOMPAS Cetak : Bulan Depan Harga Elpiji Tidak Naik

Kebutuhan Pokok
Bulan Depan Harga Elpiji Tidak Naik
Sabtu, 30 Agustus 2008 | 02:38 WIB

Jakarta, Kompas - PT Pertamina berjanji tidak akan menaikkan harga elpiji bulan depan. Penundaan kenaikan harga dilakukan untuk mengurangi ulah spekulan yang menimbun elpiji menjelang Lebaran.

Direktur Niaga dan Pemasaran PT Pertamina Achmad Faisal, Jumat (29/8) di Jakarta, mengatakan, pihaknya melihat indikasi penimbunan setelah kenaikan harga elpiji tabung 12 kilogram (kg) dan 50 kg pekan lalu. ”Elpiji dilaporkan kosong di beberapa wilayah, sementara berdasarkan laporan, permintaan masyarakat justru meningkat,” kata Faisal.

Pertamina menunda kenaikan harga elpiji untuk memastikan pasokan elpiji lancar. Semula Pertamina berencana menaikkan secara bertahap harga elpiji tabung 12 kg dan 50 kg sebesar Rp 500 per kg per bulan sampai harga mencapai keekonomiannya.

Pertamina akan mengonsultasikan lagi rencana kenaikan harga secara bertahap itu kepada pemerintah sebelum diterapkan.

Direktur Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto mengatakan, kenaikan harga elpiji sebaiknya tidak dilakukan sebelum ada aturan tata niaga yang jelas. Selain itu, selama struktur pasar elpiji masih monopoli, kewenangan penetapan harga tetap harus dipegang pemerintah, bukan pelaku pasar.

Di Bandung, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, kenaikan harga elpiji tidak akan mengancam program konversi minyak tanah. Kalaupun terjadi pengalihan konsumsi elpiji dari tabung 12 kg ke tabung 3 kg, pasokan gas akan tetap memenuhi permintaan.

”Saya sudah minta supaya berapa pun kebutuhan orang akan tabung 3 kg itu Pertamina harus memenuhinya agar tidak terjadi kelangkaan,” ujar Wapres.

Stok aman

Direktur Jenderal Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Evita Legowo seusai Rapat Koordinasi Pengamanan Pasokan Kebutuhan Pokok Menjelang Ramadhan dan Lebaran mengatakan, Pertamina akan mengimpor enam kargo elpiji, masing-masing berkapasitas 2.500 ton.

Tambahan pasokan itu diharapkan cukup untuk memenuhi tambahan permintaan elpiji. Persediaan elpiji per 29 Agustus 2008 mencapai 114.662 ton atau cukup untuk kebutuhan 28 hari. Rata-rata konsumsi elpiji nasional adalah 5.778 ton per hari.

Dengan adanya impor yang akan dilakukan pada September 2008 itu, Pertamina berjanji akan memenuhi semua kebutuhan elpiji masyarakat. Pertamina juga akan menggunakan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum sebagai tempat penjualan elpiji tabung 3 kg.

Terkait pengamanan bahan bakar minyak, Evita memaparkan, untuk September 2008 stok premium setara dengan kebutuhan 16,4 hari, sementara minyak tanah mencukupi 20,5 hari, dan solar selama 23,3 hari. Itu semua menunjukkan stok BBM relatif aman untuk Ramadhan dan Lebaran.

”Melihat pengalaman tahun 2007, pada H-7 sampai H+7 Lebaran, Pertamina menambah pasokan premium sebesar 14,7 persen, tetapi permintaan solar diperkirakan akan menurun 33,8 persen. Pertamina telah menyiapkan kantor BBM dan SPBU transit dan posko BBM sepanjang jalur mudik. Di SPBU transit tersebut akan ditempatkan tangki-tangki transit untuk mengamankan pasokan,” kata Evita.(DOT/HAR/OIN)

Sunday, August 24, 2008

Bandara Semrawut, Negara Katut!


Jangan heran kalau salah satu bandara yang dulunya termegah di Asia Tenggara sekarang menjadi semakin semrawut. Bandara Soekarno Hatta  ini didanai dari Pinjaman Lunak Protokol  Pemerintah Perancis di awal 1990-an.  Banyak penyebab bandara  amburadul. Bisa management internal Angkasa Pura sang pengelola, atau bisa juga karena faktor eksternal yang tidak bisa diatasi oleh pengelola.

Namun tidak jarang pula kekacauan itu bersumber dari hal sepele seperti masalah pengelolaan taksi yang dari dulu tidak pernah beres, perparkiran, atau memang "otak kotor" penjaga berbagai pintu masuk yang masih saja nekat mengutip berbagai jenis "uang" jika harus melewati mereka.

Taksi bandara dari dulu terkenal berantakan, dan sering menjebak penumpang yang terkadang berujung kepada perbuatan kriminal pemerasan hingga kekerasan yang menguras harta benda penumpang, khususnya TKI/W, yang baru pulang menjadi pahlawan devisa di negeri orang. Setelah disiksa majikan, terkadang mengalami kekerasan seksual, ketika sampai ditanah air yang didambakan, mereka sering diperlakukan seperti sapi perah bagi preman bandara.

Taksi yang tidak nyaman dan aman telah memaksa banyak penumpang untuk meminta supir atau anggota keluarga untuk menjemput mereka yang tentu saja berdampak kepada kemacetan. Belum lagi kerugian material jika harus menghitung tenaga supir atau BBM. Tidak jarang pula orang enggan menggunakan taksi bandara karena akses mereka dibatasi jika harus lewat pintu belakang atau pintu alternatif lain keluar selain jalur utama. Saya sendiri dan banyak orang sudah pernah mengalaminya. Tidak jarang taksi harus memutar menyemut dikemacetan, padahal jika diizinkan lewat Tangerang jarak dan waktu tempuh jauh lebih dekat.

Meski sekarang sudah agak longgar, tapi untuk taksi kelihatannya masih harus menyelipkan Rp 5.000 an biar diizinkan lewat. Begitu pula tidak jarang untuk memasuki bandara dari arah Tangerang harus berhadapan dengan petugas yang sok galak meminta penumpang taksi memperlihatkan tiket asli penerbangan. Padahal, "hareee geneeee" penumpang lebih banyak menggunakan tiket elektronik, bahkan tidak jarang hanya bermodalkan nomor kode booking dan KTP.

Belum lagi perparkiran di bandara. Berbagai jenis mobil, baik dari mobil rekan saya sesama pejabat, mobil tni berpelat hijau, mobil swasta yang berpelat hitam dengan nomor khusus, semuanya semakin seenaknya parkir. Baik di terminal keberangkatan ataupun kedatangan. ALhasil, belum masuk Jakarta, suasana sumpek, ketidakterarturan dan suap menyuap sudah tercium aromanya.

Ya...itulah Indonesia kita. Mau apa lagi Bung?

Saturday, August 23, 2008

MasyaAllah "Kerepek Kentang" saja diimpor?







Ekonomi pasar bebas sudah didepan mata. Tetapi kekuatan pasar domestik kita sudah makin tergerus. Entah disengaja entah memang karena ketololan yang merata. Betapa tidak, saya kembali terhenyak ketika di sebuah hotel di Surabaya menyaksikan beberapa kantong makanan ringan (snacks) terpajang di minibar. Ketika perut saya memaksa untuk diisi saat begadang menyelesaikan bbrp pekerjaan dan ketika saya memeriksa "minibar", saya pun terkulai. Keinginan mengisi perut langsung sirna. Saya pegang dan saya teliti sekantong keripik kentang (potato chips). Jelas saya baca judulnya "Kerepek Kentang". Wah..dari bahasanya saja saya sudah merasa tidak nyaman (bukan anti negara lain lho..). Selidik punya selidik, benar dugaan saya, "kerepek" itu "Buatan Malaysia". Tadinya saya menduga buatan Malaysia atau SIngapura.

Kalau begini, apa lagi mau dikata? Keripik kentang saja kok diimpor? Bukankah beberapa daerah kita merupakan penghasil kentang seperti Lembang, Garut, dan bbrp kota lainnya di Jateng, DIY, dan Jatim. Kalau industri di Surabaya saja sudah beragam bisa didirikan mengapa keripik kentang tidak bisa?

Jawabannya tentu saja bukan kita tidak bisa. Bukan industri yang tidak bisa, tetapi adalah kebijakan yang tidak mendukung produk industri lokal dipakai dalam kehidupan sehari-hari, seperti di hotel yang saya tempati di Surabaya. Bisakah Depdag dan Depbudpar, bersinergi sehingga kalaupun tidak semuanya pakai produksi dalam negeri, "hotel chains" bisa diberikan kuota untuk menggunakan produk dalam negeri.

Bagi saya kehancuran Indonesia bukan oleh hal-hal besar saja, tetapi juga oleh "kerikil-kerikil kecil" seperti ini. JIka kebijakan tidak mendukung keberpihakan kepada industri lokal, sudah pasti di era pasar bebas kini dan nanti kita akan gigit jari.

Makanya tidak heran jika petani dan nelayan selalu pada posisi merugi dan dirugikan. Betapa tidak, saat musim tanam, harga bibit (termasuk bibit palsu) dan pupk (juga banyak pupuk palsu beredar) ditentukan penjual. Sementara itu ketika musim panen, ha..ha.. harga ditentukan pembeli. SOlusinya sebenarnya gampang dan sudah dicontohkan oleh ORBA zaman Suharto, yaitu membuat badan penyangga (sejenis BPPC, untuk cengkeh). Tetapi tentu saja badan penyangga yang saya usulkan bukan seperti yang dipraktekkan zaman dulu itu pada BPPC. Tetapi yang profesional, namun memihak petani. Bukankah kita dianjurkan meniru yang baik, membuang yang jelek. Mengapa jengah meniru yang baik, meski pun itu dari Presiden Suharto dan Orba?

Kembali ke harga panen, jika hal ini bisa diatasi maka rasanya tidak perlu lagi mendengar harga komoditi pertanian ini jatuh, menukik sepersepuluh kali atau petani merugi besar karena harga panen tidak menutupi biaya tanam. Kalau mau sedikit terkesan "hebat" bisa juga meniru ke Phillippines, khususnya untuk produk mangga. Mereka telah berhasil membuat berbagai variasi produk mangga. Baik yang mentah, dibuat dalam kaleng, ataupun kerupuk mangga dalam kemasan yang tahan lama. JIka merasa gengsi belajar ke negeri Aquino itu, mungkin juga bisa belajar dari dalam negeri sendiri. Misalnya ke ranah minang, kampung halaman saya. Disana rasanya jarang orang mengeluhkan turunnya harga cabe. Bukan karena orang Padang pemakan cabe paling ganas di Indonesia atau dunia, bukan pula karena petaninya manja, tetapi dari dulu secara tradisional telah diajarkan bagaimana memanage bisnis cabe. Anda tidak perlu berguru atau membaca buku-buku pemasaran tebal yang diiklankan bertubi-tubi. Buku yang ditulis hanya untuk memperkaya diri penerbitnya tanpa selalu berkontribusi kepada peningkatan ekonomi rakyat.

Sejak lama, di Minangkabau yang terkenal dengan penduduknya yang suka makan pedas, telah berjalan budaya "maruntiah lado", yaitu memisahkan cabe dari cangkangnya. Per "ketiding" atau keranjang bambu ini diupahkan kepada siapapun. Saya dulu sering membantu tetangga maruntiah lado ini dulu dengan upah sekitar Rp 25,0 per keranjang di tahun 70-an. Cabe merah yang sudah dipisahkan dari cangkannya ini dan sudah bersih kemudian dibawa ketempat penggilingan. Penggilingan biasanya ada dua, penggilingan yang cukup besar, atau digerus langsung oleh "Amai-Amai" di pasar sambil menunggu dagangan mereka. Hasil gilingan ini dikumpulkan lagi, setelah dicampur dengan garam secukupnya, lalu "diparam" yaitu disimpan seperti deposito di Bank. Cabe atau lada giling tadi disimpan dalam bak-bak atau kamar tembok yang sudah disiapkan.

Nah cabe giling inilah yang dipakai dan dibawa berkala kepasar untuk dijual sesuai dengan permintaan. Jika permintaan tinggi, maka dengan sendirinya cabe giling ini dilepas kepasar. harga tentu sesuai harga pasar seperti yang diajarkan di kuliah di universitas di Indonesia dan di seluruh dunia. Namun satu yang pasti, harga tidak pernah anjok karena gagal panen atau musim hujan seperti bawang di Brebes. Juga, harga tidak pernah melonjak sangat tinggi, karena supply mencukupi. Walau di bulan puasa dan menjelang lebaran sekalipun, harga masih pantas, karena market clearing terjadi sesuai dengan harga pasar. Dan tentu saja tidak ada yang menyelundupkan keluar daerah apalagi keluar negeri. Entahlah jika sekarang sudah tersedia mobil box berpendingin, bisa saja cabe giling tersebut di bawa dalam jumlah banyak ke luar daerah seperti Riau dan Jambi. Tetapi, rasanya costnya jauh lebih mahal dan harus bersaing juga dengan cabe giling lokal yang juga dimiliki mereka.

Nah..rasanya sungguh "menggugah" jika hanya untuk "kerepek kentang" saja kita harus impor? Jangan-jangan "kerepek" itu juga diolah oleh mesin yang dioperasikan TKI kita disana? Lalu kita bangsa ini akan dapat nilai tambah apa, jika "KEREPEK KENTANG " SAJA MASIH DI IMPOR?

Udah ah!

Monday, August 18, 2008

TELEVISI KITA SEMAKIN BERANI ATAU TIDAK MENGERTI ARTI PROKLAMASI?

Kembali saya kaget dan terhenyak. Kali ini ketika menonton suguhan acara bertemakan "Konser Kemerdekaan Yamaha" demikian saya baca di caption siaran TV berbayar saya. Tapi yang jelas acara ini memang disiarkan secara live oleh dua stasiun TV nasional kita, yaitu Trans TV dan TRans 7.

Betapa saya tidak akan kaget. Karena sebagai lelaki normal, saya harus menyaksikan aksi seorang penyanyi cantik dengan pakaian sexy. Pusar terbuka, celana kedodoran. Sengaja didodorkan. Lebih dari pada itu bagian depan celana, persis dibawah pusar, juga di "coak" lagi sekitar 3-4 cm lebih rendah. Jadilah tayangan itu membuat saya mikir. Tapi juga memaksa komat kamit menahan dorongan alamiah dari arus bawah. Yang pasti jika diukur-ukur, mungkin celana bagian bawah pusar itu tinggal berjarak hanya 2 cm saja dari daerah terlarang salah satu pusat keindahan seorang perempuan (maaf).

Saya terpana. Mengingat katanya acara menyambut HUT Kemerdekaan RI ke 63. Menyambut kemerdekaan bangsa yang sudah semakin tertinggal dari fora dunia untuk berbagai pentas. Negara yang sedang papa, karena terus-terusan dihinakan dibanyak fora, terus-terusan dicemooh bangsa-bangsa lain di dunia karena berbagai persoalan bangsa.

Sekilas saya lihat ada juga Miss Universe menonton di pelataran Candi Prambanan tempat sang penyanyi sexy beraksi. Saya tidak keberatan dengan tarian dan nyanyian itu, karena saya juga tidak ingin munafik. Tapi jika itu dikaitkan dengan HUT Proklamasi, nah baru peristiwa. Peristiwa dimana TV kita semakin berani dan tak tahu harus bagaimana. Tak ada lagi seleksi dan kriteria harus mendahulukan budaya nasional dalam setiap acara hiburan terkait dengan hari besar.

Beberapa malam sebelumnya, seperti pada 2 gambar terakhir, stasiun TV Indosiar juga menyiarkan acara "Miss-Missan" dari Amerika sana. Lenggak lenggok peserta kontes dengan pakaian "two pieces" juga tergolong asyik untuk di tonton. Haruskah HUT proklamasi diperingati seperti ini di depan banyak tamu negara.

Lalu bagaimana jadinya kita, jika pers kembali sesuka hati mereka?

Monday, August 11, 2008

MARI RAME2 BACK TO ORBA: Pencalegan Edhie Baskoro Bukan Kegenitan

detikNews : situs warta era digital | PD: Pencalegan Edhie Baskoro Bukan Kegenitan

Iyo-iyo...mari rame-rame kembali dan bernostalgia dengan zaman ORBA. Sekedar mengingatkan bedanya keledai dengan manusia Indonesia! Keledai tidak mau jatuh dan terperosok ke lobang yang sama untuk kedua kalinya..., kalau manusia Indonesia....ah malu ah!


Bahan bacaan terkait: Keledai Paling Unggul (ditulis pada masa persiapan Pemilu 2004 lalu)
Salam hangat,

ES




for my eyes only!

Monday, August 04, 2008

And the "Bule" is also collecting the pirated stuffs.


Indonesia are not only successful in prolonging the corrupt practices, but it also has been successfully influencing "Bule" for related cultures. The Pic shows "BUles" hunting 1$ pirated DVD in a big mall in Bali. Not only that, many expatriates enjoy reckless driving in the Jakarta especially cars using embassy plates. I encounterd many cases on the road, varied from a simple changing lanes without any signs on to the very bad habits bumpering their cars in order to get the lanes especially in rush our around Semanggi and Senayan areas. Though we don't know yet whether Jakarta as a city or society has influenced them in making many things worst or they might not be a better citizen in their respective country as wells.

So wake up Jakartans and Indonesians! Face the world and become "a champion in the region!"

Related: articles

  1. Martunis-SBY-Bill Gates
  2. DIlema Penerapan UU Hak CIpta

Friday, August 01, 2008

Editorial Media Indonesia : Buku Elektronik dan Kekonyolan Depdiknas

Ah..memang beginilah nasib pemerintah. Yang jelek dan bermasalah dikupas habis-habisan. Buku Elektronik Sekolah memang dianggap "kecepetan" prosesnya dan terkesan kurang perencanaan. Namun niatnya sangat baik, menolong siswa dan orang tua dari himpitan dan kesulitan ekonomi.

DIsisi lain, keberhasil Penerimaan SIswa Baru (PSB-Online) tidak pernah diangkat kepermukaan yang juga sangat sukses di bbrp kota seperti Jakarta, Bojonegoro, Yogya, Padang dan TUban.

Apa boleh buat...memang, sekarang ini berlaku pepatah "Pemerintah can do do right!".

Semoga bangsa ini lebih seimbang dan tidak hanya bisa menghujat, tapi juga belajar memuji.

Wassalam,

ES

Media Indonesia - News & Views -:


"Minggu, 27 Juli 2008 00:01 WIB


BUKU adalah sumber ilmu. Dengan membaca buku, terbukalah pintu gerbang ilmu pengetahuan. Dengan membaca buku, kualitas sumber daya manusia dapat ditingkatkan. Karena itu, peradaban harus mampu membuat harga buku terjangkau oleh seluruh kalangan bila ingin martabat suatu bangsa semakin ditinggikan dan dimuliakan.
Di negeri ini, upaya itu jauh lebih mudah diucapkan daripada diwujudkan. Berbagai kebijakan telah ditetapkan, tetapi harga buku tetap saja mahal.
Saat tahun ajaran baru dimulai seperti sekarang ini, siswa dan orang tua murid tetap saja dibebani biaya pembelian buku yang semakin lama semakin berat. Dari waktu ke waktu, persoalan itu dicoba diatasi, dari tahun ke tahun pula masalah itu tidak pernah bisa dipecahkan.
Upaya terakhir adalah program buku elektronik atau e-book yang dicanangkan Depdiknas. Dengan kebijakan itu, pemerintah berharap dapat memutus mata rantai perdagangan buku yang dipandang sebagai sumber biaya tinggi, yang menyebabkan harga buku semakin tidak terjangkau.
Upaya itu dimulai dari proses penulisan, pencetakan, hingga penjualan.
Pemerintah membeli hak cipta (copyright) naskah buku dari penulis.
Naskah itu dimasukkan ke situs web. Dari situs web itu, semua orang dapat mengambil dan mencetak, tanpa harus meminta izin dari penulis maupun Depdiknas. Tanpa harus membeli bukunya di toko buku.
Sepintas, itu terobosan yang sangat menjanjikan. Dengan teknologi internet yang membuat rantai produksi semakin pendek, asumsinya harga buku yang sampai kepada konsumen akan menjadi semakin murah dan terjangkau.
Nyatanya, kebijakan itu tidak berjalan efektif. Salah satu penyebabnya adalah akses dan kemampuan siswa, guru, dan sekolah terhadap internet masih sangat rendah.
Itu menggelikan sekaligus menggusarkan. Menggelikan karena tingkat melek teknologi internet di kalangan para guru misalnya baru sekitar 10%-15%.
Menggusarkan karena Depdiknas sama sekali tidak mempertimbangkan faktor itu dalam menetapkan kebijakan.
Yang membuat kebijakan itu konyol adalah Depdiknas tidak mempertimbangkan bahwa selain tingkat melek internet para guru dan institusi pendidikan kita masih rendah, sebagian besar sekolah di Indonesia, apalagi di daerah terpencil, tidak memiliki akses terhadap listrik. Bagaimana sekolah yang tidak punya listrik bisa mengakses internet untuk mengunduh naskah buku?
Meskipun tidak diharapkan, sejak awal, kegagalan program buku elektronik itu sejatinya sudah dikhawatirkan. Karena itu, Depdiknas harus menata ulang proyek tersebut.
Mengingat tulang punggung keberhasilan program itu adalah akses teknologi informasi, sudah seharusnya itu terlebih dahulu dibenahi.
Buku adalah pintu gerbang ilmu pengetahuan. Depdiknas dapat memanfaatkan perkembangan teknologi internet untuk membuat harganya menjadi lebih terjangkau. Namun, dibutuhkan kecermatan dan akal sehat untuk mewujudkannya. Bukan kekonyolan.