Saturday, August 23, 2008

MasyaAllah "Kerepek Kentang" saja diimpor?







Ekonomi pasar bebas sudah didepan mata. Tetapi kekuatan pasar domestik kita sudah makin tergerus. Entah disengaja entah memang karena ketololan yang merata. Betapa tidak, saya kembali terhenyak ketika di sebuah hotel di Surabaya menyaksikan beberapa kantong makanan ringan (snacks) terpajang di minibar. Ketika perut saya memaksa untuk diisi saat begadang menyelesaikan bbrp pekerjaan dan ketika saya memeriksa "minibar", saya pun terkulai. Keinginan mengisi perut langsung sirna. Saya pegang dan saya teliti sekantong keripik kentang (potato chips). Jelas saya baca judulnya "Kerepek Kentang". Wah..dari bahasanya saja saya sudah merasa tidak nyaman (bukan anti negara lain lho..). Selidik punya selidik, benar dugaan saya, "kerepek" itu "Buatan Malaysia". Tadinya saya menduga buatan Malaysia atau SIngapura.

Kalau begini, apa lagi mau dikata? Keripik kentang saja kok diimpor? Bukankah beberapa daerah kita merupakan penghasil kentang seperti Lembang, Garut, dan bbrp kota lainnya di Jateng, DIY, dan Jatim. Kalau industri di Surabaya saja sudah beragam bisa didirikan mengapa keripik kentang tidak bisa?

Jawabannya tentu saja bukan kita tidak bisa. Bukan industri yang tidak bisa, tetapi adalah kebijakan yang tidak mendukung produk industri lokal dipakai dalam kehidupan sehari-hari, seperti di hotel yang saya tempati di Surabaya. Bisakah Depdag dan Depbudpar, bersinergi sehingga kalaupun tidak semuanya pakai produksi dalam negeri, "hotel chains" bisa diberikan kuota untuk menggunakan produk dalam negeri.

Bagi saya kehancuran Indonesia bukan oleh hal-hal besar saja, tetapi juga oleh "kerikil-kerikil kecil" seperti ini. JIka kebijakan tidak mendukung keberpihakan kepada industri lokal, sudah pasti di era pasar bebas kini dan nanti kita akan gigit jari.

Makanya tidak heran jika petani dan nelayan selalu pada posisi merugi dan dirugikan. Betapa tidak, saat musim tanam, harga bibit (termasuk bibit palsu) dan pupk (juga banyak pupuk palsu beredar) ditentukan penjual. Sementara itu ketika musim panen, ha..ha.. harga ditentukan pembeli. SOlusinya sebenarnya gampang dan sudah dicontohkan oleh ORBA zaman Suharto, yaitu membuat badan penyangga (sejenis BPPC, untuk cengkeh). Tetapi tentu saja badan penyangga yang saya usulkan bukan seperti yang dipraktekkan zaman dulu itu pada BPPC. Tetapi yang profesional, namun memihak petani. Bukankah kita dianjurkan meniru yang baik, membuang yang jelek. Mengapa jengah meniru yang baik, meski pun itu dari Presiden Suharto dan Orba?

Kembali ke harga panen, jika hal ini bisa diatasi maka rasanya tidak perlu lagi mendengar harga komoditi pertanian ini jatuh, menukik sepersepuluh kali atau petani merugi besar karena harga panen tidak menutupi biaya tanam. Kalau mau sedikit terkesan "hebat" bisa juga meniru ke Phillippines, khususnya untuk produk mangga. Mereka telah berhasil membuat berbagai variasi produk mangga. Baik yang mentah, dibuat dalam kaleng, ataupun kerupuk mangga dalam kemasan yang tahan lama. JIka merasa gengsi belajar ke negeri Aquino itu, mungkin juga bisa belajar dari dalam negeri sendiri. Misalnya ke ranah minang, kampung halaman saya. Disana rasanya jarang orang mengeluhkan turunnya harga cabe. Bukan karena orang Padang pemakan cabe paling ganas di Indonesia atau dunia, bukan pula karena petaninya manja, tetapi dari dulu secara tradisional telah diajarkan bagaimana memanage bisnis cabe. Anda tidak perlu berguru atau membaca buku-buku pemasaran tebal yang diiklankan bertubi-tubi. Buku yang ditulis hanya untuk memperkaya diri penerbitnya tanpa selalu berkontribusi kepada peningkatan ekonomi rakyat.

Sejak lama, di Minangkabau yang terkenal dengan penduduknya yang suka makan pedas, telah berjalan budaya "maruntiah lado", yaitu memisahkan cabe dari cangkangnya. Per "ketiding" atau keranjang bambu ini diupahkan kepada siapapun. Saya dulu sering membantu tetangga maruntiah lado ini dulu dengan upah sekitar Rp 25,0 per keranjang di tahun 70-an. Cabe merah yang sudah dipisahkan dari cangkannya ini dan sudah bersih kemudian dibawa ketempat penggilingan. Penggilingan biasanya ada dua, penggilingan yang cukup besar, atau digerus langsung oleh "Amai-Amai" di pasar sambil menunggu dagangan mereka. Hasil gilingan ini dikumpulkan lagi, setelah dicampur dengan garam secukupnya, lalu "diparam" yaitu disimpan seperti deposito di Bank. Cabe atau lada giling tadi disimpan dalam bak-bak atau kamar tembok yang sudah disiapkan.

Nah cabe giling inilah yang dipakai dan dibawa berkala kepasar untuk dijual sesuai dengan permintaan. Jika permintaan tinggi, maka dengan sendirinya cabe giling ini dilepas kepasar. harga tentu sesuai harga pasar seperti yang diajarkan di kuliah di universitas di Indonesia dan di seluruh dunia. Namun satu yang pasti, harga tidak pernah anjok karena gagal panen atau musim hujan seperti bawang di Brebes. Juga, harga tidak pernah melonjak sangat tinggi, karena supply mencukupi. Walau di bulan puasa dan menjelang lebaran sekalipun, harga masih pantas, karena market clearing terjadi sesuai dengan harga pasar. Dan tentu saja tidak ada yang menyelundupkan keluar daerah apalagi keluar negeri. Entahlah jika sekarang sudah tersedia mobil box berpendingin, bisa saja cabe giling tersebut di bawa dalam jumlah banyak ke luar daerah seperti Riau dan Jambi. Tetapi, rasanya costnya jauh lebih mahal dan harus bersaing juga dengan cabe giling lokal yang juga dimiliki mereka.

Nah..rasanya sungguh "menggugah" jika hanya untuk "kerepek kentang" saja kita harus impor? Jangan-jangan "kerepek" itu juga diolah oleh mesin yang dioperasikan TKI kita disana? Lalu kita bangsa ini akan dapat nilai tambah apa, jika "KEREPEK KENTANG " SAJA MASIH DI IMPOR?

Udah ah!

No comments: