Friday, August 01, 2008

Editorial Media Indonesia : Buku Elektronik dan Kekonyolan Depdiknas

Ah..memang beginilah nasib pemerintah. Yang jelek dan bermasalah dikupas habis-habisan. Buku Elektronik Sekolah memang dianggap "kecepetan" prosesnya dan terkesan kurang perencanaan. Namun niatnya sangat baik, menolong siswa dan orang tua dari himpitan dan kesulitan ekonomi.

DIsisi lain, keberhasil Penerimaan SIswa Baru (PSB-Online) tidak pernah diangkat kepermukaan yang juga sangat sukses di bbrp kota seperti Jakarta, Bojonegoro, Yogya, Padang dan TUban.

Apa boleh buat...memang, sekarang ini berlaku pepatah "Pemerintah can do do right!".

Semoga bangsa ini lebih seimbang dan tidak hanya bisa menghujat, tapi juga belajar memuji.

Wassalam,

ES

Media Indonesia - News & Views -:


"Minggu, 27 Juli 2008 00:01 WIB


BUKU adalah sumber ilmu. Dengan membaca buku, terbukalah pintu gerbang ilmu pengetahuan. Dengan membaca buku, kualitas sumber daya manusia dapat ditingkatkan. Karena itu, peradaban harus mampu membuat harga buku terjangkau oleh seluruh kalangan bila ingin martabat suatu bangsa semakin ditinggikan dan dimuliakan.
Di negeri ini, upaya itu jauh lebih mudah diucapkan daripada diwujudkan. Berbagai kebijakan telah ditetapkan, tetapi harga buku tetap saja mahal.
Saat tahun ajaran baru dimulai seperti sekarang ini, siswa dan orang tua murid tetap saja dibebani biaya pembelian buku yang semakin lama semakin berat. Dari waktu ke waktu, persoalan itu dicoba diatasi, dari tahun ke tahun pula masalah itu tidak pernah bisa dipecahkan.
Upaya terakhir adalah program buku elektronik atau e-book yang dicanangkan Depdiknas. Dengan kebijakan itu, pemerintah berharap dapat memutus mata rantai perdagangan buku yang dipandang sebagai sumber biaya tinggi, yang menyebabkan harga buku semakin tidak terjangkau.
Upaya itu dimulai dari proses penulisan, pencetakan, hingga penjualan.
Pemerintah membeli hak cipta (copyright) naskah buku dari penulis.
Naskah itu dimasukkan ke situs web. Dari situs web itu, semua orang dapat mengambil dan mencetak, tanpa harus meminta izin dari penulis maupun Depdiknas. Tanpa harus membeli bukunya di toko buku.
Sepintas, itu terobosan yang sangat menjanjikan. Dengan teknologi internet yang membuat rantai produksi semakin pendek, asumsinya harga buku yang sampai kepada konsumen akan menjadi semakin murah dan terjangkau.
Nyatanya, kebijakan itu tidak berjalan efektif. Salah satu penyebabnya adalah akses dan kemampuan siswa, guru, dan sekolah terhadap internet masih sangat rendah.
Itu menggelikan sekaligus menggusarkan. Menggelikan karena tingkat melek teknologi internet di kalangan para guru misalnya baru sekitar 10%-15%.
Menggusarkan karena Depdiknas sama sekali tidak mempertimbangkan faktor itu dalam menetapkan kebijakan.
Yang membuat kebijakan itu konyol adalah Depdiknas tidak mempertimbangkan bahwa selain tingkat melek internet para guru dan institusi pendidikan kita masih rendah, sebagian besar sekolah di Indonesia, apalagi di daerah terpencil, tidak memiliki akses terhadap listrik. Bagaimana sekolah yang tidak punya listrik bisa mengakses internet untuk mengunduh naskah buku?
Meskipun tidak diharapkan, sejak awal, kegagalan program buku elektronik itu sejatinya sudah dikhawatirkan. Karena itu, Depdiknas harus menata ulang proyek tersebut.
Mengingat tulang punggung keberhasilan program itu adalah akses teknologi informasi, sudah seharusnya itu terlebih dahulu dibenahi.
Buku adalah pintu gerbang ilmu pengetahuan. Depdiknas dapat memanfaatkan perkembangan teknologi internet untuk membuat harganya menjadi lebih terjangkau. Namun, dibutuhkan kecermatan dan akal sehat untuk mewujudkannya. Bukan kekonyolan.

No comments: