Sunday, August 31, 2008

Elpiji Ini Membunuhku

Jika D'Masiv merasa tersiksa dan bahkan merasa dibunuh gara-gara cinta, mungking bangsa Indonesia secara pelan dan pasti juga di"bunuh" oleh Elpiji. Mengapa? Bayangkan, untuk sebagian besar kelompok masyarakat tidak miskin dan kelompok menengah ke atas, mereka telah setia menggunakan LPG dari sekitar 15 tahun lalu, hingga kini. Banyak rumah tangga di seluruh pelosok RI telah menggunakan LPG terutama dalam ukuran tabung 12 kiloan. Sementara itu industri berbagai konsumen besar lainnya telah pula memanfaatkan LPG dengan ukuran lebih besar seperti hotel, restoran, rumah sakit dan lain-lain.

Namun apa yang terjadi sekarang? SUngguh "babalieut" mungkin itu salah satu ungkapan SUnda alias berantakan atau amburadul. Dengan mendadaknya pelaksanaan program konversi dari minyak tanah (MT) ke gas atau LPG, pemerintah telah menggali kubur untuk rakyatnya sendiri. Bukan karena program itu semata, tetapi oleh ketiadaan "prekondisi" melaksanakan konversi.

Semua masih ingat, betapa dekatnya perubahan tanpa persiapan itu dilaksanakan dengan program Briket Batu Bara yang mempunyai tujuan sama: Melepaskan ketergantungan akan BBM, khususnya MT. Ketika masyarakat di kampung dan beberapa pelosok di pinggir Jabodetabek mulai menggunakan tungku Briket dan jalur pasokan retailnya telah disiapkan, mendadak sontak pemerintah melaksanakan konversi. Langsung dari MT ke LPG. MEnyedihkannya lagi tabungnya hanya 3 kg. Okelah untuk sementara mungkin masuk akal mengingat daya beli masyarakat.

Tengah asyik nya pelaksanaan konversi itu terdengar kabar Pertamina ternyata telah menaikkan harga jugal LPG 12 kg beberapa kali hingga menjadi sekitar Rp 60 ribuan. APa lacur? Di tengah kesulitan kehidupan dan sempitnya lapangan kerja dengan tingkat upah yang layak, tidak pelak lagi keberadaan gas dengan tabung 3 kg (bersubsidi lagi) tentu saja menjadi alternatif pilihan untuk bertahan hidup dan mempertahankan pekerjaan atau usaha.

Meski LPG bertabung 3 kg ini masih diragukan keamanannya, maka naluri "animal behavior" masyarakat ekonomi tentu memilih lari ke tabung kecil ini. ALhasil permintaan makin melonjak, dan banyak kelompok menengah tadi mulai pula mengkonsumsi gas tabung kecil ini. Sah-sah saja, namanya juga mempertahankan diri dan pekerjaan. KOndisi ini rupanya luput dari pengamatan pemerintah dan Pertamina.

Di tengah upaya pemenuhan kebutuhan yang semakin tidak jelas kepastian pasokannya ini, Pertamina bbrp bulan lalu kembali menaikkan harga Elpiji untuk kelompok industri. Kontan saja kondisi ini semakin memperparah dan mulai "membunuh" masyarakat. Banyak industri yang kemudian mengambil jatah tabung 12kg dari masyarakat untuk industri mereka. Alhasil LPG 12 kg langka dimana-mana. Banyak antrian dan semakin panjang setiap hari. Berbagai daerah mengeluhkan kurangnya pasokan LPG 12 kg. Hampir seluruh wilayah negeri, termasuk antrian panjang di provinsi Kaltim sebagai penghasil gas terbesar neger ini.

Masih kurang gila, beberapa hari lalu Pertamina kembali menyiratkan rencana akan menaikkan harga LPG 12 kg ke tingkat sekitar Rp 69 ribuan (dibulatkan saja Rp 70ribuan karena di agen juga sudah akan naik dan tidak pernah sama dengan yang diumumkan). KEGILAAN ini lah yang mungkin membuat Direktur Niaga dan Pemasaran Pertamina Achmad Faisal menunda rencana tersebut, hingga Kompas menerbitkan berita dengan judul yang cukup membingungkan "Bulan Depan Harga Elpiji Tidak Naik". Tidak jelas memang, apakah pers yang berhasil dibingungkan Pertamina atau memang Pertamina yang bingung. Satu yang pasti saya sebagai rakyat juga ikut bingung, apalagi masyarakat luas lainnya.

Sungguh kondisi ini mulai membunuh kita. Membunuh logika untuk berpikir jernih, membunuh hati untuk tetap sabar, membunuh ketenangan yang harus dimiliki masyarakat di tengah menyambut datangnya bulan ramadhan, dan membunuh benar-benar masayarakat miskin yang harus mengorek kocek lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan energi dasar mereka.

Dan jika anda baca berita di bawah ini, jelas pemerintah juga panik yang akhirnya mengimpor lebih banyak lagi LPG dari luar negeri yang bisa saja sebenarnya berasal dari LNG yang kita terus ekspor selama sekitar 30 tahun kemudian dikonversi menjadi LPG, atau bisa juga gas pipa kita yang di ekspor ke SIngapore lewat stasiun distribusi di Panaran, Batam kemudian di "kalengkan" lagi oleh SIngapore. Lalu bagaimana nasibnya rencana pembangunan pipa gas Bontang-Banjarmasin-Semarang yang tendernya sudah dimenangkan salah satu perusahaan swasta kita. Tapi pembangunannya dulu tertunda karena BPMigas menyatakan tidak cukup reserve untuk di bawa keJawa.

Ah....Elpiji ini membunuhku!! Ironis kan. Kita ekspor LNG, kita impor LPG; kita ekspor minyak, kita impor BBM.

***
Berita terkait:
  1. Menyoal KOnversi Minyak Tanah ke BBG
  2. Proyek Pipa Gas Kaltim-JAteng: "Sui Generis"
  3. Welcoming New Paradigm in Gas UTilization

KOMPAS Cetak : Bulan Depan Harga Elpiji Tidak Naik

Kebutuhan Pokok
Bulan Depan Harga Elpiji Tidak Naik
Sabtu, 30 Agustus 2008 | 02:38 WIB

Jakarta, Kompas - PT Pertamina berjanji tidak akan menaikkan harga elpiji bulan depan. Penundaan kenaikan harga dilakukan untuk mengurangi ulah spekulan yang menimbun elpiji menjelang Lebaran.

Direktur Niaga dan Pemasaran PT Pertamina Achmad Faisal, Jumat (29/8) di Jakarta, mengatakan, pihaknya melihat indikasi penimbunan setelah kenaikan harga elpiji tabung 12 kilogram (kg) dan 50 kg pekan lalu. ”Elpiji dilaporkan kosong di beberapa wilayah, sementara berdasarkan laporan, permintaan masyarakat justru meningkat,” kata Faisal.

Pertamina menunda kenaikan harga elpiji untuk memastikan pasokan elpiji lancar. Semula Pertamina berencana menaikkan secara bertahap harga elpiji tabung 12 kg dan 50 kg sebesar Rp 500 per kg per bulan sampai harga mencapai keekonomiannya.

Pertamina akan mengonsultasikan lagi rencana kenaikan harga secara bertahap itu kepada pemerintah sebelum diterapkan.

Direktur Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto mengatakan, kenaikan harga elpiji sebaiknya tidak dilakukan sebelum ada aturan tata niaga yang jelas. Selain itu, selama struktur pasar elpiji masih monopoli, kewenangan penetapan harga tetap harus dipegang pemerintah, bukan pelaku pasar.

Di Bandung, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, kenaikan harga elpiji tidak akan mengancam program konversi minyak tanah. Kalaupun terjadi pengalihan konsumsi elpiji dari tabung 12 kg ke tabung 3 kg, pasokan gas akan tetap memenuhi permintaan.

”Saya sudah minta supaya berapa pun kebutuhan orang akan tabung 3 kg itu Pertamina harus memenuhinya agar tidak terjadi kelangkaan,” ujar Wapres.

Stok aman

Direktur Jenderal Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Evita Legowo seusai Rapat Koordinasi Pengamanan Pasokan Kebutuhan Pokok Menjelang Ramadhan dan Lebaran mengatakan, Pertamina akan mengimpor enam kargo elpiji, masing-masing berkapasitas 2.500 ton.

Tambahan pasokan itu diharapkan cukup untuk memenuhi tambahan permintaan elpiji. Persediaan elpiji per 29 Agustus 2008 mencapai 114.662 ton atau cukup untuk kebutuhan 28 hari. Rata-rata konsumsi elpiji nasional adalah 5.778 ton per hari.

Dengan adanya impor yang akan dilakukan pada September 2008 itu, Pertamina berjanji akan memenuhi semua kebutuhan elpiji masyarakat. Pertamina juga akan menggunakan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum sebagai tempat penjualan elpiji tabung 3 kg.

Terkait pengamanan bahan bakar minyak, Evita memaparkan, untuk September 2008 stok premium setara dengan kebutuhan 16,4 hari, sementara minyak tanah mencukupi 20,5 hari, dan solar selama 23,3 hari. Itu semua menunjukkan stok BBM relatif aman untuk Ramadhan dan Lebaran.

”Melihat pengalaman tahun 2007, pada H-7 sampai H+7 Lebaran, Pertamina menambah pasokan premium sebesar 14,7 persen, tetapi permintaan solar diperkirakan akan menurun 33,8 persen. Pertamina telah menyiapkan kantor BBM dan SPBU transit dan posko BBM sepanjang jalur mudik. Di SPBU transit tersebut akan ditempatkan tangki-tangki transit untuk mengamankan pasokan,” kata Evita.(DOT/HAR/OIN)

2 comments:

caca said...

Akibat tidak mau merugi karena membandingkannya dengan harga-harga diluar negeri. Ini aneh, bagaimana jika ada orang tua yang menghitung untung rugi untuk membesarkan anak-anaknya? Ini yang terjadi pada bangsa ini dan yang jatuh kredibilitasnya ialah Pimpinan Negara.
Seharusnya Presiden bertindak tegas, setiap BUMN yang selalu rugi atau tidak aspiratif terhadap rakyat, misalnya Pertamina, Bina Marga, semua PT Perkebunan, PT KIA, GIA dan lain-lainnya, maka gaji para managernya disamakan saja dengan gaji PNS eselon II ditambah tunjangan tambahan penghasilan, jangan sampai puluhan juta seperti sekarang ini. Perusahaan rugi kok gaji selangit? Padahal merusak kredibilitas pemerintahan....

E Satriya said...

Betul mas Caca (atau Mbak)? Saya sependapat, karena itu "pressure group" seperti anda harus tidak bosan-bosannya dengan berbagai cara, termasuk melalui blog nyaris gratis dan murah meriah, namun terkadang efektif meski butuh waktu. Saya jadi ingat dengan tulisan saya di Jakarta Post berjudul "Opensourcing Oil and Gas Sector" 2 Nov 07 lalu. Banyak sekali tanggapan dan sering di forward, alhamdulillah sampai juga ke Anggota Dewan yang "waras" dan sekarang masayarkat Indonesia menunggu hasil angket di sektor yang dari dulu ditengarai sangat kental dengan "kegelapan" dan "penggelapan".
Sekali lagi terima kasih atas tanggapannya.

Wassalam,

Eddy
"Percayalah, sesuatu yang diniatkan baik tak akan pernah mubazir"