Wednesday, October 31, 2007

Reformasi Birokrasi (lagi)!

Birokrasi adalah dunia dan seni tersendiri. Karena itu jika mau memperbaikinya haruslah dari arah yang benar dan cara yang benar. Sangat banyak tulisan atau ulasan ttg reformasi birokrasi ini (kita sebut saja RB). Namun nyaris hampir semua ulasan tersebut tidak mau menyentuh masalah fundamental. Yaitu perbaikan kesejahteraan dan sanksi pada sisi lain.

Hal ini sangat dihindari karena ternyata kemunafikan bangsa dan pemimpin yang berkuasa saat ini masih sangat besar. Kondisi ini diperparah lagi oleh perilaku menjurus diskriminasi atau katakanlah sudah diskriminasi dengan membedakan PNS satu institusi dengan institusi lainnya. Bagaimana bedanya dosen dengan pegawai Depkeu? Kira-kira demikian Mantan Rektor UGM Sofian Effendi memprotes diskriminasi perbaikan tunjangan di depkeu dengan perbaikan kesejahteraan dosen/profesor yang hanya berkisar Rp 3 jutaan sebulan, sementara Depkeu bisa membawa takehome pay sebesar Rp30-50 juta.

KOndisi perbaikan juga diperparah oleh kemunafikan banyak pihak sendiri tentang jabatan di birokrasi. Masih sangat banyak orang partai atau partisan dan para dosen sendiri yang berlomba mengejar jabatan di birokrasi. "Gaji boleh kecil, tapi sabetan...alah mak jang!!!" begitu kira-kira cemeeh masyarakat selama ini ttg PNS. Tapi cemeehan itu tidak mengurungkan niat berbagai pihak. Karena aji mumpung dan sementara, nanti kan mereka bisa balik ke kampus atau ke partai.

Siapa yang tidak silau ketika menjadi komisaris satu atau dua atau bisa tiga BUMN sekaligus di jaman ORBA; hal yang kelihatannya masih berlanjut hingga kini. TO some extent, malah tambah parah dan tambah halus permainannya.

KArena itu kita menunggu apakah para pejabat di Depkeu misalnya, setelah efektif menerima tunjangan jabatan per 1 Oktober 2007 lalu dengan jumlah yang "RUAR BIASA" besar itu, apakah masih dibiarkan menjabat komisasris di sini sana?

Sekali lagi, program RB yang dilaksanakan hari ini hanya akan menjadi kumpulan album kenangan atau nostalgia belakan jika tidak menyentuh dua hal dasar di atas. Gaji, bukan tunjangan yang harus diperbaiki dan pelaksanaan sanksi secara tegas tanpa diskriminasi.

Kasus pembunuhan MUnir menarik jika dilihat dari sisi birokrasi. MAntan Dirut Garuda dipersalahkan karena memberikan semacam SPPD kepada Munir yang dibuat setelah kejadian atau setelah yang bersangkuta melakukan perjalanan. Kasus sejenis sangat sering terjadi di tingkat pejabat birokrasi. Namun karena tidak ada masalah di diamkan saja. Bahkan sering terjadi seorang pejabat tinggi yang pergi berkunjung kesuatu tempat misalnya mendampingi isteri atau suami berdinas dan kebetulan meninggal dunia, maka SPPD bisa dibuat menyusul.

Banyak lagi hal-hal dan kasus RB yang terjadi dan sangat bertentangan dengan semangat peningkatan gaji dan pelaksanaan sanki. Sekali lagi, jika uasaha yang dilkukan untuk RB tidak berlandaskan keadilan thd kedua faktor tersebut, niscaya hanya akan menghabiskan anggaran dan menebalkan sifat kemunafikan.

Masih ingat kasus ROhmin Dahuri? atau pembelian tanah untuk gedung, atau juga pembangunan gedung MK yang sangat mewah di saat rakyat kekrangan subisidi bbm dan lain sebagainya.

Hal-hal itu semua terjadi karena lobbi, partai politik dan keinginan untuk tidak memperbaiki secara hakiki gaji PNS, tetapi senang menyalahkan mereka yang hanya bisa makan gaji untuk satu atau dua minggu. Tetapi, pejabat penuh dengan tunjangan dan fasilitas. LIhatlah berbagai jenis mobil ber CC besar berseliweran di jalan dengan pelat merah, pelat hijau, atau pelat merah yang dihitamkan oleh polisi setelah membayar sejumlah uang.

Ah....capek dech.

ES

====================

Selasa, 30 Oktober 2007
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/30/Politikhukum/3962105.htm

Birokrasi (1)Membentuk Sistem Berbatas Waktu

Sidik Pramono
Orang bisa jadi salah, tetapi bentuklah sistem yang benar untuk meminimalisasi tingkat kerusakan yang ditimbulkannya. Cepat atau lambat, sistem yang benar akan memagari pelaku di dalamnya berbuat menyimpang.
Ungkapan usang itu mungkin menjadi gambaran keinginan pemerintah melaksanakan reformasi birokrasi dengan menyiapkan seperangkat aturan untuk membentuk sistem birokrasi yang "benar", yaitu birokrat yang berfungsi pemberdayaan, fasilitasi, dan pelayanan. Rakyat berhak mendapatkan pelayanan memadai dari negara.
Dalam sejumlah rapat kerja dengan Komisi II DPR, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi menyebut sembilan rancangan undang-undang (RUU) yang akan dijadikan landasan hukum dan fondasi reformasi birokrasi, termasuk RUU Administrasi Pemerintahan yang drafnya digodok sejak sekitar tiga tahun lalu. RUU itu terinspirasi dari UU Prosedur Administrasi Negara Jerman (Verwaltungsverfahrensgesetz) yang dibuat pada 1976. Urgensi RUU ini, antara lain, adalah perlindungan masyarakat dari tindakan birokrat yang sewenang- wenang. RUU Administrasi Pemerintahan menjamin hak dasar warga negara dan terselenggaranya tugas negara sesuai dengan harapan dan kebutuhan rakyat.
RUU Administrasi Pemerintahan memungkinkan hak warga ikut mengawasi penyelenggaraan pemerintahan. Warga bisa mengajukan keberatan ke instansi pemerintah atau melalui Komisi Ombudsman Nasional (KON), atau melalui lembaga lain. Juga dimungkinkan bagi warga menggugat keputusan atau tindakan instansi pemerintahan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hak itu diyakini dapat memagari instansi pemerintah untuk tidak mengambil keputusan sewenang-wenang.
RUU itu jelas mencantumkan hak dengar pendapat pihak yang terlibat serta hak mendapat akses dan kesempatan melihat dokumen yang bisa mendukung kepentingannya dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan. Dengan adanya hak dengar pendapat, aparat administrasi pemerintahan wajib memberikannya sebelum membuat keputusan yang akibatnya memberatkan, membebani, atau mengurangi hak perorangan.
Upaya administratif adalah keberatan perseorangan, kelompok warga, atau organisasi terhadap isi atau pelaksanaan suatu keputusan administrasi pemerintahan. Keberatan ditujukan pada atasan dari pejabat administrasi pemerintahan atau badan yang mengeluarkan putusan administrasi pemerintahan.
Keputusan administrasi meliputi semua keputusan tertulis atau tidak tertulis, yang berisi tindakan hukum atau tindakan material yang bersifat konkret, individual, dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Keputusan elektronis juga dimungkinkan dan berkekuatan hukum yang sama dengan keputusan tertulis. Keputusan tidak tertulis harus diformalisasikan dalam bentuk tertulis atau elektronis, jika di dalamnya terdapat kepentingan pihak yang bersangkutan atau diminta oleh yang bersangkutan.
Upaya administratif ini diajukan selambat-lambatnya 30 hari sejak diumumkannya keputusan oleh pejabat administrasi pemerintahan. Jika keberatan diterima, atasan pejabat yang memutuskan bisa membatalkan dan/ atau memperbaiki. Upaya administratif bisa menunda pelaksanaan pelaksanaan keputusan itu, kecuali menyangkut penerimaan dan/atau pengeluaran keuangan negara, tindakan kepolisian yang tak dapat ditunda, atau menyangkut kepentingan umum yang sangat mendesak.
Salah satu materi penting lain adalah ikatan terhadap pejabat administrasi pemerintahan. Pejabat mesti bertanggung jawab dan terikat atas keputusannya selama dan setelah masa jabatannya. Karena itu, keputusan yang dibuat tidak boleh berlaku surut. Pelanggaran bisa berbuah sanksi, mulai teguran, pemberhentian, dikurangi hak dan/atau dicabut hak jabatan dan pensiun, serta publikasi melalui media massa.
Tantangan
Siapa pun tentu tak akan menolak gagasan besar yang menginisiasi RUU itu. Meski begitu, bukan berarti gagasan itu tanpa tantangan. Rakyat ragu karena gagasan besar pun terkadang lemah dalam implementasi. Kalau menjadi UU, diseminasi informasi masih merupakan problem mendasar di negeri ini. Apalagi jika masih banyak peraturan turunan dari UU itu yang harus disiapkan pemerintah.
Ketentuan dalam RUU pun potensial mengganjal keberatan masyarakat. Misalnya soal upaya administratif yang dibatasi pengajuannya maksimal 30 hari sejak pengumuman keputusan oleh pejabat administrasi pemerintahan. Problemnya, bagaimana jika batas itu terlampaui karena ketidaktahuan pihak yang terlibat? Merujuk pengalaman yang selama ini kerap dikeluhkan, adakah jaminan keputusan akan diumumkan secara luas?
Soal perkecualian dalam hak dengar pendapat serta hak mendapat akses dan kesempatan melihat dokumen pun bisa menjadi masalah tersendiri. Batasan "membahayakan kepentingan negara dan/atau melanggar kerahasiaan pihak ketiga" serta "untuk melindungi kepentingan umum; tidak mengubah beban individu atau anggota masyarakat bersangkutan; serta menyangkut penegakan hukum" bisa menjadi rumusan sumir. Administrasi pemerintahan bisa saja merumuskan secara sepihak.
Ketentuan diskresi pun berisiko menjadi masalah tersendiri. RUU memang menyebutkan, kewenangan pejabat administrasi pemerintahan dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah yang belum diatur dalam UU tidak boleh menjadi diskresi bebas (freies ermessen) dan sewenang-wenang (willkuerliches ermessen). Memang ada ketentuan, keputusan yang bersifat diskresi pun harus diberi alasan faktual dan hukum yang menjadi dasar pembuatan keputusan itu. Pejabat yang menggunakan diskresi juga wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dalam bentuk tertulis dan masyarakat yang dirugikan yang diselesaikan melalui proses peradilan. Ketentuan lebih detail mesti termuat dalam peraturan pemerintah yang diturunkan dari undang- undang ini nanti, seperti kapan diskresi boleh digunakan. Tanpa itu, diskresi akan menjadi kewenangan tanpa batas dan rawan diselewengkan.
Pengaturan soal keberatan masyarakat pun bakal memberikan beban tambahan kepada KON. Ketika masuk laporan keberatan ke KON, mereka harus memberikan rekomendasi kepada instansi yang mengeluarkan keputusan untuk memperbaiki sebagian, keseluruhan, atau bahkan membatalkan atau menyatakannya batal demi hukum. Demikian pula, PTUN bakal menerima limpahan perbuatan melanggar hukum administrasi pemerintahan oleh pejabat administrasi pemerintahan yang sudah didaftar tetapi belum diperiksa di pengadilan di lingkungan peradilan umum. Sudahkah institusi ini mengantisipasi bebannya begitu UU disahkan?
Pemerintah berencana segera menyampaikan draf RUU ke DPR dan ingin segera membahasnya, untuk dapat disahkan sebagai UU. Namun, menurut anggota Badan Legislasi DPR, Saifullah Ma’shum (Fraksi Kebangkitan Bangsa, Jawa Timur V), prosesnya masih lama. Sejauh ini RUU Administrasi Pemerintahan baru dalam tahap diputuskan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2008. Kesepakatan itu dicapai dalam rapat Baleg DPR dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) pada awal Oktober lalu.
Dari sisi proses dan prosedur, RUU Administrasi Pemerintahan tak mungkin diselesaikan cepat karena Menneg PAN masih "berutang" penyelesaian RUU Pelayanan Publik yang masuk Prolegnas 2007. RUU itu pun tak kalah urgensinya ketimbang RUU Administrasi Pemerintahan. "DPR dan pemerintah harus segera menyelesaikan dulu RUU Pelayanan Publik kalau mau RUU Administrasi Pemerintahan segera dibahas,"ujar Saifullah.
Saifullah sepaham, RUU Administrasi Pemerintahan diperlukan oleh Menneg PAN sebagai payung hukum reformasi birokrasi. Namun, keliru jika kemudian dianggap hanya RUU itulah yang menentukan efektivitas jalannya reformasi birokrasi. Apalagi, selama ini ada sejumlah peraturan pemerintah dan peraturan presiden yang bisa dijadikan landasan dan pedoman percepatan reformasi birokrasi.

Rabu, 31 Oktober 2007
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/31/Politikhukum/3963746.htm

Reformasi Birokrasi (2)Menanti Perlawanan Korupsi dari Dalam

Sidik Pramono
Bisa dibayangkan bagaimana jika mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan Andin H Taryoto dan juga Kepala Bagian Umum di Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Didi Sadili berani menolak "perintah" Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri untuk menghimpun dana nonbudgeter?
Kalau saja ada keberanian menolak perintah yang menyimpang, pasti tidak akan terjadi saling lempar tudingan antara mantan Kepala Biro Keuangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hamdani Amin, mantan Sekretaris Jenderal Safder Yusacc, dan mantan Ketua KPU Prof Nazaruddin Sjamsuddin mengenai siapa yang punya ide memerintahkan dan bertanggung jawab mengenai pengumpulan dana taktis dari sejumlah perusahaan rekanan. Kalau saja "perlawanan" dilakukan, bisa jadi para bawahan itu tidak harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Birokrasi negara ini terlihat semakin buruk ketika sistem tak memungkinkan seorang pegawai yang baik untuk melawan perintah atasannya yang menyimpang. Kasus dana nonbudgeter atau dana taktis di instansi pemerintah bukanlah hal baru. Barulah ketika KPK turun tangan, terbeberlah fakta mengenai praktik menyimpang di lembaga negara itu.
Bisa jadi, para pegawai negeri di Indonesia terjangkit gejala "kepatuhan buta" atas perintah atasannya. Perdebatan sulit dilakukan karena yang lebih dominan adalah ketakutan bahwa sanggahan bakal meninggalkan cap buruk yang memengaruhi kelanjutan kariernya.
Apalagi kalau ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian diimplementasikan begitu saja tanpa sikap kritis: "Setiap Pegawai Negeri wajib menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab."
Mentalitas birokrasi
Mengutip Ketua Program Magister Manajemen Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali (Kompas, 7/3/2007), ada dua kemungkinan yang membuat birokrasi kita tampak ragu, lamban. Para pejabat birokrasi selalu menunggu petunjuk karena hal itu merupakan bentuk ekspresi sopan santun kepada atasan agar tidak menonjolkan diri atau terkesan sok tahu. Namun, bisa juga hal itu terjadi karena superioritas atasan. Bawahan "terpaksa" meminta petunjuk karena atasannya menghendaki demikian.
Buruknya, bagaimana jika petunjuk yang diberikan atasan justru menyimpang? Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 mengenai Peraturan Disiplin Pegawai Negeri tercantum ketentuan bahwa pegawai "segera melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara/pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material".
Artinya, butuh kekuatan sangat besar, keberanian luar biasa, untuk melawan sistem yang dikendalikan individu bermental koruptif.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Taufiq Effendi dalam berbagai kesempatan menyatakan, RUU Administrasi Pemerintahan nantinya bakal menjadi instrumen untuk menangkal korupsi di birokrasi. RUU yang naskahnya sudah digodok di Kementerian Negara PAN sejak 3,5 tahun lalu itu diyakini bisa menjadi dasar hukum dan pedoman bagi setiap pejabat administrasi pemerintahan, mencegah penyalahgunaan kewenangan, dan menutup kesempatan untuk melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam draf RUU memang dinyatakan bahwa dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan, pejabat tidak berwenang terlibat dalam penetapannya jika merupakan pihak yang terlibat, kerabat atau keluarga pihak yang terlibat, ataupun wakil pihak yang terlibat.
Juga dilarang terlibat jika merupakan pihak yang bekerja dan mendapatkan gaji dari pihak yang terlibat ataupun menjadi pihak yang memberi rekomendasi terhadap pihak yang terlibat. Larangan itu juga berlaku jika ada hubungan khusus dengan pihak yang terlibat, seperti teman, tunangan, pengampu, dan pemelihara.
Pihak yang terlibat dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan dapat memberikan keterangan mengenai dugaan dan kecurigaan tentang keberpihakan pejabat dalam proses pengambilan keputusan.
Keberpihakan itu diartikan sebagai upaya untuk memengaruhi pembuatan keputusan yang menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya, antara lain dalam kegiatan bisnis maupun kegiatan sosial. Keterangan itu disampaikan kepada atasan pejabat yang bersangkutan. Berikutnya, atasan wajib menyampaikan secara tertulis keterangan itu kepada pimpinan instansi yang bersangkutan.
Namun, bagi Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin, perlu terobosan untuk menembus "kepatuhan buta" kepada atasan, sebagaimana membudaya di Indonesia. Di Jerman, pegawai negerinya bertanggung jawab penuh "secara pribadi" terhadap kesesuaian hukum pelaksanaan tugas kedinasannya.
Undang-Undang Pegawai Negara Bradenburg, misalnya menyebutkan, seorang pegawai berkewajiban melaksanakan perintah kedinasan. Dalam pelaksanaan perintah kedinasan itu, tanggung jawab terletak pada pemberi perintah. Seorang pegawai tidak harus tunduk pada perintah yang dalam pelaksanaannya bertentangan dengan undang-undang hukum pidana.
Kalaupun kemudian sanggahan itu diabaikan para atasan dan perintah dinas mesti dipertahankan, seorang pegawai harus melaksanakan perintah kedinasan itu, sepanjang dengan kesadaran bahwa perintah itu tidak melanggar ketertiban dan kejahatan pidana atau tidak melanggar serta melecehkan hak asasi manusia. Tanggung jawab pribadinya lepas dan atasannya harus memberikan pengesahan perintah itu secara tertulis jika diminta oleh penyanggahnya.
Jika timbul masalah pada kemudian hari, atasan pun tak bisa berkelit lagi. Kewajiban menyanggah bakal menjadi "kontrol internal", bagi pegawai bersangkutan dan sekaligus bagi para atasannya.
Jadi, tampaknya masih akan panjang jalan mewujudkan birokrasi yang bersih dari mentalitas koruptif. Butuh terobosan luar biasa, terutama dari dalam mesin birokrasi sendiri. Saling kontrol, saling mengingatkan, saling mengawasi merupakan budaya bagus yang mesti dikembangkan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan "perlawanan dari dalam". Jika diperintah untuk berbuat salah, kenapa mesti takut menyanggah?

Tuesday, October 30, 2007

Bandung Jawara Korupsi? May be!



Masih ingat citra kota Bandung dan Pemkot nya yang pernah mendapat predikat atau masuk kelompok terkorup di Indonesia beberapa tahun lalu?

Kiranya citra itu memang susah dilepaskan, lihatlah reklame sebuah atm BUMN kita yang mendominasi penunjuk arah dalam kota Bandung.

Kumaha, Eui? Nteu aya kamajuan?

Saturday, October 20, 2007

Terima kasih Ma"lezi"a

Mungkin kita harus mengambil banyak hikmah dari sederetan kasuspelecehan oleh warga atau pemerintah Malaysia kepada Indonesia. Mulai dari peristiwa penganiayaan Nirmala Bonata, Pemulangan TKI, Pemukulan Wasit karate Indonesia hingga "penahanan" anggota keluarga diplomat kita di negeri jiran tersebut.

Adalah suatu fakta bahwa Malaysia jauh lebih maju ekonominya. Begitu juga dalam berbagai sektor kehidupan lain. Namun apakah mereka juga jauh lebih baik? Belum tentu.

YAng pasti, banyak sekali generasi muda mereka tidak mendapat pendidikan atau informasi yang cukup ttg Indonesia, sebagai tetangga mereka. Nah ini tentu membuat gap informasi yang tidak mudah. ALhasil, buat sebagian orang malaysia, bisa saja citra Indonesia memang setara dengan citra TKW dan TKI yang bekerja keras dan digaji murah.

Karena itu tugas pemerintah Indonesia lah menjembatani gap informasi ini dengan berbagai cara. Yang pasti juga, jangankan tkw/i dan wasit..ingatlah ANwar Ibrahim saja juga harus di gips lehernya.

So ..lets work hard and stop just blaming!

Tuesday, October 09, 2007

Sydney bisa, mengapa kita tidak?

Pusing mengatur wilayah di bawah jembatan layang atau tol? Kelihatannya kita perlu belajar dari Sydney. Mereka mampu membuat kawasan dibawah jembatan layak dinikmati, baik sebagai jalur untuk pedestrian atau bahkan untuk stand pameran dan keindahan. Sayangnya Bang Yos..batal melanjutkan kerjasama sister city dengan jakarta.

Mudah2an terkabul, suatu saat.

ES

Diskriminasi dan Ketidakadilan





Semakin hari terlihat pemerintah semakin melupakan faktor keadilan dan diskriminasi. sebagai contoh terbaru.

1. Adanya "pemaksaan" cuti lebaran yang tadinya hanya bbrp hari sebelum dan setelah tanggal lebaran, kemudian diubah mendadak per tanggal 1 Oktober menjadi total kurang lebih 10 hari libur. ALhasil, semua pegawai hanya tinggal memiliki 1 hari cuti yang bisa bebas ia gunakan.

2. Pelaksanaan reformasi yang hanya memilih bbrp instansi seperti Depkeu, MA, Menpan DAN BPK yang akhirnya memberikan tunjangan sangat baik dan bahkan bisa melebihi perusahaan swasta yang bonafid. Sementara PNS lain tetap dengan gaji paling tinggi Rp 2,3 Juta dan tunjangan jabatan paling besar untuk eselon 1 sekitar Rp 5 jutaan. Sementara Depkeu diluar gaji bisa memperoleh tunjangan hingga Rp 40 juta bervariasi sesuai rate jabatan mereka.

PErtanyaannya, itu pemimpin indonesia pada kemana? KOk hal-hal mendasar seperti ini luput dari pembahasan dan pemikiran yang sebenarnya tidak rumit-rumit amat. Dampaknya jelas, pemerintah semakin tidak digubris. Wong mengatur lebaran aja yang enak-enak ndak bisa apalagi mengatur yang susah-susah. atau memang ada skenario yang membuat ini terjadi dan masyarakat semakin kehilangan kepercayaan kepada pemerintah atau dirinya sendiri.

Disamping berbagai contoh di atas, sangat banyak lagi contoh-contoh disekitar kita saat ini di Jakarta seperti pemaksaan pembangunan busway untuk ruas jalan yang sedang macet-macetnya (meski mungkin juga berguna nantinya), atau bisa dilihat banyaknya bongkaran di sekitar jakarta dan ditinggalkan begitu saja karena lebaran, atau juga bisa kita renungkan mengapa pemerintah masih harus membangun gedung kantor baru yang berujung kepada pembelian tanah seperti kasus KY, atau apa perlu sekarang membangun Gedung MK yang mencapai Rp 190an M yang sangat mewah, sementara banyak gedung sekolah roboh.
Dan lain sebagainya. Padahal kalau mau pemerintah bisa saja menggunakan gedung bekas bbrp asset pengemplang BLBI yang masih layak dijadikan kantor pemerintah, seperti DKP yang menggunakan gedung bekas Bank BHS di MErdeka Timur.

Akh.,.hanya keluh kesah bukan mengajak anda pesimis lho., tapi inilah faktanya Indoensia undergroung. JIka di CHina, masih terjadi kepala desa atau Camat yang mengintimidasi warga dan petaninya, maka di Indonesia...justru....rakyatnya berdiam diri dengan diskriminasi dan ketidakadilan. tanda-tanda apakah ini? Karena tidak ada PNS yang berdemo ketika Depkeu memotong SPPD dan menaikkan tunjangan mereka sendiri. APakah ini wujud kemunafikan karena nanti juga akan menikmati (one day) atau ini wujud ketidakberdayaan seperti investor yang dipermainkan aturan?

ANy answer?

Monday, October 08, 2007

UU ITE: JANGAN-JANGAN KITA TIDAK BUTUH!

Jangan-jangan kita memang tidak memerlukan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang sejak tahun 2001 sudah digagas pemerintah, namun sampai sekarang masih harus berjuang agar bisa dibahas dan jadi UU.

Mengapa saya katakan demikian? Karena kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari yang berurusan dengan transaksi elektronik, kita sudah mulai familiar melakukannya tanpa menyadari perlu tidaknya UU untuk transaksi tersebut. Sebagai contoh, untuk transfer dan pembayaran sejumlah uang untuk keperluan tertentu, sudah digunakan jasa perbankan dan ATM, baik via mesin ataupun melalui telepon tetap dan bergerak. Mau membayar tiket pesawat sudah bisa lewat ATM, misalnya untuk Garuda, Lion AIr dan Adam. Lalu tanda terima sudah diakui sebagai dokumen sah yang bisa ditukar dengan tiket di bandara. Hal yang sangat memudahkan dari berbagai keteledoran seperti tiket tertinggal atau hilang. Juga untuk transaksi pembayaran hotel dan booking.

Membeli tiket kereta api di Paris dan negara Eropa lain yang tidak berbahasa Inggris jauh lebih mudah via Internet. Jika anda nekat datang ke statsiun seperti Paris Nord dan lain-lain, maka saya jamin anda justru akan tambah bingung. Karena tidak akan pernah terlayani dengan baik, bukan karena masalah bahasa, juga budaya.

Pengalaman saya yang agak kebingungan mengatur waktu ketika mendarat di Sydney antara mau langsung pulang atau jalan-jalan telah tertolong karena adanya Internet dan Kartu Kredit. Dengan login ke bbrp website seperti wwww.wotif.com maka dengan mudah saya bisa melacak keberadaan hotel dan harga yang ditawarkan. tanpa takut transaksi gagal dan lain sebagainya saya dengan cepat dapat mengambil keputusan untuk tinggal menginap atau pulang langsug dengan pesawat. Pengaturan jadwal penerbangan dan perubahaannya juga bisa dilakukan via Internet. Sekali lagi, mudah, praktis dan tidak takut error dalam transasksi. Apakah karena di negara majua saja? Jelas tidak.

DUlu sewaktu BCA memulai transaksi on-line, saya sudah langsung menggunakannya untuk berbagai keperluan seperti pembayaran telepon, listrik dan kartu kredit. Namun memang karena ada orang iseng yang memplesetkan URL BCA, telah mengakibatkan BCA sendiri menambahkan alat untuk mengacak password yang diikuti bank lain. Celakanya penggunaan alat itu membuat tidak praktis dan saya sejak itu berhenti menggunakan transaksi online, kecuali hanya untuk melihat account masuk atau lain-lain.

Yang menjadi penting disini adalah, dalam kenyataannya...kita belum melihat perlunya UU ITE kalau hingga saat ini kita masih bisa menjalankan aktivitas sehari-hari. Juga dalam berbagai kesempatan di sektor hukum juga telah terjadi kemajuan dengan menganggap bahwa dokumen faks dan transaksi internet sudah bisa dijadikan sebagai alat buki di pengadilan (dalam proses), seperti halnya rekaman data base percakapan via ponsel.

ALhasil, mungkin kita tidak memerlukan UU ITE seperti digemborkan karena berbagai ketakutan yang tidak beralasan. Akh...masa iya.,..fasilitas teknologi harus mempersulit manusia pada ujung akhir pekerjaannya.

Mungkin saya keliru, tapi batin saya....sekarang merasa aman-aman saja tuh membayar kartu kredit via ATM, membayar telepon dan tagihan listrik juga. Membooking hotel dan pesawat serta membayarnya dengan kartu kredit via Internet.

Jadi...mungkin ada baiknya kita lupakan saja keinginan untuk membahas RUU ITE menjadi UU ITE yang pasti membutuhkan biaya banyak, padahal draftnya juga mungkin sudah ketinggalan jaman mengingat kemajuan pesat ICT dalam 4 tahun terakhir yang belum diakomodir oleh RUU tsb.

Any comment?

ES
=========
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/01/tekno/3885388.htm

Senin, 01 Oktober 2007

Transaksi ElektronikDi Luar Jangkauan Hukum?

Pada acara diskusi pencegahan korupsi privatisasi (divestasi) BUMN, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menegaskan kembali pernyataannya di Kompas 8 Juni 2007 bahwa tindak pidana pasar modal sulit ditindak. Konon, hal itu dikarenakan transaksi elektronik tidak diterima sebagai alat bukti di pengadilan.
Lebih dari satu dasawarsa transaksi bursa saham (Bursa Efek Jakarta) berbasis elektronik. Baik dari sisi penempatan dan mempertemukan order beli-jual antarbroker (JATS-BEJ) maupun proses penyelesaiannya (eClears-KPEI), serta penyimpanannya di rekening efek (scriptless: cBest-KSEI) dan dana (perbankan).
Kalau diurut ke penerima manfaat, transaksi broker tersebut berasal dari order nasabah melalui medium sistem elektronik basis data (on-line trading) maupun pita suara (rekaman pembicaraan telepon). Proses penyelesaian ke nasabah pun berbasis elektronik, yaitu rekening bank (kliring perbankan: BI-RTGS) dan sub-account rekening efek di cBest.
Berarti, pernyataan otoritas pasar modal mengonfirmasi bahwa transaksi BEJ berjalan tanpa koridor kepastian hukum. Padahal, saat ini rata-rata nilai transaksi hariannya telah mencapai angka sekitar Rp 4 triliun. Perputaran tersebut haruslah terbebas dari risiko bawaan sistem keuangan, yakni sarana kejahatan luar biasa pencucian uang.
Dari sisi prinsip tata kelola perekonomian, para pemimpin dunia (termasuk Indonesia), melalui konvensi PBB tentang antikorupsi (UNCAC) telah menyepakati pencegahan dan penindakan tindak pidana pencucian uang sebagai bagian tak terpisahkan dari tindak pidana korupsi itu sendiri. Tak usah kaget, di negeri ini penyakit inkonsistensi birokrasi telah menjadi lumrah untuk diterima sebagai kenyataan.
Terobosan hukum
Debat transaksi elektronik sebagai alat bukti hukum bermuara ke kitab undang-undang hukum beracara di pengadilan (KUHAP). Banyak kajian hukum cyber crime mengarah ke Pasal 184 KUHAP, yakni surat elektronik belum memiliki kekuatan hukum tertulis sebagai dokumen asli (fisik).
Alasannya, interpretasi keotentikan dokumen bisa menimbulkan debat kusir di pengadilan, yaitu munculnya argumentasi dokumen dipalsukan melalui fraud di sistem komputer itu sendiri (cyber crime). Itulah sebabnya, upaya terobosan hukum dilakukan untuk menegaskan unsur-unsur pidana cyber crime itu sendiri, melalui Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE).
RUU ITE telah diajukan sejak pemerintahan Megawati (2003) ke DPR. Saat ini statusnya masih dibahas di DPR. Lemahnya komitmen legislasi RUU ITE menjadi undang-undang tidak beralasan mengingat pemanfaatan transaksi elektronik (e-commerce) telah meluas, seiring perkembangan internet itu sendiri.
Dari sisi sistem dan kedudukan hukum, RUU ITE (apabila diundangkan) adalah sejajar dengan Undang-Undang Nomor 8 tentang Pasar Modal (UU PM). Dalam UU PM Angka 28 Pasal 1 telah diatur bahwa transaksi bursa adalah kontrak yang dibuat anggota bursa efek (broker) sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh bursa efek.
Sistem dan kedudukan operasional dan peraturan bursa sesuai perundangan harus mendapat persetujuan otoritas (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan/Bapepam-LK), agar tidak menjadi perbuatan melawan hukum. Berarti, transaksi elektronik di bursa telah memiliki kekuatan hukum perundang-undangan, dengan atau tanpa UU ITE.
Otorisasi keabsahan hukum transaksi elektronik di bursa telah diratifikasi seiring diterimanya sistem order melalui digital signature kode broker di sistem bursa (JATS, eClears, dan cBest) serta nomor rekening di sistem perbankan. Bahkan, kita tidak terbelakang dari sisi yurisprudensi diterimanya alur rekening dana sebagai alat bukti hukum di pengadilan.
Bukankah penetapan hukum oleh hakim di pengadilan menjadi sumber hukum itu sendiri (yurisprudensi), dengan catatan rekening bank (yang juga telah berbasis elektronik) dan pembicaraan (penyadapan) telepon telah menjadi alat bukti di pengadilan. Terlebih, terkait pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi melalui peradilan tindak pidana korupsi kerap melakukan terobosan hukum tersebut.
Di sisi lain, peratifikasian tindak pidana pencucian uang dalam sistem dan kedudukan hukum perundang-undangan Indonesia (UU Nomor 15/2002) menunjukkan verifikasi alat bukti transaksi keuangan antaryurisdiksi lembaga negara, yang semuanya berbasis elektronik, dapat dilakukan melalui kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Masa depan
Kalaupun ada interpretasi kekosongan hukum tentang alat bukti transaksi elektronik, terkait belum disahkannya RUU ITE, hal itu hanya menyangkut transaksi on-line trading di internet. Namun, saat ini hal tersebut belum terimplementasi secara teknis.
Dalam hal ini proses pengalihan sistem JATS dari jaringan tertutup LAN (local area network) di lantai bursa ke jaringan terbuka remote trading WAN (wide area network) masih dalam proses stabilisasi. Berarti, ratifikasi on-line trading masih dalam proses tercapainya implementasi integrasi sistem elektronik transaksi bursa (STP: straight through processing).
Kalaupun on-line trading akan diterapkan, sebagaimana terjadi di banyak negara, pasar modal dapat menetapkannya dengan atau tanpa UU ITE. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, UU PM memberi otoritas kewenangan untuk menetapkan persyaratan transaksi bursa.
Sikap frustrasi Bapepam-LK tentang transaksi elektronik, meski dimilikinya kekuatan sistem dan kedudukan hukum dan yurisprudensi beracara di pengadilan, melahirkan pesimisme "jangan-jangan UU ITE, jika diundangkan, akan mengalami nasib serupa, yakni lemahnya birokrasi menegakkan hukum e-commerce itu sendiri".
Apa masalah kita? Sistem hukum atau komitmen melaksanakan dan menegakkan hukum itu sendiri? Ini karena teknologi dengan standar keamanannya justru membuat transaksi ekonomi menjadi terlacak. Bukan sebaliknya, teknologi jadi sarana "alsani" (alasan sana sini) atas rendahnya komitmen birokrat untuk menciptakan sistem ekonomi negara yang bersih dan berdaya guna. Semoga Indonesia menjadi negeri yang lebih baik.
Yanuar Rizky Analis Independen Aspirasi Indonesia Research Institute (AIR Inti)www.elrizky.net

Ridiculous...Hanya 40% APBN terserap!

SUngguh keterlaluan! Bayangkan hanya 40%. Ini adalah buah ide sesaat yang terkadang sesat yang didapat ketika buang hajat.

KArena, katanya, diperentah oleh JK akhirnya MEnkeu mengeluarkan pemotongan SPPD sebesar 70% dari yang belum terserap. Nah..tentu saja pemotongan yang dilakukan terhitung Agustus lalu akan mengakibatkan seretnya pelaksanaan kegiatan proyek2 APBN, thus, rendahnya pencairan anggaran terutama untuk beberapa lembaga yang memang menggantungkan aktivitasnya dari SPPD.

Jadilah buah simalakama. Tidak dipotong SPPD serasa sirik karena SPPD DIknas besar sekali hingga Rp2.6 T. DIpotong, kkok semua departemen. Benar-benar simalakama.

DIkira gampang!

ES


http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/03/ekonomi/3889310.htm
Rabu, 03 Oktober 2007

Realisasi AnggaranInvestasi Pemerintah Hanya Terealisasi 40 Persen

Jakarta, Kompas - Investasi pemerintah yang ditandai dengan pengalokasian anggaran belanja modal dan barang dalam APBN Perubahan 2007 hingga kini hanya terealisasi kurang dari 40 persen terhadap total dana Rp 129,9 triliun. Hal tersebut disebabkan pelaksanaan proyek di departemen penyerap anggaran terbesar masih tersendat-sendat.
"Melihat sisa waktu yang hanya tinggal 3 bulan lagi, kemudian realisasi proyeknya masih rendah, secara logika saja sudah terlihat tidak mungkin menggunakan seluruh anggaran yang sudah ditetapkan," kata Dirjen Perbendaharaan Negara Herry Purnomo sesudah menghadiri diskusi panel tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan Peningkatan Kinerja Rumah Sakit di Jakarta, Selasa (2/10).
Menurut Herry, Departemen Keuangan (Depkeu) dapat memperkirakan tingkat penyerapan anggaran belanja barang dan modal tahun 2007 dengan memperhitungkan masa lelang setiap proyek. Masa lelang yang diperlukan untuk memulai sebuah proyek mencapai 50 hari. Itu artinya, awal penawaran lelang harus dimulai sejak Juli 2007 agar seluruh proyek terlaksana sebelum akhir tahun.
"Jika di awal Agustus sudah ditentukan pemenangnya, maka masih ada sisa tiga bulan untuk melaksanakan pekerjaan fisik. Kami sudah dapat melihat dari sana realisasi hingga akhir tahun," katanya.
Dalam APBN Perubahan 2007, anggaran belanja modal ditetapkan Rp 68,087 triliun atau meningkatkan dibandingkan dengan realisasi 2006 senilai Rp 54,95 triliun. Sementara anggaran belanja barang ditetapkan Rp 61,82 triliun, atau meningkat dibandingkan realisasi 2006 sebesar Rp 47,18 triliun. Anggaran belanja modal diarahkan untuk membangun infrastruktur penting bagi publik, seperti jembatan atau jalan. Belanja barang dialokasikan untuk keperluan perkantoran pemerintah, misalnya pengadaan peralatan komputer.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, anggaran belanja pemerintah secara keseluruhan baru mencapai 37,5 persen dari total anggaran Rp 752,37 triliun. Rendahnya realisasi belanja itu disebabkan antara lain karena beberapa departemen pengguna anggaran terbesar masih berupaya melaksanakan proyeknya.
Departemen itu adalah Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Perhubungan, dan Departemen Pekerjaan Umum. Mereka masih menghadapi kendala antara lain penunjukan satuan kerja yang lambat.
"Namun, saya perkirakan, seburuk-buruknya pelaksanaan anggaran 2007, minimal akan sama dengan realisasi tahun lalu," katanya.
Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2006, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, disebutkan realisasi anggaran belanja pemerintah pusat mencapai 92,01 persen karena didorong oleh realisasi anggaran belanja pegawai yang rutin dibayarkan setiap bulan. Namun, khusus anggaran belanja modal realisasinya mencapai 82,36 persen dari anggarannya Rp 66,72 triliun. Belanja barang mencapai 85 persen dari Rp 55,51 triliun. (OIN)

======

http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/1id25592.html
Menteri protes perdin dipangkas
Cetak
JAKARTA: Sejumlah menteri mempersoalkan kebijakan Menteri Keuangan yang memangkas belanja perjalanan dinas (Perdin) hingga 70%. Para pejabat itu meminta agar kebijakan tersebut dibahas dalam sidang kabinet.Menteri PU Djoko Kirmanto menegaskan surat Menkeu No. 384/ MK.02/2007-yang memangkas anggaran perjalanan dinas seluruh departemen dan lembaga (k/l) hingga 70% dari sisa anggaran yang tersisa per Jui 2007-sangat mengganggu program kerja departemennya.? "Saya jelas mengajukan protes. Mudah-mudahan akan ada pembicaraan di sidang kabinet. Bisa saja nanti ada petunjuk dari Presiden atau Wapres. Kami sudah menyampaikan kesulitan-kesulitan, karena pemotongan itu melalui Menko Kesra, Menko Perekonomian hingga Menko Polhukkam," tuturnya seusai buka puasa bersama di Istana Negara, kemarin.Djoko menjelaskan Departemen PU memprogramkan banyak perjalanan dinas untuk meningkatkan penyerapan anggaran dan kualitas pekerjaan. "Pokoknya kami minta ditinjau kembali, karena kebijakan itu memberatkan anggaran tahun ini dan tahun depan." Hal senada juga diungkapkan Menakertrans Erman Suparno. "Saya termasuk yang mengajukan protes dan minta dibicarakan di tingkat menteri koordinator."Erman menyatakan Depnakertrans memprogramkan banyak perjalanan dinas untuk mengantar sekaligus membimbing para transmigran di daerah penempatan. Meski demikian, dia mengaku tidak terlalu mempermasalahkan kalau memang kebijakan itu sudah menjadi keputusan. "Menkeu sendiri sudah memberikan respons yang cukup baik terhadap protes kami dan akan memberikan solusi untuk beberapa departemen," ujarnya. Selain Menteri PU dan Menakertrans, beberapa menteri kabarnya juga mengajukan surat keberatan kepada Menkeu Sri Mulyani Indrawari menyangkut pemangkasan belanja perjalanan dinas. Seorang pejabat eselon satu di Depsos menilai hasil pemangkasan biaya perjalanan dinas hingga 70% bukan menciptakan efisiensi, tetapi menghancurkan citra pemerintah karena program pengentasan kemiskinan akhirnya tidak berjalan."Sudah dua bulan ini program kegiatan dan proyek tidak jalan. Tepatnya sejak Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan, Depkeu, diterbitkan," ujar pejabat Departemen Sosial yang enggan dikutip namanya itu kepada Bisnis, kemarin. Dia menjelaskan program pemantauan birokrasi, penyuluhan, dan pendampingan program pemerintah tidak dapat diteruskan karena tidak ada dana.? "Depkeu meminta anggaran belanja perjalanan dinas direvisi, dan kami sudah memasukkan.? Tapi sampai sekarang persetujuan revisi itu belum dikeluarkan Depkeu." Pejabat tadi meminta agar kebijakan itu tidak berlaku umum di semua instansi pemerintah. "Kami setuju efisiensi. Tapi pemangkasan hingga 70% bukan lagi menciptakan efisiensi, melainkan mematikan program. Karena beberapa kegiatan terpaksa ditunda, bahkan dibatalkan."Bisa memahami Namun, Kepala BKPM M. Lutfi mengaku kebijakan Menkeu itu tidak mengganggu aktivitas instansinya. "Kita kan... bagian dari pemerintahan. Kita ikut saja kalau perintahnya begitu. Kita sesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi."Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro menyatakan mendukung kebijakan Menkeu karena efisiensi tersebut diharapkan dapat digunakan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, sehingga bisa memacu kegiatan ekonomi. "Biaya perjalanan dinas di departemen kami tidak terlalu besar kok."Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta juga mendukung kebijakan Depkeu. Namun, kedua menteri itu menolak memberitahukan apakah institusi mereka mengajukan surat protes atau tidak. "Kalau itu, saya tidak mau komentar," ujar Mari singkat.Di tempat terpisah, Mensesneg Hatta Rajasa menjelaskan kebijakan itu untuk menghemat anggaran pemerintah, khususnya biaya-biaya yang tidak produktif. Perjalanan dinas yang produktif, menurut dia, misalnya, yang terkait dengan proyek pembangunan, sedangkan perjalanan dinas yang dinilai tidak produktif adalah seminar dan sejenisnya."Intinya Menkeu ingin ada penghematan anggaran terhadap biaya-biaya yang tidak produktif. Jadi, agar SE itu tidak menghambat kinerja menteri dan pejabat negara, perjalanan dinas harus disusun secara akurat dan disertai target dari perjalanan tersebut," ujarnya di Kantor Presiden, kemarin.Hatta mengharapkan agar menteri dan pejabat negara dapat memastikan target yang akan dicapai sebelum melakukan perjalanan dinas, sehingga SE Menkeu itu tidak menghambat program pemerintah.Mensesneg mengaku selama dua bulan berjalan, beberapa menteri memang mengeluhkan SE tersebut. Namun,? keluhan itu hanya membutuhkan penyesuaian.Mengenai status hukum SE itu, Hatta berpendapat telah sesuai dengan kewenangan Menkeu sebagai bendahara negara. SE itu, katanya, sudah dipaparkan Menkeu dalam? sidang kabinet. "Tidak ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar."Menko Perekonomian Boediono menilai kebijakan itu dimaksudkan untuk menghemat anggaran negara, termasuk pemotongan perjalanan dinas menteri dan pejabat negara dengan syarat dan ketentuan tertentu.Boediono minta keputusan Menkeu itu tidak menghambat kinerjanya di luar kota atau di luar negeri.? "Saya setuju saja. Saya juga kena. Sampai saat ini SE itu tidak mengganggu tugas saya." (Neneng Herbawati)? (gajah.kusumo@bisnis.co.id/ erna.girsang@bisnis.co.id)Oleh Erna S. U. Girsang & Gajah Kusumo Bisnis Indonesia