Monday, October 08, 2007

UU ITE: JANGAN-JANGAN KITA TIDAK BUTUH!

Jangan-jangan kita memang tidak memerlukan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang sejak tahun 2001 sudah digagas pemerintah, namun sampai sekarang masih harus berjuang agar bisa dibahas dan jadi UU.

Mengapa saya katakan demikian? Karena kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari yang berurusan dengan transaksi elektronik, kita sudah mulai familiar melakukannya tanpa menyadari perlu tidaknya UU untuk transaksi tersebut. Sebagai contoh, untuk transfer dan pembayaran sejumlah uang untuk keperluan tertentu, sudah digunakan jasa perbankan dan ATM, baik via mesin ataupun melalui telepon tetap dan bergerak. Mau membayar tiket pesawat sudah bisa lewat ATM, misalnya untuk Garuda, Lion AIr dan Adam. Lalu tanda terima sudah diakui sebagai dokumen sah yang bisa ditukar dengan tiket di bandara. Hal yang sangat memudahkan dari berbagai keteledoran seperti tiket tertinggal atau hilang. Juga untuk transaksi pembayaran hotel dan booking.

Membeli tiket kereta api di Paris dan negara Eropa lain yang tidak berbahasa Inggris jauh lebih mudah via Internet. Jika anda nekat datang ke statsiun seperti Paris Nord dan lain-lain, maka saya jamin anda justru akan tambah bingung. Karena tidak akan pernah terlayani dengan baik, bukan karena masalah bahasa, juga budaya.

Pengalaman saya yang agak kebingungan mengatur waktu ketika mendarat di Sydney antara mau langsung pulang atau jalan-jalan telah tertolong karena adanya Internet dan Kartu Kredit. Dengan login ke bbrp website seperti wwww.wotif.com maka dengan mudah saya bisa melacak keberadaan hotel dan harga yang ditawarkan. tanpa takut transaksi gagal dan lain sebagainya saya dengan cepat dapat mengambil keputusan untuk tinggal menginap atau pulang langsug dengan pesawat. Pengaturan jadwal penerbangan dan perubahaannya juga bisa dilakukan via Internet. Sekali lagi, mudah, praktis dan tidak takut error dalam transasksi. Apakah karena di negara majua saja? Jelas tidak.

DUlu sewaktu BCA memulai transaksi on-line, saya sudah langsung menggunakannya untuk berbagai keperluan seperti pembayaran telepon, listrik dan kartu kredit. Namun memang karena ada orang iseng yang memplesetkan URL BCA, telah mengakibatkan BCA sendiri menambahkan alat untuk mengacak password yang diikuti bank lain. Celakanya penggunaan alat itu membuat tidak praktis dan saya sejak itu berhenti menggunakan transaksi online, kecuali hanya untuk melihat account masuk atau lain-lain.

Yang menjadi penting disini adalah, dalam kenyataannya...kita belum melihat perlunya UU ITE kalau hingga saat ini kita masih bisa menjalankan aktivitas sehari-hari. Juga dalam berbagai kesempatan di sektor hukum juga telah terjadi kemajuan dengan menganggap bahwa dokumen faks dan transaksi internet sudah bisa dijadikan sebagai alat buki di pengadilan (dalam proses), seperti halnya rekaman data base percakapan via ponsel.

ALhasil, mungkin kita tidak memerlukan UU ITE seperti digemborkan karena berbagai ketakutan yang tidak beralasan. Akh...masa iya.,..fasilitas teknologi harus mempersulit manusia pada ujung akhir pekerjaannya.

Mungkin saya keliru, tapi batin saya....sekarang merasa aman-aman saja tuh membayar kartu kredit via ATM, membayar telepon dan tagihan listrik juga. Membooking hotel dan pesawat serta membayarnya dengan kartu kredit via Internet.

Jadi...mungkin ada baiknya kita lupakan saja keinginan untuk membahas RUU ITE menjadi UU ITE yang pasti membutuhkan biaya banyak, padahal draftnya juga mungkin sudah ketinggalan jaman mengingat kemajuan pesat ICT dalam 4 tahun terakhir yang belum diakomodir oleh RUU tsb.

Any comment?

ES
=========
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/01/tekno/3885388.htm

Senin, 01 Oktober 2007

Transaksi ElektronikDi Luar Jangkauan Hukum?

Pada acara diskusi pencegahan korupsi privatisasi (divestasi) BUMN, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menegaskan kembali pernyataannya di Kompas 8 Juni 2007 bahwa tindak pidana pasar modal sulit ditindak. Konon, hal itu dikarenakan transaksi elektronik tidak diterima sebagai alat bukti di pengadilan.
Lebih dari satu dasawarsa transaksi bursa saham (Bursa Efek Jakarta) berbasis elektronik. Baik dari sisi penempatan dan mempertemukan order beli-jual antarbroker (JATS-BEJ) maupun proses penyelesaiannya (eClears-KPEI), serta penyimpanannya di rekening efek (scriptless: cBest-KSEI) dan dana (perbankan).
Kalau diurut ke penerima manfaat, transaksi broker tersebut berasal dari order nasabah melalui medium sistem elektronik basis data (on-line trading) maupun pita suara (rekaman pembicaraan telepon). Proses penyelesaian ke nasabah pun berbasis elektronik, yaitu rekening bank (kliring perbankan: BI-RTGS) dan sub-account rekening efek di cBest.
Berarti, pernyataan otoritas pasar modal mengonfirmasi bahwa transaksi BEJ berjalan tanpa koridor kepastian hukum. Padahal, saat ini rata-rata nilai transaksi hariannya telah mencapai angka sekitar Rp 4 triliun. Perputaran tersebut haruslah terbebas dari risiko bawaan sistem keuangan, yakni sarana kejahatan luar biasa pencucian uang.
Dari sisi prinsip tata kelola perekonomian, para pemimpin dunia (termasuk Indonesia), melalui konvensi PBB tentang antikorupsi (UNCAC) telah menyepakati pencegahan dan penindakan tindak pidana pencucian uang sebagai bagian tak terpisahkan dari tindak pidana korupsi itu sendiri. Tak usah kaget, di negeri ini penyakit inkonsistensi birokrasi telah menjadi lumrah untuk diterima sebagai kenyataan.
Terobosan hukum
Debat transaksi elektronik sebagai alat bukti hukum bermuara ke kitab undang-undang hukum beracara di pengadilan (KUHAP). Banyak kajian hukum cyber crime mengarah ke Pasal 184 KUHAP, yakni surat elektronik belum memiliki kekuatan hukum tertulis sebagai dokumen asli (fisik).
Alasannya, interpretasi keotentikan dokumen bisa menimbulkan debat kusir di pengadilan, yaitu munculnya argumentasi dokumen dipalsukan melalui fraud di sistem komputer itu sendiri (cyber crime). Itulah sebabnya, upaya terobosan hukum dilakukan untuk menegaskan unsur-unsur pidana cyber crime itu sendiri, melalui Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE).
RUU ITE telah diajukan sejak pemerintahan Megawati (2003) ke DPR. Saat ini statusnya masih dibahas di DPR. Lemahnya komitmen legislasi RUU ITE menjadi undang-undang tidak beralasan mengingat pemanfaatan transaksi elektronik (e-commerce) telah meluas, seiring perkembangan internet itu sendiri.
Dari sisi sistem dan kedudukan hukum, RUU ITE (apabila diundangkan) adalah sejajar dengan Undang-Undang Nomor 8 tentang Pasar Modal (UU PM). Dalam UU PM Angka 28 Pasal 1 telah diatur bahwa transaksi bursa adalah kontrak yang dibuat anggota bursa efek (broker) sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh bursa efek.
Sistem dan kedudukan operasional dan peraturan bursa sesuai perundangan harus mendapat persetujuan otoritas (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan/Bapepam-LK), agar tidak menjadi perbuatan melawan hukum. Berarti, transaksi elektronik di bursa telah memiliki kekuatan hukum perundang-undangan, dengan atau tanpa UU ITE.
Otorisasi keabsahan hukum transaksi elektronik di bursa telah diratifikasi seiring diterimanya sistem order melalui digital signature kode broker di sistem bursa (JATS, eClears, dan cBest) serta nomor rekening di sistem perbankan. Bahkan, kita tidak terbelakang dari sisi yurisprudensi diterimanya alur rekening dana sebagai alat bukti hukum di pengadilan.
Bukankah penetapan hukum oleh hakim di pengadilan menjadi sumber hukum itu sendiri (yurisprudensi), dengan catatan rekening bank (yang juga telah berbasis elektronik) dan pembicaraan (penyadapan) telepon telah menjadi alat bukti di pengadilan. Terlebih, terkait pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi melalui peradilan tindak pidana korupsi kerap melakukan terobosan hukum tersebut.
Di sisi lain, peratifikasian tindak pidana pencucian uang dalam sistem dan kedudukan hukum perundang-undangan Indonesia (UU Nomor 15/2002) menunjukkan verifikasi alat bukti transaksi keuangan antaryurisdiksi lembaga negara, yang semuanya berbasis elektronik, dapat dilakukan melalui kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Masa depan
Kalaupun ada interpretasi kekosongan hukum tentang alat bukti transaksi elektronik, terkait belum disahkannya RUU ITE, hal itu hanya menyangkut transaksi on-line trading di internet. Namun, saat ini hal tersebut belum terimplementasi secara teknis.
Dalam hal ini proses pengalihan sistem JATS dari jaringan tertutup LAN (local area network) di lantai bursa ke jaringan terbuka remote trading WAN (wide area network) masih dalam proses stabilisasi. Berarti, ratifikasi on-line trading masih dalam proses tercapainya implementasi integrasi sistem elektronik transaksi bursa (STP: straight through processing).
Kalaupun on-line trading akan diterapkan, sebagaimana terjadi di banyak negara, pasar modal dapat menetapkannya dengan atau tanpa UU ITE. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, UU PM memberi otoritas kewenangan untuk menetapkan persyaratan transaksi bursa.
Sikap frustrasi Bapepam-LK tentang transaksi elektronik, meski dimilikinya kekuatan sistem dan kedudukan hukum dan yurisprudensi beracara di pengadilan, melahirkan pesimisme "jangan-jangan UU ITE, jika diundangkan, akan mengalami nasib serupa, yakni lemahnya birokrasi menegakkan hukum e-commerce itu sendiri".
Apa masalah kita? Sistem hukum atau komitmen melaksanakan dan menegakkan hukum itu sendiri? Ini karena teknologi dengan standar keamanannya justru membuat transaksi ekonomi menjadi terlacak. Bukan sebaliknya, teknologi jadi sarana "alsani" (alasan sana sini) atas rendahnya komitmen birokrat untuk menciptakan sistem ekonomi negara yang bersih dan berdaya guna. Semoga Indonesia menjadi negeri yang lebih baik.
Yanuar Rizky Analis Independen Aspirasi Indonesia Research Institute (AIR Inti)www.elrizky.net

1 comment:

Bagus Prabangkara said...

UU ITE itu kelihatan perlu dalam rangka memberi kepastian hukum terhadap para pihak yang bertransaksi. Misalnya, kalo ada kesalahan sistem, sehingga transfer kita (yang melalui e-banking) gak sampai ke tujuan, maka aturan dalam UU ITE memberi kepastian hukum, bahwa yang bertanggung jawab atas kegagalan transaksi tersebut adalah penyedia sistem elektroniknya, dalam hal ini bank penyelenggara e-banking.
Mengenai kesan "ribet" dalam pelaksanaan transaksi (misalnya harus melibatkan CA), .. yah .. memang dalam dunia IT, keamanan biasanya berbanding terbalik dengan kenyamanan. Semakin aman transaksi yang diharapkan, akan semakin "ribet" prosedur yang harus dilakukan.
:)