Wednesday, October 31, 2007

Reformasi Birokrasi (lagi)!

Birokrasi adalah dunia dan seni tersendiri. Karena itu jika mau memperbaikinya haruslah dari arah yang benar dan cara yang benar. Sangat banyak tulisan atau ulasan ttg reformasi birokrasi ini (kita sebut saja RB). Namun nyaris hampir semua ulasan tersebut tidak mau menyentuh masalah fundamental. Yaitu perbaikan kesejahteraan dan sanksi pada sisi lain.

Hal ini sangat dihindari karena ternyata kemunafikan bangsa dan pemimpin yang berkuasa saat ini masih sangat besar. Kondisi ini diperparah lagi oleh perilaku menjurus diskriminasi atau katakanlah sudah diskriminasi dengan membedakan PNS satu institusi dengan institusi lainnya. Bagaimana bedanya dosen dengan pegawai Depkeu? Kira-kira demikian Mantan Rektor UGM Sofian Effendi memprotes diskriminasi perbaikan tunjangan di depkeu dengan perbaikan kesejahteraan dosen/profesor yang hanya berkisar Rp 3 jutaan sebulan, sementara Depkeu bisa membawa takehome pay sebesar Rp30-50 juta.

KOndisi perbaikan juga diperparah oleh kemunafikan banyak pihak sendiri tentang jabatan di birokrasi. Masih sangat banyak orang partai atau partisan dan para dosen sendiri yang berlomba mengejar jabatan di birokrasi. "Gaji boleh kecil, tapi sabetan...alah mak jang!!!" begitu kira-kira cemeeh masyarakat selama ini ttg PNS. Tapi cemeehan itu tidak mengurungkan niat berbagai pihak. Karena aji mumpung dan sementara, nanti kan mereka bisa balik ke kampus atau ke partai.

Siapa yang tidak silau ketika menjadi komisaris satu atau dua atau bisa tiga BUMN sekaligus di jaman ORBA; hal yang kelihatannya masih berlanjut hingga kini. TO some extent, malah tambah parah dan tambah halus permainannya.

KArena itu kita menunggu apakah para pejabat di Depkeu misalnya, setelah efektif menerima tunjangan jabatan per 1 Oktober 2007 lalu dengan jumlah yang "RUAR BIASA" besar itu, apakah masih dibiarkan menjabat komisasris di sini sana?

Sekali lagi, program RB yang dilaksanakan hari ini hanya akan menjadi kumpulan album kenangan atau nostalgia belakan jika tidak menyentuh dua hal dasar di atas. Gaji, bukan tunjangan yang harus diperbaiki dan pelaksanaan sanksi secara tegas tanpa diskriminasi.

Kasus pembunuhan MUnir menarik jika dilihat dari sisi birokrasi. MAntan Dirut Garuda dipersalahkan karena memberikan semacam SPPD kepada Munir yang dibuat setelah kejadian atau setelah yang bersangkuta melakukan perjalanan. Kasus sejenis sangat sering terjadi di tingkat pejabat birokrasi. Namun karena tidak ada masalah di diamkan saja. Bahkan sering terjadi seorang pejabat tinggi yang pergi berkunjung kesuatu tempat misalnya mendampingi isteri atau suami berdinas dan kebetulan meninggal dunia, maka SPPD bisa dibuat menyusul.

Banyak lagi hal-hal dan kasus RB yang terjadi dan sangat bertentangan dengan semangat peningkatan gaji dan pelaksanaan sanki. Sekali lagi, jika uasaha yang dilkukan untuk RB tidak berlandaskan keadilan thd kedua faktor tersebut, niscaya hanya akan menghabiskan anggaran dan menebalkan sifat kemunafikan.

Masih ingat kasus ROhmin Dahuri? atau pembelian tanah untuk gedung, atau juga pembangunan gedung MK yang sangat mewah di saat rakyat kekrangan subisidi bbm dan lain sebagainya.

Hal-hal itu semua terjadi karena lobbi, partai politik dan keinginan untuk tidak memperbaiki secara hakiki gaji PNS, tetapi senang menyalahkan mereka yang hanya bisa makan gaji untuk satu atau dua minggu. Tetapi, pejabat penuh dengan tunjangan dan fasilitas. LIhatlah berbagai jenis mobil ber CC besar berseliweran di jalan dengan pelat merah, pelat hijau, atau pelat merah yang dihitamkan oleh polisi setelah membayar sejumlah uang.

Ah....capek dech.

ES

====================

Selasa, 30 Oktober 2007
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/30/Politikhukum/3962105.htm

Birokrasi (1)Membentuk Sistem Berbatas Waktu

Sidik Pramono
Orang bisa jadi salah, tetapi bentuklah sistem yang benar untuk meminimalisasi tingkat kerusakan yang ditimbulkannya. Cepat atau lambat, sistem yang benar akan memagari pelaku di dalamnya berbuat menyimpang.
Ungkapan usang itu mungkin menjadi gambaran keinginan pemerintah melaksanakan reformasi birokrasi dengan menyiapkan seperangkat aturan untuk membentuk sistem birokrasi yang "benar", yaitu birokrat yang berfungsi pemberdayaan, fasilitasi, dan pelayanan. Rakyat berhak mendapatkan pelayanan memadai dari negara.
Dalam sejumlah rapat kerja dengan Komisi II DPR, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi menyebut sembilan rancangan undang-undang (RUU) yang akan dijadikan landasan hukum dan fondasi reformasi birokrasi, termasuk RUU Administrasi Pemerintahan yang drafnya digodok sejak sekitar tiga tahun lalu. RUU itu terinspirasi dari UU Prosedur Administrasi Negara Jerman (Verwaltungsverfahrensgesetz) yang dibuat pada 1976. Urgensi RUU ini, antara lain, adalah perlindungan masyarakat dari tindakan birokrat yang sewenang- wenang. RUU Administrasi Pemerintahan menjamin hak dasar warga negara dan terselenggaranya tugas negara sesuai dengan harapan dan kebutuhan rakyat.
RUU Administrasi Pemerintahan memungkinkan hak warga ikut mengawasi penyelenggaraan pemerintahan. Warga bisa mengajukan keberatan ke instansi pemerintah atau melalui Komisi Ombudsman Nasional (KON), atau melalui lembaga lain. Juga dimungkinkan bagi warga menggugat keputusan atau tindakan instansi pemerintahan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hak itu diyakini dapat memagari instansi pemerintah untuk tidak mengambil keputusan sewenang-wenang.
RUU itu jelas mencantumkan hak dengar pendapat pihak yang terlibat serta hak mendapat akses dan kesempatan melihat dokumen yang bisa mendukung kepentingannya dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan. Dengan adanya hak dengar pendapat, aparat administrasi pemerintahan wajib memberikannya sebelum membuat keputusan yang akibatnya memberatkan, membebani, atau mengurangi hak perorangan.
Upaya administratif adalah keberatan perseorangan, kelompok warga, atau organisasi terhadap isi atau pelaksanaan suatu keputusan administrasi pemerintahan. Keberatan ditujukan pada atasan dari pejabat administrasi pemerintahan atau badan yang mengeluarkan putusan administrasi pemerintahan.
Keputusan administrasi meliputi semua keputusan tertulis atau tidak tertulis, yang berisi tindakan hukum atau tindakan material yang bersifat konkret, individual, dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Keputusan elektronis juga dimungkinkan dan berkekuatan hukum yang sama dengan keputusan tertulis. Keputusan tidak tertulis harus diformalisasikan dalam bentuk tertulis atau elektronis, jika di dalamnya terdapat kepentingan pihak yang bersangkutan atau diminta oleh yang bersangkutan.
Upaya administratif ini diajukan selambat-lambatnya 30 hari sejak diumumkannya keputusan oleh pejabat administrasi pemerintahan. Jika keberatan diterima, atasan pejabat yang memutuskan bisa membatalkan dan/ atau memperbaiki. Upaya administratif bisa menunda pelaksanaan pelaksanaan keputusan itu, kecuali menyangkut penerimaan dan/atau pengeluaran keuangan negara, tindakan kepolisian yang tak dapat ditunda, atau menyangkut kepentingan umum yang sangat mendesak.
Salah satu materi penting lain adalah ikatan terhadap pejabat administrasi pemerintahan. Pejabat mesti bertanggung jawab dan terikat atas keputusannya selama dan setelah masa jabatannya. Karena itu, keputusan yang dibuat tidak boleh berlaku surut. Pelanggaran bisa berbuah sanksi, mulai teguran, pemberhentian, dikurangi hak dan/atau dicabut hak jabatan dan pensiun, serta publikasi melalui media massa.
Tantangan
Siapa pun tentu tak akan menolak gagasan besar yang menginisiasi RUU itu. Meski begitu, bukan berarti gagasan itu tanpa tantangan. Rakyat ragu karena gagasan besar pun terkadang lemah dalam implementasi. Kalau menjadi UU, diseminasi informasi masih merupakan problem mendasar di negeri ini. Apalagi jika masih banyak peraturan turunan dari UU itu yang harus disiapkan pemerintah.
Ketentuan dalam RUU pun potensial mengganjal keberatan masyarakat. Misalnya soal upaya administratif yang dibatasi pengajuannya maksimal 30 hari sejak pengumuman keputusan oleh pejabat administrasi pemerintahan. Problemnya, bagaimana jika batas itu terlampaui karena ketidaktahuan pihak yang terlibat? Merujuk pengalaman yang selama ini kerap dikeluhkan, adakah jaminan keputusan akan diumumkan secara luas?
Soal perkecualian dalam hak dengar pendapat serta hak mendapat akses dan kesempatan melihat dokumen pun bisa menjadi masalah tersendiri. Batasan "membahayakan kepentingan negara dan/atau melanggar kerahasiaan pihak ketiga" serta "untuk melindungi kepentingan umum; tidak mengubah beban individu atau anggota masyarakat bersangkutan; serta menyangkut penegakan hukum" bisa menjadi rumusan sumir. Administrasi pemerintahan bisa saja merumuskan secara sepihak.
Ketentuan diskresi pun berisiko menjadi masalah tersendiri. RUU memang menyebutkan, kewenangan pejabat administrasi pemerintahan dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah yang belum diatur dalam UU tidak boleh menjadi diskresi bebas (freies ermessen) dan sewenang-wenang (willkuerliches ermessen). Memang ada ketentuan, keputusan yang bersifat diskresi pun harus diberi alasan faktual dan hukum yang menjadi dasar pembuatan keputusan itu. Pejabat yang menggunakan diskresi juga wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dalam bentuk tertulis dan masyarakat yang dirugikan yang diselesaikan melalui proses peradilan. Ketentuan lebih detail mesti termuat dalam peraturan pemerintah yang diturunkan dari undang- undang ini nanti, seperti kapan diskresi boleh digunakan. Tanpa itu, diskresi akan menjadi kewenangan tanpa batas dan rawan diselewengkan.
Pengaturan soal keberatan masyarakat pun bakal memberikan beban tambahan kepada KON. Ketika masuk laporan keberatan ke KON, mereka harus memberikan rekomendasi kepada instansi yang mengeluarkan keputusan untuk memperbaiki sebagian, keseluruhan, atau bahkan membatalkan atau menyatakannya batal demi hukum. Demikian pula, PTUN bakal menerima limpahan perbuatan melanggar hukum administrasi pemerintahan oleh pejabat administrasi pemerintahan yang sudah didaftar tetapi belum diperiksa di pengadilan di lingkungan peradilan umum. Sudahkah institusi ini mengantisipasi bebannya begitu UU disahkan?
Pemerintah berencana segera menyampaikan draf RUU ke DPR dan ingin segera membahasnya, untuk dapat disahkan sebagai UU. Namun, menurut anggota Badan Legislasi DPR, Saifullah Ma’shum (Fraksi Kebangkitan Bangsa, Jawa Timur V), prosesnya masih lama. Sejauh ini RUU Administrasi Pemerintahan baru dalam tahap diputuskan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2008. Kesepakatan itu dicapai dalam rapat Baleg DPR dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) pada awal Oktober lalu.
Dari sisi proses dan prosedur, RUU Administrasi Pemerintahan tak mungkin diselesaikan cepat karena Menneg PAN masih "berutang" penyelesaian RUU Pelayanan Publik yang masuk Prolegnas 2007. RUU itu pun tak kalah urgensinya ketimbang RUU Administrasi Pemerintahan. "DPR dan pemerintah harus segera menyelesaikan dulu RUU Pelayanan Publik kalau mau RUU Administrasi Pemerintahan segera dibahas,"ujar Saifullah.
Saifullah sepaham, RUU Administrasi Pemerintahan diperlukan oleh Menneg PAN sebagai payung hukum reformasi birokrasi. Namun, keliru jika kemudian dianggap hanya RUU itulah yang menentukan efektivitas jalannya reformasi birokrasi. Apalagi, selama ini ada sejumlah peraturan pemerintah dan peraturan presiden yang bisa dijadikan landasan dan pedoman percepatan reformasi birokrasi.

Rabu, 31 Oktober 2007
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/31/Politikhukum/3963746.htm

Reformasi Birokrasi (2)Menanti Perlawanan Korupsi dari Dalam

Sidik Pramono
Bisa dibayangkan bagaimana jika mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan Andin H Taryoto dan juga Kepala Bagian Umum di Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Didi Sadili berani menolak "perintah" Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri untuk menghimpun dana nonbudgeter?
Kalau saja ada keberanian menolak perintah yang menyimpang, pasti tidak akan terjadi saling lempar tudingan antara mantan Kepala Biro Keuangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hamdani Amin, mantan Sekretaris Jenderal Safder Yusacc, dan mantan Ketua KPU Prof Nazaruddin Sjamsuddin mengenai siapa yang punya ide memerintahkan dan bertanggung jawab mengenai pengumpulan dana taktis dari sejumlah perusahaan rekanan. Kalau saja "perlawanan" dilakukan, bisa jadi para bawahan itu tidak harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Birokrasi negara ini terlihat semakin buruk ketika sistem tak memungkinkan seorang pegawai yang baik untuk melawan perintah atasannya yang menyimpang. Kasus dana nonbudgeter atau dana taktis di instansi pemerintah bukanlah hal baru. Barulah ketika KPK turun tangan, terbeberlah fakta mengenai praktik menyimpang di lembaga negara itu.
Bisa jadi, para pegawai negeri di Indonesia terjangkit gejala "kepatuhan buta" atas perintah atasannya. Perdebatan sulit dilakukan karena yang lebih dominan adalah ketakutan bahwa sanggahan bakal meninggalkan cap buruk yang memengaruhi kelanjutan kariernya.
Apalagi kalau ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian diimplementasikan begitu saja tanpa sikap kritis: "Setiap Pegawai Negeri wajib menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab."
Mentalitas birokrasi
Mengutip Ketua Program Magister Manajemen Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali (Kompas, 7/3/2007), ada dua kemungkinan yang membuat birokrasi kita tampak ragu, lamban. Para pejabat birokrasi selalu menunggu petunjuk karena hal itu merupakan bentuk ekspresi sopan santun kepada atasan agar tidak menonjolkan diri atau terkesan sok tahu. Namun, bisa juga hal itu terjadi karena superioritas atasan. Bawahan "terpaksa" meminta petunjuk karena atasannya menghendaki demikian.
Buruknya, bagaimana jika petunjuk yang diberikan atasan justru menyimpang? Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 mengenai Peraturan Disiplin Pegawai Negeri tercantum ketentuan bahwa pegawai "segera melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara/pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material".
Artinya, butuh kekuatan sangat besar, keberanian luar biasa, untuk melawan sistem yang dikendalikan individu bermental koruptif.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Taufiq Effendi dalam berbagai kesempatan menyatakan, RUU Administrasi Pemerintahan nantinya bakal menjadi instrumen untuk menangkal korupsi di birokrasi. RUU yang naskahnya sudah digodok di Kementerian Negara PAN sejak 3,5 tahun lalu itu diyakini bisa menjadi dasar hukum dan pedoman bagi setiap pejabat administrasi pemerintahan, mencegah penyalahgunaan kewenangan, dan menutup kesempatan untuk melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam draf RUU memang dinyatakan bahwa dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan, pejabat tidak berwenang terlibat dalam penetapannya jika merupakan pihak yang terlibat, kerabat atau keluarga pihak yang terlibat, ataupun wakil pihak yang terlibat.
Juga dilarang terlibat jika merupakan pihak yang bekerja dan mendapatkan gaji dari pihak yang terlibat ataupun menjadi pihak yang memberi rekomendasi terhadap pihak yang terlibat. Larangan itu juga berlaku jika ada hubungan khusus dengan pihak yang terlibat, seperti teman, tunangan, pengampu, dan pemelihara.
Pihak yang terlibat dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan dapat memberikan keterangan mengenai dugaan dan kecurigaan tentang keberpihakan pejabat dalam proses pengambilan keputusan.
Keberpihakan itu diartikan sebagai upaya untuk memengaruhi pembuatan keputusan yang menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya, antara lain dalam kegiatan bisnis maupun kegiatan sosial. Keterangan itu disampaikan kepada atasan pejabat yang bersangkutan. Berikutnya, atasan wajib menyampaikan secara tertulis keterangan itu kepada pimpinan instansi yang bersangkutan.
Namun, bagi Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin, perlu terobosan untuk menembus "kepatuhan buta" kepada atasan, sebagaimana membudaya di Indonesia. Di Jerman, pegawai negerinya bertanggung jawab penuh "secara pribadi" terhadap kesesuaian hukum pelaksanaan tugas kedinasannya.
Undang-Undang Pegawai Negara Bradenburg, misalnya menyebutkan, seorang pegawai berkewajiban melaksanakan perintah kedinasan. Dalam pelaksanaan perintah kedinasan itu, tanggung jawab terletak pada pemberi perintah. Seorang pegawai tidak harus tunduk pada perintah yang dalam pelaksanaannya bertentangan dengan undang-undang hukum pidana.
Kalaupun kemudian sanggahan itu diabaikan para atasan dan perintah dinas mesti dipertahankan, seorang pegawai harus melaksanakan perintah kedinasan itu, sepanjang dengan kesadaran bahwa perintah itu tidak melanggar ketertiban dan kejahatan pidana atau tidak melanggar serta melecehkan hak asasi manusia. Tanggung jawab pribadinya lepas dan atasannya harus memberikan pengesahan perintah itu secara tertulis jika diminta oleh penyanggahnya.
Jika timbul masalah pada kemudian hari, atasan pun tak bisa berkelit lagi. Kewajiban menyanggah bakal menjadi "kontrol internal", bagi pegawai bersangkutan dan sekaligus bagi para atasannya.
Jadi, tampaknya masih akan panjang jalan mewujudkan birokrasi yang bersih dari mentalitas koruptif. Butuh terobosan luar biasa, terutama dari dalam mesin birokrasi sendiri. Saling kontrol, saling mengingatkan, saling mengawasi merupakan budaya bagus yang mesti dikembangkan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan "perlawanan dari dalam". Jika diperintah untuk berbuat salah, kenapa mesti takut menyanggah?

No comments: