Thursday, April 05, 2007

TRAGEDI....again?

It's like a big thunder on the breaking day. Again, another student was "murdered" by the ignorance of all Indonesian.

Fatal, brutal, and the killer could be just hung, or sent to death penalty.

ES

=========================
Five suspects in fatal school beating

http://www.thejakartapost.com/detailheadlines.asp?fileid=20070405.A05&irec=4

Yuli Tri Suwarni, The Jakarta Post, Sumedang (5 April 07)

Police have named five students at the Civil Administration Institute (IPDN) in Sumedang, West Java, as suspects in the fatal beating of a fellow student.
Cliff Muntu, 20, a second-year student from Manado, North Sulawesi, died Monday night after being assaulted by at least 10 older students.
Sumedang Police chief Adj. Sr. Comr. Syamsul Bahri said Wednesday officers had gathered evidence from the scene of the attack, and had been able to so far identify five suspects.
The five have yet to be detained, Syamsul said. "We are waiting to see how the case develops as we gather more evidence from our investigation."
West Java Police spokesman Sr. Comr. Dade Ahmad said a postmortem exam of the victim by doctors at Hasan Sadikin Hospital in Bandung found numerous wounds and contusions on the victim's body, confirming he was beaten to death.
"There were contusions across the chest as well as bleeding from the head, mouth and across his back,"
Cliff's death is only the most recent in a series of violent hazing of younger students at the institute, which recently changed its curriculum in an attempt to end the culture of violence that has plagued the school for years.
"I got information from the victim's fellow students that he was being 'trained' by older students because he was out of position during a flag-raising ceremony," said Inu Kencana Syafiie, a lecturer at the institute.
Another version of the incident claims Cliff was being punished because he was slow to respond after being called over by older students.
Inu said that since 1994 there had been 37 incidents of violence involving students at the institute, where bureaucrats are trained. In 1994 a student from East Java died after an assault that left him with several broken ribs and his chest covered in bruises. No postmortem examination was conducted on the victim of that assault.
It was only with the arrival of political reform in the country in 2001 that the media began to report on violence at the institute. The first case to receive major media coverage was the beating death of Eri Rahman by seven older students.
Two years later Wahyu Hidayat died after being beaten by nine fellow students. That case ended in the courts, with the nine assailants receiving jail time, Inu said.
He said that in March 2005, the reputation of the institute, which has changed its curriculum to try and move away from the military-style education of the past, was further tarnished by a brawl in the canteen involving both younger and older students. The fight left one student, Asep Riyanto, with a broken nose.
"This shows the culture of violence at IPDN continues to this day. Many high-ranking officials try to cover up the incidents so the students feel as if they are protected, no matter what they do," Inu said.

========


Kamis, 05 April 2007 http://www.media-indonesia.com/editorial.asp?id=2007040422383006

EDITORIAL Media Indonesia

Institut Jagal di Jatinangor

PEMBUNUHAN terjadi lagi di kampus Institut Pendidikan Dalam Negeri yang sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri. Seorang siswa yang di sekolah itu disebut dengan istilah praja tewas setelah dianiaya para seniornya. Siswa nahas itu bernama Cliff Muntu dari Manado, Sulawesi Utara.
Dari hasil autopsi menunjukkan pembunuhan terhadap Cliff dilakukan dalam semangat kekejaman dan keganasan yang tinggi. Jantung Cliff memar dan tulang dada retak. Ia terkapar di barak DKI karena dihajar dengan tendangan dan tonjokan seniornya yang berjumlah 13 orang atas nama disiplin. Cliff memang terlambat datang memenuhi panggilan kakak kelasnya.
Nafsu membunuh di kampus milik Departemen Dalam Negeri di Jatinangor, Jawa Barat, itu tergolong tinggi. Mengubah nama perguruan dari sekolah tinggi ke institut--salah satu alasan adalah untuk menghilangkan budaya kekerasan--ternyata tidak berpengaruh. Para calon pamong praja, sebagian besar sudah berstatus PNS, itu tetap saja bernafsu sebagai tukang jagal. Mereka membunuh dengan alasan sepele, tetapi atas nama disiplin dan gengsi angkatan.
Pembunuhan, entah di jalanan entah di kampus, adalah kejahatan. Bagaimana bisa diterima akal sehat bila sebuah kampus yang mendidik calon pamong praja menjadi persemaian kejahatan? Apa yang bisa diharapkan dari tamatan kampus dengan watak seperti itu?
Data berikut ini seharusnya cukup dijadikan alasan untuk menutup sekolah kedinasan yang menumbuhkan kehausan membunuh sangat tinggi itu. Padahal IPDN bukan sekolah militer yang salah satu doktrinnya adalah membunuh atau dibunuh. Maklum militer dididik untuk berperang.
Dari penelitian seorang mahasiswa program doktor di Universitas Padjadjaran diperoleh data yang mencengangkan. Dari 2000 sampai dengan 2004, terjadi 660 kasus seks bebas di kalangan siswa IPDN. Dalam kurun yang sama ditemukan 35 kasus penganiayaan berat, 125 kasus narkoba, dan 9.000 penganiayaan ringan. Cliff Muntu adalah korban meninggal ke-10 sejak 1994.
Menurut kesimpulan sementara penelitian tersebut, pelanggaran yang begitu banyak dan tergolong berat itu sangat sedikit diganjar sanksi oleh para pengelola perguruan.
Disiplin memang bagus. Tetapi disiplin yang berujung pada pembunuhan adalah salah kaprah. Sistem asrama sebenarnya dirancang untuk menggugah integrasi dan sosialisasi. Tetapi, asrama di IPDN dikaveling berdasarkan daerah dan berubah menjadi enklave keganasan. Cliff yang menghuni barak Sulut dihajar ketika berada di barak DKI.
Keganasan di kalangan praja IPDN tidak hanya terjadi di kampus. Di luar kampus pun mereka bisa melakukan kebrutalan terhadap sesama siswa. Kejadian di Padang, Sumatra Barat, pada 2005 membuat kita tidak bisa mengerti.
Aidil, salah satu siswa, berlibur Lebaran di Padang, kota asalnya. Dalam rangka silaturahmi Idul Fitri, ia mendatangi rumah seniornya yang juga berlibur di kota yang sama. Aneh bin ajaib, Aidil yang datang untuk berjabat tangan sambil memohon maaf lahir dan batin disambar sang senior dengan tendangan dan tonjokan di Hari Lebaran. Aidil akhirnya memutuskan tidak melanjutkan studinya di IPDN.
Kampus yang menjadi enklave keganasan dan kebengisan seperti ini tentu tidak pantas dipertahankan. Kematian Cliff tidak cukup hanya ditelusuri dari sisi kejahatan dan penegakan hukum, tetapi sekaligus mempertanyakan secara serius eksistensi IPDN.
Pamong praja yang dihasilkan dari sebuah kampus dengan kultur keganasan tukang jagal menjadi ironi terbesar sebuah institusi pendidikan. Juga ironi memalukan bagi sebuah negara yang masih menganut kebijakan kepegawaian dari sumber yang mengangkangi peradaban dan kemanusiaan.

No comments: