Wednesday, May 19, 2010

Habis manis sepah dibuang kah?

Sebagai mantan pengamat, SMI seyogyanya sudah tahu berbagai konsekuensi ketika masuk kedunia politik Indonesia. Menang atau kalah bukan persoalan utama, yang pasti kepergian SMI - meski masih misteri penyebabnya bagi saya - adalah kerugian bagi Indonesia. Sebuah bank bukanlah tempat yang baik untuk orang yang punya ide...alisme. Dan yang parah lagi, birokrasi semakin berantakan, ketinggalan dan menjauh dari reformasi karena ada diskriminasi remunerasi!!!! Saran saya, untuk sementara "silent is golden!" dari pada ngedumel dan ngomong ngelantur!
===================
KEBIJAKAN PUBLIK
Sri Mulyani Mengaku Menang
Rabu, 19 Mei 2010 | 05:17 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/19/05174819/sri.mulyani..mengaku.menang

Jakarta, Kompas - Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kemunduran dirinya dari posisi menteri keuangan dan memilih pergi ke Washington DC untuk menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia adalah bukan suatu kekalahan. Kepergiannya justru merupakan kemenangan karena dirinya tidak ingin didikte oleh kekuatan politik yang tidak menghendaki keberadaannya lagi dalam jajaran pejabat publik.
”Saya berhasil dan menang karena tidak didikte oleh siapa pun, termasuk oleh orang yang tidak menghendaki saya. Saya merasa berhasil karena saya tidak mengingkari nurani saya serta masih menjaga martabat dan menjaga harga diri saya. Maka, saat ini saya menang,” kata Sri Mulyani saat menutup kuliah umum tentang kebijakan publik dan etika publik di Jakarta, Selasa (18/5).
Kuliah umum ini menjadi testimoni Sri Mulyani untuk pertama kalinya di depan umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya di balik kemundurannya dari posisi menteri keuangan. Sri Mulyani menegaskan bahwa kepergiannya ke Washington dan mundur dari posisi menteri keuangan adalah karena sumbangannya sebagai pejabat publik sudah tidak dikehendaki di tengah situasi politik yang sudah kurang beretika.
”Kalau hari ini ada yang menyesalkan atau menangisi kenapa Sri Mulyani memutuskan mundur dari menkeu. Ini suatu kalkulasi bahwa sumbangan saya atau apa pun yang saya putuskan sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki di dalam sistem politik, di mana perkawaninan kepentingan itu sangat dominan. Banyak yang mengatakan ini adalah kartel, saya lebih suka mengatakannya kawin walau jenis kelaminnya sama,” ujarnya.
Menurut dia, konsep etika dan pandangan tentang perlunya mencegah konflik kepentingan bagi pejabat publik di Indonesia menjadi barang sangat langka. Orang yang menegakkan etika itu malah dianggap orang aneh.
”Saat saya di IMF (Dana Moneter Internasional), kalau kita ragu soal norma konflik kepentingan, bisa bertanya. Hasilnya adalah keputusan yang baik sehingga bekerja di lembaga seperti itu sangat mudah,” ujarnya.
Perbedaan terjadi saat kembali ke Indonesia. Pengambilan kebijakan publik sangat kental konflik kepentingan. (OIN)

No comments: