Tuesday, May 13, 2008

Editorial Media ttg Kisruh Minyak Indonesia

Dari dulu juga sudah dikatakan bahwa yang paling penting itu adalah bagaimana memanfaatkan kenaikan harga minyak yang (sebenarnya) sangat kita harapkan sebagai produsen minyak. Tapi jangan kan gaji PNS atau kesejahteraan karyawan meningkat dan daya beli berlipat, eh..kita malah semakin terpuruk karena produksi tidak mampu mengoffset besaran subsidi yang akan semakin membengkak.

Alhasil, bukannya tambah sejahtera...bangsa ini semakin menderita.

Belum lagi kalau di telaah lebih lanjut kebijakan energi kita yang memang semakin sembrawut. Cobalah renungkan, berpuluh-puluh tahun Pertamina "gagal" perform, tetapi ketika dibentuk lembaga atau komisi baru BP MIgas dan BPH Migas, malah jadi tempat penampungan orang2 PErtamina. Kedua, kebijakan energi berantakan dimana gas dalam bentuk LNG terus menerus diekspor. PAdahal SBY dalam kongres GMNI pada Maret 2006 lalu TEGAS-TEGAS telah menyatakan bahwa seluruh kontrak ekspor LNG yang habis masa lakunya pada 2009/2010 tidak diperpanjang. Tapi ternyata kasak-kusuk berbagai pihak jadilah JK dan SBY melawat ke Jepang dan Korea, sehingga semua lupa dan perpanjangan kontrak juga berlanjut untuk puluhan tahun ke depan. Sebelumnya agar tidak terus menerus di ekspor...pernah di ajukan proyek Pipanisasi gas Kalimantan-Jawa dalam acara Infrastructure SUmmit, yang dimaksudkan membantah argumentasi selama ini mengapa gas terus di ekspor karena tidak ada infrastruktur untuk menyalurkannya ke daerah lain. Tetapi setelah proses tender dibuka dan dimenangkan oleh kontraktor lokal, berbagai pihak secara apik "koor" bahwa reservenya tidak mencukupi. Dan proyek pipanisasi tersebut tidak lagi terdengar kabar beritanya.

Berbagai perjuangan lain untuk mengangkat partisipasi masyarakat juga gagal total, terutama untuk mencari energi alternatif. Bayangkan saja, hanya ada di Indonesia dimana masyarakat yang kreatif membangkitkan listrik dari sumber alternatif seperti air dan sekam padi, justru "dihukum" bukannya diberi insentif. Tatkala mereka ingin menjual ekses supply kepada PLN, "boro-boro" listrik mereka dihargai lebih, tetapi oleh peraturan menteri listrik mereka baru akan dibeli dengan harga o,7 HPP tegangan rendah dan 0,8 HPP tegangan menengah. Apak kata dunia? Diluar negeri harganya justru dibeli lebih mahal dari harga pokok penjualan PLN. Jadi bukannya 0.7 atau 0.8 tetapi adalah 1,x; dimana x adalah insentif dari pemerintah atau operator.

Singkat kata...minyak liftingnya gagal, gas dijual habis-habisan, diikuti batu bara yang telah menyulap ratusan orang kaya baru dari Kalimantan dan Jakarta (gak percaya cek properti di Pondok Indah dan Menteng..sudah banyak dibeli mereka), sementara rakyat semakin terteror BBM. Ditambah lagi dengan tidak jelasnya program konversi mulai dari minyak tanah ke briket batu bara; baru mulai dipindah ke gas LPG yang 3 kg (hanya bertahan untuk 2 kali memasak rendang padang); lalu loncat lagi ke bio fuel dan minta petani di daerah kritis menanam jarak dan setelah panen tidak ada yang beli; lalu loncat lagi ke berbagai energi alternatif lain yang tidak terprogram.

Capek deh....dan kalau banyak yang menuntut menteri esdm serta jajaran bertanggungjawab, rasa-rasanya sah sah saja, atau malah terlambat sudah?


Berita terkait: "Open Sourcing" Oil and Gas Sector, Jakarta Post
======
Editorial - Penanggung Jawab Minyak Indonesia 12 Mei 08

Penanggung Jawab Minyak Indonesia

DALAM 10 tahun terakhir, dunia perminyakan Indonesia tidak terlepas dari sosok Purnomo Yusgiantoro. Dialah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Dia menduduki jabatan ini sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri sampai dengan masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini.

Krisis yang sedang melanda negara ini sekarang berkaitan erat dengan pergerakan harga minyak di pasar dunia yang sama sekali berada di luar kemampuan kita untuk mengendalikannya. Namun, menurut kalkulasi pemerintah, krisis minyak yang memaksa kenaikan harga BBM tidak terelakkan disebabkan ketidakmampuan Indonesia meningkatkan produksi minyak mentah.

Di sinilah sesungguhnya malapetaka itu. Realisasi produksi minyak mentah atau lifting Indonesia selama ini tidak pernah melampaui angka 1 juta barel per hari. Tetapi, anehnya, dalam proyeksi penerimaan APBN, minyak mentah Indonesia selalu diasumsikan berada pada tingkat di atas 1 juta barel per hari.

Produksi minyak yang terus merosot, sekarang sekitar 900 ribu barel per hari, terjadi bersamaan dengan optimisme pemerintah yang tinggi bahwa di dalam perut bumi negeri ini tersimpan minyak mentah berlimpah. Lelang blok-blok eksplorasi terus diobral, tetapi hasilnya tidak memuaskan kalau tidak mau dikatakan nihil.

Antara keyakinan pemerintah dan realisasi produksi tidak sejalan. Kita tidak saja dirundung malapetaka harga minyak yang tidak terkontrol, tetapi juga dihajar bencana pembayaran cost recovery yang amat mahal.

Jadi, dalam dunia perminyakan, Indonesia menderita tiga kali. Menderita karena produksi yang terus merosot. Menderita karena harga yang tidak terkontrol. Dan dihajar lagi penderitaan oleh cost recovery yang mencekik. Para analis berpendapat, Indonesia akan menghadapi bencana sosial hebat bila harga minyak menyentuh US$150 per barel.

Bila tren sekarang tidak terbendung, harga US$150 per barel akan terjadi tahun ini juga. Harga minyak sekarang bertengger pada kisaran US$120 per barel.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil tanggung jawab luar biasa berani ketika memutuskan untuk menaikkan harga BBM dalam waktu dekat. Luar biasa berani karena keputusan menaikkan harga BBM mengingkari janji Presiden sebelumnya.

Pada titik ini, sudah sepatutnya kita bertanya, siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab dalam kegagalan produksi minyak Indonesia?

Ketika asumsi APBN dikoreksi berulang kali, seakan-akan kegagalan itu adalah tanggung jawab Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian. Belum pernah kita mendengar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengatakan bertanggung jawab atas kegagalan lifting minyak Indonesia. Kegagalan yang menjerumuskan bangsa dan negara ke bencana yang mengerikan.

Kita tidak tahu apakah Presiden pernah meminta pertanggungjawaban dari menteri yang satu ini atas kegagalan produksi minyak nasional.



for my eyes only!

No comments: