Monday, May 05, 2008

Edamame From Lembang



Kacang kedelai rebus adalah salah satu makanan kesukaan saya. Sejak kecil, ketika itu saya ingat sekali di atas ngarai Bukittinggi, Sumatera Barat, tatkala nenek saya Mardiana membelikannya. Beberapa ikat kacang kedelai rebus segera saya lahap. Sambil mengikuti Sang nenek yang masih terus berbelanja di pasar, persis di pertigaan jalan atas ngarai ke jalan kecil yang menurun tajam menuju lembah ngarai Sianok yang terkenal itu. Kenangan makan kacang kedelai ketika saya masih belum masuk sekolah, TK sekalipun, terus membayangi dan menambah kelezatan butir demi butir kedelai yang langsung saya hisap dari kulitnya.

Asinnya air kacang yang sangat khas telah membuat saya ketagihan. Tanpa malu, sering saya membeli kedelai rebus itu. Sewaktu "sakola" di Bandung pun tidak ketinggalan. Rebusan berbagai macam kacang-kacangan selalu tersedia dengan harga murah di berbagai pelosok Kebun Bibit, Ganesha, atau Kebun Binatang, Plesiran, dan Balubur....daerah yang sering saya lewati menuju kampus. Sewaktu di Asrama F ITB pun saya tinggal melangkahkan kaki ke depan rumah dan membeli beberapa ikat untuk dinikmati.

Tidak lupa pula ketika sudah mulai kerja dan berpenghasilan di tahun 1980-an, termasuk ketika sering menghadiri jamuan makan malam atau makan siang di beberapa rumah makan Jepang. Kedelai rebus atau dikenal juga dengan Edamame dalam "nihongo" ini terus saya nikmati. Saking sukanya saya, terkadang sering saya keasikan makan edamame ini sampai menu utama nya saya tunda.

Ketika sering bolak balik ke Bandung (ketika itu masih lewat Puncak-Cianjur), beberapa kali kami sekeluarga sempat berhenti dan membeli kedelai langsug dari petani yang tengah mencabuti panen mereka. Meski buahnya kecil-kecil kelezatannya tidak ada tara. Sampai di Bandung biasanya kami langsung merebus kedelai untuk dimakan begitu saja sebagai cemilan.

Rasa lezatnya kedelai memaksa saya secara berkala memcarinya di berbagai toko khusus asia ketika dulu menetap selama 2 tahun di US. Berbagai toko dan groceries yang dimiliki oleh etnis keturunan Cina, Kamboja, Thailand dan Vietnam biasanya menjual kedelai ini dengan harga yang cukup mahal, namun memiliki buah besar-besar. Singkat kata, hingga ke ujung New England di US sanapun saya masih menikmati kedelai rebus ini.

Nah..persis kemaren Sabtu 4 Mei 2008, saya pun "terpincut" ketika di sebuah factory outlet juga dijual kedelai rebus ini dalam kemasan kecil dengan harga Rp 5000,0 . Saya pun membeli beberapa bungkus, karena dapat menjadi obat kantuk ketika saya berada di belakang kemudi. Namun kedelai yang menurut penjualnya ditanam di Lembang ini di bungkus dalam kemasan dengan istilah Edamame tadi. "Brand" yang dengan rendah dirinya telah dipakai si pengusaha dan menambahkan bahwa kedelai adalah cemilan no "Iji" di Jepun sana. Alhasil, jadilah "Edamame" from Lembang. Buahnya tidak kalah besar dengan "Edamame" yang sering saya cicipi di berbagai restoran Jepang atau yang pernah saya beli di US dulu.

Tidak ada masalah sebenarnya, kecuali sebaris pertanyaan dalam benak saya yang kembali mengusik rasa nasionalisme. Mengapa untuk menjual atau memasarkan produknya, maka bangsa ini harus rendah diri, tidak ada kebanggaan, merasa minder, dan malu untuk mencari "brand" sendiri dan memuat logo atau slogan yang cukup mentereng dan meningkatkan rasa memiliki sebagai bangsa Indonesia. Jelaslah, ditengah berbagai penyakit sosial dan keterpurukan ekonomi, kita juga memiliki penyakit bermental rendah diri (bukan rendah hati) yang sudah tergolong sangat parah. Semoga Edamame atau kedelai bisa di carikan istilah yang pantas untuk dikemas, apalagi kalau itu harus dari Bandung yang menjadi salah satu kota paling kreatif di Asia Timur.

Semoga, jauhlah rasa minder, rendah diri, tidak berbudaya dari bangsaku Indonesia. AMin.

ES

Kemasan Edamame yang cukup kuat.


Stand Penjualan Edamame di Jl Dago, Bandung

No comments: