.....................Throughout this blog you're invited to share your thought for other people around the world. For those of you -Indonesian- just remember that "Your beloved Indonesia is in waiting, still". So let's do something...............!
"Laughing may be a best medicine, but addressing critiques is the best therapy" (Satriya, 1984)..........
biar aja dikelola orang singapore, kan malah jadi bagus, rapih, tertib, bersih... penumpang jadi nyaman... kalau perlu kita hire sekalian orang singapore buat mengelola negara ini, supaya penduduk jadi merasa nyaman, aman karena tertib, ga da korupsi, ga da markus, ga da penggelapan pajak, ... biar aja bayar mahal, pasti ga akan sebesar uang negara yang hilang karena dikelola bangsa terbelakang ini
eit, ntar dulu .jgn lupa kasus Isat, kalau dikelola terus ama sg masih mending, nanti di jual lagi ke Qatar atau negara lain, setelah dapat untung gede..bandara kita hancur atau tambah hancur lagu bung...makanya ..jangan kelamaan di China he he...main sini.
Om Eddy, Isat itulah salah satu alasan meng hire orang singapore, mereka lihai. Coba lihat bagaimana bangsa kita dikadalin dengan Isat itu. Saham dibeli, profit digerogoti, investasi dicekik, setelah untung bertumpuk dan laju keuntunganny amenurun, saham dijual lagi. Itu kan taktik simpel saja, Bukan salah yang beli, tapi goblok tololnya yang jual. Mosok ga bisa baca taktik begitu. Jangan salahkan orang menjadi pintar. Tapi yang goblok yang harus dikasi pelajaran. Jadi definisi nya MENG HIRE, bukan MENJUAL. Kita bayar kepintaran mereka dengan aset kita yang berlimpah limpah, saking berlimpahnya sampe dikorupsi di seluruh departemen pun pemerintahan kita masih bisa jalan business as usual. Kalau perlu bayar eksekutif singapore sejuta dollar sebulan, bukan cuma buat ngurusin bandara, ngurusin negara sekalian. Sejuta dollar sebulan itu keciiill... itu cuma angka transaksi markus sehari di kantor baju coklat, belum lagi angka uang bawah meja kantor pajak, bea cukai, gedung bundar, the list can continue so looong.... ga da apa apanya.... See more Aku udah di Jakarta Ed... menetap lagi di kota macet penuh asap yang dihiasi kesemrawutan sampah dan lalu lintas ini... Dan barusan gw membaca ketololan gubernur dki dengan kampanye menumpuk sampah di silang monas... sedihnya bangsa ini. Memang terbelakang.
Ini merurut saya bukan usulan yang masuk akal seperti ditulis mas Adam, tapi bagi saya ini termasuk "Usulan Nakal". Anda setuju? selamat membaca. Oh ya..terima kasih untuk mas Adam yang sudah membuka lagi fakta dan lembaran ttg "pentingnya" poligami..hi.hi.hiii!
Semoga menyegarkan!
================
Ditulis oleh A. S. Laksana dalam salah satu notes nya di FB.
[ Minggu, 14 Maret 2010 ]
BEBERAPA waktu lalu, saya pernah menyampaikan dalam kolom yang saya tulis untuk situs berita detikcom guyonan yang dilontarkan oleh teman. Dia mengatakan bahwa SBY akan menjadi presiden selama enam kali masa jabatan. Rinciannya begini: dua kali SBY, disambung dua kali oleh Ibu Ani, disambung dua kali lagi oleh anak mereka. Seorang pembaca meralat guyonan tersebut. Yang benar delapan kali, katanya, sebab SBY memiliki dua anak.
Anda tahu, guyonan yang spontan, dalam obrolan ringan di antara kawan-kawan, kadang-kadang memiliki aspek kegeniusannya sendiri. Setidaknya ia nyaris mirip dengan ramalan, atau apes-apesnya pernyataan motivasional, yang akan mendorong terwujudnya kebenaran. Dalam kasus SBY, kita masih punya waktu empat setengah tahun lagi untuk melihat apakah guyonan itu benar. Tetapi, ''ramalan'' itu bekerja sempurna di tempat-tempat lain.
Kita mulai dari Indramayu. Di sini Hj Anna Sophana, istri Bupati Irianto M.S. Syarifudin, didorong-dorong oleh pengurus Gapensi (Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia) setempat untuk maju sebagai kandidat bupati dalam pilkada tahun ini. Alasan ketua Gapensi Indramayu, ''Bagaimanapun kesinambungan kepemimpinan daerah harus turut kita perjuangkan bersama.''
Dan apakah yang disebut kesinambungan? Mungkin beberapa gebrakan yang dibuat oleh Pak Bupati yang telah menjabat dua periode ini patut kita pertimbangkan. Pada Agustus 2007, dia melontarkan pernyataan untuk memeriksa keperawanan sekitar 3.500 siswi SMP dan SMA se-Indramayu. ''Pemeriksaan itu bertujuan untuk memberitahukan kepada orang tua siswi soal status keperawanan anak-anak gadis mereka,'' katanya di sela-sela pembakaran 2.600 buku sejarah di kantor Kejaksaan Negeri Indramayu. Waktu itu dia gerah karena beredarnya video porno sepasang anak SMA di Indramayu.
Selain memiliki gagasan lucu, Pak Bupati adalah orang yang berani terang-terangan memaksa pegawai negeri sipil untuk mencoblos Partai Golkar dalam pemilu lalu. Dia juga bersuara lantang dalam iklannya di masa kampanye bahwa rakyat Indramayu harus memilih Golkar. ''Jika tidak, itu berarti mengkhianati Rasulullah, Allah, dan kaum muslimin,'' katanya.
Rupanya, selain memiliki gagasan lucu, dia juga pintar membuat kesimpulan ajaib. Dan, saat ini, dalam polling Partai Golkar, istri Pak Bupati adalah kandidat dengan perolehan dukungan teratas. Jadi, dia punya kesempatan besar untuk melanjutkan gebrakan-gebrakan suaminya.
Jika di Indramayu dukungan untuk istri bupati mula-mula datang dari kalangan pengusaha, di Labuhanbatu, Sumatera Utara, dukungan terhadap Hj Adlina T. Milwan, istri Pak Bupati Milwan, datang dari ''wong cilik''. Pernyataan dukungan tersebut dipampangkan di situs resmi milik pemerintah kabupaten. Bunyinya: Kelompok Tani, Perajin, Pedagang, dan Pengusaha Kecil Dukung Hj Adlina T. Milwan sebagai Calon Bupati Labuhanbatu. Tentu penggunaan situs pemerintah kabupaten untuk menampilkan dukungan dengan mudah menuai protes. Tetapi, Anda tahu, protes semacam itu mudah diredam dan pencalonan Bu Hajjah berjalan mulus.
Dua tahun lalu Kabupaten Minahasa Tenggara menjadi arena persaingan para istri dari dua bupati. Mala Mailangkay Pontoh, istri penjabat Bupati Albert Pontoh, maju sebagai kandidat dari PDIP. Demi mempertahankan netralitasnya dalam pemilihan, Albert Pontoh membuat pernyataan sangat heroik bahwa dia siap pisah ranjang dengan istrinya. ''Bahkan, pisah rumah pun saya sudah siap,'' katanya. ''Saya sudah menyiapkan rumah khusus bagi istri saya sehingga tidak memunculkan kecurigaan di tengah masyarakat akan adanya intervensi.'' Dan, pemenang dalam pilkada Juli 2008 itu adalah kandidat dari Partai Golkar, Tjeli Tjanggulung, istri Bupati Talaud Elly Lasut.
Sekarang, kita tiba pada pertarungan paling seru yang tengah berlangsung di Kabupaten Kediri. Di negeri Raja Jayakatwang ini Bupati Sutrisno sudah tidak mungkin mencalonkan diri lagi; dia sudah dua kali menjabat. Namun, Anda tahu, demokrasi tidak melarang istri bupati maju sebagai kandidat bupati setelah suaminya tak mungkin maju lagi. Karena itu, tahun ini dua istri Sutrisno maju sekaligus sebagai kandidat dari partai berbeda. Istri tua digotong PDIP, istri muda digendong ke mana-mana dan beramai-ramai oleh PAN dan 23 partai kunyit. Mereka akan bertarung dalam pemilihan kepala daerah yang akan dilangsungkan Mei nanti.
Saya mencatat pernyataan menarik dari PAN Kediri yang begitu optimistis terhadap calon yang digendongnya. Ia dan sekutu-sekutunya meyakini bahwa istri muda Bupati Sutrisno akan menang dengan angka fantastik dan keyakinan itu disertai pula dengan harapan bahwa tampilnya Nur Laila akan bisa menghipnotis warga Kediri.
Tampaknya, itu harapan yang sangat masuk akal. Saya merasa bahwa Nur Laila tidak hanya menghipnotis warga Kediri. Dia bahkan menghipnotis saya yang tinggal di Jakarta, ratusan kilometer dari Kediri, sehingga saya mengalami halusinasi yang lain. Saya pikir jika Bupati Sutrisno memiliki empat atau lima istri, ditambah satu atau dua calon istri lagi, mereka semua bisa maju sebagai kandidat untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak lari ke mana-mana. Selanjutnya, warga Kediri tinggal memilih: apakah lebih bersimpati pada istri tua atau istri muda atau yang lebih muda lagi, atau yang jauh lebih muda lagi, atau calon istri, dan seterusnya.
Itu salah satu fakta dalam demokrasi kita hari ini. Bagi orang-orang yang berada di luar lingkaran, kekuasaan mungkin terasa sangat membosankan karena tabiatnya selalu begitu dan manuvernya mudah diduga. Namun, bagi mereka yang menggenggamnya atau yang ingin berkuasa, kekuasaan adalah sesuatu yang selamanya memukau dan karena itu harus direbut dengan segala cara dan dipertahankan dengan cara apa saja. Dan, mengerahkan sekaligus dua istri sebagai kandidat bupati saya kira bisa dimasukkan dalam kategori ''dengan cara apa saja'' itu.
Dorongan patriotik untuk mengabdi? Mungkin. Atau kehendak untuk tetap menggenggam kekuasaan? Mungkin juga. Anda boleh mengambil kesimpulan apa saja, sebab politisi bebas bertingkah semaunya.
Nah, mengenai kecenderungan-kecenderungan di atas, saya menangkap usul menarik dari pembaca (dia tidak meninggalkan namanya) bahwa sebaiknya dilakukan perombakan terhadap undang-undang yang mengatur pemerintahan di seluruh wilayah NKRI. Dia mengusulkan jika suami lelah atau tidak mampu melakukan tugas karena sakit atau mati, jabatannya diserahkan saja kepada istri. Dan, bila suami berpoligami, jabatannya bisa diduduki secara bergilir oleh para istri.
Menurut saya, itu juga usul yang masuk akal, dan tentu undang-undang ini harus berlaku sebaliknya: jika pemegang kekuasaan adalah istri, penerusnya adalah suami. Undang-undang seperti ini, kata si pembuat usul, akan menghemat ongkos pemilu yang terasa mahal sekali karena hanya membuat masyarakat selalu keliru memilih pemimpin. (*)
*) A.S. Laksana, cerpenis yang beralamat di aslaksana@yahoo.com
Bapak PResiden, bapak wapres, bapak/ibu menteri, bapak gubernur, bapak bupati dan wali, bapak camat, bapak lurah, bapak kades, bapak profesor, bapak ulama dan seluruh rakyat Indonesia..saatnya kita perlu CERMIN DAN KACA, nah tulisan dari Brooking ini adalah salah satu kaca terbaik yang saat ini harus kita semua gunakan untuk bercermin agar kita bisa tahu wajah bopeng dan kudis kita. semoga bisa diperoleh obat atau sekedar bedak untuk mendandaninya.
President Obama’s visit to Indonesia is not only personal but political. He will have the opportunity to visit the home where he lived as a young boy and the primary school he attended and learned the local language. None of the other 43 American presidents have had this kind of exposure to a non-Western country.
One of the president’s political objectives for this trip is to raise Indonesia’s global profile.
Many Americans underestimate the significance of Indonesia—often described as the most important country in the world that people know the least about. With 230 million inhabitants, it is the fourth most populous nation after China, India, and the United States. Eleven years ago, it began an impressive transition from 30 years of authoritarian rule by former President Soeharto to become arguably the most democratic country in all of East and Southeast Asia. What makes the transition all the more remarkable is that about 85 percent of Indonesia’s citizens are Muslim, showing how democratic values and Islamic beliefs can combine to build a “just and prosperous society,” the main societal goal specified in the Indonesian constitution.
Indonesia is also important because of its strategic location astride the sea-lanes between Europe, Africa, and the Middle East to the west and the Japan, China, and Korea to the north. In addition, it is richly endowed with natural resources: oil and gas, coal, copper, nickel, fish, timber, oil palms, and many more. Perhaps the main reason why Indonesia is not well recognized by Americans is that the U.S. has never gone to war with the country. Another reason could be that few Indonesian immigrants and students have come to the U.S. Compared to other Asian countries, Indonesia today remains distinctly more inward-looking and suspicious of foreigners.
Raising Indonesia’s profile can benefit the United States by helping to maintain a balance among Asia’s three leading powers: China, Japan, and India. Furthermore, Indonesia’s success in creating a durable system of democratic governance holds great potential benefits for a world struggling to address the problems associated with weak or conflict-ridden nations. A quick assessment of Indonesia’s strengths and weakness on the eve of President Obama’s visit reveals a mixed picture.
Five areas of strength stand out. A set of four amendments to the constitution since Soeharto was forced to step down in 1998 has produced a solid political framework, notably including the direct election of the president. Free and fair nationwide elections have been conducted three times and are now routine at the provincial and district/city level. A sweeping decentralization law was passed in 2001, vesting more power in its 440 districts and cities than in its 33 provinces. Civil society has flourished, reinforced by a remarkably free press. Economic leadership has been exceptionally strong, most visibly by current Vice President Boediono and Finance Minister Sri Mulyani. They have managed Indonesia’s recovery from the extremely severe financial crisis it experienced in 1997-1998.
Six areas of weakness stand out. The legislature has excelled in granting itself generous salaries and benefits while bottling-up laws essential to improving governance and raising standards of living broadly. The bureaucracy performs poorly because it is underpaid and undisciplined. The military is largely out of politics but still too engaged in business activities to be a respected professional force.
Perhaps worst of all, Indonesia has allowed its rich resource endowment to be more of a curse than a blessing. Over-exploitation is occurring in virtually every square mile of the country, in its territorial waters as well as it 17,000 islands. Insufficient investment in infrastructure has made Indonesia a high-cost production base. And a host of impediments to domestic as well as foreign investment are making it harder for the private sector to create jobs at the pace required to absorb new entrants into the labor force.
Obama’s visit to Indonesia, albeit short, is the beginning to placing the country on the map. The “Comprehensive Partnership” that the two countries will formally launch represents the kind of long-term commitment that can go far in helping Indonesia pull its weight in global affairs.
Significantly, Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono proposed the Comprehensive Partnership in November 2008 as he was gearing up for his successful campaign to serve a second five-year term. Fleshing out the content has been an excellent test of the Obama administration’s foreign policy, which emphasizes listening rather than lecturing. Education is likely to emerge as the top priority: strengthening Indonesian universities, helping more Indonesians to study in the U.S., and encouraging more Americans to pursue Indonesian studies. The Indonesians would like to see U.S. economic and development assistance scaled up, but it will be difficult to meet their expectations in this area. The most problematical area is military cooperation because Indonesia has yet to articulate, let alone implement, a defense and security strategy that deserves strong support from the United States.
President Obama’s visit, eagerly awaited by the Indonesians from the day he was elected in November 2008, has great symbolic importance for both countries. However, the tangible benefits for the men and women on the streets of both countries will materialize slowly in the coming years, with hard work carried out on both sides.
---
Terima kasih untuk Mas Estananto yang telah mengirimi kami berita ini.
Frustated with today's situation in Indonesia? and needs some issues to be viewed the other way around? Please check it out on search box above. This blog presents fundamental analysis on Reform Issues, the way of thinking, and changing the attitudes towards a better Indonesia in near future.
Don't like MY MUSIC ?
Please go to the bottom to change the song. Or you might turn it off, if you have a bad connection or bad mood as well.
Wanna Post Something or Comment?
If you want to post a story or picture, please just email it to us at: kritiking@gmail.com or post your comment on the box. Thanks a million and let's others read your critiques and pics!