Tuesday, January 06, 2015

Airline, Bandara Suta, dan Parkir

Mengkritik bukan selalu membenci. Ia juga ungkapan rasa geram dan rasa cinta, Indonesia memang sudah banyak mengalami kemajuan, tetapi juga sangat banyak yang jalan ditempat atau malah mundur, teratur.

Satu sektor yang dari dulu memang tertinggal adalah sektor perhubungan. Triliunan Rupiah telah digelontorkan. Saya mencermati sejak tahun 1989, mulai dari anggaran yang masih berjumlah dibawah Rp 1 T untuk satu departemen/kementerian waktu itu hingga belasan atau puluhan Triliun saat ini. Bagi yang pernah terlibat di birokrasi tentu akan sangat paham kondisi ini. Sektor yang makin terbelakang, semakin tinggi pula usaha yang harus dilakukan untuk pembenahannya, bukan hanya karena masalah teknis , tetapi juga lebih utama disebabkan masalah non teknis seperti kapasitas dan kemampuan SDM nya.

Sektor Perhubungan Udara sebenarnya di era Soeharto telah banyak menuai kemajuan. Berbagai landasan pacu dibangun baru dan di perpanjang. Terminal-terminal dibangun dan direnovasi, juga berbagai fasilitas keselamatan udara termasuk Air Traffic COntrol serta pembenahan menyeluruh BMG yang sekarang tidak lagi berkantor di SImpang patung pak tani, dan telah berganti nama dengan BMKG. SIngkat kata, sektor perhubungan udara dan penunjangnya sudah cukup banyak mendapat support APBN baik APBN murni maupun yang bersifat pinjaman luar negeri.

Memperhatikan perkembangan sektor perhubungan dari waktu ke waktu, termasuk Angkasa Pura yang mengelola bandara, kita kemudian tentu bertanya. Mengapa salah satu sektor vital ini selalu saja tidak bisa dimaksimalkan kinerjanya? Ini memang pertanyaan klasik dan jawaban nya juga tentu lebih klasik. Kata kuncinya adalah koordinasi. Ketika sektornya masih harus bertanggung jawab kepada menteri perhubungan, sementara pengelola bandara dan bumn lain harus bertanggung jawab kepada menteri bumn, jelas ini semakin tidak mudah. Pengangkatan direksi dahulu bisa "disinkronkan"dengan kebutuhan bandara dan sektor. Sekarang terkotak-kotak. Visi misi bisa menjadi sulit di jalankan dengan KPI yang berbeda-beda setiap instansi.

Penyebab lain tentu saja masih besarnya peluang "kongkalingkon"di sektor perhubungan yang juga sudah menjadi masalah klasik. Ini tentu terkait dengan kesejahteraan aparat dan kemungkinan peluang yang bisa dimainkan mereka di lapangan. Tidak kesana arah kita kali ini. Ini membutuhkan puluhan tahun nampaknya karena Menpan sekarang sudah menyatakan gaji PNS sudah cukup (??).

Bisnis perhubungan udara yang semakin tahun semakin membaik dengan berbagai perubahan dan dinamika, termasuk teknologi, tentu saja membutuhkan kecepatan regulasi yang mampu mengimbangi perkembangan teknologi dan kondisi kompetisi di lapangan. Sayangnya ini memang masih jauh panggang dari api.

Tidak usah dulu membahas regulasi dan antisipasi kebijakan menyeluruh terstruktur. Untuk urusan yang remeh dan mudah saja masih belum menjadi perhatian berbagai pihak. Lihatlah betapa malu dan rendah diri kita langsung muncul dan tidak bisa kita kalahkan ketika melihat TERMINAL KEBERANGKATAN telah dijadikan TERMINAL KEDATANGAN. Kita saksikan, dari berbagai mobil yang "sengaja" dibiarkan parkir atau menunggu tuannya yang baru turun pesawat. Semestinya mereka menunggu di terminal kedatangan, tetapi karena berbagai alasan kemudahan mereka menunggu diterminal keberangkatan. Kita menyaksikan banyak pejabat, CEO swasta, serta aparat sendiri menyalahgunakan terminal untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Jadi, kalau harus mengurus yang besar2, semestinya urusan kecil dan remeh ini beres dulu tanpa kecuali. sekali lagi saya hanya bisa mengelus dada dan berdoa semoga arwah korban bisa tenang di sisi Allah swt dan sektor perhubungan ini bisa memanfaatkan momentum jatuhnya AA QZ 8501 ini sebagai titik bangkit sektor perhubungan kita.

Semoga. Amin.

No comments: