Tuesday, June 10, 2008

JABATAN RANGKAP DAN KEMUNAFIKAN

Salut untuk Media yang masih setia membahas ttg jabatan rangkap. memang ini adalah salah satu pilar penting reformasi yang masih dibiarkan diselimuti oleh aroma kemunafikan bangsa ini.
ES

Senin, 09 Juni 2008 00:01 WIB
Editorial Media Indonesia


Mengakhiri Rangkap Jabatan

RANGKAP jabatan seperti di zaman Orde Baru masih terus dipertahankan pemerintah hingga sekarang. Pemerintah berganti berkali-kali, tetapi pemerintah yang mana pun gagal menghapus rangkap jabatan.
Rangkap jabatan terjadi dalam banyak dimensi. Ada rangkap jabatan menteri dan ketua partai sehingga pasti terjadi pemanfaatan kekuasaan negara untuk kepentingan partai. Bahkan, jabatan rangkap pun terjadi pada posisi wakil presiden.
Kenyataan itu menimbulkan pertanyaan, sudah teramat sedikitkah anak bangsa ini yang mampu memimpin sehingga rangkap jabatan terus dipertahankan dan dipelihara? Benarkah bangsa ini sudah teramat krisis pemimpin sehingga untuk menakhodai suatu lembaga harus diambil dari mereka yang sedang memangku jabatan?
Yang terakhir menjadi sorotan ialah posisi Komisaris Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) yang jatuh ke tangan Darmin Nasution. Padahal, Darmin sedang memegang posisi amat strategis sebagai Direktur Jenderal Pajak.
Strategis karena pajak merupakan nyawa APBN. Sejak era kemerosotan produksi minyak dan gas, pajak menyumbang lebih dari 80% penghasilan negara. Tiap tahun pun target pendapatan pajak terus naik.
Semua itu membutuhkan perhatian ekstra dan kerja superkeras. Tidak bisa dilakukan secara business as usual, apalagi dikerjakan sambil nyambi posisi yang lain. Saat menjadi Dirjen Pajak mestinya tidak ada lagi waktu untuk mengurus institusi lain.
Darmin tidak sendirian. Masih ada empat pejabat berpangkat kepala badan, sekretaris wakil presiden, inspektur jenderal, dan deputi menteri yang memiliki peran ganda.
Tragisnya, kondisi itu dibiarkan terjadi hingga kemudian baru disiapkan perangkat aturannya setelah pers meramaikannya. Itu pun masih menyisakan ruang perdebatan bagi boleh-tidaknya rangkap jabatan.
Itulah yang terjadi ketika pemerintah akan mengeluarkan surat keputusan bersama menteri keuangan dan menteri BUMN untuk membatasi rangkap jabatan komisaris di badan usaha negara itu. Wacananya masih membolehkan rangkap jabatan jika tidak menimbulkan konflik kepentingan. Alasan itulah yang dikemukakan Darmin ketika ia menerima posisi Komisaris Utama BEI itu.
Padahal, soal konflik kepentingan hanyalah salah satu alasan mengapa rangkap jabatan tidak boleh dilakukan. Masih ada alasan lain akibat buruk dari rangkap jabatan. Yakni tetap fokus terhadap jabatan utama dan sebaliknya, mengerjakan jabatan rangkap sambil lalu. Itu yang lazim terjadi. Atau fokus pada jabatan kedua, mengesampingkan jabatan utama. Itu yang paling bebal. Atau semuanya dikerjakan sambil lalu sehingga gagal semuanya. Dan itu yang paling berengsek.
Tentu, terbuka dalih bahwa ada orang yang dikaruniai kemampuan lebih sehingga energinya cukup untuk merangkap jabatan. Dan semuanya berhasil baik. Tapi kalau memang betul begitu, sudah sejak lama BUMN kita sehat dan Indonesia berjaya. Sebab banyak manusia hebat yang sanggup rangkap jabatan dengan kinerja gemilang.
Ada juga yang beralasan tidak mengambil gaji dan fasilitas dari jabatan kedua sehingga tidak memboroskan uang negara. Tapi sepi ing pamrih macam itu mirip serigala berbulu domba.
Bagi BUMN yang posisi pucuk pimpinannya, direksi maupun komisaris, dijabat orang dengan jabatan rangkap, muncul kesan BUMN sebagai lembaga sambilan. Ia menjadi institusi kelas dua, tiga, dan seterusnya. Dengan demikian, kalaupun BUMN tidak sehat, ya, maklum saja.
Karena itu, aturan harus ditegakkan dengan disiplin. Jangan ada celah sedikit pun bagi munculnya rangkap jabatan di BUMN. Kalau perlu, buat undang-undang larangan rangkap jabatan. Dengan begitu, kita tidak dipusingkan lagi dengan privatisasi beserta segala kontroversinya karena BUMN bisa sehat di tangan orang yang tepat dan fokus.
Bangsa ini butuh tenaga ekstra untuk terbang. Kalau punya energi lebih, pakailah kelebihan itu untuk mencari terobosan inovatif, bukan untuk berlari-lari di jalur struktural ke sana-kemari dengan hasil nihil.

No comments: