Monday, April 20, 2009

Logikanya pasti ada yang salah kalau "di bawah beringin sudah tidak sejuk"

Sebuah tulisan yang bagus, yang semestinya bisa menjadi bahan renungan oleh partai golkar. saya bukan mau berpolitik, tetapi salut kepada penulis yang dengan berani dan lugas menukilkan fakta-fakta di seputar kepemimpinan tertinggi golkar. sangat sedikit kolumnis yang mau terang2an membongkar borok golkar di bawah kepemimpinan JK.

Ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar bangsa dan rakyat kita tidak mau terjebak dengan paradigma lama yang tidak masuk akal. selama JK menjadi wapres kita menyaksikan berbagai terobosan yang dicetuskan beliau sebagai wapres, tapi kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa mesin2 birokrasi dan pemerintah sangat rigid untuk mendukung ide-ide yang baik dari JK. Di samping itu ada pula bbrp aktivitas dan ide yang jelas-jelas bertentangan dengan logika dan praktek yang sedang berlaku di dunia internasional. tapi tidak banyak orang yang memprotes atau berani mengatakan "tidak sir.." akhirnya seperti sekarang, terbukti sudah.

sayang sekali paradigma "ban serep" yang coba di tanggalkan JK tidak membawa hasil yang baik dalam kepemerintahan.

semoga beringin bisa berkaca kepada sungai yang mengalir dibawahnya, paling tidak bisa melihat bayangan pohon nya sendiri apakah masih rimbun atau sudah kering kerontang, atau cuma lapuk di dahan dan dipucuk.

Eddy.

=========
Hawa Panas di Partai Beringin
Senin, 20 April 2009 | 03:09 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/20/03090478/hawa.panas.di.partai.beringin

Pemilu 2009 bisa jadi menjadi pemilu terburuk bagi Partai Golkar sepanjang sejarahnya.

Pada dua pemilu pertama masa Reformasi, Golkar masih relatif dominan dalam perolehan suara pemilu legislatif sebesar 22,44 persen (1999), menempatkannya pada posisi kedua setelah PDI-P, dan kembali pada posisi pertama dengan perolehan suara 21,58 persen yang menggeser PDI-P (2004). Kali ini proyeksi perolehan suara Golkar berdasarkan beberapa hasil hitung cepat (quick count) hanya berkisar pada angka 15 persen.

Keterpurukan Golkar dalam Pemilu 2009 sulit dicari penyebabnya. Faktanya, Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla menjadi wakil presiden dan tantangan lebih ringan ketimbang Pemilu 1999 dan 2004. Apa yang salah selama lima tahun terakhir dengan Golkar dan kepemimpinan JK? Haruskah JK dihukum atas keterpurukan ini?

Tak bermakna

Elite Golkar perlu berkaca diri. Mengapa masyarakat ”menghukum” partai ini? Pasti ada yang salah selama lima tahun bersama Susilo Bambang Yudhoyono. Mungkin karena JK terlampau yakin untuk tampil melawan SBY pada pemilu presiden mendatang.

Sebelum pemungutan suara 9 April lalu, fungsionaris Golkar begitu percaya diri mengajukan calon presiden sendiri. Sikap itu dilandasi keyakinan bahwa sebagai partai besar pemenang Pemilu 2004, Golkar tidak layak bila hanya mengincar kursi wapres pada Pemilu 2009. Sikap ini muncul sebagai reaksi atas pernyataan sinis terhadap Golkar oleh seorang fungsionaris Partai Demokrat. Merasa dilecehkan dan direndahkan harga dirinya, Golkar ”pecah kongsi” dengan PD dan mencalonkan JK sebagai capres pada Pilpres 2009.

Kini kepercayaan diri itu hilang. Bahkan, harga diri partai pun ”cenderung digadaikan” demi kepentingan pragmatis kekuasaan sesaat. Partai besar itu memohon belas kasih PD agar berkoalisi kembali.

Golkar bagai menjilat ludah sendiri. Kata yang telah diucapkan bagai tak bermakna. Konsistensi sikap untuk memberikan teladan berpolitik bagi bangsa ini seakan tak berlaku bagi Golkar. Demi kekuasaan, semua dapat diabaikan. Ironisnya, argumentasi di balik sikap oportunis itu adalah ”demi kepentingan bangsa yang lebih besar”. Dan, Golkar mengeksploitasi kepentingan bangsa demi kepentingan pragmatis mereka meraih kekuasaan.

Tanggung gugat untuk JK

Dorongan koalisi PD-Golkar yang dimaksud adalah kembalinya duet SBY-JK dalam pilpres mendatang. Kepentingan bangsa dan kepentingan partai seolah direduksi sebatas kepentingan JK. Seolah Golkar tidak memiliki kader selain JK yang layak ”dijual” dalam pentas politik nasional Juli mendatang.

Padahal, terpuruknya suara Golkar pada pemilu legislatif kali ini merupakan kegagalan JK. Jangan lupa, perolehan suara Golkar merupakan yang terkecil sepanjang sejarah. Karena itu, JK layak ditanggung gugat, yakni dimintai pertanggungjawaban setidaknya karena dua hal.

Pertama, sebagai ketua umum partai, JK amat menentukan sukses gagalnya Golkar. Salah satu ukuran sukses partai politik adalah perolehan suara pada pemilu. Merosotnya suara Golkar dari perolehan di atas 20 persen pada Pemilu 2004 menjadi hanya 15 persen (Pemilu 2009) merupakan kegagalan kepemimpinan JK.

Kedua, JK sebagai wapres telah memasukkan Golkar sebagai bagian dari koalisi pemerintahan berkuasa. Seharusnya Golkar mendapat keuntungan dari posisi itu. Klaim keberhasilan pemerintahan selama lima tahun terakhir terlihat hanya menguntungkan PD. Sebaliknya daftar kegagalan pemerintah dinilai sebagai kegagalan JK sehingga persepsi negatif terhadap JK membawa konsekuensi negatif terhadap Golkar.

Atas dua alasan itu, orang bisa menilai, keberadaan JK dalam pemerintahan hanya demi kepentingan JK dan kelompoknya, bukan membawa misi partai, sehingga masyarakat tidak melihat korelasi langsung peran Partai Golkar dalam menciptakan kebijakan pemerintahan yang prorakyat. Karena itu, apresiasi rakyat terhadap kebijakan pemerintah hanya ditujukan kepada SBY dan PD.

Pertanyaannya, bagaimana bentuk ”hukuman” Golkar terhadap JK? Ada beberapa pilihan. Pertama, JK mundur dari pencalonan presiden atau wapres karena gagal memimpin Golkar meraih suara signifikan dalam pemilu legislatif.

Atau, kedua, JK tidak dicalonkan lagi oleh Golkar melalui keputusan Rapat Pimpinan Nasional Khusus (Rapimnasus) Gol- kar pada 23 April untuk berduet (kembali) dengan SBY. Atau, ketiga, ini amat ekstrem, JK dicopot dari jabatan ketua umum melalui munas luar biasa.

Sebaliknya, jika JK tetap menjadi ketua Golkar dan diajukan kembali, apalagi bila menjadi calon tunggal untuk berduet dengan SBY, dapat dipastikan Golkar akan kian kehilangan simpati pendukungnya. Alasannya, 28 DPD telah menyatakan sikap mendukung JK menjadi calon presiden sebelum pemilu 9 April lalu, bukan menjadi calon wapres.

Karakter Golkar

Rapimnasus Golkar 23 April mendatang amat menentukan pilihan politis partai Golkar pasca-Pemilu Legislatif 2009. Apakah kembali berkoalisi dengan PD atau memilih jalan sendiri sesuai pernyataan fungsionaris sebelum pemilu legislatif.

Sementara ini ada dua kubu di Golkar terus bergerilya. Bagi kelompok oportunis-pragmatis, berduet kembali dengan SBY merupakan pilihan paling seksi saat ini. Bagi kelompok ini, harga diri serta konsistensi sikap partai dapat diabaikan demi kekuasaan. Tetapi, pilihan ini bisa salah jika SBY ternyata tidak memilih JK dari Golkar karena lebih memilih tokoh lain yang terlihat bisa dijaminkan oleh tokoh-tokoh Golkar yang lebih mengakar secara internal daripada JK.

Kelompok lain adalah mereka yang ingin tetap konsisten dengan sikap sebelum pemilu, yakni Golkar tetap maju mencalonkan kadernya menjadi calon presiden. Bila gagal meraih kemenangan, Golkar dapat menjadi kekuatan oposisi yang kuat dan berperan di parlemen. Dengan posisi itu, Golkar diyakini dapat merebut kembali simpati pemilih untuk kepentingan partai pada pemilu berikut.

Sikap kelompok kedua ini mungkin sulit bagi Golkar, mengingat partai ini dalam sejarahnya belum pernah menjadi oposisi pemerintah. Golkar lebih dikenal sebagai partai oportunis yang selalu mencari peluang untuk menjadi bagian dari pemerintah yang berkuasa.
Sebastian Salang Koordinator Formappi

No comments: