Monday, July 23, 2007

Anti-Corruption Paradox

Believe me. "There is a will, there is away", also works in improving the "quality" of corruption practice in Indonesia. Therefore, the only way is to make the bureaucrate feel comfortable with their salary and or punish them severely.

ES
=============
Senin, 23 Juli 2007
EDITORIAL Media Indonesia

Menyimpan Uang Korupsi di Rekening Negara

KORUPSI kiranya tidak semakin berkurang, malah semakin menjadi-jadi. Koruptor bahkan semakin 'kreatif' alias kian panjang akal bulusnya untuk menyembunyikan hasil curiannya agar tidak ketahuan.
Akal bulus itu adalah memakai rekening negara untuk menyelamatkan harta hasil korupsi sehingga tidak tampak pada laporan harta kekayaan pribadi. 'Kreatif' dengan membalikkan logika hukum, uang pribadi disimpan di rekening negara. Sebab, hukum biasanya mengejar uang negara yang disimpan di rekening pribadi.
Modus baru menyembunyikan transaksi keuangan itu dilakukan oleh pejabat pemerintah daerah. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein mengungkapkan modus baru penyembunyian dana itu mulai terlihat tahun ini setelah PPATK melakukan compliance audit terhadap sejumlah aliran dana di bank dan nonbank.
Seperti diketahui, tiap penyelenggara negara diharuskan melaporkan harta kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Tentu termasuk harta lancar yang disimpan dalam rekening pribadi.
Menyimpan hasil korupsi di rekening pribadi sudah jelas tidak aman secara hukum. Sebab, bila kelak diseret ke muka hukum, rekening pribadi itulah yang lebih dahulu akan dibekukan. Dan bila bersalah, habislah semua uang hasil korupsi itu disita negara.
Sebaliknya, menyimpannya di rekening negara dapat menjadi kamuflase yang efektif. Setidaknya, untuk sementara dapat lolos dari kewajiban dilaporkan sebagai harta kekayaan pribadi.
Oleh karena itu, menyimpan hasil korupsi di rekening negara merupakan modus baru pengelabuan yang aman yang kini dilakukan pejabat publik.
Penggunaan rekening negara untuk uang pribadi yang paling spektakuler adalah dipakainya rekening Departemen Hukum dan HAM untuk pencairan uang Tommy Soeharto. Spektakuler, namun hingga sekarang kasus penyalahgunaan rekening negara itu lenyap begitu saja. Tidak ada tanda-tanda mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin yang menyalahgunakan rekening negara itu akan diusut dan diadili.
Adalah fakta bahwa masih banyak rekening negara yang dipelihara untuk menampung berbagai transaksi keuangan nonbujeter. Sekalipun sudah sering diteriakkan dengan keras oleh Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution, namun tidak diindahkan.
Dan sekarang yang terjadi justru lebih berani, yaitu rekening negara dipakai juga untuk menyembunyikan hasil korupsi. Hal itu bahkan dilakukan penyelenggara negara di daerah.
Rekening negara bukan lagi seperti namanya, yaitu rekening yang sepenuhnya untuk uang negara dan untuk kepentingan negara, tetapi sekarang dipakai untuk transaksi uang haram. Rekening negara justru tempat mengamankan hasil korupsi dan besar kemungkinan juga dipakai untuk pencucian uang.
Oleh karena itu, sejumlah langkah tegas harus diambil untuk membersihkan dan menertibkan rekening negara. Pertama, semua rekening negara harus diperiksa, tanpa pengecualian. Kedua, menutup berbagai rekening negara yang abu-abu. Ketiga, membuat aturan yang keras dan ketat sehingga bank tidak gampang mengabulkan pembukaan rekening negara. Keempat, PPATK jangan hanya puas memantau modus baru penggunaan rekening negara itu, tetapi juga berani dan bernyali membawanya menjadi perkara hukum.
Menertibkan dan membersihkan rekening negara tentu tidak mudah karena menyangkut pejabat negara yang memiliki kekuasaan dan otoritas. Ada banyak kepentingan yang terganggu dan oleh karena itu dilindungi. Bahkan, sesama pejabat saling melindungi.
Maka, tetap kotornya rekening negara merupakan bukti bahwa penyelenggara negara memang tidak sudi korupsi diberantas.

No comments: