Tuesday, December 25, 2007

Musik dan Anak Muda kita!

Menarik juga membaca opini Aa Ukon ttg industri musik Indonesia. Saya ingin melihat dari arah positif, bahwa justru saatnya sekarang kita bercermin kepada upaya anak-anak muda kita khususnya yang dengan modal dengkul sendiri (memang masih ada yang nebeng nama ortu) telah berhasil menunjukkan bagaimana harus berkarya, bekerja keras dan kemudian menikmati hasil usaha mereka dikala masih muda. Dari studio demi studio dengan berbagai duka, mereka terus berkarya sehingga akhirnya banyak muncul musisi2 muda meski dengan modal pas-2an termasuk tampang juga. tapi semua itu sungguh perlu justru diteladani banyak pihak termasuk orang dewasa yang masih banyak mengandalkan jurus KKN untuk maju dan mencari posisi, tidak banyak menyerap tenaga kerja dan terlalu sering munafik. Sekali lagi MUSIK SAAT INI TELAH MENJADI ALTERNATIF PALING BANYAK DAN PALING BAIK UNTUK MENGHIDUPI DIRI DAN KELUARGA, TERMASUK KELUARGA ORANG LAIN.

Meski banyak kekurangan, justru kepada anak musik lah (terutama yang muda) kita harus berkaca.

Bagaimana Bp Presiden, Bp Wapres dan seluruh pemimpin INDONesia?

Wassalam,

Eddy
====================
Laporan Akhir Tahun Bidang Musik & Film
Pikiran Rakyat, Bandung, 23/12/07

Selamatkan (Kualitas) Musik Indonesia!

Oleh UKON AHMAD FURKON

SEANDAINYA saat ini Harmoko masih menjadi Menteri Penerangan, boleh jadi dia tengah berpikir untuk kembali mengeluarkan peraturan sebagaimana pernah ia terbitkan pada dekade 1980-an, melarang peredaran lagu pop cengeng. Melalui tulisan ini kita tentu tidak sedang mempertimbangkan opsi larang-melarang yang tak punya tempat dalam peradaban budaya maju. Akan tetapi, bahwa lagu-lagu cengeng kembali meruyak dan semakin menguat dalam satu tahun terakhir, itu adalah fakta yang tak terbantahkan.
Homogenitas pilihan tema serta penggunaan kata dan kalimat yang miskin dan serampangan, begitu mudah kita temukan. Di banyak lagu, terhidang kata-kata tipikal seperti "maaf", "bintang", dll. Demikian pula dengan tema yang melulu cinta, terutama yang berkisah soal pupusnya harapan cinta, patah hati, cinta bertepuk sebelah tangan, ratapan akan datangnya seorang kekasih, atau malah lebih "menye-menye" lagi.
Rasa prihatin layak pula disematkan pada sisi musikalitas. Untuk mencoba eksis, sepertinya ada formula instan, yakni racikan musik melankolis dan mendayu-dayu. Kita tak habis pikir ketika suatu grup band yang telah membawa musik cengeng pada kadar yang semakin parah, dengan kualitas musikal dan vokal yang sangat pas-pasan, justru laku di pasaran.
Kita juga heran mengapa musisi sekaliber Melly Goeslaw dan Anto Hoed yang dulu sempat melahirkan karya-karya provokatif dan cerdas lewat grup Potret, kini terlihat begitu "ngejar setoran" lewat projek "jual tampang" bernama "Bukan Bintang Biasa" (BBB).
Apa yang tengah terjadi pada musik Indonesia? Apakah selera penikmat musik sedang terjerembab pada titik terendah, idealisme para musisi telah semakin terdegradasi, ataukah kuasa para pemilik modal tambah dominan dan semakin berorientasi uang?
Perangkap Siklus
Menyibak kembali lembaran sejarah, sepertinya perjalanan musik Indonesia terperangkap dalam suatu siklus. Di tahun 1970-an, musik kita sempat mencatatkan tinta emas dengan lahirnya karya-karya bermutu seperti "Badai Pasti Berlalu" garapan Eros Djarot dkk, projek Guruh Gipsy, "Ken Arok"-nya Harry Roesli, repertoar Yockie Soeryoparyogo bertitel "Musik Saya adalah Saya", hingga ajang Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) yang melahirkan musisi-musisi andal.
Namun, di era 1980-an musik kita tak kuasa membendung serbuan lagu mendayu-dayu. Dengan bantuan acara-acara musik di TVRI seperti Aneka Ria Safari, Selekta Pop, dan Kamera Ria, lagu-lagu seperti "Hati yang Luka" (Betharia Sonata), "Gelas-gelas Kaca" (Nia Daniaty), "Jangan Sakiti Hatinya" (Iis Sugianto), atau "Antara Benci dan Rindu" (Ratih Purwasih) mampu membius pasar musik. Pencipta lagu seperti Obbie Messakh, Deddy Dores, Rinto Harahap, dan Pance Pondaag pun mengecap popularitasnya.
Sampai akhirnya Harmoko yang menjabat Menteri Penerangan saat itu mengeluarkan kebijakan untuk membredel lagu-lagu cengeng seperti itu. Memasuki era 1990-an musik Indonesia mendapatkan angin segar. Saat itu bermunculan musisi-musisi berpendirian. Ketika ruang berkesenian masih dihantui represi, musisi saat itu justru mampu menempatkan album sebagai sarana berekspresi, berpendapat, dan punya posisi penting dalam kehidupan secara keseluruhan. Totalitas mereka berikan untuk melahirkan karya-karya yang bermutu, dari mulai konsep musik, lirik, artwork sampul album, hingga video klip. Begitu banyak eksplorasi hingga terlahir karya-karya yang bergizi.
Lantas, kita memiliki KLA Project dengan lagu-lagu cinta universalnya yang dalam dan menyentuh. Ebiet G. Ade, Iwan Fals, Swami, Slank, hingga Kantata Takwa dengan kontemplasi dan protes-protes sosialnya, juga sederet nama lain yang layak dibanggakan seperti Dewa 19, Gigi, hingga Padi.
Di Bandung, Pas Band menjadi inspirator lahirnya gerakan bermusik independen di tanah air lewat mini album legendaris bertitel "4 Through The Sap".
Menginjak awal milenium baru, sepertinya serbuan pop cengeng mendayu-dayu kembali mengencang. Begitu banyak pendatang baru yang hadir dengan pola seperti itu sampai akhirnya disempurnakan oleh kehadiran Kangen Band.
Kuatnya desakan untuk menebar ratapan cinta, bahkan menjebak Ahmad Dhani yang konon punya misi mencerdaskan selera musik Indonesia, untuk ikut melahirkan karya yang mulai terlihat picisan seperti yang terlihat pada projek "Munajat Cinta" bersama The Rock. Kencangnya tuntutan produser telah pula memaksa musisi sekaliber Iwan Fals untuk merelakan setengah sisi dari album "50:50" diisi oleh lagu-lagu jualan. Barangkali ini merupakan trik Iwan untuk sedikit berkompromi mengingat iklim musik yang tidak bersahabat. Namun, akan jauh lebih membanggakan jika Iwan mampu "istiqomah" dan kembali ke "khittah"-nya.
Beruntung, sepanjang tahun 2007 masih ada beberapa nama yang menawarkan titik cerah di tengah kesumpekan. Para musisi yang lebih senior boleh tertunduk malu karena titik cerah itu justru dihadirkan oleh penyanyi belia bernama Sherina lewat album "dewasa" pertamanya, "Primadona".
Berbeda dengan sebagian besar penyanyi, Sherina mencipta sendiri sebagian besar musik, lirik, dan aransemennya. Hasilnya, suatu karya out of the box, dengan sajian musik yang elegan dan lirik-lirik yang tidak pasaran.
Selanjutnya ada Padi yang kembali memberi pelajaran bagaimana cara bermain musik yang baik dan benar. Lewat album baru mereka, "Tak Hanya Diam", Padi mengusung sajian musik gemilang dengan lirik-lirik yang semakin menunjukkan kepedulian pada masalah-masalah sosial.
Beberapa album lain yang masih membangkitkan kebanggaan pada musik pop tanah air antara lain album "Hari yang Cerah" (Peterpan), "Peace, Love `n Respect" (Gigi), "Televisi" (Naif), "Free Your Mind" (Maliq & D`essentials), dan "Slow but True" (Slank).
Di jalur indie, dua jempol layak diberikan kepada band bernama Efek Rumah Kaca yang menelurkan album dengan titel yang sama. Lewat album tersebut, Efek Rumah Kaca menawarkan pilihan lirik dan nada yang atmosferik dan dalam. Ada lagu "Cinta Melulu" yang dengan jitu mengkritik kondisi musik Indonesia saat ini. "Di Udara" yang memberikan apresiasi pada perjuangan almarhum Munir, serta sederet lagu-lagu berkelas lainnya.
Peran Media
Terperosoknya kualitas musik Indonesia yang semakin kentara dalam satu tahun terakhir, bukan semata tanggung jawab musisi, penikmat, dan produser musik. Gugatan layak pula dialamatkan kepada media, baik cetak maupun elektronik. Mencerdaskan pasar musik, justru semakin rajin melakukan aksi pembodohan melalui acara-acara hiburan yang melulu mengobral gosip dan kehidupan pribadi artis.
Jika kita amati, dari puluhan acara infotainment yang saat ini eksis di televisi, tercatat hanya acara "Show Biz News" (Metro TV) yang mampu menjalankan perannya dengan baik. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan (kualitas) musik Indonesia, media punya andil besar.
Di tahun 2008, sinergi seperti itu semoga mulai menemukan bentuknya, terlebih infrastruktur musik semakin mendukung. Jaringan internet dan perkembangan teknologi digital menjadi modal penting bagi musisi untuk keluar dari tekanan para pemodal besar. Sementara itu, barcode PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi & Pencipta Lagu Republik Indonesia) yang mulai diberlakukan pada album musik yang mampu mengawasi hasil penjualan secara lebih presisi dan transparan, menempatkan musisi pada posisi yang semakin berdaya dalam tata niaga musik di tanah air. ***

Penulis, pemerhati musik, tinggal di Bandung.Penulis:

No comments: