Thursday, September 18, 2008

SELAMAT IDUL FITRI ATAU MEMINTA T H R?



Tunjangan Hari Raya (THR) dari dulu telah membudaya di Indonesia. Seiring dengan kewajiban membayar zakat dan lebih khusus lagi zakat fitrah, maka THR pun menjadi "trend" di Indonesia. Wajar, sejauh itu memang diwujudkan sebagai bagian kerelaan berbagi dari yang berpunya kepada yang lebih membutuhkan.
Dahulu THR diwujudkan dengan memberikan amplop berisi uang kepada staf atau orang-orang yang lebih tidak beruntung dari yang memberi. Begitu seterusnya. Jika seseorang paling tinggi memberikan THR kepada seluruh bawahannya, maka kebiasaan ini pun diteruskan oleh bawahannya kepada pihak yang lebih di bawah lagi. Semua itu menunjukkan kepedulian kepada sesama, terutama orang yang dekat dan berada sehari-harinya dengan kita.
Suatu perusahaan biasanya menyisihkan sebagian pendapatan (revenue) mereka dan diberikan kepada pegawai di hari-hari menjelang lebaran. Begitu pula kantor. Saya masih ingat ketika bekerja di Bappenas dulu, setiap tahun secara teratur Menteri Perencanaan Pembangunan (PPN) / Ketua Bappenas selalu "mengamplopi" seluruh staff dengan sejumlah uang tertentu. Mengingat seluruh pegawai kebagian, maka besarnya isi amplop tidak lagi menjadi penting.
Ketika masih staf, saya pun menerima THR dari boss, biasanya dari tingkat direktur (dulu kepala biro). begitu seterusnya kami pun membagi THR dengan sekretaris, pesuruh hingga satpam. Semuanya masih dijalankan dengan baik dan secara sukarela.
Namun, kebiasaan memberi dan menerima THR ini bbrp tahun terakhir mengalami perubahan cara dan sekaligus tidak bisa dimungkiri adalah perubahan makna. Entah terpengaruh dari mana, sekitar 4-5 tahun lalu para pesuruh, satpam, pembuat minuman di ruangan rapat, tukang fotocopy, hingga penyapu halaman kantor memperoleh inisiatif "brilian" dengan memberikan ucapan selamat lebaran jauh-jauh hari. Maksud yang tertulis adalah memberikan ucapan selamat hari raya idul fitri dan sejenisnya, tetapi maksud terselubung dibalik itu semua adalah meminta THR. Caranya terkadang cukup vulgar, yaitu dengan menanyakan lewat bawahan kita atau pesuruh. Apalagi jika hari H lebaran makin dekat, maka rombongan besar akan datang menyambangi ruangan-ruangan pimpinan.

Maka tak ajal lagi, sekarang kamipun sudah mendapat banyak "surat cinta" dari Satpam, pesuruh, dan sekretaris lintas bagian. Foto terlampir hanyalah contoh beberapa "surat cinta itu". Tidak semuanya berkonotasi negatif, namun ucapan selamat idul fitri yang datang dari seluruh penjuru kantor, meski jarang berhubungan, jelas menunjukkan cara-cara pegawai untuk "menebar" pancing ke seluruh danau. Syukur-syukur banyak ikan yang memakan umpan mereka..lumayan untuk lebaran.

Saya posting ini bukan untuk semata-mata menunjukkan rasa terganggu, tetapi lebih banyak untuk mengangkat fenomena baru dilingkungan kantor pemerintah menjelang lebaran. Jika dulu pejabat-pejabat di kantor masih memiliki beberapa pos anggaran yang bisa diatur untuk THR, maka sekarang kondisi yang ada jelas berbeda. Tidak banyak lagi atau nyaris sangat sulit untuk mengeluarkan pembiayaan yang tidak mempunyai mata anggaran. Alhasil, banyak pejabat yang kebingungan memnuhi permintaan yang terkadang mencapai 100 orang "aplicants".

Karena itu mungkin fenomena ini sudah harus di antisipasi di tahun-tahun mendatang. Sudah selayaknya, jika memang kenyataannya demikian dalam praktek, pemerintah membuatkan pos khusus pengeluaran untuk THR ini. Bisa berupa gaji ke-14 atau ke-15 sebagai wujud kepedulian terhadap pegawai yang memang dianjurkan bergembira di hari besar agama.

Tak tahulah, mungkin ini baru sekedar menjadi wacana. Semoga ada jalan keluar dikemudian hari. Jika tidak, ditakutkan kita akan menjadi semakin munafik. Gaji kecil, anggaran kesejahteraan tidak disediakan, lalu akhirnya sama-sama "menjunjung tinggi kemunafikan".

Ada comment?

Mungkin sebagai penutup, ada baiknya diperhatikan lagi sajak pendek saya tentang pemerintah.

No comments: