Thursday, September 25, 2008

Pensiun Hakim Agung Diperpanjang (lagi): We're Speachless, How could they...?

Sungguh sangat sulit dicerna. Mengapa mereka - para hakim agung yang sudah makmur, pemerintah, dan DPR - tega untuk melakukan sesuatu yang patut diduga sebagai konspirasi bersama "mengkadali" negara dan penduduknya. Bagaimana dan dari mana logika itu diperoleh dan dimainkan?

Bayangkan saja untuk usia rata-rata harapan hidup orang Indonesia sekitar 67 tahun (bandingkan dengan Jepang yang mendekati 80-90 tahun) jelas-jelas perpanjangan usia pensiun hakim agung dari 65, ke 67, lalu ke 70, jelas-jelas memperlihatkan ketidakmampuan "early warning system" di sekitar pemerintahan untuk berfungsi dengan benar.

Sungguh akan sangat menyesal mereka nantinya jika akhirnya dihujat banyak rakyat yang sudah tidak tahan lagi dengan kelaparan, kesulitan hidup, ketiadaan energi dan ketiadaan daya upaya menunjang hidup mereka. Sementara di sisi lain, para pejabat sepuh yang renta terus berfoya-foya, rapat-rapat dan meeting di hotel mewah baik di dalam atapun di luar negeri. Tuhan kok mereka tega ya?

Memang disinilah letak bedanya. Negeri kita yang masih harus berjuang untuk keluar dari kelompok negara miskin (middle-low income country, istilah World Bank), jelas-jelas belum mampu memberikan yang terbaik bagi hambanya pelaku birokrasi. 

Betul, dengan tingkat gaji resmi paling tinggi Rp 3 juta sebulan, maka jelas kalau seseorang mau pensiun akan memperoleh hanya sebesar Rp 2,1 juta per bulan. Makanya dari pada pensiun cepat, mendingan pensiun di perpanjang usianya dalam keadaan menjabat. Pastilah take home pay -gaji plus plus - masih akan sangat besar dalam waktu 3 tahun mendatang. Malu? memang saya masih punya?

Hanya keengganan keluar dari "comfort zone" itulah yang kiranya dapat diduga sebagai satu-satunya alasan mengapa ide itu muncul dan jika jadi direalisasikan jelas-jelas memperkuat dugaan bahwa negeri kita memang mengalami "dereformasi". Di segala lini.

Ya Allah. Ampunilah hamba, dan mereka. Serta lindungilah Indonesia.


Media Indonesia - Tentang Usia Hakim Agung Itu..

Selasa, 23 September 2008 00:01 WIB
Oligarki Opa-Opa di Mahkamah Agung
PEMBAHASAN Panitia Kerja revisi Undang-Undang Mahkamah Agung di Wisma DPR di Cisarua, Bogor, berjalan mulus. Tidak banyak perdebatan, Panja bersepakat bulat menaikkan lagi usia pensiun para hakim agung dari 65 tahun menjadi 70 tahun.

Dalam UU No.5/2004 tentang Mahkamah Agung yang berlaku sekarang, usia pensiun para hakim agung ditetapkan 65 tahun, dengan opsi bisa diperpanjang dua kali. Itupun dengan catatan yang tidak ringan. Yaitu harus memiliki reputasi dan prestasi luar biasa.

Usia pensiun 70 tahun adalah usul yang terdapat dalam draft pemerintah untuk revisi sekarang ini. Beberapa fraksi di DPR semula bersikukuh pada usul usia pensiun 65 tahun atau 67 tahun. Anehnya, ketika pemerintah melunakkan sikap dengan menurunkan usulnya dari 70 tahun menjadi 67 tahun, DPR malah bersuara bulat mendukung usul pemerintah yang mulai melunak yaitu 70 tahun.

Produktivitas dan usia adalah dua perkara yang tidak bisa didongkrak dengan enteng. Usia boleh bertambah, tetapi produktivitas belum tentu. Tentara, misalnya, adalah organisasi yang sangat percaya bahwa produktivitas stagnan mulai usia 55 tahun. Demikian pula pegawai negeri yang lain, kecuali guru yang menetapkan usia pensiun 60 tahun.

Mengapa produktivitas penting dipertimbangkan di Mahkamah Agung? Karena terdapat fakta yang amat memalukan. Yaitu tunggakan perkara yang mencapai ribuan di institusi peradilan itu.

Tunggakan ini sebagian terjadi karena jumlah hakim agung yang memang sedikit, tetapi juga oleh produktivitas hakim agung yang melorot. Tidak cuma di saat usia memasuki 60 tahun, tetapi sejak 50 tahun.

Coba membayangkan bagaimana hakim agung yang 70 tahun memeriksa dan memutuskan perkara. Apakah dia masih mampu membaca berkas-berkas perkara dengan jernih dan teliti? Ingat, seorang hakim agung tidak bisa memeriksa perkara dengan cara menyuruh staf membaca. Dia harus membaca sendiri. Mampukah dia mengejar target mingguan, bulanan dan tahunan? Bagaimana hakim-hakim yang secara teoritis mulai pikun itu diandalkan menjadi benteng pertahanan terakhir dan tertinggi bagi keadilan dan kebenaran?

Mahkamah Agung sekarang ini adalah salah satu institusi yang paling buruk dalam transparansi. Buruk dalam pengelolaan peradilan, buruk dalam tranparansi anggaran yang tercermin dari hubungan yang tidak harmonis dengan BPK, terutama soal penolakan atas audit biaya perkara. Ini adalah soal kultur tata kelola.

Kultur ini, diakui atau tidak, dipelihara oleh oligarki para hakim agung yang lebih layak disebut sebagai opa-opa. Mereka akan tetap menguasai jalannya roda Mahkamah Agung sampai tiga tahun ke depan.

Perpanjangan usia hakim agung kali ini adalah sebuah penegasan untuk ke sekian kalinya tentang kebijakan sesat dalam proses pembuatan undang-undang di negeri ini. Undang-undang yang seharusnya disusun agar menjadi pedoman bagi siapa saja, di Indonesia dibalik logikanya. Undang-undang disusun dan diubah setiap saat ada kebutuhan untuk melayani orang atau kelompok tertentu.

Dengan pola pikir seperti ini, jangan heran bila di kemudian hari usia pensiun para hakim agung akan direvisi lagi hanya untuk melayani beberapa hakim agung yang karena umur panjang dan sehat bisa mencapai usia 80 atau 90 tahun.

DPR dan pemerintah sebaiknya berpikir lebih jernih soal usia pensiun hakim agung ini. Jangan sampai kita semua terpenjara oleh oligarki opa-opa dan oma-oma yang mulai gemetaran termakan usia tetapi menakutkan karena tetap memegang tongkat keadilan dan kebenaran.

No comments: