Tuesday, February 16, 2010

Setelah Listrik, "KArma Energi" akan terjadi pula di bidang Gas. Capedeh!

Setelah mengalami "karma" di bidang ketenagalistrikan, kita kembali harus siap2 menyambut karma sejenis di bidang pengelolaan gas, khususnya gas bumi dan LNG.

Jika di ketenagalistrikan UU listrik yang baru membutuhkan sekitar 5 tahun untuk menerbitkannya, maka UU Migas menurut Kurtubi dibiarkan tanpa ada inisiatif perbaikan dari seluruh stakeholders, baik pemerintah, swasta, maupun akademisi dan masyarakat umumnya.

Kondisi ini tentu saja memperburuk berbagai hal yang terkait dengan management gas secara nasional maupun regional dan utilisasinya diberbagai sektor kehidupan lainnya.

Sungguh kalau hal ini dibiarkan terus tanpa ada kejelasan, maka tidak mustahil suatu saat kondisi bisnis gas bumi dan LNG dalam negeri kita akan menggerogoti komponen ekonomi lain dimana semestnya gas menjadi faktor pendorong ekonomi, baik sebagai komoditi untuk diperdagangkan secara bebas sebagai energi primer maupun sebagai feeed stock.

====

http://web.bisnis.com/artikel/2id2779.html


Manajemen gas nasional perlu kepastian hukumSenin, 08/02/2010 11:28:00 WIBOleh: Kurtubi
Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 3/2010 antara lain mewajibkan kontraktor production sharing (KPS) atau sekarang disebut kontraktor kontrak kerjasama (KKS) untuk menyerahkan 25% dari produksi gas bagian kontraktor guna memenuhi keperluan dalam negeri dalam rangka DMO (domestic market obligation). Di sini timbul pertanyaan, mengapa 25%? Mengapa tidak 20%, atau 30% atau 50% atau bahkan 100%, misalnya. Apakah ada dasar hukumnya untuk menetapkan batasan 25%?
Soalnya, Pasal 22 Ayat 1 dari UU Migas No. 22/2001 yang mengatur tentang batas maksimal persentase DMO gas sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2004.
Bersama dengan Pasal 12 Ayat 3 yang menyangkut Kuasa Pertambangan dan Pasal 28 Ayat 2 yang menyangkut pelepasan harga BBM sepenuhnya kepada mekanisme pasar, Pasal 22 Ayat 1 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh MK karena dinilai melanggar Pasal 33 UUD 1945.
Selama lebih dari 5 tahun, UU Migas No. 22/2001 dibiarkan dalam kondisi 'cacat', tanpa ada upaya untuk melakukan amendemen/perbaikan/penggantian. Bahkan meskipun Pansus Hak Angket Kenaikan Harga BBM yang dibentuk DPR telah merekomendasikan agar UU Migas No. 22/2001 segera diganti, ternyata hingga saat ini belum juga dilakukan.
Kondisi memprihantinkan ini terjadi meskipun pihak eksekutif (Menteri ESDM) yang bertanggung jawab atas pengesahan dan penerapan UU Migas No. 22/ 2001 sudah diganti dengan menteri baru.
Putusan MK, Rekomendasi Pansus Hak Angket BBM, dan imbauan dari berbagai kelompok masyarakat selama ini tetap 'diabaikan', bak pepatah 'anjing menggonggong kafilah tetap berlalu'.
Seyogianya, kondisi 'cacat hukum' dari UU Migas No. 22/2001 harus segera diakhiri terlebih dahulu sebelum antara lain Menteri ESDM yang baru mengeluarkan Permen tentang pemenuhan gas untuk keperluan dalam negeri.
Kalau seandainya proses amendemen/penggantian UU Migas dikhawatirkan akan memakan waktu lama, Presiden dimungkinkan untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) karena sifatnya mendesak.
Sebagaimana PM Juanda telah pada akhir 1950-an berani mengeluarkan Perppu (kemudian berubah menjadi UU Prp. No. 44/1960) yang mengganti UU Pertambangan Zaman Belanda yang sangat merugikan Negara (Indische Mijnwet 1899).
Kondisi saat ini mendorong perlunya segera perbaikan/penggantian terhadap UU Migas ini guna menciptakan kepastian hukum dan menghindari terulangnya penjualan gas dengan harga sangat murah ke luar negeri.
Meningkatkan investasi
Kepastian hukum dibutuhkan untuk dapat segera meningkatkan investasi. Dasar hukum bagi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Blok2 baru harus segera dipulihkan pascapencabutan Pasal 12 Ayat 3 yang semula dimaksudkan sebagai dasar hukum bagi kegiatan usaha di sektor hulu.
Demikian juga bagi pengaturan pemenuhan gas untuk keperluan dalam negeri yang terkait dengan DMO harus segera dipulihkan dengan memperbaiki/mengganti UU Migas.
Sebab dengan tidak berlakunya Pasal 22 Ayat 1 UU Migas yang mengatur jumlah persentase DMO/gas yang harus dipasok untuk dalam negeri, tentu pasal ini tidak bisa disubstitusi dengan Permen, seperti Permen No. 3/2010.
Pasal 22 Ayat 1 yang sudah dinyatakan tidak berlaku, bersama Pasal 12 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2, kesemuanya harus segera diperbaiki. Oleh karena itulah maka seyogianya Pemerintah saat ini harus segera mengajukan perbaikan/penggantian UU Migas ke DPR atau segera mengeluarkan Perppu. Ini agar status 'cacat' dari UU Migas segera diakhiri.
Kebijakan pembiaran terhadap ketidakpastian hukum di sektor migas saat ini sungguh sangat merugikan negara. Terbukti dari anjloknya investasi/kegiatan pengeboran eksplorasi di Blok2 baru dalam 10 tahun terakhir ini telah menyebabkan tidak adanya penemuan cadangan baru yang berujung pada anjloknya produksi minyak nasional. Indonesia telah berubah menjadi net oil importer dan harus keluar dari OPEC.
Tidak segeranya diperbaiki atas Pasal 22 Ayat 1 UU Migas juga berdampak negatif terhadap pengembangan lapangan-lapangan gas seperti Donggi Senoro, Masela, dsbnya karena tidak ada kepastian persentase DMO yang berdasarkan UU.
Status Permen yang berada dibawah UU, secara pasti tidak bisa menggantikan Pasal 22 Ayat 1 UU Migas yang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh MK. Terlebih lagi substansi isi dari Permen No.3/2010 kurang visioner karena cenderung untuk terus mendorong pemakaian gas (methane) yang sangat bernilai ekonomi, untuk diinjeksikan ke sumur-sumur tua guna meningkatkan produksi minyak lewat mekanisme EOR (enhanced oil recovery).
Padahal sudah lama berkembang teknologi pemakaian gas CO2 untuk keperluan EOR dimana CO2 selama ini dianggap sebagai beban dan sangat merusak lingkungan.
Gas CO2 tidak hanya bisa diinjeksikan untuk meningkatkan produksi minyak di sumur-sumur minyak tua dengan kandungan minyak jenis medium dan ringan (API di atas 25 derajat) seperti minyak jenis Minas, tetapi juga terbukti bisa diinjeksikan dan meningkatkan produksi dari lapangan minyak dengan kandungan minyak tergolong berat seperti yang terjadi di Lapangan Minyak Bati Rahman di Turki dengan hanya 5 derajat API.
Minyak jenis ini mirip dengan jenis minyak Duri di Riau yang saat ini menggunakan gas methane dalam jumlah yang sangat besar.
Ke depan justru penggunaan CO2 untuk meningkatkan produksi dari lapangan-lapangan tua yang harus didorong, bukan mendorong penggunaan gas methane yang bernilai ekonomi tinggi seperti pada Permen No.3/2010.
Rencana pengembangan Blok Natuna yang mengandung gas CO sekitar 200 tcf dan gas methane sekitar 45 tcf perlu dipercepat.
Gas CO2 yang selama ini direncanakan untuk dipendam kembali di sekitar Natuna, sangat dimungkinkan untuk dialirkan dan diinjeksikan di lapangan-lapangan minyak tua di Sumatra untuk meningkatakan produksi minyak nasional.
Sehingga pengembangan Blok Natuna punya manfaat ganda sekaligus. Selain bisa memperoleh gas untuk diekspor dan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, juga gas CO2 bisa meningkatkan produksi lapangan-lapangan tua di Sumatra, terutama Lapangan Minas dan Duri di Riau.
Kesemua ini baru bisa berjalan kalau ada kepastian hukum. Tidak ada solusi yang sistemik selain dengan terlebih dahulu memperbaiki/mengganti UU Migas No.22/2001 yang sudah terbukti sangat merugikan negara.
Oleh Kurtubi
Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies

No comments: