Wednesday, May 23, 2007

GAS: Apa Kata Dunia? What will the world say?

Bagaimana pula ini? Gas kita katanya langka di dalam negeri, sementara berbagai perusahaan asing terus menikmati SDA kita. DUlu katanya gas mau diprioritaskan untuk domestik, tetapi kok mau nego lagi dengan Jepang. Capek Deh. Inilah cermin amburadulnya pengelolaan energi nasional.

ES
=============
RI to intensify negotiations on LNG contract's extension with Japan
http://www.thejakartapost.com/detaillbus.asp?fileid=20070521183821&irec=6

JAKARTA (Antara): Indonesian will intensify negotiations with Japan about the extension of their liquefied natural gas (LNG) contract, including several cooperation agreements between the two countries, Vice President Jusuf Kalla said in Palembang, South Sumatra, on Monday.
"We are making preparations to negotiate various possibilities of the extension of the LNG contract with Japan," the vice president said, confirming the agenda of his working visit to Japan from May 22-27.
Speaking to the press after attending the national conference of Sriwijaya University (Unsri) Alumni Association, Kalla said during his one-week working visit to Japan he would talk about global developments in Asia, especially in the economic relations between Indonesia and Japan.
"Japan will also talk much about gas and energy. Therefore, we also prepare gas balance and various possibilities in the extension of the gas contract with Japan," Kalla said.
He added that the contract on LNG shipments to Japan would expire in 2010-2011, and therefore Japan had several times urged that negotiations on the contract's extension be held as soon as possible.
Kalla said the negotiations were postponed because they had to wait for the completion of national gas balance which was finally announced by the Indonesian government on May 4, 2007.
From the national gas balance, it was evident that in the period of 2007-2015 a gas supply deficit would still occur in almost all parts of Indonesia.
The deficits were due to an imbalance between gas demand and gas supply and its production, he said.(***) -->
---
Selasa, 15 Mei 2007

Industri Keramik Kian Suram
Harus Ada Formula Baru Gas yang Menguntungkan

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/15/ekonomi/3532263.htm

Jakarta, Kompas - Ketidakpastian pasokan maupun tekanan gas yang terus-menerus membuat nasib industri keramik kian suram. Bahkan, industri ini hanya bisa bertahan enam bulan karena penggunaan bahan bakar alternatif, seperti gas elpiji dan batu bara, menyebabkan tingginya harga pokok produksi.
Pada akhirnya, hasil produksi akan semakin tidak kompetitif. Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Achmad Widjaya di Jakarta, Senin (14/5), mengungkapkan, kunci persoalan pasokan gas terletak pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Widjaya menjelaskan, industri keramik bukan hanya menghadapi ketidakpastian pasokan gas, tetapi juga pasar yang semakin terimpit oleh produk impor, khususnya China. Tahun 1993-1996, saat pertumbuhan properti mencapai rata-rata 15 persen, pasar dalam negeri masih bergairah. Pangsa pasarnya mengarah pada proyek-proyek baru, terutama pembangunan rumah horizontal. Kini hanya sebatas pada renovasi dan bukan proyek baru.
Menurut Ketua Hubungan Luar Negeri Asaki Zulfikar Lukman, penurunan pasar itu selain karena faktor daya beli di pasar dalam negeri, juga adanya tekanan produk China.
Industri keramik Indonesia semakin sulit bersaing di pasar global karena sekitar 50 persen pasar dunia kini dikuasai produk China. Indonesia berada di peringkat keenam setelah Iran, Turki, Italia, Spanyol, dan China. China mampu meningkatkan pasarnya selain karena kompetitif, juga karena kemampuannya mengirimkan produk tepat waktu.
China mampu memproduksi ubin minimal 150.000 meter persegi per hari, bahkan bisa mencapai 1 juta meter persegi per hari. Sebaliknya, Indonesia hanya mampu memproduksi maksimal 40.000 meter persegi per hari.
Semakin suram
Menteri Perindustrian Fahmi Idris menegaskan, saat ini konsumen gas industri menghadapi perkembangan yang semakin suram. "Baru saja pemilik pabrik keramik Royal Doulton datang untuk mengungkapkan rencananya berinvestasi, tetapi sayangnya mereka tidak melihat adanya kepastian penyediaan gas."
Dalam kasus ini, yurisdiksinya ada di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Pihaknya menilai Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral kurang memberikan formula baru berupa sistem bagi hasil yang menguntungkan kepada investor di bidang eksplorasi sumber gas.
Sebagai informasi, menteri- menteri dari departemen maupun instansi terkait sudah beberapa kali melakukan rapat koordinasi untuk menyelesaikan defisit pasokan gas untuk industri di Jawa Barat.
Pasokan gas untuk wilayah Jawa bagian barat ditargetkan bakal teratasi bulan Juli 2007, ketika gas dari Sumatera Selatan ke Jawa Barat bisa dinaikkan dari 50 juta kaki kubik per hari menjadi 170 juta kaki kubik per hari.
Saat ini kebutuhan gas di wilayah itu dipenuhi oleh Pertamina, PT Perusahaan Gas Negara (PGN), dan BP West Java.
Pertamina memasok ke PT Krakatau Steel, PT PGN ke industri, dan BP West Java ke Pabrik Pupuk Kujang. Dalam rapat koordinasi di Kantor Menteri Koordinator Perekonomian pada 18 April, telah diputuskan hal itu sebagai solusi jangka pendek untuk mengatasi defisit gas yang dialami industri keramik.
Ibarat sistem gali lubang tutup lubang, defisit gas industri keramik semakin parah karena sebagian gasnya harus dialihkan untuk menutupi kekurangan pabrik pupuk. Karena PGN memiliki kelebihan pasokan gas sebesar 20 juta kaki kubik, diputuskan gas tersebut akan dialihkan untuk mencukupi kebutuhan industri keramik.
Belum lagi langkah itu dilakukan, terjadi penurunan pasokan gas yang tiba-tiba dari Pertamina. Akibatnya, pengalihan gas yang semula direncanakan tidak bisa dilakukan. PGN kemudian membatasi pemakaian gas oleh industri.
Direktur Jenderal Migas Luluk Sumiarso mengatakan masalah pasokan gas harus dilihat kasus per kasus. "Apakah masalahnya terkait dengan kebijakan atau operasional. Yang terjadi dengan kekurangan gas di industri keramik saat ini sifatnya akibat kendala operasional," kata Luluk. (osa/dot)

---

Rabu, 16 Mei 2007

EnergiSubsidi Gas dari Pemerintah untuk Konsumen Tertentu
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/16/ekonomi/3534364.htm

Jakarta, kompas - Untuk mendorong perusahaan migas mau menyuplai gas ke dalam negeri, pemerintah bisa menerapkan subsidi yang ditujukan untuk konsumen tertentu.
Direktur Jenderal Migas Luluk Sumiarso menyampaikan hal itu saat berbicara di Pertemuan Tahunan Ke-31 Indonesia Petroleum Association, Selasa (15/5) di Jakarta. "Dengan cara ini, produsen akan mendapat kompensasi untuk gasnya yang dijual ke dalam negeri di bawah harga pasar," ujar Luluk.
Dari gas yang dihasilkan oleh produsen, ada bagian yang menjadi bagian pemerintah, ada bagian produsen, dan ada kewajiban produsen untuk memenuhi kebutuhan domestik sebesar 25 persen dari total produksi.
Direktorat Jenderal Migas mengusulkan, agar produsen tertarik menjual bagian produksinya untuk kebutuhan di dalam negeri, pemerintah memberikan subsidi. Penggunaan gas yang bisa disubsidi antara lain untuk keperluan pembangkit listrik.
Direktur Utama PT Pertamina Ari Soemarno mengatakan, harga gas yang dipasok ke dalam negeri tetap harus diperhitungkan sebagai pengganti bahan bakar minyak. Saat ini harga pasar tertinggi di dalam negeri sekitar 5,5 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU).
Adapun harga gas yang diekspor melalui pipa sekitar 11-12 dollar AS per MMBTU. Sementara harga gas alam cair sekitar 8-9 dollar AS.
Neraca gas
Pemerintah telah mengeluarkan neraca gas nasional. Dari perhitungan yang dilakukan, defisit gas terparah dialami wilayah Kalimantan Timur dan Sumatera Utara.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengatakan defisit gas bisa terjadi karena memang diakibatkan oleh sistem.
Gangguan pasokan gas karena fluktuasi produksi seharusnya bisa diatasi di tingkat korporasi. "Misalnya yang terjadi dengan Pertamina dan Perusahaan Gas Negara, harus ada realokasi gas yang didistribusikan kedua perusahaan itu," ujar Purnomo.
Untuk memperbesar bagian gas domestik, pemerintah sedang mengupayakan perbaikan bagi hasil dan kepemilikan nasional untuk perpanjangan kontrak gas di Blok Mahakam.
Opsi perbanyakan kepemilikan nasional bisa melalui Pertamina dan keikutsertaan pemerintah daerah. Blok Mahakam yang dioperasikan oleh Total Indonesia memasok dua pertiga kebutuhan kilang gas alam cair Bontang. (DOT)

---

Jumat, 18 Mei 2007

Diversifikasi Energi Mendesak Permintaan Minyak Dunia 84,16 Juta Barrel Per Hari
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/18/ekonomi/3536971.htm

Denpasar, Kompas - Permintaan atas minyak yang terus naik menjadi peringatan bagi negara-negara dengan neraca energi negatif di Asia, termasuk Indonesia, untuk serius menerapkan kebijakan diversifikasi energi. Tanpa itu, ketergantungan atas pasokan energi dari luar akan semakin tinggi.
Isu tersebut menjadi topik utama dalam Pertemuan Ke-5 Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Badan Energi Internasional (IEA) di Denpasar, Bali, 17-18 Mei 2007.
Berbicara dalam pembukaan pertemuan itu, Sekjen OPEC Abdalla Salem El Badri mengatakan, sejak awal tahun 2000, Asia menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi dunia.
Tak heran, penggunaan energi untuk mendukung pertumbuhan di wilayah ini juga meningkat pesat, terutama energi fosil. "Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu, Asia mengalami neraca energi negatif sehingga perlu impor," ujar El Badri.
Asia mengonsumsi dua pertiga dari total permintaan minyak dunia yang mencapai 84,16 juta barrel per hari. China dan India menjadi konsumen terbesar.
Tahun ini OPEC memperkirakan permintaan minyak naik menjadi 85,43 juta barrel per hari. Permintaan akan terus meningkat hingga mencapai 118 juta barrel per hari pada tahun 2030.
Meskipun OPEC menyatakan optimistis bisa memenuhi permintaan minyak yang terus naik, perkiraan kebutuhan yang tepat sangat diperlukan agar produsen bisa memperhitungkan investasi di sisi produksi.
Saat ini produksi OPEC sekitar 28 juta barrel per hari. "Kita menghadapi biaya produksi minyak per barrel yang semakin tinggi dan biaya kilang yang semakin mahal," ungkap El Badri.
Harga minyak sejak awal tahun ini berfluktuasi. Sempat berada di kisaran 50 dollar AS per barrel pada Januari-Februari, kemudian naik 60 dollar AS per barrel.
Kepala Divisi Analisis Perminyakan OPEC Mohammad Alipourjeddi mengatakan, sebagian negara-negara dengan neraca energi negatif di Asia telah mengantisipasi harga minyak yang semakin tinggi dengan melakukan berbagai efisiensi.
Jepang, misalnya, menargetkan menurunkan persentase penggunaan minyak dalam bauran energi mereka dari 50 persen menjadi 40 persen.
China berupaya memperbanyak pembangkit listrik tenaga air, sedangkan India mengembangkan bahan bakar alternatif.
Posisi Indonesia unik
Di Indonesia, upaya mengurangi ketergantungan pada minyak mulai diterapkan tahun lalu dengan meluncurkan program penghematan dan penggunaan energi alternatif.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menyebutkan, posisi Indonesia unik karena Indonesia adalah produsen sekaligus konsumen minyak. Indonesia mengalami penurunan produksi minyak sejak akhir tahun 1990. Produksi minyak terus turun dari rata-rata 1,3 juta barrel hingga sekarang sekitar 900.000 barrel.
Direktur Eksekutif IEA Claude Mandil mengatakan, sebagai institusi yang beranggotakan negara-negara konsumen migas, IEA menghadapi tantangan untuk mendapatkan data kebutuhan energi fosil yang tepat. (DOT/BEN)

---

Sabtu, 19 Mei 2007

Kompor Gas Bersubsidi Tak Akan Dianggarkan Lagi
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/19/ekonomi/3538936.htm

Jakarta, Kompas - Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Suryadharma Ali menegaskan, Kementerian Negara Koperasi dan UKM tidak akan mengalokasikan lagi anggaran untuk kelanjutan pengadaan kompor gas bersubsidi sebagai implementasi program konversi energi.
"Yang sudah berjalan tahun 2007 ini ya biarkanlah tetap berjalan. Tetapi, untuk tahun 2008, kami tidak akan menganggarkan lagi. Alasannya, pemerintah meminta kami buat program, tetapi program itu ternyata tidak didukung dengan anggaran yang memadai," kata Suryadharma di Jakarta, Jumat (18/5).
Keterbatasan anggaran negara menyebabkan proses pengadaan kompor gas untuk rakyat miskin dibagi-bagi antara Pertamina dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM.
Secara rinci, Kementerian Negara Koperasi dan UKM sesuai dengan anggaran yang disediakan pemerintah hanya bisa memproduksi 371.142 unit dengan harga Rp 104.500 per unit (termasuk Pajak Pertambahan Nilai/PPN). Sedangkan Pertamina mencapai 4,5 juta unit dengan harga Rp 48.500 per unit (belum termasuk PPN).
Ketua Komisi VI DPR Didik J Rachbini mengatakan, substansi permasalahannya bukan terletak pada siapa yang memproduksi. Untuk pengadaan kompor gas, semua pihak harus memiliki misi besar, yaitu mengatasi masalah energi demi menekan subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Janganlah terus-menerus berpolemik tentang siapa yang berhak bertanggung jawab mengatasi masalah energi ini.
Setiap tahun, menurut Didik, anggaran negara sudah habis untuk menyubsidi BBM sebesar Rp 70 triliun hingga Rp 80 triliun. Ditambah lagi menyubsidi PT Perusahaan Listrik Negara sekitar Rp 30 triliun per tahun.
"Kita mesti rasional. Lebih baik subsidi untuk BBM itu dikurangi sedikit demi sedikit melalui program konversi energi sehingga uangnya bisa dialihkan untuk menghidupkan sektor riil," ujar Didik.
Perbedaan harga
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan, perbedaan harga satuan kompor gas yang ditenderkan Pertamina maupun Kementerian Negara Koperasi dan UKM bisa saja mengarah ke dugaan penyimpangan anggaran. Namun, hal itu perlu dilihat secara teliti spesifikasi teknis yang ditentukan kedua pihak.
"Kuncinya terletak pada spesifikasi teknis dan sistem pendistribusiannya, termasuk perhitungan PPN-nya. Jika spesifikasi antara Pertamina dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM sama, KPK bisa menindaklanjuti dengan pemeriksaan," kata Erry.
Menurut Triantony, salah satu peserta yang lolos tender Pertamina, spesifikasi secara teknis baik bentuk maupun dimensinya tidak ada perbedaan.
Semua penyelenggara tender mengacu pada standar yang ditetapkan Departemen Perindustrian. (OSA)

---

Senin, 21 Mei 2007

Indonesia Mulai Negosiasi LNG
PLN dan Pertamina Buat Kesepakatan soal Suplai BBM
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/21/ekonomi/3541490.htm

Jakarta, Kompas - Indonesia dan Jepang memulai negosiasi perpanjangan kontrak gas alam cair pada tanggal 23 Mei 2007. Mengingat adanya peningkatan kebutuhan gas di dalam negeri, akan ada pengurangan pengiriman volume gas ke Jepang. Indonesia memiliki komitmen untuk memasok 12 juta ton LNG ke Jepang.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, pekan lalu, mengemukakan, penandatanganan Principal of Agreement antara Indonesia dan Jepang sebagai tanda kedua belah pihak setuju pembicaraan akan dilakukan oleh Pertamina.
"Kesepakatan belum menyebutkan soal volume, itu nanti akan diputuskan dalam negosiasinya," ujar Purnomo. Namun, ia membenarkan bahwa dengan kuatnya permintaan domestik, volume kontrak gas ke Jepang tidak akan sebesar sebelumnya.
Wakil Direktur PT Pertamina Iin Arifin Takhyan mengatakan, pihaknya akan berbicara dengan kelompok Western Buyers. Mereka antara lain adalah pedagang, perusahaan pembangkit listrik, dan pemasok gas kota di Jepang.
Indonesia memiliki komitmen untuk menyuplai 12 juta ton gas alam cair (liquefied natural gas/ LNG) ke Jepang. Sebagian besar gas tersebut disuplai dari Kilang Bontang dengan pasokan gas berasal dari lapangan yang dikelola Total, Vico, dan Chevron.
Negosiasi tertunda
Kontrak pengiriman LNG ke Jepang akan habis pada 2010-2011. Pihak Jepang beberapa kali mendesak agar pembicaraan untuk perpanjangan kontrak segera dilakukan.
Negosiasi tertunda karena menunggu selesainya neraca gas nasional yang akhirnya diumumkan pemerintah pada 4 Mei 2007. Pemerintah membagi kebutuhan neraca gas ke 11 region.
Dari neraca gas tersebut terlihat bahwa dalam kurun waktu 2007-2015, defisit pasokan gas masih terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Defisit terjadi karena tidak sebandingnya pasokan maupun rencana produksi gas dengan kebutuhan maupun permintaan. Misalnya, Region I Nanggroe Aceh Darussalam dan Region VI Kalimantan Bagian Timur dihitung defisit karena ada komitmen ekspor gas alam cair yang harus dipenuhi.
Sementara Region III yang mencakup Sumatera Bagian Tengah, Sumatera Bagian Selatan, dan Jawa Bagian Barat terhitung defisit karena kebutuhan industri, pabrik pupuk, pembangkit listrik, maupun gas kota.
Sementara ini, defisit pasokan gas di wilayah Jawa Bagian Barat diatasi dengan upaya pengalihan (swap) gas antara badan usaha milik negara yang terkait dalam produksi dan penyaluran gas.
Upaya ini pun gagal dilakukan karena kendala seretnya produksi maupun keterlambatan penyelesaian proyek infrastruktur gas.
Pasokan gas untuk keramik mengalami penurunan dari 85 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) menjadi 65 MMSCFD sejak April 2007.
Sepekan lalu, volume pasokan gas turun lagi menjadi 60 MMSCFD, diikuti penurunan tekanan dari 0,5 bar menjadi 0,2 bar. Akibatnya, industri keramik gagal menghasilkan produk bermutu.
Ketua Asosiasi Industri Keramik Achmad Widjaya menjelaskan, kekacauan pasokan gas seharusnya tidak terjadi jika proyek pipanisasi Sumatera Selatan ke Jawa Barat (SSWJ) selesai bulan Maret lalu. Namun, ternyata proyek itu menghadapi berbagai kendala di lapangan.
Dirut PT PGN Sutikno mengatakan, pembangunan pipa penyambung (jumper) untuk pengalihan gas ditargetkan selesai sesuai jadwal. Pipa itu diharapkan bisa membuat industri bertahan sampai pasokan gas dari Sumatera Selatan sebesar 170 MMSCFD mengalir Agustus nanti.
Kontrak BBM
Sementara itu, PT Perusahaan Listrik Negara dan PT Pertamina mencapai kesepakatan untuk suplai bahan bakar minyak selama lima tahun.
Dengan kontrak tersebut, PLN mendapat harga yang lebih murah dari sebelumnya, sementara Pertamina bisa mendenda PLN jika terlambat membayar.
Untuk tahun ini, kontrak berlaku terhitung mulai 1 Mei sampai 31 Desember. Volume BBM yang disepakati adalah 5,6 juta kiloliter.
"Konsekuensinya, PLN akan dikenai denda kalau dalam 30 hari terlambat membayar. Sebaliknya, Pertamina memberikan harga BBM yang lebih murah dibandingkan yang selama ini didapat," ungkap Deputi Direktur Energi Primer PT PLN Tony Agus Mulyantono.
Sesuai kontrak, perhitungan BBM yang dijual ke PLN adalah harga BBM yang dijual di Singapura (Mid Oil Platts Singapore/MOPS) plus marjin 9,5 persen. (DOT/OSA)

No comments: