Monday, May 21, 2007

Kembali reformasi poco-poco


Beberapa komponen bangsa kembali memeprtanyakan masalah reformasi. Pada hakikatnya memang reformasi masih jalan di tempat, atau istilah favorit saya adalah reformasi poco-poco.

Begitulah..maju satu, mundur dua langkah dan berputar-putar di tempat hingga "musik" habis.

Salam
=========================
Reformasi atau Deformasi
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/19/opi01.html

OlehBenny Susetyo

Mei adalah bulan bersejarah. Sewindu lalu menjelang 21 Mei merupakan situasi terkacau yang pernah ada selama 32 tahun Indonesia rezim Orde Baru. Tidak hanya di Jakarta, bahkan di beberapa kota besar di negeri ini diliputi ketakutan dan keserbatidakpastian. Sayangnya, serentetan peristiwa kekerasan yang menimpa negeri ini belum dapat diungkap secara jelas. Bahkan hingga empat kali ganti penguasa. Kita tidak tahu butuh berapa penguasa untuk bisa mengungkap kejahatan kemanusiaan yang terjadi di bulan Mei 8 tahun silam.Peristiwa kerusuhan Mei 1998 merupakan peristiwa kejahatan kemanusiaan dalam catatan sejarah Indonesia. Negara harus mengusut tuntas peristiwa itu. Penegakan supremasi hukum untuk mengungkap tindakan kekerasan tersebut tidak lepas dari sejauh mana pemerintah reformasi melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pembawa amanat reformasi? Dan tak terasa memang sudah delapan tahun kita mengalami masa yang sering disebut reformasi.Kita memang telah mendapatkan hasil-hasil positif dari reformasi. Tapi mungkin belum sebanding dengan efek negatif yang dirasakan masyarakat setiap waktu. Selama 8 tahun rakyat menikmati situasi ketidakmenentuan politik yang hampir terjadi sepanjang rentang waktu itu. Suguhan utama penguasa kepada rakyat adalah polemik antarelit politik yang tidak membangun. Problemnya, polemik yang disuguhkan bukanlah yang mampu membangkitkan dinamika berpikir. Yang ada adalah polemik yang sangat menyayat hati. Semua serba konyol, serba dibungkus dalam basa-basi politik serta pesan-pesan sponsor yang penuh persekongkolan.Dalam delapan tahun masa ketidakmenentuan ini memang kita harus menyinggung berbagai paradoks reformasi. Maksudnya reformasi yang mengarah pada deformasi. Reformasi yang ditandai dengan suasana keterbukaan dan kebebasan berpendapat, dan segala perilaku mengarah pada upaya menciptakan demokrasi. Tapi kita dihadapkan oleh kenyataan serius, benarkah para elite kita berupaya sungguh-sungguh menciptakan demokrasi? Mari kita merefleksikannya dari lembaga-lembaga utama yang menjadi ciri demokrasi: legislatif, eksekutif, yudikatif dan parpol.Perangai Kekanakan-kanakanDi awal-awal reformasi lembaga legislatif mendapat sanjungan luar biasa atas keberaniannya mengritik pemerintah. Secara drastis mereka mengubah perilakunya di masa Orde Baru yang hanya duduk, diam dan duit. Ini merupakan semangat demokrasi yang sangat bagus. Namun, kekritisan dan kepandaian berbicara para anggota dewan yang terhormat itu kemudian dirasakan rakyat semakin lama semakin membosankan. Mereka berbicara atas nama rakyat, tapi tidak jelas rakyat mana yang ia bela. Ujung-ujungnya adalah pembelaan pada diri dan kelompoknya sendiri. Ini terjadi pada dewan di pusat saja, begitu pula di daerah-daerah. Parlemen tidak mewakili aspirasi rakyat, tapi aspirasinya sendiri.Begitu pula dengan kinerja pemerintahan menurut penilaian masyarakat, misalnya dalam berbagai polling yang diselenggarakan media massa, tidak saja buruk secara kualitas, melainkan juga sering bersifat menindas rakyat. Berbagai kebijakan pemerintah sering tidak berpihak pada wong cilik. Pemerintah sibuk dengan dirinya sendiri, dan selalu melalaikan masyarakat. Berbagai aset penting negara dijual seenaknya, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Demikian pula dengan KKN yang semakin sering terjadi dengan cara-cara yang lebih halus, untuk menipu pandangan masyarakat.Penegakan hukum yang semakin lemah adalah tanda dari buruknya kinerja badan-badan hukum di Indonesia. Hukum sering dinilai dengan uang dan kekuasaan. Hukum diterapkan dengan metode belah bambu: menginjak yang bawah dan mengangkat yang atas. Maka jangan heran di masa reformasi ini, masyarakat semakin apatis terhadap hukum. Dan berkembang luas di dalam pikiran rakyat bahwa berurusan dengan hukum adalah berurusan dengan uang. Siapa kuat dia memiliki imunitas hukum.Di sisi lain parpol tidak menjalankan fungsinya untuk mewadahi aspirasi masyarakat. Parpol hanya berpikir untuk merebut kekuasaan, dan dengan demikian memanfaatkan rakyat sebagai obyek. Parpol sering memfungsikan diri sebagai himpunan penguasa-penguasa kecil yang mengklaim representasi rakyat. Parpol telah secara salah mengartikulasikan kepentingan-kepentingan rakyat ke dalam tujuan-tujuan politik tertentu, padahal sebenarnya pandangan-pandangan umum rakyat tidak seperti itu. Padahal dalam Pemilu 2004 sudah jelas bahwa rakyat mulai menunjukkan sinismenya pada parpol akibat perangai kekanakan-kanakan elitenya, toh hingga kini perilaku tidak dewasa itu masih dirawat.Kedaulatan ModalPolitik yang selama ini katanya diwarnai dengan politik aliran, dan mereka memperjuangkan masyarakat aliran di bawahnya, sebetulnya hanya permukaan. Dalam realitasnya, tidak ada politik aliran yang benar-benar memperjuangkan visi ideologinya. Yang berkuasa tetap uang. Aliran dalam politik hanya sekedar barang dagangan politik alias komoditas politik. Dan bukan untuk memperjuangkan nilai-nilai ideologi yang terkandung. Sebab dalam praktiknya, mereka tergantung pada pemilik modal. Ketergantungan inilah yang menyebabkan ketidakmampuan pemerintah untuk bertindak tegas terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Ini terjadi tidak hanya di pusat-pusat pemerintahan, melainkan sampai ke kantor bupati dan kepala desa.Suka tidak suka, ini adalah realitas yang terjadi di lapangan. Lihat saja kenyataan apa yang sering disebut orang sebagai para calo politik (rent seeker). Di balik praktik percaloan itu ada kekuatan para pemilik modal besar yang berperan. Kepentingan pemilik modal adalah untuk melestarikan bisnis-bisnis mereka yang korup. Bisnis tersebut akan besar jika didukung oleh kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka.Apa yang terjadi di atas sangat tepat dikatakan sebagai deformasi daripada reformasi sebagaimana. Para politisi bisanya hanya menunggangi kemenangan politik yang telah dicapai melalui perjuangan mahasiswa. Mahasiswa dijadikan tumbal, dan sedikit sekali penghargaan yang bisa diberikan kepadanya.Rakyat yang mengalami kemiskinan ekonomi selama bertahun-tahun dalam pemerintahan Soekarno, merasa bahwa datangnya Orde Baru bagaikan dewa penyelamat. Pembangunan ekonomi pun dengan segera diselenggarakan dengan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi yang signifikan akan menciptakan pemerataan ekonomi. Pembangunanisme ini diawali dengan ”memanfaatkan” situasi bahwa kebutuhan masyarakat pada saat itu adalah untuk memperbaiki diri. Pelan-pelan namun pasti, orientasi pembangunan ekonomi yang menekankan pada ”ideologi” pertumbuhan itu membuka kedok sebenarnya. Bahwa ada perbandingan yang sangat tidak adil di mana polarisasi ekonomi antara masyarakat mayoritas sangat tidak proporsional dengan masyarakat minoritas. Dulu, delapan tahun lalu, rakyat juga dibuat gembira dengan datangnya Orde Reformasi. Tapi apa yang terjadi selanjutnya? Basa-basi reformasi lebih mengemuka. Pertanyaannya, sampai kapan masa ini akan selesai?Penulis adalah Pendiri Setara Institute.

No comments: