Friday, January 04, 2008

Tiup Terompet Tahun Baru Maksiat?

Berkonvoi menuju Monas mengais rezeki tahun baru.

Macet, cet, cet di Pejambon. Tidak bergerak, juga motor sekalipun.

Parkir di depan gerbang Istiqlal, siap-siap.


Hari ini, Jumat 4 Jan 08, saya terhenyak. Ketika mendengar kotbah Jumat di mesjid Annur di dalam komplek Depkeu. Pada awalnya kutbah berjalan baik dan normal dengan mengajak umat untuk hijrah sehubungan dengan datangnya tahun baru (baik tahun baru islam ataupun 2008). Setelah hijrah yang dilandasi iman, tentu saja memang kita harus memperbaiki diri hingga mau datang ke Jumatan yang satu paket dengan kotbah. Untuk itu sangatlah tidak tepat kalau lalu kita tertidur ketika khotib naik mimbar. Semua benar. Sampai ketika bagian akhir sang khotib menyesalkan akan kemeriahan peringatan malam tahun baru yang dianggapnya jor-joran, justru ketika sebagian masyarakat tertimpa bencana banjir, longsor, dsb.

Bagian krusialnya adalah ketika beliau mengatakan bahwa bernyanyi seperti band Ungu yang dia cuplik liriknya "JIka tiba ajalku....." dan khotib menyebutkan bahwa meniup terompet di akhir tahun itu adalah MAKSIAT!! Nauzubillah!

Saya kebetulan datang sendiri ke Monas dengan membawa 2 anak saya, dan dalam perjalanan menuju Monas malam itu dari lapangan Banteng, dengan mata kepala sendiri saya saksikan...tidak semua orang membeli terompet, termasuk kami. Bannyak rakyat jelata hanya ingin mencari penghasilan tahunan yang dari jam 4 sore sudah mendorong barang dagangannya, begitu pula rakyat lain sudah ada yang parkir motornya di Istiqlal.

Yang ingin saya lakukan adalah menyaksikan dari dekat pesta kembang api. Hanya kembang api, karena sesaknya Monas tidak memungkinkan saya ke dekat panggung, yang saya tidak tahu persisnya dimana. Saya dan anak saya tertahan di Depan Gedung Itjen Depdagri di Merdeka TImur. Saya bersyukur, masih ada satpamnya (pak Hans..asli Ambon mungkin) yang mau membuka pintu kantor sehingga banyak orang yang numpang berteduh menunggu ditabuhnya tanda tahun baru disertai pest kembang api. SAya melihat sendiri, begitu banyak masyarakat tumplek dengan damai, tanpa kemarahan meski macet dan tidak bergeraknya
kendaraan bermotor roda dua dan empat disekitar Monas. Begitu banyak orang yang kecewa karena macet dimana-mana (motor sudah tidak bisa jalan disekitar Monas, terutama di pejambon yang saya lalui) berubah cerah dan senang ketika melihat kembang api. Wajah-wajah lelah berubah ceria, kemudian banyak yang tertidur sampai kendaraannya bisa dijalankan karena kemacetan sudah terurai.,

Saya lihat banyak anak-anak yang telah seminggu korban banjir di sekitar jakarta, sengaja datang dari bukit duri dan kampung melayu hanya untuk sekedar menghibur diri dengan hiburan gratis, baik pentas band ataupun kembang api.

TErus terang, ketika melihat kembang api yang berwarna warni tersebut, saya dan anak saya terhibur. Anak saya selalu bilang "keren abis" sambil saya senyum, mestinya dia bilang "alhamdulillah atau subhanallah" karena memang indah. Justru saya sayangkan kalau hanya menghabiskan Rp 200 juta, mestinya bisa dilebihkan . Tapi okelah..., mungkin nanti bisa lebih meriah.

Nah..apakah pesta rakyat ini bisa disebut MAKSIAT? Jangan-jangan ktotibnya sudah demikian takabur dan merasa benar sendiri. Kalau "Wet Party" di di Citos dipinggir kolam renang seperti iklan yang saya dengar mungkin bisa disebut maksiat, karena biasanya akan berlanjut dengan acara terusan tergantung masing-masing peserta pesta. Khotibnya sampai mengalikan 2 juta orang yang datang ketempat hiburan dengan harga Rp 5000 untuk terompet, yang jika dikumpulkan bisa mencapai Rp 10 M untuk membantu korban banjir. Apa iya seehhh? APa iya tidak boleh orang mencari hiburan gratis di tengah kelelahan dan kejenuhan menunggu perbaikan dan perubahan bangsa?

Tapi sekali lagi, apa iya rakyat berpesta tahun baru, mencari hiburan gratis, berbagi uang Rp 5000an untuk pembuat dan pengrajin terompet harus dilarang dan dikategorikan sebagai maksiat?

Sekali lagi, sebagai orang islam, saya bingung sendiri dengan khotib yang dipilih oleh pengurus mesjid di Depkeu, sayang saya gak sempat menanyakan siapa nama khotib tersebut, dan saya juga gak antusias ingin tahu nama beliau.

SAya jadi ingat ketika Aa Gym dan
kaum intelektual ketika dulu ikut-ikutan beriklan mendukung kenaikan harga minyak, sudah demikian parahkah bangsa kita ini, termasuk ulamanya? Ah..mudah-mudahan saya salah.


Wassalam,

ES

2 comments:

S Haerani said...

Yang salah adalah ketika siapapun menghamburkan uang hanya untuk melewatkan detuk pergantian malam tahun baru. Ingat 200 juta itu bukan uang sedikit mengingat rata rata rakyat indonesia berada dalam garis kemiskinan. Hal ini juga termasuk pemborosan, karna sifat boros dibenci oleh Allah S.W.T.
Selain itu pesta panggung yg bergelimpangan artis ibu kota banyak dihadiri muda mudi pacaran yang kebanyakan sudah mengarah pada budaya barat dalam gaya berpacaran. Bukan kah mendekati zina saja sudah dilarang oleh Allah S.W.T?
Jadi tidak salah jika pesta tahun baru di sebut maksiat! Anda salah menilai sang khotib.

S Haerani said...

http://m.kompasiana.com/post/read/624806/2/habis-pesta-tahun-baru-kondom-dan-minuman-keras-tersebar-di-sudut-monas-.html