ES
Bisnis Indonesia Harian - Detail
.....................Throughout this blog you're invited to share your thought for other people around the world. For those of you -Indonesian- just remember that "Your beloved Indonesia is in waiting, still". So let's do something...............! "Laughing may be a best medicine, but addressing critiques is the best therapy" (Satriya, 1984)..........
ES
M Fadjroel Rachman
Sungguh tak bermoral bila mahasiswa Indonesia menerima uang dari program Bantuan Khusus Mahasiswa yang diambil dari dana pengalihan subsidi BBM. Dapatkah uang tersebut ditafsirkan sebagai ”uang suap” karena dapat diduga diniatkan untuk meredam gerakan mahasiswa?
Bila pemerintah di bawah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), program Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) tidak pernah ada. Artinya, beban berat kenaikan harga BBM beserta totalitas dampak sosial, ekonomi, dan psikologis yang dipikul masyarakat dikompensasi dengan keuntungan mahasiswa melalui BKM.
Dapat dipertanyakan pula, bermoralkah sebuah rezim pemerintah yang tak becus mengelola kekayaan sumber daya minyak dan mineralnya, lalu membujuk kelompok penentangnya, khususnya mahasiswa, dengan program BKM?
Meredam gerakan mahasiswa
Tak pernah ada rencana pemerintah sebelumnya untuk mengalihkan subsidi BBM kepada mahasiswa Indonesia. Bahkan, debat di ”Kupas Tuntas” Trans7 (27/5) antara penulis dan Andi Mallarangeng (Juru Bicara Kepresidenan) hanya mengungkapkan bahwa subsidi BBM dialihkan kepada rakyat miskin melalui bantuan langsung tunai (BLT) senilai Rp 14,17 triliun, yang akan dibagikan pemerintah kepada 19,12 juta rumah tangga. Entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba saja muncul keputusan pemerintah membagi dana pengalihan subsidi BBM dalam program BKM. Sebanyak 400.000 mahasiswa dari 83 perguruan tinggi negeri dan 2.700 perguruan tinggi swasta akan menerima Rp 500.000 per semester mulai Juli 2008 (Kompas, 28/5).
Ada apa? Program ini adalah sikap reaktif dan panik pemerintah setelah mahasiswa di seluruh Indonesia menolak kenaikan harga BBM bersama beragam sektor masyarakat (buruh, tani, kaum miskin kota, perempuan, pemuda, dan lainnya) serta kelompok menengah dan oposisi. Konfrontasi tak terhindarkan lagi, terutama di Makassar, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, dan terakhir penyerbuan dan perusakan Kampus Universitas Nasional (Unas), Jakarta, dengan kekerasan brutal aparat yang mengakibatkan sekitar 140 mahasiswa ditahan serta terluka ringan dan berat. Sudah 200-an mahasiswa yang ditangkap aparat di seluruh Indonesia dan puluhan lainnya menjadi tersangka. Tersangka dari Unas saja 31 orang, ditahan sejak 24 Mei 2008.
Titik konfrontasi pemerintahan SBY-JK versus gerakan mahasiswa 2008 semakin tajam dan dipenuhi kekerasan serta rumah tahanan. Tentu penajaman konflik dan perluasan elemen masyarakat semakin mengkhawatirkan pemerintah. Ketika titik konfrontasi gerakan mahasiswa mengerucut, sebuah rezim tinggal menghitung hari kejatuhannya. Apakah berpola Jakarta, Mei 1998, untuk kemenangan status quo Orbais ataukah Filipina, 1986, untuk kemenangan para demokrat-progresif?
Dinamika politik penentunya dan gerakan mahasiswa 2008 jantung perubahannya. Program BLT, kekerasan, dan penjara, serta kini BKM dipadukan untuk meredamnya. Bisakah uang rakyat dipakai untuk mencari popularitas politik dan mempertahankan kekuasaan yang tak berpihak kepada rakyat. Becermin pada sejarah, tak ada cara untuk membalikkan arus sejarah gerakan mahasiswa ini.
BLT versus BKM
Mengapa BLT harus diterima rakyat, tetapi kenaikan harga BBM harus dibatalkan? Karena BLT tanpa kenaikan harga BBM pun adalah hak rakyat miskin seperti yang diamanatkan Konstitusi 1945, ”fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara”, jadi sebuah kewajiban konstitusional. Negara kapitalis seperti Amerika Serikat saja mengenal santunan untuk orang miskin lewat program social security-nya. Di negara-negara kesejahteraan (welfare state), seperti di Eropa Barat dan di Skandinavia seperti Swedia, Denmark, Norwegia, dan Finlandia, semua barang publik menjadi hak semua warga negara tanpa kecuali, apa pun tingkat sosialnya.
Di Swedia, misalnya, total jaminan kesejahteraan sosial dari produk domestik bruto (PDB) 24,1 persen (1980), 24,9 persen (1985), 27,3 persen (1990), dan 29,3 persen (1995). Lalu, kesehatan publik terhadap persentase total pengeluaran kesehatan 84,0 persen (1980), 83,6 persen (1985), 82,6 persen (1990), dan 80,8 persen (1990). Bandingkan, pendapatan per kapita Indonesia (metode Purchasing Power Parity) sebesar 3.210 dollar AS, sedangkan Swedia 26.600 dollar AS (Bank Dunia). Di Swedia, kemiskinan dan pengangguran diperangi sekaligus ketimpangan sosial diatasi dengan pajak progresif hingga 50-55 persen. Adakah pajak progresif untuk 200-an konglomerat Indonesia, salah satunya adalah seorang menteri yang kini terkaya di Indonesia dan Asia Tenggara (asetnya 9,2 miliar dollar AS atau Rp 84,6 triliun)?
Bila BLT mesti diterima rakyat, BKM haruslah ditolak, pertama, merupakan ”uang suap” untuk meredam gerakan mahasiswa 2008; kedua, merupakan ”uang haram” karena bukan hak mahasiswa Indonesia, tetapi hak rakyat dari pengalihan subsidi BBM; ketiga, merusak karakter gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik nilai dan bukan gerakan politik kekuasaan; keempat, menghancurkan integritas moral dan integritas intelektual mahasiswa Indonesia.
Nah, di titik inilah kita bertemu dengan sikap tegas yang menjadi cermin integritas moral dan intelektual mahasiswa Indonesia—karena mereka berjuang untuk rakyat, bukan untuk BKM—melalui Soe Hok Gie (Catatan Harian Seorang Demonstran), kata Gie, ”Lebih baik diasingkan daripada hidup dalam kemunafikan.”
M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)
MT Zen
Dahulu, di zaman Orde Baru, saya masih ingat sekali bahwa setiap kali ada berita tentang turunnya harga minyak di pasaran dunia, Pemerintah Indonesia sudah berkeluh kesah. Pada waktu itu cadangan terbukti Indonesia tercatat 12 miliar barrel.
Kini, pada masa Reformasi ini, lebih khusus lagi selama kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, pemerintah juga berteriak, berkeluh kesah, dan panik apabila harga minyak meningkat di pasaran dunia.
Harga minyak turun berteriak, harga minyak naik lebih berteriak lagi dan panik. Jadi, apa gunanya kita punya minyak, sedangkan Indonesia sejak awal sudah menjadi anggota OPEC? Alangkah tidak masuk akalnya keadaan ini? Sangat kontroversial. Minyak itu tak lain adalah kutukan.
Cadangan tak tersentuh
Hingga kini Indonesia secara resmi disebut masih mempunyai cadangan minyak sebesar 9 miliar barrel. Memang betul, jika dibandingkan dengan cadangan minyak negara-negara Timur Tengah, 9 miliar barrel itu tidak ada artinya. Namun, jelas-jelas Indonesia masih punya minyak. Selain cadangan lama, cadangan blok Cepu belum juga dapat dimanfaatkan. Belum lagi cadangan minyak yang luar biasa besar di lepas pantai barat Aceh.
Perlu diketahui bahwa pada pertengahan tahun 1970-an Indonesia memproduksi 1,5 juta barrel per hari. Yang sangat mencolok dalam industri minyak Indonesia adalah tik ada kemajuan dalam pengembangan teknologi perminyakan Indonesia sama sekali.
Norwegia pada awal-awal tahun 1980-an mempunyai cadangan minyak yang hampir sama dengan Indonesia. Perbedaannya adalah mereka tidak punya sejarah pengembangan industri minyak seperti Indonesia yang sudah mengembangkan industri perminyakan sejak zaman Hindia Belanda, jadi jauh sebelum Perang Dunia ke-2. Lagi pula semua ladang minyak Norwegia terdapat di lepas pantai di Laut Atlantik Utara. Lingkungannya sangat ganas; angin kencang, arus sangat deras, dan suhu sangat rendah; ombak selalu tinggi.
Teknologi lepas pantai, khusus mengenai perminyakan, mereka ambil alih dari Amerika Serikat hanya dalam waktu 10 tahun. Sesudah 10 tahun tidak ada lagi ahli-ahli Amerika yang bekerja di Norwegia.
Saya berkesempatan bekerja di anjungan lepas pantai Norwegia dan mengunjungi semua anjungan lepas pantai Norwegia itu. Tak seorang ahli Amerika pun yang saya jumpai di sana sekalipun modalnya adalah modal Amerika, terkecuali satu; seorang Indonesia keturunan Tionghoa dari Semarang yang merupakan orang pertama yang menyambut saya begitu terjun dari helikopter dan berpegang pada jala pengaman di landasan. Dia berkata sambil tiarap berpegangan tali jala, ”Saya dari Semarang, Pak.” Dia seorang insinyur di Mobil yang sengaja diterbangkan dari kantor besarnya di daratan Amerika untuk menyambut saya di dek anjungan lepas pantai bernama Stadfyord A di Atlantik Utara.
Di sanalah, dan di anjungan- anjungan lain, saya diceritakan bahwa mereka tidak membutuhkan teknologi dari Amerika lagi. Mereka sudah dapat mandiri dan dalam beberapa hal sudah dapat mengembangkan teknologi baru, terutama dalam pemasangan pipa-pipa gas dan pipa-pipa minyak di dasar lautan. Teknologi kelautan dan teknologi bawah air mereka kuasai betul dan sejak dulu orang-orang Norwegia terkenal sebagai bangsa yang sangat ulet dan pemberani. Mereka keturunan orang Viking.
Ada satu hal yang sangat menarik. Menteri perminyakan Norwegia secara pribadi pernah mengatakan kepada saya bahwa Norwegia dengan menerapkan teknologi enhanced recovery dari Amerika berhasil memperbesar cadangan minyak Norwegia dengan tiga kali lipat tanpa menyentuh kawasan-kawasan baru. Ini sesuatu yang sangat menakjubkan.
Norwegia pernah menawarkan teknologi tersebut kepada Indonesia, tetapi mereka minta konsesi minyak tersendiri dengan persyaratan umum yang sama dengan perusahaan lain. Ini terjadi pada akhir tahun 1980-an. Namun, kita masih terlalu terlena dengan ”kemudahan-kemudahan” yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan Amerika. Pejabat Pertamina tidak mau mendengarkannya. Gro Halem Brundtland, mantan perdana menteri, menceritakan hal yang sama kepada saya.
Contoh lain, lihat Petronas. Lomba Formula 1 di Sirkuit Sepang disponsori oleh Petronas. Petronas itu belajar perminyakan dari Pertamina, tetapi kini jauh lebih kaya dibanding Pertamina. Gedung kembarnya menjulang di Kuala Lumpur. Ironisnya, banyak sekali pemuda/insinyur Indonesia yang bekerja di Petronas.
Kenapa banyak sekali warga Indonesia dapat bekerja dengan baik dan berprestasi di luar negeri, tetapi begitu masuk kembali ke sistem Indonesia tidak dapat berbuat banyak?
Jika kita boleh ”mengutip” Hamlet, dia bekata, ”There is something rotten, not in the Kingdom of Denmark, but here, in the Republic of Indonesia.”
Lengah-terlena
Salah satu kelemahan Indonesia dan kesalahan bangsa kita adalah mempunyai sifat complacency (perkataan ini tidak ada dalam Bahasa Indonesia, cari saja di kamus Indonesia mana pun), sikap semacam lengah-terlena, lupa meningkatkan terus kewaspadaan dan pencapaian sehingga mudah disusul dan dilampaui orang lain.
Lihat perbulutangkisan (contoh Taufik Hidayat). Lihat persepakbolaan Indonesia dan PSSI sekarang. Ketuanya saja meringkuk di bui tetap ngotot tak mau diganti sekalipun sudah ditegur oleh FIFA.
Apa artinya itu semua? Kita, orang Indonesia tidak lagi tahu etika, tidak lagi punya harga diri, dan tidak lagi tahu malu. Titik.
Ketidakmampuan Pertamina mengembangkan teknologi perminyakan merupakan salah satu contoh yang sangat baik tentang bagaimana salah urus suatu industri. Minyak dan gas di Blok Cepu dan Natuna disedot perusahaan-perusahaan asing, sementara negara nyaris tak memperoleh apa pun. Dalam hal ini, Pertamina bukan satu-satunya. Perhatikan benar-benar semua perusahaan BUMN Indonesia yang lain. Komentar lain tidak ada.
MT Zen Guru Besar Emeritus ITB
JAKARTA: Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyiapkan sedikitnya enam blue print (cetak biru) di bidang energi dan kelistrikan, selain sejumlah revisi peraturan menteri di bidang migas dan hulu migas.
Draf paket kebijakan ekonomi lanjutan yang segera diterbitkan pemerintah mengungkapkan cetak biru dan revisi kebijakan itu selesai pada akhir Desember 2008. Laporan itu menyebutkan reformasi kebijakan produksi sektor migas dan pertambangan menjadi prioritas fokus program pemerintah 2008-2009.
Kebijakan itu mulai dari penyederhanaan prosedur iklim usaha di sektor kelistrikan, diversifikasi, dan konversi energi hingga perbaikan tata kelola di sektor migas dan pertambangan (lihat tabel).
Sumber Bisnis mengungkapkan kebijakan di bidang infrastruktur kelistrikan dan energi merupakan program prioritas yang ditargetkan selesai sesuai jadwal.
"Pemerintah tidak akan memundurkan jadwal realisasi program di bidang infrastruktur kelistrikan dan energi. Itu akan dilakukan, kendati ada efisiensi dalam APBN-P 2008," ujarnya.
Menurut sumber tadi, seluruh fokus program pemerintah 2008-2009 dalam draf paket ekonomi lanjutan itu sudah disepakati oleh semua menteri dan pejabat terkait dalam rapat terakhir yang dipimpin Menko Perekonomian Boediono. Draf paket ekonomi lanjutan itu sudah diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat dikonfirmasi, Deputi Kemeneg PPN/Bappenas Bidang Sarana dan Prasarana Dedy S. Priatna menjelaskan fokus kebijakan ekonomi 2008-2009 itu akan dikukuhkan melalui instruksi presiden (Inpres).
Fokus kebijakan itu, lanjutnya, juga meliputi investasi untuk bidang pertambangan dan energi. "Kini [draf Inpres] sudah berada di Sekretariat Kabinet untuk disahkan."
Dedy menjelaskan fokus investasi di bidang pertambangan dan energi juga terkait dengan bidang lain. Dia memberi contoh kebijakan revisi Perpres No. 67/2005 tentang Kemitraan antara Pemerintah dan Swasta (Public Private Partnership/PPP) dalam membangun infrastruktur.
Sejak Perpres itu ditebitkan, belum ada investasi dengan skema PPP baru di Indonesia, meskipun dari sisi persaingan usaha Perpres No. 67/2005 sangat ideal. "Revisi Perpres [No. 67 /2005] ditargetkan selesai Desember 2008."
Dedy menerangkan fokus ekonomi 2008-2009 juga menyinggung persoalan harga jual listrik. Saat ini, lanjutnya,� margin perusahaan listrik hilir, seperti PT PLN dengan produsen bahan baku energi, sangat kecil. Itu terjadi karena adanya batasan harga pada produk akhir.�
Dirjen Migas Departemen ESDM Luluk Sumiarso menolak berkomentar karena mengaku belum mengetahui isi paket reformasi tersebut.
"Kebijakan itu dikoordinasikan oleh Menko Perekonomian. Saya tidak tahu isinya apa saja, sehingga saya tidak bisa mengomentari sesuatu yang belum saya ketahui."
Pembangkit listrik
Dirjen Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi, Departemen ESDM, Simon Felix Sembiring, menyatakan rumusan cetak biru penyediaan batu bara untuk program percepatan pembangkit 10.000 MW sudah disusun. Rumusan itu dibuat oleh Tim Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW yang diketuai Yogo Pratomo. "Cetak biru tersebut berisi jaminan pasokan batu bara."
Soal penetapan harga, Simon menilai hal itu bergantung pada kebijakan Menteri Keuangan. "Tetapi kalau harganya membubung tinggi,� pemerintah terpaksa harus ikut campur tangan."
Namun, peneliti dari Institut Teknologi Bandung Widjajono Partowidagdo menilai pemerintah harus tegas menetapkan harga bahan baku energi alternatif, setidaknya untuk mencapai target penyediaan listrik di perdesaan.
Dia memberi contoh sampai saat ini tidak ada petani yang bersedia membudidayakan tanaman jarak, padahal pemerintah sudah meluncurkan pengembangan bahan bakar nabati. Keengganan itu karena tidak ada kepastian harga jual produksi petani.
Situasi serupa juga terjadi pada pengembangan teknologi panas bumi, sehingga tidak ada investor yang tertarik mengembangkan pembangkit listrik bertenaga panas bumi di Indonesia. (rudi.ariffianto@bisnis.co.id/erna.girsang@bisnis.co.id/neneng.herbawati@bisnis.co.id)
Oleh Rudi Ariffianto, Erna S.U. Girsang & Neneng Herbawati
Bisnis Indonesia
Sungguh berat rasanya membayangkan orang seidealis Mas Sophan yang harus menjadi ketua rombongan acara Tour Moge Merah-Putih di tengah suasana prihatin akan kenaikan harga dan kelangkaan BBM, serta kesulitan wong cilik saat seperti ini. Di jalan penuh lobang dan jepitan panjang kerusakan, moge itu akhirnya melintas dan meminta korban jiwa Bung Sophan yang di hari-hari akhirnya justru sedang bergelut dengan pemikiran-pemikiran bernas bagaimana menyelematkan bangsa ini dari berbagai keterpurukan. Mungkinkah pikiran-pikiran bernas dan renungan itu melintas ketika beliau tour dan membungkam konsentrasinya di atas jalan beraspal? Saya hanya berandai, dan semoga Allah menerima almarhum di sisiNya.
AMin ya rabbal alamin.
Abdul Khalik , The Jakarta Post , Jakarta
The family of actor and politician Sophan Sophiaan is being advised to sue the government over road damage that may have contributed to the accident that claimed his life Saturday.
Legal experts, lawmakers and non-governmental organizations said Sunday that Sophan's family could take the government to court for negligence and failure to protect its citizens, resulting in death.
"There is jurisprudence in citizens successfully suing the government because of negligence that resulted in an accident," prominent legal expert Frans H. Winarta said.
He said a civil lawsuit against the government could be based on Article 1367 and Article 1365 of the civil law on official malfeasance leading to an incident that claims a life.
Sophan, an award-winning actor, died Saturday in a motorcycle accident near the border between Ngawi in East Java and Sragen in Central Java. He was taking part in a motorcade across Java in celebration of National Awakening Day.
Police said Sophan fell from his Harley-Davidson motorcycle when trying to avoid a large pothole. The motorcycle fell on top of him, breaking his ribs, crushing his lungs and causing internal bleeding.
Several members of the House of Representatives also suggested the family of the victim pursue a lawsuit.
"Enough is enough. The government must be held responsible for the accident so that it fixes the roads, and we don't have to see more fatal accidents," said Ganjar Pranowo of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P).
Lawmaker Mutammimul Ula of the Prosperous Justice Party (PKS) said legal action was necessary because many people had died in similar traffic accidents.
"The family can sue the government on behalf of Pak Sophan, or people along the border of Ngawi and Sragen can file a class action against the government if they think the damaged roads have endangered them," he said.
Potholes and damaged roads across the country have contributed to traffic accidents that kill thousands of people every year. In Jakarta, potholes created during the rainy season caused numerous accidents in February and March, in which dozens of motorists were killed, sparking public anger over poor road maintenance.
Aside from causing accidents, the potholes also hamper traffic flow and increase transportation costs for cargo vehicles.
Sophan, a former chairman of the PDI-P faction in the House, was buried Sunday at Tanah Kusir cemetery in South Jakarta. Thousands of people, including several ministers and lawmakers, attended the funeral.
Constitutional Court chief Jimly Asshiddiqqie led a prayer for Sophan before his burial, while President Susilo Bambang Yudhoyono and First Lady Ani Yudhoyono visited the family's home in Bintaro Jaya, South Jakarta, on Saturday to pay their last respects.
"We have lost a great man, who was working to improve the country's sense of nationalism. I hope his spirit will be carried on," Yuhoyono said.
---Court ruling on Temasek reveals govt mismanagement
http://old.thejakartapost.com/detailheadlines.asp?fileid=20080513.A04&irec=3
Vincent Lingga, The Jakarta Post, Jakarta 13 MAy 2008
Legal matters, however complex and technical, should also follow commonsense logic.
To the laymen, the Central Jakarta District Court's ruling Friday that the Singapore government-owned Temasek holdings and its subsidiaries breached anti-competition laws through minority cross-ownerships in PT Indosat and PT Telkomsel is both a worrisome and confusing logic.
Consider the following facts:
Fact I: The Indonesian government-controlled PT Telkom owns 65 percent of Telkomsel and holds almost 15 percent of Indosat and a golden share that gives it special veto rights over corporate action, while Temasek indirectly holds only 35 percent of Telkomsel and almost 31 percent of Indosat.
Yet the court upheld the ruling by the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) last November declaring Temasek guilty of violating article 27 of the anti-trust law which prohibits a business group from owning majority stakes in companies operating in the same business activities which result in the control of more than 50 percent of the market.
Temasek therefore was ordered to sell all its stake in either Indosat or Telkomsel or halve its holdings in both cellular companies within 12 months.
Fact II: The boards of Indosat and Telkomsel include representatives of the Indonesian government and many prominent Indonesian businessmen who would have been aware of the operational and business issues at the respective cellular phone operators. The majority of Indosat's directors, including the chief executive officer, and the majority of Telkomsel's directors and commissioners, are nominated by the Indonesian government.
Yet the court decided that Temasek, through its cross-ownerships at both Indosat and Telkomsel, had controlled business decisions and corporate actions at both cellular operators.
Fact III: Both Telkomsel and Indosat are regulated businesses, operating within the guidelines of the Telecommunications Regulatory Authority.
Yet the court also upheld the KPPU ruling that Temasek and subsidiaries were guilty of monopolistic price fixing (article 17 of the anti-trust law).
The mind-boggling question then is this: Have the government, the regulatory body and Minister of State Enterprises Sofyan Djalil been so ignorant or pathetic as to have allowed Temasek to commit all the anti-monopoly practices cited by the KPPU and the district court despite its minority shareholdings at both Indosat and Telkomsel?
If Temasek, despite its minority shareholdings, was able to commit all the business sins as concluded by the court and the KPPU, that should raise big questions over the management of dozens of other state companies which have foreign or domestic investors as minority shareholders.
Further down the line, if the poor management and inadequate oversight of Indosat and Telkomsel, as revealed by the KPPU and the court rulings, is typical of the way the government treats state companies, then the Parliament should oppose the planned strategic sale of state-owned PT Krakatau Steel to either one of the four global steel giants -- ArcelorMittal, Tata Steel and Essar, all from India, and Australia's BlueScope Steel, which have been eying a stake of up to 40 percent in the country's largest steel company.
Temasek will certainly appeal against the decisions at the Supreme Court. Since the court also ordered divestment, the government should brace for a long legal battle as Temasek may bring up the case with the World Bank's arbitration body, the International Center for the Settlement of Investment Dispute, in Washington.
Simply throwing in the towel out of frustration with the court system here could be interpreted by the market as Temasek's admission of business sins at the expense of its reputation all over the world.
A ruined reputation would adversely affect Temasek investment operations overseas, investments on which this government's investment holdings have relied increasingly for income growth.
Hence, there is no other alternative for Temasek but to fight it out up to the Supreme Court even in spite of all the risks and uncertainty about the legal proceedings and final results.
Until a credible appeal verdict -- favoring either side -- is issued, the case will continue to cast a long shadow over Indonesia's legal system and the KPPU as an independent body responsible for enforcing the 1999 competition law, which serves as the constitution of the market mechanism.
---------
DALAM 10 tahun terakhir, dunia perminyakan Indonesia tidak terlepas dari sosok Purnomo Yusgiantoro. Dialah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Dia menduduki jabatan ini sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri sampai dengan masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini.
Krisis yang sedang melanda negara ini sekarang berkaitan erat dengan pergerakan harga minyak di pasar dunia yang sama sekali berada di luar kemampuan kita untuk mengendalikannya. Namun, menurut kalkulasi pemerintah, krisis minyak yang memaksa kenaikan harga BBM tidak terelakkan disebabkan ketidakmampuan Indonesia meningkatkan produksi minyak mentah.
Di sinilah sesungguhnya malapetaka itu. Realisasi produksi minyak mentah atau lifting Indonesia selama ini tidak pernah melampaui angka 1 juta barel per hari. Tetapi, anehnya, dalam proyeksi penerimaan APBN, minyak mentah Indonesia selalu diasumsikan berada pada tingkat di atas 1 juta barel per hari.
Produksi minyak yang terus merosot, sekarang sekitar 900 ribu barel per hari, terjadi bersamaan dengan optimisme pemerintah yang tinggi bahwa di dalam perut bumi negeri ini tersimpan minyak mentah berlimpah. Lelang blok-blok eksplorasi terus diobral, tetapi hasilnya tidak memuaskan kalau tidak mau dikatakan nihil.
Antara keyakinan pemerintah dan realisasi produksi tidak sejalan. Kita tidak saja dirundung malapetaka harga minyak yang tidak terkontrol, tetapi juga dihajar bencana pembayaran cost recovery yang amat mahal.
Jadi, dalam dunia perminyakan, Indonesia menderita tiga kali. Menderita karena produksi yang terus merosot. Menderita karena harga yang tidak terkontrol. Dan dihajar lagi penderitaan oleh cost recovery yang mencekik. Para analis berpendapat, Indonesia akan menghadapi bencana sosial hebat bila harga minyak menyentuh US$150 per barel.
Bila tren sekarang tidak terbendung, harga US$150 per barel akan terjadi tahun ini juga. Harga minyak sekarang bertengger pada kisaran US$120 per barel.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil tanggung jawab luar biasa berani ketika memutuskan untuk menaikkan harga BBM dalam waktu dekat. Luar biasa berani karena keputusan menaikkan harga BBM mengingkari janji Presiden sebelumnya.
Pada titik ini, sudah sepatutnya kita bertanya, siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab dalam kegagalan produksi minyak Indonesia?
Ketika asumsi APBN dikoreksi berulang kali, seakan-akan kegagalan itu adalah tanggung jawab Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian. Belum pernah kita mendengar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengatakan bertanggung jawab atas kegagalan lifting minyak Indonesia. Kegagalan yang menjerumuskan bangsa dan negara ke bencana yang mengerikan.
Kita tidak tahu apakah Presiden pernah meminta pertanggungjawaban dari menteri yang satu ini atas kegagalan produksi minyak nasional.