Tuesday, March 18, 2008

Reformasi Birokrasi dan Akademisi

Akhir-akhir ini semakin sering dibahas masalah reformasi birokrasi. Ironisnya pembahasan lebih sering dilakukan oleh orang-orang diluar birokrasi tanpa melibatkan birokrat. Jadinya semacam tuding-tudingan, meski secara akademik sah-sah saja. Lebih ironisnya lagi tidak pernah dibahas betapa kaum akademisi juga mestinya bertanggung jawab dengan semakin tidak jalannya reformasi birokrasi karena mereka juga banyak yang menjadi pejabat publik setingkat eselon I dan II tanpa melepas pekerjaan utamanya sebagai akademisi. Terlebih lagi juga ditambah dengan Staf Khusus. Maka jadilah birokrasi kita semakin amburadul, lihatlah betapa banyak sekarang menteri berasal dari akademisi yang menurut hemat saya menjadi salah satu penyebab utama semua kebijakan bukan di design dan diimplementasikan dengan sigap dan tepat, tetapi kebijakan lebih sering dijadikan wacana yang membuat semuanya menjadi jalan di tempat, termasuk reformasi birokrasi.

Ada pendapat lain? BIsa jadi saya keliru, tapi adalah lebih baik berdiskusi dengan positif dari pada dipendam dan memaki dalam hati.


for my eyes only!
=========

Reformasi Birokrasi hingga Kini Masih Lemah
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.12.0008481

Rabu, 12 Maret 2008 00:08 WIB

Jakarta, Kompas - Hingga 10 tahun, upaya reformasi birokrasi belum menunjukkan hasil. Birokrasi masih dikooptasi elite politik. Akibatnya, korupsi kebijakan yang merugikan rakyat banyak dan merusak sistem tata negara justru makin berkembang.
”Niat mereformasi birokrasi kini masih sangat lemah,” kata Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia Eko Prasojo dalam Miriam Budiardjo Lectures di Jakarta, Selasa (11/3).
Kelambanan ini terjadi karena reformasi birokrasi merupakan proses politik. Saat ini, birokrasi yang seharusnya setara dengan politik masih menjadi subordinasi politik. Birokrasi masih terkooptasi kepentingan politik sehingga sulit untuk direformasi.
”Sumber keuangan negara ada di birokrasi. Sistem birokrasi yang tidak jelas memberikan keuntungan bagi elite politik untuk mengambil uang negara bagi kepentingan politik mereka,” ujarnya menambahkan.
Menurut Eko, presiden adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap percepatan proses reformasi birokrasi. Hal paling mudah dilakukan untuk membuat sistem birokrasi profesional dan independen adalah melalui perekrutan. Penentuan pejabat eselon I seharusnya tidak lagi tergantung dari sistem politik, tetapi berasal dari sistem birokrasi yang baik.
Oleh karena itu, pemisahan antara sistem politik dan sistem birokrasi sangat relevan untuk dilakukan di Indonesia saat ini. Sistem birokrasi yang tidak netral dan tidak profesional hanya akan melanggengkan korupsi di tingkat kebijakan seperti yang selama ini terjadi.
Korupsi di tingkat kebijakan justru sangat merugikan rakyat dan merusak sistem kenegaraan yang ada. Terlebih lagi, korupsi ini dilegitimasi melalui kebijakan politik formal sehingga para pelakunya tidak dapat dituntut secara hukum.
Hal senada juga diungkapkan dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Pratikno. Proses demokrasi yang berlangsung selama ini harus diselaraskan dengan birokrasi. Politisi dan birokrat harus tahu kewenangan masing-masing pihak dan memahami logika pihak yang lain.
Namun, interaksi antara politisi dan birokrat ini tidak pernah dipadukan. Akibatnya, netralitas birokrasi tidak pernah tuntas karena masing-masing pihak tidak memahami, tidak bekerja, dan tidak ada yang menengahi.
Untuk menyelaraskan politik dan birokrasi perlu sistem pemerintahan yang tegas dalam mengatur wilayah kerja masing-masing pihak. Wilayah yang tidak dapat disentuh politisi dan tidak dapat dijamah birokrat harus diperjelas.
Di banyak negara terdapat sekretariat politik untuk mendukung kinerja kepala daerah atau kepala negara sebagai lembaga politik. Sekretariat politik tersebut belum ada di Indonesia. Akibatnya, masing-masing jabatan politik memiliki sekretariat politik sendiri-sendiri. (MZW)
---

No comments: